Pemakaman Ratih Prana Jiwo berlangsung khidmat, tak banyak undangan, karena Laut sangat mengantisipasi keadaan.
Semua anggota keluarga bahkan belum tahu tentang karangan bunga ganjil itu.
Mereka kini berkumpul di ruang tengah, membicarakan langkah selanjutnya, karena kasus ini masih dalam penyelidikan.
“Paman, Bibi, sebenarnya aku tak ingin mengatakan ini sekarang. Akan tetapi, aku rasa, semua harus tahu akan hal ini.” Kata Laut membuka percakapan.
“Apa maksudmu?” tanya Glagah.
“Ayo ikut aku.” Laut beranjak menuju gudang di sebelah rumah.
Karangan bunga anggrek hitam dan mawar merah itu mulai terlihat layu, tapi tulisan jawa itu masih terbaca.
Sari menutup mulutnya. Glagah tampak geram. Darma menghela napasnya berat. Sementara Diara, kebingungan dengan reaksi semua orang, dia tak bisa membaca aksara jawa itu. Tapi, melihat semua orang tampak tak suka, membuat Diara berpikir, pasti tulisan itu mengandung makna yang tidak baik.
“Aku juga masih menyelidiki siapa pengirimnya. Kemungkinan besar, pengirimnya sama dengan pelaku penyerangan. Mari kita kembali ke dalam, agar lebih leluasa berbicara,” ajak Laut.
“Apa yang bisa kulakukan?” tanya Glagah begitu mereka sudah berada di ruang tengah kembali.
“Kamu, tak bisa melakukan apa pun saat ini. Statusmu sebagai simbol Prana Jiwo tak bebas melakukan sesuatu,” papar Laut membuat Glagah mengempaskan punggungnya ke sandaran.
“Tapi, aku harap kamu melakukan tugasmu dengan baik. Kita bisa mencurigai siapa pun sekarang. Baik kolega maupun pengusaha yang sering berhubungan dengan kegiatan audit kita,” lanjut Laut.
“Aku mungkin akan aktif kembali, agar informasi yang kita dapatkan lebih banyak,” kata Darma.
“Ayah,” kata Glagah dengan nada khawatir.
“Tidak apa-apa, aku hanya akan berhubungan dengan kolega yang bisa kupercaya,” kata Darma menenangkan.
“Diara, mulai lusa, kamu bisa kembali menjalankan tugasmu menjadi sekretaris Bintang. Ini lebih baik, daripada kita berkumpul menjadi satu. Risiko akan lebih besar. Glagah bisa leluasa, kamu aman bersama Bintang, dan aku tak mengkhawatirkan kalian.” Rencana Laut sudah sangat dipikirkan matang.
“Orang ini, tahu tentang Wita---“
“Ibu, dia Ibumu,” ralat Sari saat mendengar Laut masih menyebut Wita dengan sebutan nama.
Laut tampak kikuk.
“Ya, dia mengenal wanita itu, siapa pun dia, kita patut waspada.” Laut masih enggan menyebutkan nama Ibu untuk wanita yang sudah meninggalkannya semenjak dia kecil itu.
“Baiklah, besok mungkin masih akan ada banyak tamu yang datang, penjagaan tak akan kuperketat, tapi kalian harus tetap waspada. Bintang akan mengirimkan sopir untuk menjemput Diara.” Laut mengedarkan pandangan, mengharapkan timbal balik dari orang di ruangan itu.
“Baiklah. Kita memang tak bisa gegabah dalam menyikapi kasus ini,” kata Glagah menyadari keadaan yang melingkupi mereka sekarang.
“Kalau begitu aku pamit, masih banyak yang harus kuurus,” kata Laut seraya undur diri.
“Baiklah, kita juga harus beristirahat,” kata Darma seraya membimbing Sari untuk masuk ke kamar mereka.
Glagah masih terpaku di sofa. Merenungi semua kejadian ini.
“Ayo beristirahat,” kata Diara seraya mengulurkan tangannya ke arah Glagah.
