Motor hitam besar melaju kencang, menggema di malam yang tenang. Vale, perempuan tersebut mengendalikan kendaraannya dengan cekatan, mengarahkan arah menuju sebuah rumah terpencil di pinggiran kota. Setibanya di sana, ia memarkirkan motornya di halaman depan yang gelap dan sepi. Rumah itu berdiri megah namun terasa suram, seakan menyimpan banyak rahasia di dalamnya.
“I'm back!” Matanya memincing tajam, menatap rumah di hadapannya dengan seriangain khas yang tak pernah terlewatkan, kemudian dia melepas helm, lantas turun dari motor dan mulai berjalan menuju halaman belakang rumah. Tidak ada siapa-siapa di sana, semua tampak kosong, hanya ada hamparan tanah lapang yang hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar. Ketika ia melangkah lebih jauh, suasana tiba-tiba terasa mencekam. Suara deru angin seolah mengaburkan segala sesuatu di sekelilingnya. Tanpa peringatan, Vale merasakan gerakan cepat dari belakangnya. Instinctnya yang terlatih membuatnya langsung berbalik, menghadapi serangan mendadak. Sebuah tubuh besar meluncur ke arahnya dengan kecepatan tinggi, dan Vale segera mengimbangi gerakan tersebut dengan refleks yang tajam. “Badeb*ah gila!” Umpat Vale, dengan nafas yang langsung memburu, sesaat setelah berhasil menangkap tangan lawan yang sudah mengepal ke arahnya. Keduanya sama-sama diam, dengan tatapan mata saling menghunus, pria dibalik topeng tersebut lebih dulu menyeringai, sebelum tanpa aba-aba memelintir tangan Vale. “Brengsek!” Tubuh wanita itu tersentak beberapa senti ke arah belakang. Namun, dengan gerakan cepat ia langsung memasang kuda-kuda, tanpa pikir panjang, dia meluncurkan tendangan samping ke arah rusuk kiri sang lawan, berusaha merobohkan keseimbangan. Vale tidak memberi celah. Lawannya terhuyung, tetapi tetap berdiri, sedikit terguncang oleh tendangannya. Tanpa ragu, pria bertopeng itu balas menyerang dengan pukulan cepat ke arah wajahnya. Vale berkelit ke samping, nafasnya semakin cepat mengikuti intensitas pertarungan yang memuncak. Suara benturan kaki dengan lantai bergema di atas rerumputan, disusul oleh dengusan keras dari lawan yang terkena pukulan di perut. Vale bisa merasakan adrenalin mengalir deras dalam tubuhnya, jantungnya berdegup kencang, namun otaknya tetap fokus mencari celah berikutnya.” Keduanya berhenti sejenak, hanya suara napas yang terdengar, mata mereka terkunci dalam keheningan. Lalu tiba-tiba, lawan menyerang dengan serangan beruntun, tinju melesat ke wajah Faiz, namun dengan lincah ia menghindar dan melancarkan siku balik ke dagu lawan.” Hingga pada akhirnya Vale berhasil mengunci pergerakan si pria, lantas merubuhkan tubuhnya tanpa aba-aba. Masih dalam nafas yang memburu tangan Vale mencengkeram kuat kerah kaos yang pria dalam kungkungannya tersebut., sementara yang satunya siap untuk melayangkan tinjuan. “Stop! Ini gue!” Kalimat itu menggema, disertai tangan yang langsung merangkak ke atas seakan berkata berhenti. Vale menyeringai, tentu saja dia tahu siapa pemilik wajah dibalik topeng tersebut. Tanpa iba Vale menghempaskan tubuh pria itu ke tanah. “Lemah, lawan perempuan aja lo masih kalah!” Namun tiba-tiba saja, saat dia berdiri, tubuhnya menjadi tegang, lagi-lagi perempuan itu berhasil merasakan perubahan kecil di udara, sebuah desiran yang hampir tak terdengar, tetapi cukup untuk membuat matanya menyipit. “Masih ada lagi ternyata,” batin Vale meracau, bersamaan dengan munculnya serangan yang lebih tajam dan menghunus. Benar saja, di detik setelahnya, sebuahs