Sebuah tangan kekar terulur perlahan, mengangkat sebuah foto usang yang selalu ia simpan di samping tempat tidur. Kedua bola mata yang biasanya tajam dan menghunus itu seketika layu saat menatap seulas senyum hangat yang tak lagi mampu ia temui. Waktu seolah berhenti.
Jemarinya menyentuh lembut permukaan foto itu, seakan ingin menyentuh kembali kenangan yang tak tergapai. Di dalam dadanya, kerinduan dan penyesalan bercampur menjadi satu, menyesakkan tanpa henti. Tatapannya terhenti di wajah wanita dalam foto tersebut, satu-satunya alasan ia pernah merasa pulang. "Andai aku bisa memperbaiki semuanya..." bisiknya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung. Tiba-tiba saja, sebuah tangan dengan jemari yang lentik ikut menyentuh ujung foto tersebut, membuatnya tersadar dari lamunan panjang. “Dia sangat cantik!” Pria itu menoleh, seulas senyum langsung terbentuk meksi sangat tipis saat mendapati sosok gadis yang kini sudah berdiri tepat di sampingnya, menatap foto yang sama dengan rasa ingin tahu. “Vale, sejak kapan kamu berdiri di sini?!” Vale, wanita pemilik mata tajam berwarna hazel tersebut, tak sedikitpun menggubris, justru dia tampak semakin lekat saat menatap sosok dalam foto tersebut. “Paman!” Sejenak gadis itu menoleh, menatap ke arah Lucas dengan senyum yang perlahan menggembang, senyuman yang sangat familiar, juga begitu mirip dengan wajah yang ada di foto. Bahkan tatapan matanya, sorot hangat dan penuh cinta, sama persis seperti sosok yang kini tak ada lagi diantara mereka. “Aku ingin mendengar lebih banyak tentangnya. Tolong berikan kesempatan itu untukku, meski dia telah tiada!” Namun, siapa sangka jika senyum yang jarang sekali gadis itu perlihatkan, berhasil membuat jantung Lucas berdegup tak karuan. Waktu seakan membawanya kembali pada sosok yang masih tetap abadi dalam hati dan pikiran. Meski suaranya terdengar parau, Lucas tetap berusaha membuka suara, memaksa isi pikirannya keluar meski terasa berat di tenggorokannya. “Iya, Paman akan segera menceritakan semuanya.” Perempuan di hadapannya itu, menatap sejenak ke arahnya, lalu kembali menunduk, memperhatikan foto di tangannya. "Dan, apa ibuku dulu juga sering tersenyum seperti ini?" Lucas mengangguk pelan, membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan sejenak, seolah tengah mengakui bahwa yang kini tersisa hanyalah kenangan. “Iya, dia selalu tersenyum seperti itu. Sejak kecil, senyuman itu tak pernah luntur,” ucap Lucas sambil tersenyum tipis, mengingat betapa cerianya gadis kecil yang dulu selalu bersamanya. Namun, kebahagiaan itu seketika seperti terhempas. Kedua matanya mulai berembun. Rahangnya mengeras, kilas balik kisah kelam kembali teringat. “Dia adalah perempuan yang begitu ceria … hingga akhirnya tipu daya cinta menghancurkan semuanya.” Lucas terdiam, menahan nafas yang tiba-tiba terasa berat. “Andai aku bisa menghapus semua luka itu, mengembalikan senyumnya yang hilang…” Genggamannya mengeras di foto yang dipegangnya, amarah dan kesedihan bercampur menjadi satu. “Pria itu benar-benar brengsek! Dia merenggut senyuman terakhirnya… dan aku tidak bisa melakukan apa-apa.” Suara Lucas semakin serak, hampir berbisik. “Maafkan aku … aku gagal menjagamu.” imbuhnya dan langsung membawa foto itu ke dalam dekapannya. Sementara itu, Vale yang sedari tadi mendengarkan perlahan mulai merasakan amarah yang membara dalam dadanya. Mata kecilnya kini memancarkan kemarahan yang mendalam. Jari-jari lentiknya mengepal sempurna membiarkan kuku panjangnya menusuk kedalam daging. "Pria itu benar-benar brengs*ek!" Suara Vale penuh tekad, tatapannya lurus ke depan dengan amarah yang berkibar dalam dada. "Aku nggak akan pernah biarin pria itu hidup tenang. Aku bersumpah akan memenggal