Glagah menyambut tangan Diara dan menggenggamnya erat, untuk menguatkan hatinya juga.
“Jangan terlalu lama bersedih, aku tak bisa melihatmu terus-terusan seperti ini,” kata Diara begitu mereka berada di kamar.
Glagah hanya mendesah, benar, dia tak boleh larut, terlebih pekerjaan sudah menunggu dan kasus insiden itu belum terkuak.
Diara membingkai wajah Glagah, menatap dengan tatapan memohon.
“Baiklah, kita memang tak boleh berlama-lama bersedih.” Glagah memegang tangan Diara dan menarik Diara ke pelukannya.
“Terima kasih,” bisik Glagah.
Diara balas memeluk Glagah erat.
“Besok kita harus mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan,” kata Glagah tanpa mengurai pelukannya.
“Aku akan baik-baik saja bersama Dewa Yunani, eh Mas Bintang.” Diara terkekeh saat Glagah melepas pelukannya dan memasang wajah cemberut.
“Jangan macam-macam,” ancam Glagah malah membuat Diara memeluknya karena gemas dengan reaksi Glagah.
“Jangan tertawa.” Glagah masih memasang wajah tak suka.
“Bagaimana aku bisa berharap mendapatkan Zeus kalau aku sudah punya Hercules?” Diara menatap Glagah jenaka.
“Jadi, begitu? Kalau gak bersamaku, kamu akan memilih Mas Bintang?” tanya Glagah sangsi.
Diara malah tertawa, lalu mengecup pipi Glagah.
“Hm ....” Glagah lalu merengkuh Diara ke dalam pelukannya kembali. Mengecup puncak kepala perempuan yang sudah memikatnya tersebut, sejenak melupakan beban yang akan mereka hadapi esok.
Laut sedang menerima laporan Dani di ruang kerjanya. Prosesi pemakaman Ratih yang menguras tenaga karena banyaknya atensi dari media, tak membuat Laut lengah.
“Saya sudah mencari tahu florist yang mengirim karangan bunga tersebut. Mereka menyebut, pesanan datang dengan surat terketik rapi tanpa pengirim dan alamat, bahkan pembayaran disertakan langsung.” Dani menyerahkan salinan dari surat pesanan itu.
Hanya instruksi sederhana, Laut yakin seratus persen pihak florist tak mengetahui arti dari tulisan jawa itu. Mengingat sekarang sudah tak banyak yang mengetahui bahasa leluhur itu.
“Lalu bagaimana laporan di kepolisian?” tanya Laut sambil meletakkan surat itu di meja.
“Mereka tak menemukan kejanggalan yang mencurigakan dari CCTV di sekitar pasar. Kemungkinan pelaku mengubah penampilan juga bisa,” terang Dani.
Kepala Laut berdenyut.
“Ada laporan audit dari perusahaan kertas di Jawa Timur yang harus segera di kroscek, file sudah aku kirim ke Mas Glagah dan Mas Laut. Ada beberapa temuan yang sedikit mencurigakan,” papar Dani semakin membuat kepala Laut bertambah pening.
“Akan aku cek. Siapa yang bertugas audit ke sana kemarin?”
“Sastra.” Dani menyerahkan flashdisk hasil laporan rinci dari Sastra.
“Aku percaya dengan penilaiannya, tapi akan kupastikan sekali lagi,” kata Laut membuat Dani mengangguk.
“Kalau sudah tidak ada lagi, aku pamit. Besok kita masih harus mengerjakan audit perusahaan di Kalimantan. Apa Sastra juga yang berangkat?” tanya Dani.
“Jangan, berikan pada orang lain.” Laut memijat keningnya.
“Baik.” Dani kemudian mengundurkan diri dan menutup ruang kerja Laut.
Laut memijat keningnya, sungguh peristiwa beruntun ini membuatnya lelah. Sejenak rasa lega, hilang dengan datangnya prahara.
“Beristirahatlah. Pikirkan besok.” Karya sudah berdiri di pintu membuat Laut terlonjak.
