Share

Chapter 02

Perlahan, dia mulai membuka kedua pahanya, lebar, mencari posisi yang paling nyaman di tengah penderitaan yang luar biasa. Kakinya ikut gemetar saat lututnya mulai terangkat, membuka jalan bagi kehidupan baru yang sedang berjuang untuk keluar. Matanya terpejam, menahan perih dan nyeri yang seolah-olah menguasai seluruh tubuh. Dia merasa begitu rapuh, namun kekuatan dalam dirinya terus mendorongnya untuk bertahan, guna melawan rasa takut dan rasa sakit yang menyiksa.

Dengan tangan gemetar, dia meraba perutnya yang semakin keras, menyadari apa yang terjadi. Rasa takut menyelimutinya, tapi tubuhnya tak memberi ruang untuk berpikir jernih.

"Sayang,” bisiknya dengan terus mengelus perut penuh kasih sayang. "Kamu harus bisa ya! Kita akan hadapi ini bersama-sama.”

Elena kembali mengerang kesakitan, seluruh tubuhnya tegang saat kontraksi semakin kuat mengguncang tubuh. Dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki, wanita itu berusaha kuat mengangkat tubuh bagian atasnya, otot-otot di perutnya ikut mengencang saat dia mengumpulkan kekuatan untuk mengejan. Peluh mulai membasahi wajah, dan urat-urat di leher, semakin menonjol ketika dia mencoba mendorong dengan sekuat tenaga.

“Argh, aku tidak tahu sampai kapan lagi aku bisa bertahan seperti ini. Rasanya sangat sakit!”

Namun, rasa sakit yang begitu dahsyat membuat tubuhnya bergetar hebat. Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, Elena kehabisan tenaga. Tubuhnya tak mampu lagi menahan beban perjuangan yang ia lakukan, dan dengan desahan panjang, dia terhempas kembali ke tanah, tubuhnya terasa lunglai tak berdaya karena kelelahan dan rasa sakit yang tak tertahankan.

Dia memejamkan mata saat nafasnya mulai tersengal, air mata mengalir di pipi. Sekilas dia menoleh, berharap ada sosok yang selama ini selalu ada untuknya disana, di sampingnya, membelai rambutnya penuh kasih.. Kemudian dengan suara lemah, hampir tak terdengar, dia mulai bersuara, "Kak, t-tolong ... Aku nggak bisa lagi ... Tolong aku … aku butuh kakak! M-maafin aku!"

Setiap hembusan nafas seakan menarik dirinya lebih dalam ke jurang kelelahan. Tapi di dalam hatinya, Elena tahu bahwa dia tidak bisa berhenti, meski tubuhnya mulai menyerah. Dengan tangan gemetar, dia berusaha untuk sekali lagi memelengkungkan tubuhnya, mempersiapkan diri untuk dorongan berikutnya, meski rasa sakit itu hampir membuatnya menyerah.

Dia mulai menggigit bibirnya hingga hampir berdarah, mencegah teriakan yang ingin keluar. Tubuhnya menjerit untuk mendorong, dan tanpa sadar, dia mengikuti insting itu. Dia merasakan dorongan kuat dari dalam, memaksanya untuk memberikan segalanya, seolah-olah seluruh hidupnya tergantung pada momen ini.

“Sebentar lagi, Elena!” Katanya sedikit mengangkat kepala, mencoba melihat situasi di bawah sana yang nyatanya sudah dipenuhi darah segar, bahkan gaun putihnya kini tak lagi berupa.

Tubuhnya mengerahkan segala kekuatan yang tersisa, otot-otot perutnya bekerja keras untuk membawa kehidupan baru ke dunia yang keras ini. Suara detak jantungnya bersaing dengan dengungan dari dalam rahimnya yang terus menerus memberikan sinyal bahwa bayi sudah dekat.

"Jangan ... jangan menyerah," desah Elena dengan suara lemah, berbicara pada dirinya sendiri seolah-olah kata-kata itu akan memberi kekuatan tambahan.

Dia mengerang pelan, merasakan gelombang kontraksi yang semakin kuat. Dengan segenap tenaga yang tersisa, dia mencoba mendorong. "Aku harus melakukannya ... harus," katanya, berusaha meyakinkan diri.

Wanita itu kembali menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan, menyiapkan diri untuk dorongan berikutnya.

Huft! Huf! Huft!

"Aahh ... hampir ... hampir, sedikit lagi, dan semua akan selesai!" ujarnya dengan suara gemetar.

Dia berusaha keras, tangan-tangannya meraih tanah untuk mendapatkan dorongan tambahan. Keringat membasahi wajahnya, dan ia kembali mengangkat punggungnya dalam posisi yang penuh perjuangan. Suara erangan dan desahan mulai memenuhi ruang sekitarnya.

