Sesaat semuanya menjadi hening, tidak ada suara apapun kecuali hembusan nafas yang saling bersahutan antara kedua anak manusia berbeda gender tersebut. Hingga akhirnya Vale memilih untuk menoleh, menatap pria bertubuh tegap nan tinggi yang berada tepat di sampingnya
Pandangannya terus bergerak, menelisik tubuh Vincent dari atas ke bawah, begitu terus hingga berulang kali. Si pria yang sadar akhirnya mendengus kesal, dia menoleh bertepatan dengan Vale yang menatap penuh ke wajahnya. “Apa?!” tanya pria itu ketus, bahkan tanpa menunggu jawaban si perempuan, dia langsung beranjak untuk duduk diatas sofa. “Lo nggak bosen disini terus?” Vale ikut bergerak, dan duduk di samping Vincent. Kedua bola matanya perlahan berputar menatap sekeliling mereka yang nyatanya tak sedikitpun berubah semenjak pertama kali mata mereka melihat tempat tersebut. “Nggak.” Singkat padat, juga tidak minat, begitulah kiranya cara Vincent menjawab, tangan pria itu bergerak pelan mengambil buku tebal yang semula tergeletak di atas nakas, lantas mulai membacanya dengan seksama. Merasa terabaikan, kini giliran Vale yang mendengus, tanpa permisi dia langsung merebut buku dari tangan Vincent, membuat pria itu terlonjak kaget. “Jaga sikap Vale!” Tatapan Vincent menajam, rahanganya turut mengeras, tetapi hanya beberapa detik sebab pria itu langsung melengos, tak membiarkan dirinya sampai kehilangan kendali, karena bagaimanapun Vale berbeda dengan dirinya, meski kemampuan perempaun itu memang tidak bisa diremehkan. “Gitu dong emosi!” Bukannya merasa bersalah, perempuan itu justru tertawa renyah, dia kembali mendekat ke arah Vincent, menepuk keras bahu si pria. “GoodJoob Vincent.” Jika Vale bisa tertawa, maka berdecak lah yang bisa Vincent lakukan, pria itu menepis tangan Vale, tidak kasar, tapi cukup untuk membuat perempuan itu merasa kesakitan. “Gak usah basa-basi! Lo mau ngapain? Beneran mau nebas kepala gue?!” katanya seraya menyilangkan tangan dengan pandangan kuat. Si wanita kembali menggeleng pelan sebagai jawaban. Senyum tipis terlukis di bibirnya sebelum ia tertawa kecil, nada tawanya terdengar rendah namun penuh sindiran. “Lucu banget, ya, lo,” katanya, menatap Vincent dengan tatapan yang tajam namun tenang. “Gue nggak perlu nebas kepala lo. Gue cuma perlu lo sadar siapa yang sebenarnya punya kuasa di sini.” Vale melangkah mendekat, tak ada jejak gentar sedikit pun. Matanya menelusuri wajah Vincent, seakan menantang balik keangkuhan pria itu. Ia berhenti tepat di depannya, mengangkat dagu dengan sikap percaya diri. “Ini cuma permainan, Vincent. Lo cuma salah satu pion yang, kalau perlu, bisa gue singkirkan kapan aja.” Sepasang bola mata Vincent membola tanpa diminta, umpatan kasar pun tak lagi bisa ia tahan. “Brengs*ek lo Vale!” Gelak tawa akhirnya bisa Vale luncurkan dengan begitu puas, seakan menikmati ekspresi kaget dari wajah Vincent yang selama ini selalu tampak datar. Dengan cengiran penuh kemenangan, ia mendekat dan tanpa basa-basi merangkul bahu Vincent kembali. “Wait … wait … wait. Tenang! Gue cuma bercanda!” katanya, masih terkekeh. “Lo gak denger kata Paman tadi? Kita saudara, dan gue gak se-haus darah itu sampai harus bunuh saudara gue sendiri.” Melihat senyum yang tampak mengembang sempurna, dari wajah Vale membuat