kepalanya dengan tanganku sendiri." Lucas menepuk bahu sang keponakan tanpa ragu, senyuman tipis perlahan terbesit, "Jangan gegabah Vale," titahnya penuh penekanan, sebab dia lebih tahu siapa yang akan menjadi lawannya. "Tapi dia harus segera mendapat balasan," Vale mendesak, sorot matanya masih penuh kebencian. "Ibuku harus mendapat keadilan, dan pria itu tidak boleh hidup dengan tenang setelah membuat orang lain kehilangan nyawa. Nyawa harus dibalas dengan nyawa. Bukankah begitu, Paman?” Kali ini Lucas memilih untuk tidak menjawab, tetapi tatapan matanya tampak begitu dalam, menelisik setiap inci wajah Vale, sebelum akhirnya bertanya, "Apa kamu percaya jika cinta itu benar-benar ada?” Vale terkekeh, meski tatapan tajamnya tetap tak berubah. “Jika cinta benar-benar nyata, maka rasa itu hanya tumbuh untuk ibuku. Namun, kini ibu telah tiada. Dia pergi, bukan hanya membawa raganya, tetapi juga cinta yang Tuhan anugerahkan untuk anaknya.” Suara itu bergema dengan tegas, seolah apa yang diucapkan adalah sebuah keyakinan yang tak tergoyahkan. Setiap kata menusuk hati seseorang yang berdiri di balik tembok, menyaksikan percakapan itu dari kejauhan. Mendengar betapa dalamnya kebencian Vale, sosok itu langsung mengepalkan kedua tangan, merasakan perih dan tidak terima dengan ucapan yang ia dengar “Brengsek! Kalian semua, dasar brengsek!” gumamnya lirih, tak bisa menyembunyikan kekesalannya. “Sebelum mereka, aku pastikan aku dulu yang akan menghabisi nyawa kalian semua!” Namun, dalam kegugupannya, kakinya justru menendang sebuah tumpukan kardus di dekatnya. Suara bising itu seketika memecah keheningan, membuat Vale dan Lucas menoleh tajam ke arah asal suara. “Aku akan menceritakan semua tentangnya!” Kedua bola mata Vale berbinar cerah, seakan mendapatkan sesuatu yang telah lama ia nantikan. Namun, sebelum sempat ia melanjutkan, suara barang jatuh dari luar ruangan mengejutkan mereka. “Siapa di sana!” Refleks, Vale menarik senjata yang selalu ia simpan di balik pakaiannya, siap siaga. Sementara itu, Lucas hanya terkekeh geli, tak menyangka betapa miripnya keponakannya dengan dirinya. “Turunkan senjatamu!” Ucapan Lucas singkat dan padat, namun nadanya penuh wibawa, membuat Vale segera menuruti perintahnya. Lucas lalu menatap lurus ke arah pintu. “Masuklah, tak perlu bersembunyi di sana, atau Vale akan menghabisimu saat ini juga.” Tak lama kemudian, terdengar deheman singkat diikuti kemunculan seorang pria dari balik tembok. Ia menundukkan kepala dalam-dalam, seolah mengakui kesalahannya. Vale berdecak kesal begitu melihat siapa yang datang, sedangkan Lucas melangkah mendekat. Ia mengulurkan tangannya, mengangkat dagu pria itu, membuatnya mendongak dengan paksa. “Aku tidak pernah mengajarimu menundukkan kepala seperti itu. Jadi, siapa yang kau tiru?” Dia, Vincent. Pria itu segera mendongak, membalas tatapan tajam Lucas, lalu menggeleng pelan. “Tidak ada! Hanya saja sepertinya pembicaraan kalian tadi terlalu privasi, dan tidak sepantasnya aku sebagai orang lain untuk mendengarkannya.” Vale melotot, enggan menerima balasan tersebut, dengan mengambil langkah lebar, kini dia sudah berdiri di hadapan Vincent, dan jangan lupakan pistol yang kini sudah menodong kepala pria itu. Vake menyeringai, dia berjalan secara perlahan memutari tubuh Vincent dengan senjata yang menempel di kepala pria itu. “Paman, bagaimana jika aku menjadikan kepala pria ini sebagai permulaan.” Lucas tekrkeh, dia berjalan mundur lantas membanting tubuhnya di atas sofa yang berada di sudut ruangan. Sambil menyalakan rokok dia terus menatap interaksi dua sejoli di hadapannya. Ia yakin sang keponakan akan segera mengungkapkan apa yang ia pikirkan. “Vincent, lo bukan orang lain! Lo bagian dari kita! Lo saudara