Dorr!!
Dor!! Dor!! “Nyonya Elena! Mau kabur kemana lagi, Anda!” “Serahkan diri Anda! Percuma saja Anda mau lari, kami sudah mengepung setiap sudut hutan ini!” Suara itu menggelegar, memecah kesunyian malam yang mencekam. Tembakan demi tembakan terus terdengar, menghancurkan ketenangan langit malam, mengubahnya menjadi kepulan asap tak karuan. Namun, hal tersebut tak sedikitpun membuat seorang wanita bergaun putih selutut, dengan perut yang sudah membesar untuk terus berlari di bawah kanopi hutan yang gelap, meskipun kini nafasnya terdengar semakin berat, di tengah teriknya malam. “Shit! Akhhh” Sesekali dia mendesah, tatkala tanpa sengaja duri yang tajam menggores kulit putihnya, membuat darah segar mengucur tanpa bisa ditahan, tetapi itu sama sekali tak membunuh tekadnya untuk terus menyelinap di antara semak belukar, dan akar pohon yang menjulur, berusaha keras untuk menghindari peluru yang mengintai dari arah belakang. Suara gemericik daun dan ranting yang patah di bawah kaki, menyatu dengan dentuman tembakan, menciptakan simfoni chaos yang membuatnya semakin cemas. Setiap langkah terasa lebih berat, dan rasa nyeri di perutnya semakin mengganggu saat dia berusaha mencapai tempat perlindungan. Dalam kegelapan, dia hanya bisa berharap bahwa hutan akan menyembunyikannya cukup lama untuk merencanakan langkah selanjutnya. Elena memutuskan untuk beristirahat sejenak, saat tiba-tiba perutnya terasa tidak nyaman, dengan bersandar di pohon yang rindang, dia mengusap perut itu penuh belas kasihan. “Sayang, kamu bertahan ya! Mama akan selalu jaga kamu sampai tetes darah terakhir mama.” Suara tersebut terdengar cukup pilu. “Elena, serahkan anak itu!” Kedua bola mata Elena sontak membola sempurna, urat-urat di tubuhnya terasa menegang, juga jangan lupakan bulu kudungnya yang turut meremang secara bersamaan, tentu saja ia sangat mengenali suara itu meski hanya samar-samar masuk ke dalam gendang telinganya. Dengan susah payah Elena bergegas bangkit, berniat untuk kembali berlari. Naasnya saat baru saja mulai melangkah, kakinya justru salah mengambil pijakan, membuatnya merosot jatuh kedalam jurang. “Argh!” Ellena memekik tanpa bisa ditahan, suara nyaring itu menggema di antara pohon-pohon besar, memecah keheningan hutan. Beruntung, tangan Elena yang gemetar berhasil meraih akar panjang yang menjuntai ke bawah, kulitnya terasa terbakar saat menyentuh permukaan kasar akar tersebut. Dia menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit yang semakin menusuk di perut, Nafasnya terengah, setiap tarikan nafas seperti menyisipkan pecahan kaca ke dalam paru-paru. Dia sadar, jika kram yang kini menjalar di sepanjang tubuhnya bukan lagi sekadar akibat kelelahan, dan dia cukup yakin, jika bayi dalam perutnya kini hampir tiba, mengingat usia kehamilannya sudah memasuki usia yang seharusnya. “Elena! Aku tahu itu kamu! Kamu gak akan bisa sembunyi dariku!” Suara berat penuh amarah ikut membelah udara, terdengar mendekat, dan bergaung di atas kepalanya. Jantung Elena berdegup begitu kencang, seolah siap melompat keluar dari dadanya. Ketika dia mendongak, pandangannya tertuju pada sekumpulan pria berbaju serba hitam yang berdiri di atas tebing, tepat di tempat suara itu berasal. Kegelapan pakaian mereka seakan menyatu dengan bayang-bayang pepohonan, membuat mereka tampak lebih