"Segera ... segera," Elena berbisik sambil mengatur nafasnya. “Aku harus… melakukan ini.” Suaranya semakin memudar, namun semangatnya tetap berkobar. “Ayo, Sayang! kamu pasti bisa.”

Dalam gelapnya malam, hanya terdengar erangan kesakitan Elena yang bersatu dengan suara hembusan angin di antara pepohonan. Alam seolah ikut merasakan penderitaannya, memberikan sedikit kesyahduan di tengah ketegangan yang mencekam. “Jangan menyiksa mama lebih lama lagi, dan cepatlah keluar! Mama menunggumu disini" suaranya parau, bergetar dengan penuh harapan dan ketakutan.

Sambil terengah-engah, dia merasakan sesuatu bergerak turun, semakin dekat. Ketika dorongan terakhir datang, Elena memejamkan mata, menggenggam tanah semakin erat dengan kuku-kunya yang hampir patah, dan dengan satu tarikan nafas panjang, dia mengerahkan semua kekuatan yang

Elena berteriak sekencang mungkin, seakan memberi isyarat alam bahwa perjuangannya akan segera berakhir dengan membuahkan hasil.

“Arghhh!!! Ayolah, ini sangat sakit, Tuhan!”

Benar saja, tak lama setelahnya, keheningan langsung terpecah oleh suara tangis bayi, Elena terkulai lemas, merasakan kelegaan yang luar biasa setelah tubuh mungil itu akhirnya keluar dari dalam rahimnya, dia tersenyum meski tampak getir. “Terima kasih, Sayang! Kamu hebat, dan selamat datang di dunia.”

******

Kedua tangan kekar itu mencengkeram kuat nisan yang baru saja diletakkan di atas gundukan tanah. Jari-jarinya mencengkeram erat, seolah ingin merasakan kehangatan yang tak lagi ada. Tatapan pria bermata biru itu kosong, pandangannya menerawang jauh, namun pikirannya hancur berkeping-keping. Suara lembut yang dulu selalu menenangkannya kini lenyap, tak akan pernah terdengar lagi. Dunia di sekitarnya terasa sunyi, nyaris tak berbekas, seiring kepergian wanita yang begitu dicintainya.

"Sandro, kita pergi dari sini sekarang!" Suara bariton yang berat dan tegas memecah keheningan, memaksa pendengarannya kembali fokus. Dengan lambat, Sandro mendongak, menatap pria yang sejak tadi berdiri di sampingnya—sosok yang ia tahu kuat, namun bahkan kekuatan itu tampak rapuh di hadapan kematian yang begitu dekat.

"Ratih sudah tenang. Kita harus segera pergi," lanjut sang pria paruh baya dengan nada yang bergetar meski berusaha tegar.

Mata tuanya tampak mengeras, tapi tak mampu menyembunyikan kepedihan di balik tatapannya. Rasa sakit kehilangan merayap, menjalar seperti racun yang menggerogoti setiap nadi. Bagaimana mungkin tidak? Wanita yang pernah memberinya harapan kini telah tiada, meninggalkan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh.

"Hari mulai gelap, Sandro. Kau butuh istirahat!" Suara itu kembali terdengar, lebih lembut namun tak kalah tegas. Mata pria tua itu menatap dalam-dalam, seolah ingin menembus kebisuan yang menyelimuti putranya, mencoba mencari sisa-sisa perasaan yang masih bisa ia rengkuh.

Sandro, pria dengan usia matang dan rambut coklat yang berkilauan dalam redupnya senja, perlahan mengangguk. Mata birunya, yang biasanya penuh kehidupan dan pesona, kini tampak mati, kehilangan kilau yang pernah membuatnya tak terkalahkan. "Baiklah, Ayah," jawabnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.

Dalam hening, mereka perlahan meninggalkan makam itu. Angin malam berhembus dingin, menggigit kulit, seolah mempertegas rasa duka yang menggelayuti udara. Langkah mereka berat, namun tak terhenti.

Di kejauhan, tepat di balik rerimbunan semak berduri yang gelap, sepasang mata tajam mengawasi setiap gerakan mereka. Bibir pria itu menyeringai puas, tangannya menggenggam erat ponsel yang baru saja digunakan untuk mengambil gambar momen pilu di hadapannya.

"Elsandro Falco..." bisiknya dalam hati, nama itu keluar seperti racun yang ia nikmati perlahan. Tatapannya tak pernah lepas dari sosok yang berjalan menjauh, seolah mangsanya sedang melarikan diri, tetapi belum menyadari bahaya yang mengintai. "Mari kita mulai permainannya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status