dart kecil yang berkilauan, disertai bulu-bulu berwarna merah diujungnya melaju pesat tepat ke arahnya. Tanpa berpikir panjang, refleksnya bekerja lebih cepat daripada pikirannya. Dalam sepersekian detik, tangannya terulur, menangkap dart itu di udara, tatkala tepat berada di hadapannya. Vale menatap benda kecil yang kini berada di antara jarinya, ujungnya tajam dan berkilau, mengancam dengan racun yang mematikan. “Cukup mengejutkan,” Vale menarik napas dalam-dalam, jemarinya mencengkeram dart itu dengan mantap. Dalam hitungan detik, ia memutar tubuhnya dengan anggun, kaki kanannya sedikit mundur untuk mengambil posisi. Dengan gerakan yang cepat namun penuh perhitungan, ia melemparkan dart itu ke arah landasan panah yang terletak jauh di ujung tanah lapang. Dart tersebut melesat cepat, memotong udara dengan bunyi desis pelan. Mata Vale tidak berkedip sedikit pun, mengunci tatapannya pada titik utama di tengah-tengah landasan. Beberapa detik berlalu dengan perlahan, namun akhirnya, bunyi "thunk" yang tajam terdengar jelas saat dart menancap sempurna di pusat sasaran. Tersenyum tipis, Vale melipat kedua tangannya di depan dada. "Tidak buruk," gumamnya kepada diri sendiri. Tiba-tiba, suara tepuk tangan pelan terdengar dari kejauhan, berirama lembut namun penuh arti. Vale memutar kepalanya, matanya menyipit, menelusuri kegelapan yang masih menyelimuti sebagian besar lapangan. Tak berselang lama, semua lampu yang memenuhi setiap ujung tanah lapang menyala bersamaan, menerangi seluruh area dengan cahaya terang benderang. Siluet seorang pria perlahan muncul dari bayang-bayang, langkahnya tenang dan penuh wibawa. "Dugaan yang tepat," suara pria itu menggema, terdengar akrab di telinga Vale. Pria itu semakin mendekat, menampakkan wajah tegas dengan sorot mata tajam yang selalu terjaga. Pamannya. "Paman," Vale berkata tanpa ekspresi, meskipun pikirannya berputar. "Jadi ini semua ulahmu?" Pamannya tersenyum tipis, berhenti beberapa meter di hadapannya. "Hanya tes kecil, Vale. Kau tahu, memastikan bahwa naluri dan kemampuanmu masih setajam dulu." Vale menghela napas, sedikit lega namun tetap waspada. "Sepertinya kau selalu punya cara untuk mengejutkanku." "Dan kau selalu berhasil melampaui ekspektasiku," balas pamannya sambil menyilangkan tangan, tatapannya penuh kekaguman yang tersembunyi di balik wajah seriusnya. Vale tertawa, kali ini tawanya terdengar lebih memuaskan, dia melirik ke arah samping tepat dimana pria yang baru saja dihajarjya masih setia duduk di sana. Melihat tatapan yang jauh dari kata ramah, Vincen reflek melotot tajam, “Biasa aja lihatanya! Gue cuma ngalah bukan kalah,” Lucas, pria paruh baya tetapi masih terlihat cukup muda itu tertawa menyaksikan kedua insan yang memang tidak pernah akur sebelumnya. “Minimal ganti alesan! Bosen gue denger nya,” balas Vale yang langsung melengos pergi, perempuan itu melangkah pelan menuju tempat dimana dartnya mendarat. Senyum dingin tersungging di wajah Vale saat kedua matanya melihat dart itu menancap sempurna, tepat di sasaran. Foto yang dipasang oleh anak buahnya kini menjadi pusat perhatian, dengan sosok pria yang penuh senyum hangat, tercetak di atas kertas 12×16 cm. Vale mencabut dart itu dengan gerakan rapi, menatap tajam ke arah foto tersebut seolah matanya mampu membakar kertas itu dengan kebencian yang ia simpan. "Alessandro Falco," gumamnya dengan nada penuh intimidasi, lalu mengalihkan pandangannya ke langit malam yang gelap. "Satu-satunya penerus De Lantonus, anak