Home / CEO / Revenge In Love / Chapter 01

Share

Revenge In Love
Revenge In Love
Author: Beruang Alaska

Chapter 01

Dorr!!

Dor!!

Dor!!

“Nyonya Elena! Mau kabur kemana lagi, Anda!” 

“Serahkan diri Anda! Percuma saja Anda mau lari, kami sudah mengepung setiap sudut hutan ini!” 

Suara itu menggelegar, memecah kesunyian malam yang mencekam. Tembakan demi tembakan terus terdengar, menghancurkan ketenangan langit malam, mengubahnya menjadi kepulan asap tak karuan. 

Namun, hal tersebut tak sedikitpun membuat seorang wanita bergaun putih selutut, dengan perut yang sudah membesar untuk terus berlari di bawah kanopi hutan yang gelap, meskipun kini nafasnya terdengar semakin berat, di tengah teriknya malam.

“Shit! Akhhh” 

Sesekali dia mendesah, tatkala tanpa sengaja duri yang tajam menggores kulit putihnya, membuat darah segar mengucur tanpa bisa ditahan, tetapi itu sama sekali tak membunuh tekadnya untuk terus  menyelinap di antara semak belukar, dan akar pohon yang menjulur, berusaha keras untuk menghindari peluru yang mengintai dari arah belakang.

Suara gemericik daun dan ranting yang patah di bawah kaki, menyatu dengan dentuman tembakan, menciptakan simfoni chaos yang membuatnya semakin cemas. Setiap langkah terasa lebih berat, dan rasa nyeri di perutnya semakin mengganggu saat dia berusaha mencapai tempat perlindungan. Dalam kegelapan, dia hanya bisa berharap bahwa hutan akan menyembunyikannya cukup lama untuk merencanakan langkah selanjutnya.

Elena memutuskan untuk beristirahat sejenak, saat tiba-tiba perutnya terasa tidak nyaman, dengan bersandar di pohon yang rindang, dia mengusap perut itu penuh belas kasihan. 

“Sayang, kamu bertahan ya! Mama akan selalu jaga kamu sampai tetes darah terakhir mama.” Suara tersebut terdengar cukup pilu.

“Elena, serahkan anak itu!”

Kedua bola mata Elena sontak membola sempurna, urat-urat di tubuhnya terasa menegang, juga jangan lupakan bulu kudungnya yang  turut meremang secara bersamaan, tentu saja ia sangat mengenali suara itu meski hanya samar-samar masuk ke dalam gendang telinganya. 

Dengan susah payah Elena bergegas bangkit, berniat untuk kembali berlari. Naasnya saat baru saja mulai melangkah, kakinya justru salah mengambil pijakan, membuatnya merosot jatuh kedalam jurang.

“Argh!”

Ellena memekik tanpa bisa ditahan, suara nyaring itu menggema di antara pohon-pohon besar,  memecah keheningan hutan.

Beruntung, tangan Elena yang gemetar berhasil meraih akar panjang yang menjuntai ke bawah, kulitnya terasa terbakar saat menyentuh permukaan kasar akar tersebut. Dia menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit yang semakin menusuk di perut, Nafasnya terengah, setiap tarikan nafas seperti menyisipkan pecahan kaca ke dalam paru-paru.

Dia sadar,  jika kram yang kini menjalar di sepanjang tubuhnya bukan lagi sekadar akibat kelelahan, dan dia cukup yakin, jika bayi dalam perutnya kini hampir tiba, mengingat  usia kehamilannya sudah memasuki usia yang  seharusnya.

“Elena! Aku tahu itu kamu! Kamu gak akan bisa sembunyi dariku!” Suara berat penuh amarah ikut membelah udara, terdengar mendekat, dan bergaung di atas kepalanya. 

Jantung Elena berdegup begitu kencang, seolah siap melompat keluar dari dadanya. Ketika dia mendongak, pandangannya tertuju pada sekumpulan pria berbaju serba hitam yang berdiri di atas tebing, tepat di tempat suara itu berasal. Kegelapan pakaian mereka seakan menyatu dengan bayang-bayang pepohonan, membuat mereka tampak lebih mengancam. 

Tanpa sadar, Elena membekap mulutnya sendiri, menahan napas agar suara takutnya tak terdengar. Keringat dingin mengalir di pelipis, matanya yang besar dan penuh ketakutan bergerak liar guna mencari jalan keluar. Di tengah ketakutan yang menghimpit, dia tahu satu hal pasti, dia harus bertahan, untuk dirinya dan untuk bayi yang ada dalam kandungannya.

"Keparat!" 

Pria itu mengumpat keras, suaranya menggema di antara pepohonan, membuat burung-burung terbang ketakutan. Dengan satu gerakan kasar, dia mengayunkan tinjunya ke batang pohon terdekat, memukulnya dengan keras hingga suara retakan kayu terdengar. Gema pukulan itu seolah merambat ke dalam dada Elena, membuatnya menahan napas semakin erat.

