BRUKK“Argh! stt!” Suara yang terdengar begitu nyaring, disusul suara rintihan tersebut membuat Sandro reflek menarik tubuhnya dari Maria, tak peduli dengan sang wanita yang langsung berdecak kesal, pria itu tetap berlari untuk menuju ke depan ruangan.Matanya membola tatkala mendapati salah seorang staf tersungkur di atas lantai dengan beberapa lembar dokumen yang berserakan. Tanpa pikir panjang pria itu ikut duduk hanya untuk membantu mengumpulkan beberapa dokumen. “Maaf, saya tidak sengaja, Pak! Kaki saya tiba-tiba keseleo dan semua dokumen ini jatuh.” katanya begitu lirih, dia menunduk dalam-dalam, tak berani menatap sang atasan.“It’s okay, lain kali hati-hati,” balas Sandro tersenyum ramah, dia mengulurkan beberapa berkas yang ia kumpulakan, dan langsung diterima oleh si perempuan.“Halah, kamu cuma alasan kan? Kamu pasti ngintip aku sama Sandro kan?” Dari dalam ruangan Maria melangkah mendekat, dia bersedekap dada dengan tatapannya yang tidak ramah.“Maria, tolong jaga bicar
“Siapa wanita ini?” Vale, dengan tatapannya yang tampak begitu menyala penuh amarah, dia terus menatap beberapa lembar cetak foto yang kini berserakan diatas meja. “Dia adalah Maria, sejauh ini yang kita tahu, dia adalah wanita yang akan menjadi tunangan Sandro, dan acara pertunangan tersebut akan berlangsung minggu depan.” “Brengsek!” Nafas Vale memburu secara tiba-tiba, otot-otot di tangannya terlihat begitu menonjol tatkala sebelah tangannya meremas satu foto yang memperlihatkan dua manusia berbeda gender tersebut tengah berciuman mesra.Detik berikutnya perempuan itu sedikit mendongak, menatap beberapa orang yang masih setia berdiri di hadapannya. “Cari tahu lebih dalam mengenai wanita ini, jangan biarkan dia mempersulit rencanaku untuk kedepannya!” “Baiklah, akan kami lakukan,“ jawab salah satu darii pria bertubuh tegap dengan pakaian rapi serba hitam tersebut, sebelum kemudian mereka semua bergegas pergi meninggalkan Vale dengan dua orang yang sedari tadi hanya diam di bela
Di balik dedaunan rimbun, Vale masih setia mengamati beberapa anak kecil yang tampak asik berlarian di sebuah taman yang berada tak jauh dari sebuah gedung yang menjulang tinggi.“Mereka sangat lucu,” katanya dengan menarik tinggi sebelah bibirnya, “Sama seperti perannya yang akan membawaku kedalam hubungan yang indah.” “Gue udah selesai, sekarang apa yang akan lo lakuin ke mereka?” Vale menoleh, tatapannya terus bergerak ke atas hingga kebawah, menelisik pakaian Vincent yang baginya tidak tepat di situasi saat ini, beruntung dia sudah menyiapkan semuanya. Dia mengambil sebuah paper bag yang semua ia bawa. “Ganti baju lo dengan ini dan tampil menarik didepan anak-ank itu.”“M-makBaru saja Vincent hendak membuka suara Vale sudah lebih dulu memotongnya. “Lakuin apa yang gue mau, Vincent!” Entah sudah untuk yang keberapa kalinya Vincent hanya mampu berdecak, tetapi tak urung ia tetap menerima pemberian Vale meski dengan kasar, lantas tanpa permisi langsung beranjak pergi. Vale se