gue! Sekali lagi lo bilang lo orang lain, gue sendiri yang bakal luncurkan peluru ini ke kepala lo!” Vincent masih diam, tatapannya datar tatkala melirik ke arah Vale yang sudah berdiri tepat di sampingnya. “Vale bener! Di sini nggak ada orang lain! Kamu, Vale. Kalian itu sama! Dan kita adalah keluarga.” imbuh Lucas setelah menghembuskan kepulan asap rokok terakhir dan membuat batangnya ke sembarang arah. “Ayo ngomong sekali lagi! Gue lagi butuh percobaan soalnya.” Vincent menarik sudut bibirnya, menciptakan smirk yang penuh tantangan. Tanpa aba-aba, tanganya bergerak bagai kilat, menepis pistol tersebut dari tangan Vale hingga membentur dinding, dan langsung memelintir lengannya, menguncinya dengan cekatan. Ia mendekatkan wajah ke telinga si gadis, lalu berbisik tajam, "Coba aja kalau berani! Tapi sebelum itu, gue bakal lebih dulu matahin tangan lo Valentina Romano." Si gadis mendengus, matanya kembali menyala penuh kemarahan, tetapi dia tetap diam, menahan diri dari perlawanan. Lucas yang menyaksikan, hanya bisa menggeleng pelan, tak menyangka, bagaimana jika anak-anak kecil yang dulu suka bersembunyi di balik punggungnya, kini mereka tak hanya bisa mengintai, tetapi juga sudah berani menodongkan senjata. Namun, di detik berikutnya suasana lamgsung berubah, saat tiba-tiba ponsel Lucas berdering. Vincent segera melepaskan cengramannya, lantas kedua anak manusia tersebut saling melirik sebelum mendekati Lucas dengan ekspresinya yang tampak begitu serius. "Saya akan segera kesana!" Proa paruh baya itu menutup telepon, wajahnya berubah menjadi cukup serius, rahannya turut menengas, ditambah tatapannya yang begitu tajam. Dia menatap Vincent, juga Vale secara bergantian. Sementara yang ditatap hanya bisa diam, tak berani menyelak. "Markas BlackWood di Timur baru saja dibom oleh lawan." Ucap Lucas dingin, semua kata yang terlontar terdengar mengandung kemarahan, dan pastinya itu berhasil membuat empat bola mata lainnya terbuka sempurna. "Saya harus segera kesana. Dan untuk kalian, jangan pernah meninggalkan satu sama lain." imbuhnya, mantap, sebelum berjalan menjauh. "Aku ikut." Vale berlari mendekat. Namun, Lucas langsung menggeleng. "Aku bisa mengurus ini, Paman. Tolong jangan remehkan kemampuanku." Bukannya menjawab Lucas justru menyeringai, tangannya bergerak pelan, menepuk pundak si perempuan. "Paman nggak pernah ngeraguin kemampuan kamu. Hanya saya ini belum saatnya, dan kamu masih harus menjadi sebuah rahasia."Sesaat semuanya menjadi hening, tidak ada suara apapun kecuali hembusan nafas yang saling bersahutan antara kedua anak manusia berbeda gender tersebut. Hingga akhirnya Vale memilih untuk menoleh, menatap pria bertubuh tegap nan tinggi yang berada tepat di sampingnyaPandangannya terus bergerak, menelisik tubuh Vincent dari atas ke bawah, begitu terus hingga berulang kali. Si pria yang sadar akhirnya mendengus kesal, dia menoleh bertepatan dengan Vale yang menatap penuh ke wajahnya.“Apa?!” tanya pria itu ketus, bahkan tanpa menunggu jawaban si perempuan, dia langsung beranjak untuk duduk diatas sofa. “Lo nggak bosen disini terus?” Vale ikut bergerak, dan duduk di samping Vincent. Kedua bola matanya perlahan berputar menatap sekeliling mereka yang nyatanya tak sedikitpun berubah semenjak pertama kali mata mereka melihat tempat tersebut.“Nggak.” Singkat padat, juga tidak minat, begitulah kiranya cara Vincent menjawab, tangan pria itu bergerak pelan mengambil buku tebal yang semula te