“Baik, Ayah.” Laut berdiri dan meninggalkan ruang kerja.
Jam sudah menunjuk pukul dua belas malam.
Seseorang mondar-mandir di sebuah flat, ruangan gelap, hanya ada kursi, televisi dan ranjang besi. Tanpa cahaya, jendela tertutup rapat.
Tangannya sesekali memegang kepalanya, mengerutkan dahi dan sesekali menghela napas berat.
“Tidak bisa begini saja, aku harus melakukan progress, keadaan ini terlalu lambat, tapi juga tak bisa dipercepat.” Dia bergumam sendiri sambil terus bolak-balik dari depan televisi ke kursi.
“Baiklah sepertinya aku harus melakukan pendekatan lain.” Dia kemudian menatap pintu yang tertutup rapat itu. Berpikir untuk melangkah keluar dari sana dan menatap kehidupan yang seharusnya dia lakukan beberapa tahun yang lalu. Bersosialisasi dengan orang lain.
Glagah terbangun saat matahari menyusup dari balik tirai. Dia melihat Diara masih terlelap. Dengan pelan, dia beranjak bangun dan segera mengambil laptopnya. Semalam ada notifikasi email masuk dengan prioritas tinggi.Selamat malam,Ini file dari hasil audit PT. Daya Cipta, ada beberapa catatan merah yang perlu digaris bawahi. Tolong di kroscek.Hormat saya,SastraSebuah file disertakan dan Glagah harus membukanya.Sastra adalah salah satu tim auditor anonim Prana Jiwo, dan keakuratannya tidak perlu lagi diragukan.Glagah mengetahuinya dari Laut yang selalu mengandalkan Sastra untuk audit perusahaan besar. Glagah mengikuti instingnya sebagai Prana Jiwo yang selalu berpikir kritis, penuh perhitungan dan jangka panjang.“Apakah ada hal penting? Sehingga kamu tak membangunkanku?” tanya Diara seraya memeluk Glagah dari belakang.“Hm .... Ada lapor
Bintang memasuki ruangan di mana Laut, Glagah dan Diara menunggu.“Maaf, lama menunggu. Ada klien yang insist, dan menyebalkan,” keluh Bintang seraya duduk di kursi.“Mas Bintang bisa kesal juga?” tanya Diara menggoda.“Menurutmu?” Bintang melayangkan pandang sinis, membuat Diara terkekeh.“Besok, aku akan memberimu banyak pekerjaan,” ancam Bintang membuat Glagah tertawa, Diara mati kutu kini.“Belum ada perkembangan apa pun tentang kasus Nenek,” desah Laut membuat ketiga orang itu menoleh padanya.“CCTV pasar tak melihat sesuatu yang mencurigakan. Bibi bahkan tak melihat pelakunya karena ramainya orang di pasar saat itu,” lanjut Laut membuat Glagah mendesah.“Sepertinya, orang ini mempunyai dendam tersendiri kepada kalian, apalagi dengan karangan bunga yang kamu perlihatkan kemarin,” kata Bintang.“Benar, dia bahkan membisikkan kata &lsqu
Selang berapa lama setelah Bintang dan Diara pergi, seseorang mengunjungi Gita. Sepertinya mereka berselisih waktu hingga tak saling bertemu.“Nona Gita, masih betahkah dirimu di sini?” tanyanya, membuat Gita mengerutkan dahinya. Dia tak mengenal orang ini.“Siapa Anda?” tanya Gita mencoba bersopan santun.“Tak perlu kamu tahu siapa aku, di sini kutawarkan sesuatu untukmu. Aku, bisa mengeluarkanmu dari sini, tanpa syarat.” Orang itu tersenyum pada Gita yang kebingungan.“Tanpa syarat? Untuk kepentingan apa?” selidik Gita tak percaya.“Bagus. Ternyata sedikit darah Prana Jiwomu masih aktif.” Orang itu terkekeh, semakin membuat Gita penasaran.“Aku akan mengeluarkanmu, tanpa syarat. Aku menjamin itu. Aku hanya tak ingin melihatmu menderita sendirian dalam kegelapan. Pikirkan. Aku akan kembali untuk beberapa hari lagi,” kata orang itu, kemudian berpamitan pada Gita yang mas