mengancam. Tanpa sadar, Elena membekap mulutnya sendiri, menahan napas agar suara takutnya tak terdengar. Keringat dingin mengalir di pelipis, matanya yang besar dan penuh ketakutan bergerak liar guna mencari jalan keluar. Di tengah ketakutan yang menghimpit, dia tahu satu hal pasti, dia harus bertahan, untuk dirinya dan untuk bayi yang ada dalam kandungannya. "Keparat!" Pria itu mengumpat keras, suaranya menggema di antara pepohonan, membuat burung-burung terbang ketakutan. Dengan satu gerakan kasar, dia mengayunkan tinjunya ke batang pohon terdekat, memukulnya dengan keras hingga suara retakan kayu terdengar. Gema pukulan itu seolah merambat ke dalam dada Elena, membuatnya menahan napas semakin erat. “Kita pergi dari sini! Telusuri terus hutan ini, dan bunuh saja berand*al brengs*ek yang sudah berani membawa kabur anakku itu.” Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, akhirnya Elena bisa menghembuskan nafas, meski belum sepenuhnya lega, saat menyadari segerombolan pria itu mulai menjauh dari tempatnya berada. Dia menunduk ke bawah, mencoba mengukur kedalaman jurang yang bisa kapan saja mengancam nyawanya. Setelah memastikan dengan cermat, secara perlahan dia mulai turun menggunakan ranting sebagai pegangan, hingga akhirnya sampai di dasar jurang. Elena terus mencoba untuk menarik napas dalam-dalam, tetapi udara tipis di dasar jurang terasa begitu menyesakkan. Setiap langkah terasa seperti beban yang menghantam tulang-tulangnya. Perutnya semakin bergejolak hebat, seolah ada pisau yang perlahan merobek dari dalam. Hingga akhirnya, dia jatuh berlutut, satu tangan meremas tanah yang dingin dan lembab, sementara yang lain memegangi perutnya yang seolah menyimpan badai kematian. Keringat dingin terus mengalir di wajahnya, menetes di atas tanah yang keras dan berkerikil. Tubuhnya menggigil hebat, bukan hanya karena rasa dingin yang merasuk hingga tulang, tetapi juga karena rasa sakit yang tak semakin tak tertahankan. “Nggak, Elena! Kamu nggak boleh nyerah!” Dia mencoba bangkit, tetapi kakinya justru gemetar, seakan telah menolak untuk menahan beban tubuhnya yang mulai melemah. “Argh … Sakit!” Rasa sakit itu datang dalam gelombang mencekam, membuatnya mengerang tanpa bisa ditahan. Perlahan dia merangkak, mencoba mencari tempat yang lebih aman. Namun, setiap gerakan justru membuat perutnya semakin terasa seperti akan meledak. Matanya berkabut, fokusnya kabur, tetapi tekadnya untuk menemukan sedikit kenyamanan tetap kuat. Tangannya meraba-raba, mencari apa saja yang bisa digunakannya sebagai sandaran, tetapi yang ada hanya ranting-ranting rapuh dan batu-batu tajam. "Di sana!" gumamnya begitu lirih. Akhirnya, dia menemukan celah di antara dua batu besar, cukup untuknya bersandar dan menahan diri dari rasa sakit yang terus mencabik-cabik tubuhnya. Dengan susah payah, dia meletakkan punggungnya pada batu yang kasar, sementara kedua tangannya memegangi perutnya yang berdenyut menyakitkan. Setiap detik terasa seperti hukuman, setiap nafas seperti api yang membakar tenggorokannya. “Sayang, ini mama. Kamu udah nggak sabar mau ketemu sama mama, ya?” Dia tertawa kecil, berusaha menghibur hati yang dipenuhi rasa tak pasti. Detik berikutnya, menatap langit yang nyaris tak terlihat dari dasar jurang itu, berharap ada keajaiban yang datang untuk menghentikan