Vale melempar senyuman canggung ke arah Sandro, begitu pula sebaliknya, sebelum keduanya sama-sama duduk diatas bangku taman dibawah pohon rindang. Awalnya tidak ada yang bersuara, suasana tampak hening, hanya ada suara desiran angin, dan suara tawa dari beberapa anak yang saling bersahutan dari kejauhan. Vale sendiri tampak fokus menatap ke arah beberapa anak di depan sana, bibirnya melengkung, membentuk senyuman yang jarang sekali ia tonjolkan. Sandro yang memperhatikan hal itu merasa semakin canggung, dia bingung harus berbuat apa, selain belum mengenal perempuan di sampingnya, dia juga masih terbayang hal tidak mengenakan yang pernah menimpa keduanya. Jangan kira Vale tidak sadar akan hal tersebut, justru perempuan itu cukup peka, dan apa yang dilakukannya saat itu sudah termasuk kedalam rencana, “Kenapa ngelihatinya kayak gitu? Ada yang aneh ya?!”Bak maling yang tertangkap basah, detik itu juga Sandro langsung memalingkan pandangan, dia menggaruk tengkuknya dengan canggung,
Dorr!!Dor!!Dor!!“Nyonya Elena! Mau kabur kemana lagi, Anda!” “Serahkan diri Anda! Percuma saja Anda mau lari, kami sudah mengepung setiap sudut hutan ini!” Suara itu menggelegar, memecah kesunyian malam yang mencekam. Tembakan demi tembakan terus terdengar, menghancurkan ketenangan langit malam, mengubahnya menjadi kepulan asap tak karuan. Namun, hal tersebut tak sedikitpun membuat seorang wanita bergaun putih selutut, dengan perut yang sudah membesar untuk terus berlari di bawah kanopi hutan yang gelap, meskipun kini nafasnya terdengar semakin berat, di tengah teriknya malam.“Shit! Akhhh” Sesekali dia mendesah, tatkala tanpa sengaja duri yang tajam menggores kulit putihnya, membuat darah segar mengucur tanpa bisa ditahan, tetapi itu sama sekali tak membunuh tekadnya untuk terus menyelinap di antara semak belukar, dan akar pohon yang menjulur, berusaha keras untuk menghindari peluru yang mengintai dari arah belakang.Suara gemericik daun dan ranting yang patah di bawah kaki,
Perlahan, dia mulai membuka kedua pahanya, lebar, mencari posisi yang paling nyaman di tengah penderitaan yang luar biasa. Kakinya ikut gemetar saat lututnya mulai terangkat, membuka jalan bagi kehidupan baru yang sedang berjuang untuk keluar. Matanya terpejam, menahan perih dan nyeri yang seolah-olah menguasai seluruh tubuh. Dia merasa begitu rapuh, namun kekuatan dalam dirinya terus mendorongnya untuk bertahan, guna melawan rasa takut dan rasa sakit yang menyiksa. Dengan tangan gemetar, dia meraba perutnya yang semakin keras, menyadari apa yang terjadi. Rasa takut menyelimutinya, tapi tubuhnya tak memberi ruang untuk berpikir jernih. "Sayang,” bisiknya dengan terus mengelus perut penuh kasih sayang. "Kamu harus bisa ya! Kita akan hadapi ini bersama-sama.” Elena kembali mengerang kesakitan, seluruh tubuhnya tegang saat kontraksi semakin kuat mengguncang tubuh. Dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki, wanita itu berusaha kuat mengangkat tubuh bagian atasnya, otot-otot di perutnya
Motor hitam besar melaju kencang, menggema di malam yang tenang. Vale, perempuan tersebut mengendalikan kendaraannya dengan cekatan, mengarahkan arah menuju sebuah rumah terpencil di pinggiran kota. Setibanya di sana, ia memarkirkan motornya di halaman depan yang gelap dan sepi. Rumah itu berdiri megah namun terasa suram, seakan menyimpan banyak rahasia di dalamnya.“I'm back!” Matanya memincing tajam, menatap rumah di hadapannya dengan seriangain khas yang tak pernah terlewatkan, kemudian dia melepas helm, lantas turun dari motor dan mulai berjalan menuju halaman belakang rumah. Tidak ada siapa-siapa di sana, semua tampak kosong, hanya ada hamparan tanah lapang yang hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar. Ketika ia melangkah lebih jauh, suasana tiba-tiba terasa mencekam. Suara deru angin seolah mengaburkan segala sesuatu di sekelilingnya.Tanpa peringatan, Vale merasakan gerakan cepat dari belakangnya. Instinctnya yang terlatih membuatnya langsung berbalik, menghadapi seranga