Seseorang sedang menyesap kopinya dalam-dalam. Pertemuannya dengan Gita hari ini sedikit menemui masalah. Gita sedikit sulit untuk diyakinkan.“Apa aku harus terang-terangan mengatakan, bahwa aku adalah adiknya?” Dia menatap lekat pemandangan di depan kafe itu.“Tapi bila aku mengatakannya sekarang, dia mungkin tak menyukaiku,” gumamnya.Dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja dengan gelisah. Kepercayaan dirinya sirna. Menguap. Dunia tak semulus yang dibayangkannya.Kemudian dia menghubungi seseorang.“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Tanyanya begitu sambungan telepon direspons seseorang.“Kita harus merunduk. Jangan tergesa. Lakukan sesuai dengan rencana.” Kata-kata orang di seberang sana membuatnya bertambah gundah.Dia semakin tak tahu harus bagaimana, dendamnya yang membara ingin segera dituntaskan, tapi seseorang malah membuatnya harus menahan diri.Dia bukan orang yang
Diara menerima pesan Glagah untuk langsung ke rumah aman.“Ada apa Di?” tanya Bintang melihat Diara mengernyitkan dahinya.“Ehm ... ini kata Glagah kita mau pindah ke rumah aman lagi.” Diara menunjukkan layar ponselnya.“Itu pasti ulah Laut. Aku juga mau ke sana saja, biar rame.” Bintang kemudian mengingat saat mereka sama-sama menghuni rumah aman.“Mas Bintang kan harus nemenin Pak Hardjo,” sergah Diara.“Papa tidak butuh temen, dia sudah banyak temen di rumah,” kata Bintang.“Kita pulang bareng, besok kita langsung ke lembaga pemasyarakatan,” kata Bintang membuat Diara mengangguk lesu.“Kamu gak suka pulang bareng aku?” goda Bintang.“Ih Mas Bintang, bukan gitu. Memangnya Mas Laut kenapa sih menyuruhku dan Glagah untuk tinggal di rumah aman lagi? Kan kasihan Ayah sama Ibu di rumah sendirian,” omel Diara seraya mengikuti langkah pan
Diara terbangun dan mendapati Glagah tak ada di sampingnya, tapi bau harum makanan yang menguar membuat Diara sadar kalau Glagah sedang memasak. Membuatnya menghela nafas lega. Pikiran buruknya kadang membuatnya berpikir yang aneh-aneh. Mengingat hari ini dia harus menemani Bintang ke lembaga pemasyarakatan, membuatnya bangkit dan ke kamar mandi dengan segera.Sementara Glagah sibuk menyiapkan sarapan. Anton membantunya, walau lebih banyak merepotkan sebenarnya.Nasi goreng ikan jambal tersedia pagi itu untuk sarapan. Laut dan Bintang yang sudah rapi berjajar di meja makan.“Diara mana?” tanya Bintang saat tak melihat Diara.“Mungkin sedang bersiap, Mas,” jawab Glagah seraya membagikan nasi ke goreng ke piring masing-masing.“Aku di sini,” kata Diara dengan tergesa menduduki kursinya.“Cepat di makan, Mas Bintang sepertinya sedang terburu-buru,” bisik Glagah membuat Diara menatap Bintang.
