Sesaat semuanya menjadi hening, tidak ada suara apapun kecuali hembusan nafas yang saling bersahutan antara kedua anak manusia berbeda gender tersebut. Hingga akhirnya Vale memilih untuk menoleh, menatap pria bertubuh tegap nan tinggi yang berada tepat di sampingnya
Pandangannya terus bergerak, menelisik tubuh Vincent dari atas ke bawah, begitu terus hingga berulang kali. Si pria yang sadar akhirnya mendengus kesal, dia menoleh bertepatan dengan Vale yang menatap penuh ke wajahnya. “Apa?!” tanya pria itu ketus, bahkan tanpa menunggu jawaban si perempuan, dia langsung beranjak untuk duduk diatas sofa. “Lo nggak bosen disini terus?” Vale ikut bergerak, dan duduk di samping Vincent. Kedua bola matanya perlahan berputar menatap sekeliling mereka yang nyatanya tak sedikitpun berubah semenjak pertama kali mata mereka melihat tempat tersebut. “Nggak.” Singkat padat, juga tidak minat, begitulah kiranya cara Vincent menjawab, tangan pria itu bergerak pelan mengambil buku tebal yang semula tergeletak di atas nakas, lantas mulai membacanya dengan seksama. Merasa terabaikan, kini giliran Vale yang mendengus, tanpa permisi dia langsung merebut buku dari tangan Vincent, membuat pria itu terlonjak kaget. “Jaga sikap Vale!” Tatapan Vincent menajam, rahanganya turut mengeras, tetapi hanya beberapa detik sebab pria itu langsung melengos, tak membiarkan dirinya sampai kehilangan kendali, karena bagaimanapun Vale berbeda dengan dirinya, meski kemampuan perempaun itu memang tidak bisa diremehkan. “Gitu dong emosi!” Bukannya merasa bersalah, perempuan itu justru tertawa renyah, dia kembali mendekat ke arah Vincent, menepuk keras bahu si pria. “GoodJoob Vincent.” Jika Vale bisa tertawa, maka berdecak lah yang bisa Vincent lakukan, pria itu menepis tangan Vale, tidak kasar, tapi cukup untuk membuat perempuan itu merasa kesakitan. “Gak usah basa-basi! Lo mau ngapain? Beneran mau nebas kepala gue?!” katanya seraya menyilangkan tangan dengan pandangan kuat. Si wanita kembali menggeleng pelan sebagai jawaban. Senyum tipis terlukis di bibirnya sebelum ia tertawa kecil, nada tawanya terdengar rendah namun penuh sindiran. “Lucu banget, ya, lo,” katanya, menatap Vincent dengan tatapan yang tajam namun tenang. “Gue nggak perlu nebas kepala lo. Gue cuma perlu lo sadar siapa yang sebenarnya punya kuasa di sini.” Vale melangkah mendekat, tak ada jejak gentar sedikit pun. Matanya menelusuri wajah Vincent, seakan menantang balik keangkuhan pria itu. Ia berhenti tepat di depannya, mengangkat dagu dengan sikap percaya diri. “Ini cuma permainan, Vincent. Lo cuma salah satu pion yang, kalau perlu, bisa gue singkirkan kapan aja.” Sepasang bola mata Vincent membola tanpa diminta, umpatan kasar pun tak lagi bisa ia tahan. “Brengs*ek lo Vale!” Gelak tawa akhirnya bisa Vale luncurkan dengan begitu puas, seakan menikmati ekspresi kaget dari wajah Vincent yang selama ini selalu tampak datar. Dengan cengiran penuh kemenangan, ia mendekat dan tanpa basa-basi merangkul bahu Vincent kembali. “Wait … wait … wait. Tenang! Gue cuma bercanda!” katanya, masih terkekeh. “Lo gak denger kata Paman tadi? Kita saudara, dan gue gak se-haus darah itu sampai harus bunuh saudara gue sendiri.” Melihat senyum yang tampak mengembang sempurna, dari wajah Vale membuat pria itu cepat-cepat mengalihkan pandangan, “Cepetan ngomong lo