Sebuah tangan kekar terulur perlahan, mengangkat sebuah foto usang yang selalu ia simpan di samping tempat tidur. Kedua bola mata yang biasanya tajam dan menghunus itu seketika layu saat menatap seulas senyum hangat yang tak lagi mampu ia temui. Waktu seolah berhenti.Jemarinya menyentuh lembut permukaan foto itu, seakan ingin menyentuh kembali kenangan yang tak tergapai. Di dalam dadanya, kerinduan dan penyesalan bercampur menjadi satu, menyesakkan tanpa henti.Tatapannya terhenti di wajah wanita dalam foto tersebut, satu-satunya alasan ia pernah merasa pulang. "Andai aku bisa memperbaiki semuanya..." bisiknya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung.Tiba-tiba saja, sebuah tangan dengan jemari yang lentik ikut menyentuh ujung foto tersebut, membuatnya tersadar dari lamunan panjang. “Dia sangat cantik!” Pria itu menoleh, seulas senyum langsung terbentuk meksi sangat tipis saat mendapati sosok gadis yang kini sudah berdiri tepat di sampingnya, menatap foto y
Vale melempar senyuman canggung ke arah Sandro, begitu pula sebaliknya, sebelum keduanya sama-sama duduk diatas bangku taman dibawah pohon rindang. Awalnya tidak ada yang bersuara, suasana tampak hening, hanya ada suara desiran angin, dan suara tawa dari beberapa anak yang saling bersahutan dari kejauhan. Vale sendiri tampak fokus menatap ke arah beberapa anak di depan sana, bibirnya melengkung, membentuk senyuman yang jarang sekali ia tonjolkan. Sandro yang memperhatikan hal itu merasa semakin canggung, dia bingung harus berbuat apa, selain belum mengenal perempuan di sampingnya, dia juga masih terbayang hal tidak mengenakan yang pernah menimpa keduanya. Jangan kira Vale tidak sadar akan hal tersebut, justru perempuan itu cukup peka, dan apa yang dilakukannya saat itu sudah termasuk kedalam rencana, “Kenapa ngelihatinya kayak gitu? Ada yang aneh ya?!”Bak maling yang tertangkap basah, detik itu juga Sandro langsung memalingkan pandangan, dia menggaruk tengkuknya dengan canggung,
Di balik dedaunan rimbun, Vale masih setia mengamati beberapa anak kecil yang tampak asik berlarian di sebuah taman yang berada tak jauh dari sebuah gedung yang menjulang tinggi.“Mereka sangat lucu,” katanya dengan menarik tinggi sebelah bibirnya, “Sama seperti perannya yang akan membawaku kedalam hubungan yang indah.” “Gue udah selesai, sekarang apa yang akan lo lakuin ke mereka?” Vale menoleh, tatapannya terus bergerak ke atas hingga kebawah, menelisik pakaian Vincent yang baginya tidak tepat di situasi saat ini, beruntung dia sudah menyiapkan semuanya. Dia mengambil sebuah paper bag yang semua ia bawa. “Ganti baju lo dengan ini dan tampil menarik didepan anak-ank itu.”“M-makBaru saja Vincent hendak membuka suara Vale sudah lebih dulu memotongnya. “Lakuin apa yang gue mau, Vincent!” Entah sudah untuk yang keberapa kalinya Vincent hanya mampu berdecak, tetapi tak urung ia tetap menerima pemberian Vale meski dengan kasar, lantas tanpa permisi langsung beranjak pergi. Vale se