Begitu sampai di rumah, Laut bahkan meninggalkannya dan masuk.Glagah dengan tergesa menutup pintu dan mengikuti Laut.“Ada apa Le?” tanya Darma melihat Laut begitu tak sabar.“Apakah, Paman tahu lingkaran pertemanan atau sosialisasi dari Wi--, eh Ibu,” kata Laut tak jadi menyebut Wita karena tatapan tajam Sari.“Kenapa?” tanya Darma penasaran.“Ada seorang perempuan, lebih muda dari Gita, memiliki mata khas bulat, dan dia menjamin kebebasan Gita tanpa penjelasan apa-apa. Aku curiga dia ada hubungannya dengan penusukan Nenek,” papar Laut.“Aku tak pernah lagi berhubungan dengan Wita setelah kejadian dia meninggalkan ayahmu. Dia seolah menghilang ditelan bumi. Apalagi waktu itu Ayah dan Ibu sepakat untuk mengumumkan kematiannya,” kata Darma.“Dia tak mempunyai banyak teman. Bahkan bisa di bilang, Nawang adalah satu-satunya teman dekatnya,” lanjut Darma.&ldq
Gita, meremas kertas itu. Hatinya bergemuruh. Wita, bahkan meninggalkan jejak. Apa dia seorang manusia?Kembali di selnya, yang gelap, Gita membayangkan hari-hari penebusan dosanya untuk keluarga Sriwedari.Sementara perempuan itu menelepon seseorang.“Gita setuju. Lakukan tugasmu. Aku tunggu kabar baikmu,” katanya di saluran telepon.Dia menghela napasnya, semoga ini bisa menjadi jalannya untuk membalas dendam. Kepada semua keturunan Prana Jiwo dan Sriwedari.Dia melangkah keluar dari area Lapas, memasuki mobilnya. Kembali ke tempat persembunyiannya.Laut menerima pesan dari orang yang di suruhnya mengawasi lapas.“Dia pergi sendirian. Harus aku ikuti?” tanya Dani.“Ikuti, kabari aku, di mana dia tinggal,” kata Laut mengakhiri sambungan.Laut berjalan hilir mudik di kantornya. Rencananya berjalan. “Mas, ada telepon dari lapas,” kata Glagah.“Ya. Kirimkan saja lewat paket ki
Diara, Bintang, Laut berkumpul di apartemen Anton. Menunggu Glagah kembali dari kantor polisi.Sementara di televisi, media sudah memberitahukan soal penangkapan Randu sebagai pembunuh Ratih Prana Jiwo. Keberadaan Glagah di kantor polisi bahkan tersorot kamera dan memperkuat opini publik tentang hal itu.“Pelaku penusukan Ratih Prana Jiwo ditengarai sudah ditangkap. Seorang wanita muda yang belum diketahui secara detail identitasnya. Beberapa orang juga ikut ditangkap, dan sepertinya hanya sebagai saksi. Bahkan Glagah sendiri yang menangani kasus ini.” Penjelasan pembawa berita itu membuat mereka bertiga saling pandang lalu tersenyum bersamaan.“Suamiku terlihat tampan di televisi.” Diara membanggakan wajah Glagah yang terlihat di sana.Bintang dan Laut seketika mencibir ke arahnya lalu tertawa. “Besok, Ayah dan Ibu ingin berziarah ke makam Nenek. Mas Laut mau ikut?” tanya Diara.“Aku masih harus mengurusi bebe
Gita terkejut dengan keakraban Rana dan Laut.“Paman dalam keadaan sehat saja aku sudah tenang. Aku kira Paman sudah pulang ke kampung, karena tak pernah memberiku kabar.” Laut menepuk pundak Rana.“Aku harus menjaga agar rumah itu tak jatuh ke tangan yang salah,” jawab Rana membuat Laut menganggukkan kepalanya.“Ini, bukti dari kejahatan Randu. Aku memungutnya saat dia membuangnya ke tempat sampah di rumah setelah kejadian itu,” kata Rana.“Dia tidak begitu pintar.” Gita menambahkan informasi yang membuat Laut paham.“Maafkan aku telah membiarkan dia sampai sejauh ini. Kedatangan Non Gita sudah memberiku kekuatan untuk menemuimu,” kata Rana lirih.Selama ini dia berusaha untuk mengekang Randu, terlebih setelah wanita itu pulang ke rumah. Tapi, semua perkataannya tak pernah didengar. Laut menerima pisau yang berada di dalam kantong plastik itu. Bersih.“Dia sudah membersihkanny