pria itu cepat-cepat mengalihkan pandangan, “Cepetan ngomong lo mau apa! Nggak usah banyak basa-basi, waktu gue terlalu berharga buat ngurusin perempuan gila kayak lo!” Kali ini Vale tidak menjawab, dia berdehem singkat, melepaskan rangkulan tangan nya lantas merogoh saku jaket, dan mengangkat sebuah kunci motor tepat di wajah Vincent. Si pria sendiri tidak membuka suara, dia hanya menukikkan tinggi sebelah alis sebagai tanda tanya. Faham arti tatapan sang lawan bicara, Vale-pun segera berkata. “Lawan gue balap motor!” Vincent mengangguk dengan tatapannya yang tampak meremehkan, “Yakin bakal menang?!” gumamnya penuh keangkuhan. “Gue belum pernah seyakin ini sih sebelumnya,” balas Vale tak kalah angkuh. “Berani gak lo?” Vincent masih terdiam, tetapi tidak dengan isi pikirannya. “Oke, kalau gue menang lo bisa ngasih gue apa?” “Apapun … apapun yang lo mau Vincent!” Senyuman merekah ikut terlukis di wajah Vincent, “Oke deal! Kalau gue menang, lo harus ngabulin satu permintaan gue” “Dan kalau lo kalah, lo harus ngikutin seluruh perintah gue!” sambung Vale sembari mengukurkan tangan, tanpa sedikitpun melunturkan senyuman. “Deal!” ****** Brum … Brum … Brumm Di bawah langit malam yang pekat, dua motor besar berwarna hitam dan abu-abu berdiri bersebelahan di jalanan yang sepi. Vale dan Vincent, hanya berdua, tak ada penonton, tak ada suara lain selain deru mesin yang terus di-starter, mengisi keheningan dengan gemuruh yang semakin intens. Vale menatap lurus ke depan, tangannya erat di stang motornya yang hitam legam. Di sebelahnya, Vincent dengan motornya yang abu-abu tampak tenang namun penuh tekad. Tak ada isyarat atau aba-aba—hanya mereka berdua yang tahu kapan balapan akan dimulai. Sesaat, mereka saling melirik, seolah menantang satu sama lain tanpa perlu berkata apa pun. Mereka bukan hanya sedang balapan untuk kecepatan, tapi untuk sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang hanya mereka mengerti. Vale dan Vincent saling membuka kaca helm mereka, pandangan mata bertemu dalam keremangan malam. Senyum penuh smirk tersungging di bibir masing-masing, menyiratkan tantangan dan kebanggaan terselubung. “Siap kalah Vincent?” Dengan senyum nakalnya Vale berkata. Yang ditanya ikut tersenyum, wajahnya tampak tenang, tetapi tetap terlihat begitu tegas. “Apa lo udah lupa siapa yang sedang lo ajak lomba? Gak usah khawatirin gue. Siapin aja diri lo, buat kalah!” Vale menggenggam stang motornya lebih erat, matanya tajam menatap jalan di depan. “Kali ini biar gue yang nunjukin siapa raja jalanan malam ini!” “Raja? Haha! Kita lihat seberapa cepat lo bisa menjadi mantan raja!” Vincent menjawab sambil menyalakan mesin motornya lebih keras, membuat suara knalpot menggelegar. “Hitung mundur! Satu… dua… tiga!” teriak Vale. “Go!” mereka berseru bersamaan, dan kedua motor melesat dengan kecepatan memukau, meninggalkan debu di belakang. Kedua mesin meraung, memecah sunyi malam dengan gemuruh yang semakin menggema. Jari-jari mereka menekan tuas gas perlahan, membangun ketegangan yang kian memuncak. Dalam hitungan detik, tanpa aba-aba, Vale dan Vincent serentak memutar penuh tuas gas. Ban belakang berputar cepat, menciptakan asap tipis yang melayang di udara sebelum akhirnya kedua motor besar itu melesat. Aspal seolah