penderitaannya. Namun, hanya kegelapan yang menjawab, menyelimuti dirinya dalam kesendirian dan rasa sakit yang tiada henti. "Sampai kapan aku harus terus seperti ini?" bisik Elena, suaranya hampir tak terdengar. Kesenangan yang ia coba ciptakan lenyap seketika, "Aku lelah ... sangat lelah. Jika ini hukuman, kapan akan berakhir? Atau ... memang aku tak pantas mendapat belas kasih?" Dia menarik napas panjang, berusaha menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Akan tetapi, sekuat apapun ia mencoba, akhirnya kalah juga, kini air mata mengalir tanpa bisa ditahan, isakan-isakan kecil terdengar begitu menyesakkan, tak pernah terbayang sebelumnya, dia akan berada dalam situasi seperti saat ini. "Apakah aku benar-benar harus menyerah?" tanyanya pada diri sendiri, nadanya bergetar antara putus asa dan keinginan untuk bertahan. "Tuhan ... jika Kau mendengarkan, beri aku tanda ... apa pun ... aku mohon..." Namun, sekali lagi, hanya keheningan yang menjawab, meninggalkan Elena dalam gelap yang semakin pekat, dengan harapan yang semakin menipis. Tak ada lagi yang mampu Elena lakukan, kecuali menutup mata dengan kuat, berusaha mengatasi gelombang rasa sakit yang semakin menggila setiap detik. Rasa sakit di perutnya berubah menjadi kontraksi yang semakin intens, menghempaskan tubuhnya hingga merosot ke tanah yang dingin dan keras. Dia mencoba menarik napas dalam-dalam, namun rasa sakit itu terlalu hebat, seolah merenggut setiap kemampuan untuk berpikir selain dari bertahan. Keringat bercampur darah mulai mengalir di antara pahanya, bukti bahwa bayi itu tak bisa menunggu lebih lama lagi. “Inikah saatnya?” ******Perlahan, dia mulai membuka kedua pahanya, lebar, mencari posisi yang paling nyaman di tengah penderitaan yang luar biasa. Kakinya ikut gemetar saat lututnya mulai terangkat, membuka jalan bagi kehidupan baru yang sedang berjuang untuk keluar. Matanya terpejam, menahan perih dan nyeri yang seolah-olah menguasai seluruh tubuh. Dia merasa begitu rapuh, namun kekuatan dalam dirinya terus mendorongnya untuk bertahan, guna melawan rasa takut dan rasa sakit yang menyiksa. Dengan tangan gemetar, dia meraba perutnya yang semakin keras, menyadari apa yang terjadi. Rasa takut menyelimutinya, tapi tubuhnya tak memberi ruang untuk berpikir jernih. "Sayang,” bisiknya dengan terus mengelus perut penuh kasih sayang. "Kamu harus bisa ya! Kita akan hadapi ini bersama-sama.” Elena kembali mengerang kesakitan, seluruh tubuhnya tegang saat kontraksi semakin kuat mengguncang tubuh. Dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki, wanita itu berusaha kuat mengangkat tubuh bagian atasnya, otot-otot di perutnya
Motor hitam besar melaju kencang, menggema di malam yang tenang. Vale, perempuan tersebut mengendalikan kendaraannya dengan cekatan, mengarahkan arah menuju sebuah rumah terpencil di pinggiran kota. Setibanya di sana, ia memarkirkan motornya di halaman depan yang gelap dan sepi. Rumah itu berdiri megah namun terasa suram, seakan menyimpan banyak rahasia di dalamnya.“I'm back!” Matanya memincing tajam, menatap rumah di hadapannya dengan seriangain khas yang tak pernah terlewatkan, kemudian dia melepas helm, lantas turun dari motor dan mulai berjalan menuju halaman belakang rumah. Tidak ada siapa-siapa di sana, semua tampak kosong, hanya ada hamparan tanah lapang yang hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar. Ketika ia melangkah lebih jauh, suasana tiba-tiba terasa mencekam. Suara deru angin seolah mengaburkan segala sesuatu di sekelilingnya.Tanpa peringatan, Vale merasakan gerakan cepat dari belakangnya. Instinctnya yang terlatih membuatnya langsung berbalik, menghadapi seranga