dari bajingan Antonio Falco!" Kedua tangannya mengepal keras, otot-otot di tubuhnya menegang, hatinya bergejolak penuh dendam dan ambisi kehancuran. "Mari kita mulai permainan yang sesungguhnya!" suaranya berubah rendah, penuh keyakinan yang mengejek, seolah ia sudah tahu bahwa ia akan menjadi pemenang. "Kenapa harus dia?" Sebuah suara tiba-tiba menggema, menghancurkan sejenak konsentrasi Vale. Dengan segera tatapan tajamnya beralih, matanya penuh kemarahan saat menatap pria di hadapannya. "Tenang, gue cuma nanya! Tatapan lo bisa lebih santai, nggak?" Vincent, pria berambut cokelat tebal dengan mata hitam legam, tertawa kecil. "Lo pikir gue takut? Nggak, sama sekali, ngggak." Vale tersenyum dingin, perlahan merelakan otot-ototnya mengendur. Ia melangkah mendekat, dan berhenti di samping Vincent, tangan kanannya melingkar di bahu pria itu. Namun, Vincent tak menoleh, hanya tertawa kecil tanpa membalas tatapannya. "Lo mau tahu kenapa harus dia?" Vale menaikkan alisnya, menunggu respons sang rekan. Akhirnya, Vincent menoleh, berusaha membaca rencana licik yang Vale pikirkan. "Gak usah sok basa basi, gue tau arah pikiran lo. Cinta, kan?" Vale mengangguk kecil, menepuk bahu Vincent dengan puas. "Lo bener. Cinta." "Cinta?" Vincent terkekeh, matanya menyelidik. "Lo serius? Itu rencana lo?" "Karena cinta adalah senjata paling mematikan untuk menghancurkan segalanya," jawab Vale dengan keyakinan yang mencekam. Vincent mendekat, kali ini suaranya sedikit lebih serius. "Tapi lo nggak takut beneran jatuh cinta sama dia?" Vale tertawa keras, seolah pertanyaan itu terlalu konyol untuk ditanggapi. "Bukan cuma nggak, tapi gue yakin itu gak akan pernah terjadi." Vincent mengernyitkan dahi, mencoba membaca wajah Vale. "Lo benar-benar nggak percaya cinta?" Si perempuan menggeleng, dia tertawa sumbang, "Cinta?” ucapnya diakhiri kekehan singkat, lantas kembali berkata, “Itu cuma ilusi yang diciptakan untuk menghancurkan manusia kapan saja. Dan hanya orang bodoh yang bisa mempercayainya."Sebuah tangan kekar terulur perlahan, mengangkat sebuah foto usang yang selalu ia simpan di samping tempat tidur. Kedua bola mata yang biasanya tajam dan menghunus itu seketika layu saat menatap seulas senyum hangat yang tak lagi mampu ia temui. Waktu seolah berhenti.Jemarinya menyentuh lembut permukaan foto itu, seakan ingin menyentuh kembali kenangan yang tak tergapai. Di dalam dadanya, kerinduan dan penyesalan bercampur menjadi satu, menyesakkan tanpa henti.Tatapannya terhenti di wajah wanita dalam foto tersebut, satu-satunya alasan ia pernah merasa pulang. "Andai aku bisa memperbaiki semuanya..." bisiknya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung.Tiba-tiba saja, sebuah tangan dengan jemari yang lentik ikut menyentuh ujung foto tersebut, membuatnya tersadar dari lamunan panjang. “Dia sangat cantik!” Pria itu menoleh, seulas senyum langsung terbentuk meksi sangat tipis saat mendapati sosok gadis yang kini sudah berdiri tepat di sampingnya, menatap foto y
Sesaat semuanya menjadi hening, tidak ada suara apapun kecuali hembusan nafas yang saling bersahutan antara kedua anak manusia berbeda gender tersebut. Hingga akhirnya Vale memilih untuk menoleh, menatap pria bertubuh tegap nan tinggi yang berada tepat di sampingnyaPandangannya terus bergerak, menelisik tubuh Vincent dari atas ke bawah, begitu terus hingga berulang kali. Si pria yang sadar akhirnya mendengus kesal, dia menoleh bertepatan dengan Vale yang menatap penuh ke wajahnya.“Apa?!” tanya pria itu ketus, bahkan tanpa menunggu jawaban si perempuan, dia langsung beranjak untuk duduk diatas sofa. “Lo nggak bosen disini terus?” Vale ikut bergerak, dan duduk di samping Vincent. Kedua bola matanya perlahan berputar menatap sekeliling mereka yang nyatanya tak sedikitpun berubah semenjak pertama kali mata mereka melihat tempat tersebut.“Nggak.” Singkat padat, juga tidak minat, begitulah kiranya cara Vincent menjawab, tangan pria itu bergerak pelan mengambil buku tebal yang semula te