[Besok datang dan bawa buktinya ke Heritage]Rana membaca pesan dari nomor asing. Tapi dia menyimpulkan ini Laut, karena Gita sudah menghubungi Laut tadi.Dengan langkah mengendap, Rana menuju kamar Gita. Memastikan Randu tak melihatnya. Dia mengetuk pintu kamar Gita perlahan. Saat Gita membuka sedikit celahnya, Rana mengulurkan ponsel dan menutup pintu. Kembali ke kamarnya.Gita membaca pesan itu, dan mengerti apa yang harus dilakukan. Dia menatap jendela dan langit malam tertangkap oleh matanya. Menatap bulan yang mengantung di sana. Ingatannya melayang kepada Bulan, adik yang dia bunuh dengan tangannya sendiri. Hanya sebuah ambisi. Menuruti keinginan orang yang bahkan tak peduli tentang orang lain.Randu masih tak bisa memejamkan matanya. Dia duduk di tepi ranjangnya. Rencananya tak mengarah ke mana pun, yang menandakan ini akan berhasil. Satu per satu orang yang dia harap bisa menjembatani keinginannya sudah pergi.Keinginannya untuk membantu Daya Cipta
Laut menatap tajam Frasa yang menunduk di depannya. Tak percaya wanita itu sudah membuatnya kelimpungan. Tidak terlihat kalau dia mempunyai kemampuan yang mumpuni. Kecil, tak terawat, walau jelas terlihat gurat kecantikan di sana. Seperti gelandangan yang tak punya rumah.“Siapa yang menyuruhmu?’ Tanpa basa-basi Laut langsung menanyakan hal itu.Frasa terlihat gelisah, jika dia menyebut nama Randu, dia tak tahu apakah Laut akan mengenal wanita itu atau tidak.“Randu, dia yang menyuruhku, karena aku mempunyai hutang budi dengan Ibu angkat dari wanita itu,” kata Frasa pada akhirnya.“Randu?” Laut langsung teringat dengan rumah masa kecilnya yang sudah beralih tangan atas nama Randu.“Bagaimana rupa orang itu?” selidik Laut.“Dia tak lebih tinggi dari aku, berwajah lonjong dan mempunyai mata bulat yang khas,” papar Frasa mencoba mengingat rupa Randu yang hanya ditemuinya sesekali.Kriterianya
“Jebak dia,” kata Laut di ponselnya setelah Glagah membuat harinya bertambah pusing.“Bagaimana? Anton harus menemuinya dan mengonfrontasinya?” tanya Glagah di seberang sana.“Ya, lakukan saja dan buat dia mengaku. Kita harus tahu intensi dia yang sebenarnya,” papar Laut Glagah mengerti, dia mematikan ponsel dan menatap Anton yang masih kebingungan di depan layar.“Temui dia, kita akan mengonfrontasinya,” kata Glagah.Anton menghela napasnya berat dan mengangguk mengerti.Temui aku di kafe dekat kampus.Anton membalas email Frasa singkat. Kemudian dia berdiri, bersiap untuk pergi.“Aku akan mengantarmu, tenang saja, aku tidak akan memperlihatkan diri sebelum waktunya,” kata Glagah.Anton sebenarnya enggan, karena ini akan membuatnya dalam kesulitan. Tapi jika dia tak menuruti keinginan Laut, maka dia melakukan wanprestasi akan kontrak kerja mereka.Glagah mematikan laptopny