“Siapa wanita ini?” Vale, dengan tatapannya yang tampak begitu menyala penuh amarah, dia terus menatap beberapa lembar cetak foto yang kini berserakan diatas meja. “Dia adalah Maria, sejauh ini yang kita tahu, dia adalah wanita yang akan menjadi tunangan Sandro, dan acara pertunangan tersebut akan berlangsung minggu depan.” “Brengsek!” Nafas Vale memburu secara tiba-tiba, otot-otot di tangannya terlihat begitu menonjol tatkala sebelah tangannya meremas satu foto yang memperlihatkan dua manusia berbeda gender tersebut tengah berciuman mesra.Detik berikutnya perempuan itu sedikit mendongak, menatap beberapa orang yang masih setia berdiri di hadapannya. “Cari tahu lebih dalam mengenai wanita ini, jangan biarkan dia mempersulit rencanaku untuk kedepannya!” “Baiklah, akan kami lakukan,“ jawab salah satu darii pria bertubuh tegap dengan pakaian rapi serba hitam tersebut, sebelum kemudian mereka semua bergegas pergi meninggalkan Vale dengan dua orang yang sedari tadi hanya diam di bela
BRUKK“Argh! stt!” Suara yang terdengar begitu nyaring, disusul suara rintihan tersebut membuat Sandro reflek menarik tubuhnya dari Maria, tak peduli dengan sang wanita yang langsung berdecak kesal, pria itu tetap berlari untuk menuju ke depan ruangan.Matanya membola tatkala mendapati salah seorang staf tersungkur di atas lantai dengan beberapa lembar dokumen yang berserakan. Tanpa pikir panjang pria itu ikut duduk hanya untuk membantu mengumpulkan beberapa dokumen. “Maaf, saya tidak sengaja, Pak! Kaki saya tiba-tiba keseleo dan semua dokumen ini jatuh.” katanya begitu lirih, dia menunduk dalam-dalam, tak berani menatap sang atasan.“It’s okay, lain kali hati-hati,” balas Sandro tersenyum ramah, dia mengulurkan beberapa berkas yang ia kumpulakan, dan langsung diterima oleh si perempuan.“Halah, kamu cuma alasan kan? Kamu pasti ngintip aku sama Sandro kan?” Dari dalam ruangan Maria melangkah mendekat, dia bersedekap dada dengan tatapannya yang tidak ramah.“Maria, tolong jaga bicar
Dengan duduk di atas pangkuan sang pria yang masih sibuk dengan layar laptop di hadapannya, Maria tampak berusaha menarik perhatiannya. Jari-jarinya yang lentik memainkan kerah kemeja pria itu dengan lembut, mencoba mengalihkan fokusnya. Namun, alih-alih terganggu, pria itu hanya mengangkat sebelah alis sambil melirik sekilas, senyum tipis menghiasi wajahnya."Kalau kamu terus begini, pekerjaanku nggak akan selesai," gumam pria itu, nada suaranya terdengar datar, meskipun bibirnya terlihat sedikit membentuk lengkungan ke atas. Maria hanya tertawa kecil, memiringkan kepala untuk menatapnya lebih dekat. "Siapa suruh kamu lebih sibuk sama pekerjaan daripada aku?" katanya dengan nada manja, seolah menuntut perhatian penuh darinya."Lagi pula kamu kerja terus! Nggak bosan apa?!” Tambah Maria, suaranya lembut namun memaksa.Pria itu mendesah panjang, berusaha menahan rasa jengah yang mulai mendidih di dadanya. "Maria, ayolah … aku sedang sibuk," jawabnya singkat, tanpa menoleh.Namun, Mari
BRAKK!Meja kayu itu berguncang hebat, bahkan gelas di atasnya nyaris jatuh. Ton menatap lurus ke arah depan, nafasnya memburu seolah mencoba menahan sesuatu yang hendak meledak."Jadi, anak itu masih hidup?" Suaranya berat, nyaris seperti geraman.Dia berbalik dengan gerakan tiba-tiba, matanya menyalak tajam, memindai satu per satu wajah pucat para anak buahnya yang kini tidak berani menatap langsung ke arahnya. Salah seorang dari mereka menelan ludah, terlihat gemetar di sudut ruangan.Ton berjalan mendekat, langkahnya berat, setiap hentakan sepatu menciptakan gema di ruangan itu. "Kalian ... semua ini hanya sekumpulan pecundang!" Katanya sambil menunjuk mereka dengan telunjuknya, tangan kirinya mengepal hingga uratnya terlihat.“Bukankah waktu itu aku sudah menyuruhmu memastikan semuanya,” Ton selangkah lebih maju, pandangannya semakin tajam pada sosok pria yang kini hanya bisa menunduk. “Tapi bagaimana bisa dia masih hidup sekarang, jawab aku!” Tak lagi bisa membendung amarahnya,