Malam menyelimuti jalanan yang sunyi, hanya lampu-lampu kota yang temaram menemani sosok bermata biru layaknya lautan lepas tersebut untuk melaju di bawah langit pekat. Jemarinya erat menggenggam setir, sementara matanya fokus menembus bayang-bayang gelap yang terbentang di depan. Sesekali, bayangan pohon atau gedung tampak samar, melewati kaca sampingnya seperti bayang-bayang yang enggan beranjak.“Maria? Apakah aku benar-benar memiliki rasa padanya?” Pria itu bergumam lirih, berusaha mencari jawaban yang sampai detik ini belum ia temukan. “Jika iya, tapi kenapa rasanya biasa saja!” Dia mulai frustasi, tangannya bergerak kasar meraup wajahnya yang tampak kusut, hingga akhirnya helaan nafas berat ikut terhembuskan. “Dan jika tidak! Lalu seperti apa sebenarnya cinta itu?”“Ck!” Pria itu berdecak semakin kesal, dia memukul-mukulkan belakang kepalanya pada sandaran mobil, berharap dengan itu ia bisa berpikir lebih jernih. “Ayolah Sandro! Jangan bodoh.”Jalanan yang lengang membuat pria
Dorr!!Dor!!Dor!!“Nyonya Elena! Mau kabur kemana lagi, Anda!” “Serahkan diri Anda! Percuma saja Anda mau lari, kami sudah mengepung setiap sudut hutan ini!” Suara itu menggelegar, memecah kesunyian malam yang mencekam. Tembakan demi tembakan terus terdengar, menghancurkan ketenangan langit malam, mengubahnya menjadi kepulan asap tak karuan. Namun, hal tersebut tak sedikitpun membuat seorang wanita bergaun putih selutut, dengan perut yang sudah membesar untuk terus berlari di bawah kanopi hutan yang gelap, meskipun kini nafasnya terdengar semakin berat, di tengah teriknya malam.“Shit! Akhhh” Sesekali dia mendesah, tatkala tanpa sengaja duri yang tajam menggores kulit putihnya, membuat darah segar mengucur tanpa bisa ditahan, tetapi itu sama sekali tak membunuh tekadnya untuk terus menyelinap di antara semak belukar, dan akar pohon yang menjulur, berusaha keras untuk menghindari peluru yang mengintai dari arah belakang.Suara gemericik daun dan ranting yang patah di bawah kaki,
Perlahan, dia mulai membuka kedua pahanya, lebar, mencari posisi yang paling nyaman di tengah penderitaan yang luar biasa. Kakinya ikut gemetar saat lututnya mulai terangkat, membuka jalan bagi kehidupan baru yang sedang berjuang untuk keluar. Matanya terpejam, menahan perih dan nyeri yang seolah-olah menguasai seluruh tubuh. Dia merasa begitu rapuh, namun kekuatan dalam dirinya terus mendorongnya untuk bertahan, guna melawan rasa takut dan rasa sakit yang menyiksa. Dengan tangan gemetar, dia meraba perutnya yang semakin keras, menyadari apa yang terjadi. Rasa takut menyelimutinya, tapi tubuhnya tak memberi ruang untuk berpikir jernih. "Sayang,” bisiknya dengan terus mengelus perut penuh kasih sayang. "Kamu harus bisa ya! Kita akan hadapi ini bersama-sama.” Elena kembali mengerang kesakitan, seluruh tubuhnya tegang saat kontraksi semakin kuat mengguncang tubuh. Dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki, wanita itu berusaha kuat mengangkat tubuh bagian atasnya, otot-otot di perutnya