bergetar ketika mereka meluncur, dengan Vale di depan, sementara Vincent tak mau kalah, menempel ketat di sisinya. Jalan panjang terbentang seperti arena tanpa batas, hanya mereka berdua yang menguasai malam itu. Angin menerpa keras, dan suara deru mesin yang semakin liar membawa mereka ke kecepatan yang memacu adrenalin, seolah-olah tidak ada yang bisa menghentikan mereka. Akan tetapi, ketegangan itu seakan lenyap begitu saja ketika kedua bola mata Vale menangkap sebuah cahaya putih bergerak tak tentu arah dari posisi berlawanan. "So, tidak selambat yang aku kira," batinnya sembari menyeringai, bahkan dia tak peduli lagi dengan Vincent yang berhasil menyalip kendaraan miliknya. Senyuman terlukis di wajahnya yang cantik. Vale kembali menambah kecepatan, tak menyadari betapa dekatnya jarak antara motornya dan mobil yang bergerak tak karuan itu. Saat dia mendongak, jantungnya berdegup kencang. Dia berusaha menekan rem, tetapi sialnya, semuanya terjadi terlalu cepat. “Tiiiiiinnnn!” Brakkk!!!!! Vale melepaskan stang, membiarkan dirinya melayang di udara sebelum akhirnya terhempas ke trotoar. Suara benturan itu menggema, mengiris keheningan malam. Vincent, yang mendengar suara keras itu, segera menghentikan motornya dan melepas helm dengan panik. Di sisi jalan, Vale berjuang melepaskan helm full-face miliknya, tetapi terasa cukup sulit. Kesadarannya mulai memudar, dan saat itu sebuah tangan menyentuh tubuhnya, lantas membantunya untuk menarik helm yang menutupi wajahnya. “Bertahanlah!”Malam menyelimuti jalanan yang sunyi, hanya lampu-lampu kota yang temaram menemani sosok bermata biru layaknya lautan lepas tersebut untuk melaju di bawah langit pekat. Jemarinya erat menggenggam setir, sementara matanya fokus menembus bayang-bayang gelap yang terbentang di depan. Sesekali, bayangan pohon atau gedung tampak samar, melewati kaca sampingnya seperti bayang-bayang yang enggan beranjak.“Maria? Apakah aku benar-benar memiliki rasa padanya?” Pria itu bergumam lirih, berusaha mencari jawaban yang sampai detik ini belum ia temukan. “Jika iya, tapi kenapa rasanya biasa saja!” Dia mulai frustasi, tangannya bergerak kasar meraup wajahnya yang tampak kusut, hingga akhirnya helaan nafas berat ikut terhembuskan. “Dan jika tidak! Lalu seperti apa sebenarnya cinta itu?”“Ck!” Pria itu berdecak semakin kesal, dia memukul-mukulkan belakang kepalanya pada sandaran mobil, berharap dengan itu ia bisa berpikir lebih jernih. “Ayolah Sandro! Jangan bodoh.”Jalanan yang lengang membuat pria
Dorr!!Dor!!Dor!!“Nyonya Elena! Mau kabur kemana lagi, Anda!” “Serahkan diri Anda! Percuma saja Anda mau lari, kami sudah mengepung setiap sudut hutan ini!” Suara itu menggelegar, memecah kesunyian malam yang mencekam. Tembakan demi tembakan terus terdengar, menghancurkan ketenangan langit malam, mengubahnya menjadi kepulan asap tak karuan. Namun, hal tersebut tak sedikitpun membuat seorang wanita bergaun putih selutut, dengan perut yang sudah membesar untuk terus berlari di bawah kanopi hutan yang gelap, meskipun kini nafasnya terdengar semakin berat, di tengah teriknya malam.“Shit! Akhhh” Sesekali dia mendesah, tatkala tanpa sengaja duri yang tajam menggores kulit putihnya, membuat darah segar mengucur tanpa bisa ditahan, tetapi itu sama sekali tak membunuh tekadnya untuk terus menyelinap di antara semak belukar, dan akar pohon yang menjulur, berusaha keras untuk menghindari peluru yang mengintai dari arah belakang.Suara gemericik daun dan ranting yang patah di bawah kaki,