“Sayang!”Suara teriakan yang cukup memekakkan indra pendengaran tersebut, berhasil memaksa tubuh Sandro untuk berhenti sejenak. Pria itu langsung memejamkan mata, seolah mencari ketenangan di balik gelapnya kelopak. Sebuah helaan nafas panjang meluncur perlahan dari bibirnya, membawa sedikit beban yang mengganjal. Ketika matanya terbuka kembali, senyuman tipis langsung menghiasi wajah, tak sepenuhnya tulus, namun cukup untuk menyembunyikan keresahan di hati. Lantas dengan gerakan tenang, ia berbalik, bersiap menghadapi sosok yang tak lagi asing baginya.“Say–”Belum sempat Sandro menyelesaikan ucapannya, sosok perempuan pemilik tubuh bak gitar spanyol, dengan lekuk sempurna dan proporsi yang memukau, serta jangan lupakan bentuk bahu yang ramping saat menopang tubuh jenjangnya dengan percaya diri, sementara pinggangnya yang melengkung halus menyambut pinggul yang membentuk siluet mengagumkan. Dialah Maria, tanpa perlu aba-aba perempaun tersebut kembali berlarian kecil, dan langsung
“Dia udah pergi” Masih dengan suaranya yang terdengar begitu datar, bahkan kali ini sarat akan kekesalan, juga berulang kali pula pria itu terdengar menghela nafas berat.“Cepetan lo buka mata lo dan kita cabut dari sini!” Detik itu juga Vale langsung menyingkap selimut dari wajahnya, dia menatap Vincent dengan seringaian khas yang tampak begitu menawan, tetapi juga mematikan dalam satu waktu. “Gimana? Keren kan sandiwara gue?!” Perempuan itu menaik turunkan alisnya secara bergantian, tetapi sialnya bukan menjawab Vincent justru langsung beranjak tanpa sepatah katapun.Vale, dia sendiri hanya mengedikkan bahu, tidak heran juga tidak peduli dengan sikap rekannya tersebut, sebab selain terbiasa menghadapi Vincent, dia juga tergolong sosok yang tak mementingkan pengakuan orang lain. Akhirnya, setelah menarik napas panjang, perempuan itu segera bangkit, dan melangkah dengan tegas, Dia mempercepat langkah, menyelaraskan diri dengan Vincent yang sudah lebih dulu berjalan dengan langkah
“Argh”Bersamaan dengan suara rintihan yang keluar di antara kedua bibir ranumnya, tangan Vale bergerak menyentuh kepala. Sejenak mengalihkan keheningan yang menjeda, di antara ketiganya.“Vale, mana yang sakit?” Dengan langkah lebarnya Vincent mendekat dan kembali berdiri di sisi ranjang, seketika wajahnya langsung pucat pasi.Akan tetapi belum sempat tangan pria itu bergerak untuk menyentuh tubuh si perempuan Sandro sudah lebih dulu melakukannya.“Kamu tunggu sini ya! Aku panggilin dokter!” ucapnya dengan nada cemas, matanya tak berpaling darinya, memastikan dia tetap aman. Sandro siap berbalik, tetapi tiba-tiba ia merasakan cengkeraman tangan perempuan itu, kuat namun gemetar, menahan pergerakannya.“Nggak usah! Aku fine.” Vale tampak mengulum senyum, sekaan ingin meyakinkan pria dihadapannya. Sandro pun menurut dan kembali berbalik badan, menatap si perempuan sepenuhnya.“Tolong jelasin, kamu siapa? Dan…” Ucapan Vale terjeda, kepala perempuan itu bergerak, seakan ingin menelisik