“Kita pergi dari sini! Telusuri terus hutan ini, dan bunuh saja berand*al brengs*ek yang sudah berani membawa kabur anakku itu.”

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, akhirnya Elena bisa menghembuskan nafas, meski belum sepenuhnya lega, saat menyadari segerombolan pria itu mulai menjauh dari tempatnya berada.

Dia menunduk ke bawah, mencoba mengukur kedalaman jurang yang bisa kapan saja mengancam nyawanya. Setelah memastikan dengan cermat, secara perlahan dia mulai turun menggunakan ranting sebagai pegangan, hingga akhirnya sampai di dasar jurang.

Elena terus mencoba untuk menarik napas dalam-dalam, tetapi udara tipis di dasar jurang terasa begitu menyesakkan. Setiap langkah terasa seperti beban yang menghantam tulang-tulangnya. 

Perutnya semakin bergejolak hebat, seolah ada pisau yang perlahan merobek dari dalam. Hingga akhirnya, dia jatuh berlutut, satu tangan meremas tanah yang dingin dan lembab, sementara yang lain memegangi perutnya yang seolah menyimpan badai kematian.

Keringat dingin terus mengalir di wajahnya, menetes di atas tanah yang keras dan berkerikil. Tubuhnya menggigil hebat, bukan hanya karena rasa dingin yang merasuk hingga tulang, tetapi juga karena rasa sakit yang tak semakin tak tertahankan. 

“Nggak, Elena! Kamu nggak boleh nyerah!” Dia mencoba bangkit, tetapi kakinya justru gemetar,  seakan telah menolak untuk menahan beban tubuhnya yang mulai melemah.

“Argh … Sakit!” 

Rasa sakit itu datang dalam gelombang mencekam, membuatnya mengerang tanpa bisa ditahan. Perlahan dia merangkak, mencoba mencari tempat yang lebih aman. Namun, setiap gerakan justru  membuat perutnya semakin terasa seperti akan meledak. 

Matanya berkabut, fokusnya kabur, tetapi tekadnya untuk menemukan sedikit kenyamanan tetap kuat. Tangannya meraba-raba, mencari apa saja yang bisa digunakannya sebagai sandaran, tetapi yang ada hanya ranting-ranting rapuh dan batu-batu tajam.

"Di sana!" gumamnya begitu lirih.

Akhirnya, dia menemukan celah di antara dua batu besar, cukup untuknya bersandar dan menahan diri dari rasa sakit yang terus mencabik-cabik tubuhnya. Dengan susah payah, dia meletakkan punggungnya pada batu yang kasar, sementara kedua tangannya memegangi perutnya yang berdenyut menyakitkan. Setiap detik terasa seperti hukuman, setiap nafas seperti api yang membakar tenggorokannya. 

“Sayang, ini mama. Kamu udah nggak sabar mau  ketemu sama mama, ya?” Dia tertawa kecil, berusaha menghibur hati yang dipenuhi rasa tak pasti.

Detik berikutnya, menatap langit yang nyaris tak terlihat dari dasar jurang itu, berharap ada keajaiban yang datang untuk menghentikan penderitaannya. Namun, hanya kegelapan yang menjawab, menyelimuti dirinya dalam kesendirian dan rasa sakit yang tiada henti.

"Sampai kapan aku harus terus seperti ini?" bisik Elena, suaranya hampir tak terdengar. Kesenangan yang ia coba ciptakan lenyap seketika,  "Aku lelah ... sangat lelah. Jika ini hukuman, kapan akan berakhir? Atau ... memang aku tak pantas mendapat belas kasih?"

Dia menarik napas panjang, berusaha menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Akan tetapi, sekuat apapun ia mencoba, akhirnya kalah juga, kini air mata  mengalir tanpa bisa ditahan, isakan-isakan kecil  terdengar begitu menyesakkan, tak pernah terbayang sebelumnya, dia akan berada dalam situasi seperti saat ini.

"Apakah aku benar-benar harus menyerah?" tanyanya pada diri sendiri, nadanya bergetar antara putus asa dan keinginan untuk bertahan. "Tuhan ... jika Kau mendengarkan, beri aku tanda ... apa pun ... aku mohon..."

Namun, sekali lagi, hanya keheningan yang menjawab, meninggalkan Elena dalam gelap yang semakin pekat, dengan harapan yang semakin menipis.

Tak ada lagi yang mampu Elena lakukan, kecuali menutup mata dengan kuat, berusaha mengatasi gelombang rasa sakit yang semakin menggila setiap detik. Rasa sakit di perutnya berubah menjadi kontraksi yang semakin intens, menghempaskan tubuhnya hingga merosot ke tanah yang dingin dan keras.

Dia mencoba menarik napas dalam-dalam, namun rasa sakit itu terlalu hebat, seolah merenggut setiap kemampuan untuk berpikir selain dari bertahan. Keringat bercampur darah mulai mengalir di antara pahanya, bukti bahwa bayi itu tak bisa menunggu lebih lama lagi.

“Inikah saatnya?”

******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status