Sebuah tangan kekar terulur perlahan, mengangkat sebuah foto usang yang selalu ia simpan di samping tempat tidur. Kedua bola mata yang biasanya tajam dan menghunus itu seketika layu saat menatap seulas senyum hangat yang tak lagi mampu ia temui. Waktu seolah berhenti.Jemarinya menyentuh lembut permukaan foto itu, seakan ingin menyentuh kembali kenangan yang tak tergapai. Di dalam dadanya, kerinduan dan penyesalan bercampur menjadi satu, menyesakkan tanpa henti.Tatapannya terhenti di wajah wanita dalam foto tersebut, satu-satunya alasan ia pernah merasa pulang. "Andai aku bisa memperbaiki semuanya..." bisiknya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung.Tiba-tiba saja, sebuah tangan dengan jemari yang lentik ikut menyentuh ujung foto tersebut, membuatnya tersadar dari lamunan panjang. “Dia sangat cantik!” Pria itu menoleh, seulas senyum langsung terbentuk meksi sangat tipis saat mendapati sosok gadis yang kini sudah berdiri tepat di sampingnya, menatap foto y
Sesaat semuanya menjadi hening, tidak ada suara apapun kecuali hembusan nafas yang saling bersahutan antara kedua anak manusia berbeda gender tersebut. Hingga akhirnya Vale memilih untuk menoleh, menatap pria bertubuh tegap nan tinggi yang berada tepat di sampingnyaPandangannya terus bergerak, menelisik tubuh Vincent dari atas ke bawah, begitu terus hingga berulang kali. Si pria yang sadar akhirnya mendengus kesal, dia menoleh bertepatan dengan Vale yang menatap penuh ke wajahnya.“Apa?!” tanya pria itu ketus, bahkan tanpa menunggu jawaban si perempuan, dia langsung beranjak untuk duduk diatas sofa. “Lo nggak bosen disini terus?” Vale ikut bergerak, dan duduk di samping Vincent. Kedua bola matanya perlahan berputar menatap sekeliling mereka yang nyatanya tak sedikitpun berubah semenjak pertama kali mata mereka melihat tempat tersebut.“Nggak.” Singkat padat, juga tidak minat, begitulah kiranya cara Vincent menjawab, tangan pria itu bergerak pelan mengambil buku tebal yang semula te
Malam menyelimuti jalanan yang sunyi, hanya lampu-lampu kota yang temaram menemani sosok bermata biru layaknya lautan lepas tersebut untuk melaju di bawah langit pekat. Jemarinya erat menggenggam setir, sementara matanya fokus menembus bayang-bayang gelap yang terbentang di depan. Sesekali, bayangan pohon atau gedung tampak samar, melewati kaca sampingnya seperti bayang-bayang yang enggan beranjak.“Maria? Apakah aku benar-benar memiliki rasa padanya?” Pria itu bergumam lirih, berusaha mencari jawaban yang sampai detik ini belum ia temukan. “Jika iya, tapi kenapa rasanya biasa saja!” Dia mulai frustasi, tangannya bergerak kasar meraup wajahnya yang tampak kusut, hingga akhirnya helaan nafas berat ikut terhembuskan. “Dan jika tidak! Lalu seperti apa sebenarnya cinta itu?”“Ck!” Pria itu berdecak semakin kesal, dia memukul-mukulkan belakang kepalanya pada sandaran mobil, berharap dengan itu ia bisa berpikir lebih jernih. “Ayolah Sandro! Jangan bodoh.”Jalanan yang lengang membuat pria