Anton sedang mengunyah ayam kare yang Glagah masak saat layar monitornya memberikan tanda ada penyusup. Tangannya secepat kilat meletakkan piring di meja dan menyambar keyboard komputernya untuk membentuk firewall agar penyusup itu tak bisa masuk ke sistemnya.“Ada apa?” tanya Glagah melihat Anton membiarkan makanannya tergelatak di meja.“Sepertinya Frasa mulai beraksi,” desis Anton tanpa mengalihkan wajahnya dari monitor.Glagah pusing melihat kecepatan tangan Anton bermain di keyboard dan menggerakkan tetikus itu.“Sepagi ini sudah melancarkan serangan,” gumam Glagah membuka laptopnya dan melihat email yang masuk untuk Prana Jiwo.Diara keluar dari kamar dan menghampiri Glagah dan mencium kening suaminya itu. “Aku berangkat dulu. Mas Bintang sedang sensitif. Suka mengomel,” kata Diara sambil tersenyum usil.“Anton, selamat pagi,” sapa Diara sambil berlalu.“Ya, Di,” ba
Wira berjalan mondar-mandir, sementara Sangka duduk dengan enggan di kursinya. Kekuatan mereka seperti meluruh.Ponsel Sangka berbunyi, membuyarkan keheningan mereka. Gama. Nama laki-laki itu membuat Sangka mendesah.“Di mana?” tanya Gama tanpa berbasa-basi.“Aku sedang di Jakarta, di Heritage,” jawab Sangka lesu. Sedang tak ingin berbicara panjang lebar.“Tunggu aku sepuluh menit lagi,” jawab Gama membuat Sangka tersentak.“Mau apa?” tanya Sangka seraya menegakkan badannya.“Menyelesaikan masalahmu,” kata Gama menutup saluran. Tinggal Sangka masih bingung memikirkan apa yang akan dilakukan oleh Gama.“Siapa?” tanya Wira.“Gama,” jawab Sangka.“Ada masalah yang lebih besar daripada pacarmu itu!” geram Wira.Kepalanya sudah pusing dengan kenyataan bahwa mereka berada di ambang kebangkrutan.“Dia bilang akan membantu kita,&r
Suara ketukan pintu membuat Diara beranjak dari balik meja. Setelah membuka pintu kayu berat itu, sepasang laki-laki dan wanita berdiri di depannya, dengan tatapan mengintimidasi.“Saya Sangka dari PT. Daya Cipta, ini Wira, Paman saya.” Wanita itu mengenalkan dirinya. Diara paham dan mempersilakan keduanya masuk. Mata Wira menyapu ruangan dan tak menemukan baik Laut maupun Bintang. Hanya dua wanita, Diara dan Amira.“Silakan duduk. Perkenalkan, saya Diara, sekretaris Bintang Sriwedari, dia Amira, sekretaris Laut Prawirahardja. Mereka berdua akan datang sebentar lagi,” kata Diara memahami raut wajah sangsi dari Wira.Sangka menghela napasnya berat. Melirik jam tangannya, memang mereka berdua datang lebih cepat dari waktu yang ditentukan. “Apa yang akan kita lakukan dengan mereka?” tanya Bintang menatap Laut yang menyetir dengan tenang.“Kita lihat saja dahulu, apa yang mereka tawarkan dan inginkan. Aku tidak ta
Sangka sedang berada di kantor. Persiapan untuk berangkat ke Jakarta sudah siap. Mereka harus segera melobi Prawirahardja untuk mendapatkan dana segar. Wira sudah memaksa.“Paman, apakah ini akan berhasil?” tanya Sangka saat Wira masuk ke ruangannya. “Harus berhasil. Kalau tidak, kita harus bagaimana? Maka semua akan berakhir menjadi sia-sia. Kita akan bangkrut,” kata Wira tak kalah cemas.Dia terlalu menuruti seseorang sehingga kini semuanya dia pertaruhkan.Keduanya berangkat menuju bandara dengan sejuta harap. Misi mereka menyelamatkan diri dari kebangkrutan akan semakin berat. Banyak perusahaan menutup pintu kerja sama, terlebih setelah pengumuman Prana Jiwo atas potensi kebangkrutan mereka.Anton masih berkutat dengan pengambilan data di pertanahan. Sementara layar lain menampilkan data yang kemarin diserang oleh Frasa. Belum ada pergerakan sama sekali dari Frasa hari ini. “Gotcha!” teriak Anton mem