Malam menyelimuti jalanan yang sunyi, hanya lampu-lampu kota yang temaram menemani sosok bermata biru layaknya lautan lepas tersebut untuk melaju di bawah langit pekat. Jemarinya erat menggenggam setir, sementara matanya fokus menembus bayang-bayang gelap yang terbentang di depan. Sesekali, bayangan pohon atau gedung tampak samar, melewati kaca sampingnya seperti bayang-bayang yang enggan beranjak.“Maria? Apakah aku benar-benar memiliki rasa padanya?” Pria itu bergumam lirih, berusaha mencari jawaban yang sampai detik ini belum ia temukan. “Jika iya, tapi kenapa rasanya biasa saja!” Dia mulai frustasi, tangannya bergerak kasar meraup wajahnya yang tampak kusut, hingga akhirnya helaan nafas berat ikut terhembuskan. “Dan jika tidak! Lalu seperti apa sebenarnya cinta itu?”“Ck!” Pria itu berdecak semakin kesal, dia memukul-mukulkan belakang kepalanya pada sandaran mobil, berharap dengan itu ia bisa berpikir lebih jernih. “Ayolah Sandro! Jangan bodoh.”Jalanan yang lengang membuat pria
Dorr!!Dor!!Dor!!“Nyonya Elena! Mau kabur kemana lagi, Anda!” “Serahkan diri Anda! Percuma saja Anda mau lari, kami sudah mengepung setiap sudut hutan ini!” Suara itu menggelegar, memecah kesunyian malam yang mencekam. Tembakan demi tembakan terus terdengar, menghancurkan ketenangan langit malam, mengubahnya menjadi kepulan asap tak karuan. Namun, hal tersebut tak sedikitpun membuat seorang wanita bergaun putih selutut, dengan perut yang sudah membesar untuk terus berlari di bawah kanopi hutan yang gelap, meskipun kini nafasnya terdengar semakin berat, di tengah teriknya malam.“Shit! Akhhh” Sesekali dia mendesah, tatkala tanpa sengaja duri yang tajam menggores kulit putihnya, membuat darah segar mengucur tanpa bisa ditahan, tetapi itu sama sekali tak membunuh tekadnya untuk terus menyelinap di antara semak belukar, dan akar pohon yang menjulur, berusaha keras untuk menghindari peluru yang mengintai dari arah belakang.Suara gemericik daun dan ranting yang patah di bawah kaki,
Perlahan, dia mulai membuka kedua pahanya, lebar, mencari posisi yang paling nyaman di tengah penderitaan yang luar biasa. Kakinya ikut gemetar saat lututnya mulai terangkat, membuka jalan bagi kehidupan baru yang sedang berjuang untuk keluar. Matanya terpejam, menahan perih dan nyeri yang seolah-olah menguasai seluruh tubuh. Dia merasa begitu rapuh, namun kekuatan dalam dirinya terus mendorongnya untuk bertahan, guna melawan rasa takut dan rasa sakit yang menyiksa. Dengan tangan gemetar, dia meraba perutnya yang semakin keras, menyadari apa yang terjadi. Rasa takut menyelimutinya, tapi tubuhnya tak memberi ruang untuk berpikir jernih. "Sayang,” bisiknya dengan terus mengelus perut penuh kasih sayang. "Kamu harus bisa ya! Kita akan hadapi ini bersama-sama.” Elena kembali mengerang kesakitan, seluruh tubuhnya tegang saat kontraksi semakin kuat mengguncang tubuh. Dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki, wanita itu berusaha kuat mengangkat tubuh bagian atasnya, otot-otot di perutnya
Motor hitam besar melaju kencang, menggema di malam yang tenang. Vale, perempuan tersebut mengendalikan kendaraannya dengan cekatan, mengarahkan arah menuju sebuah rumah terpencil di pinggiran kota. Setibanya di sana, ia memarkirkan motornya di halaman depan yang gelap dan sepi. Rumah itu berdiri megah namun terasa suram, seakan menyimpan banyak rahasia di dalamnya.“I'm back!” Matanya memincing tajam, menatap rumah di hadapannya dengan seriangain khas yang tak pernah terlewatkan, kemudian dia melepas helm, lantas turun dari motor dan mulai berjalan menuju halaman belakang rumah. Tidak ada siapa-siapa di sana, semua tampak kosong, hanya ada hamparan tanah lapang yang hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar. Ketika ia melangkah lebih jauh, suasana tiba-tiba terasa mencekam. Suara deru angin seolah mengaburkan segala sesuatu di sekelilingnya.Tanpa peringatan, Vale merasakan gerakan cepat dari belakangnya. Instinctnya yang terlatih membuatnya langsung berbalik, menghadapi seranga