Perlahan, dia mulai membuka kedua pahanya, lebar, mencari posisi yang paling nyaman di tengah penderitaan yang luar biasa. Kakinya ikut gemetar saat lututnya mulai terangkat, membuka jalan bagi kehidupan baru yang sedang berjuang untuk keluar. Matanya terpejam, menahan perih dan nyeri yang seolah-olah menguasai seluruh tubuh. Dia merasa begitu rapuh, namun kekuatan dalam dirinya terus mendorongnya untuk bertahan, guna melawan rasa takut dan rasa sakit yang menyiksa. Dengan tangan gemetar, dia meraba perutnya yang semakin keras, menyadari apa yang terjadi. Rasa takut menyelimutinya, tapi tubuhnya tak memberi ruang untuk berpikir jernih. "Sayang,” bisiknya dengan terus mengelus perut penuh kasih sayang. "Kamu harus bisa ya! Kita akan hadapi ini bersama-sama.” Elena kembali mengerang kesakitan, seluruh tubuhnya tegang saat kontraksi semakin kuat mengguncang tubuh. Dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki, wanita itu berusaha kuat mengangkat tubuh bagian atasnya, otot-otot di perutnya
Motor hitam besar melaju kencang, menggema di malam yang tenang. Vale, perempuan tersebut mengendalikan kendaraannya dengan cekatan, mengarahkan arah menuju sebuah rumah terpencil di pinggiran kota. Setibanya di sana, ia memarkirkan motornya di halaman depan yang gelap dan sepi. Rumah itu berdiri megah namun terasa suram, seakan menyimpan banyak rahasia di dalamnya.“I'm back!” Matanya memincing tajam, menatap rumah di hadapannya dengan seriangain khas yang tak pernah terlewatkan, kemudian dia melepas helm, lantas turun dari motor dan mulai berjalan menuju halaman belakang rumah. Tidak ada siapa-siapa di sana, semua tampak kosong, hanya ada hamparan tanah lapang yang hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar. Ketika ia melangkah lebih jauh, suasana tiba-tiba terasa mencekam. Suara deru angin seolah mengaburkan segala sesuatu di sekelilingnya.Tanpa peringatan, Vale merasakan gerakan cepat dari belakangnya. Instinctnya yang terlatih membuatnya langsung berbalik, menghadapi seranga
Sebuah tangan kekar terulur perlahan, mengangkat sebuah foto usang yang selalu ia simpan di samping tempat tidur. Kedua bola mata yang biasanya tajam dan menghunus itu seketika layu saat menatap seulas senyum hangat yang tak lagi mampu ia temui. Waktu seolah berhenti.Jemarinya menyentuh lembut permukaan foto itu, seakan ingin menyentuh kembali kenangan yang tak tergapai. Di dalam dadanya, kerinduan dan penyesalan bercampur menjadi satu, menyesakkan tanpa henti.Tatapannya terhenti di wajah wanita dalam foto tersebut, satu-satunya alasan ia pernah merasa pulang. "Andai aku bisa memperbaiki semuanya..." bisiknya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam kesedihan yang tak berujung.Tiba-tiba saja, sebuah tangan dengan jemari yang lentik ikut menyentuh ujung foto tersebut, membuatnya tersadar dari lamunan panjang. “Dia sangat cantik!” Pria itu menoleh, seulas senyum langsung terbentuk meksi sangat tipis saat mendapati sosok gadis yang kini sudah berdiri tepat di sampingnya, menatap foto y