mau apa! Nggak usah banyak basa-basi, waktu gue terlalu berharga buat ngurusin perempuan gila kayak lo!” Kali ini Vale tidak menjawab, dia berdehem singkat, melepaskan rangkulan tangan nya lantas merogoh saku jaket, dan mengangkat sebuah kunci motor tepat di wajah Vincent. Si pria sendiri tidak membuka suara, dia hanya menukikkan tinggi sebelah alis sebagai tanda tanya. Faham arti tatapan sang lawan bicara, Vale-pun segera berkata. “Lawan gue balap motor!” Vincent mengangguk dengan tatapannya yang tampak meremehkan, “Yakin bakal menang?!” gumamnya penuh keangkuhan. “Gue belum pernah seyakin ini sih sebelumnya,” balas Vale tak kalah angkuh. “Berani gak lo?” Vincent masih terdiam, tetapi tidak dengan isi pikirannya. “Oke, kalau gue menang lo bisa ngasih gue apa?” “Apapun … apapun yang lo mau Vincent!” Senyuman merekah ikut terlukis di wajah Vincent, “Oke deal! Kalau gue menang, lo harus ngabulin satu permintaan gue” “Dan kalau lo kalah, lo harus ngikutin seluruh perintah gue!” sambung Vale sembari mengukurkan tangan, tanpa sedikitpun melunturkan senyuman. “Deal!” ****** Brum … Brum … Brumm Di bawah langit malam yang pekat, dua motor besar berwarna hitam dan abu-abu berdiri bersebelahan di jalanan yang sepi. Vale dan Vincent, hanya berdua, tak ada penonton, tak ada suara lain selain deru mesin yang terus di-starter, mengisi keheningan dengan gemuruh yang semakin intens. Vale menatap lurus ke depan, tangannya erat di stang motornya yang hitam legam. Di sebelahnya, Vincent dengan motornya yang abu-abu tampak tenang namun penuh tekad. Tak ada isyarat atau aba-aba—hanya mereka berdua yang tahu kapan balapan akan dimulai. Sesaat, mereka saling melirik, seolah menantang satu sama lain tanpa perlu berkata apa pun. Mereka bukan hanya sedang balapan untuk kecepatan, tapi untuk sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang hanya mereka mengerti. Vale dan Vincent saling membuka kaca helm mereka, pandangan mata bertemu dalam keremangan malam. Senyum penuh smirk tersungging di bibir masing-masing, menyiratkan tantangan dan kebanggaan terselubung. “Siap kalah Vincent?” Dengan senyum nakalnya Vale berkata. Yang ditanya ikut tersenyum, wajahnya tampak tenang, tetapi tetap terlihat begitu tegas. “Apa lo udah lupa siapa yang sedang lo ajak lomba? Gak usah khawatirin gue. Siapin aja diri lo, buat kalah!” Vale menggenggam stang motornya lebih erat, matanya tajam menatap jalan di depan. “Kali ini biar gue yang nunjukin siapa raja jalanan malam ini!” “Raja? Haha! Kita lihat seberapa cepat lo bisa menjadi mantan raja!” Vincent menjawab sambil menyalakan mesin motornya lebih keras, membuat suara knalpot menggelegar. “Hitung mundur! Satu… dua… tiga!” teriak Vale. “Go!” mereka berseru bersamaan, dan kedua motor melesat dengan kecepatan memukau, meninggalkan debu di belakang. Kedua mesin meraung, memecah sunyi malam dengan gemuruh yang semakin menggema. Jari-jari mereka menekan tuas gas perlahan, membangun ketegangan yang kian memuncak. Dalam hitungan detik, tanpa aba-aba, Vale dan Vincent serentak memutar penuh tuas gas. Ban belakang berputar cepat, menciptakan asap tipis yang melayang di udara sebelum akhirnya kedua motor besar itu melesat. Aspal seolah bergetar ketika mereka meluncur, dengan Vale di depan, sementara Vincent tak mau kalah, menempel ketat di sisinya. Jalan panjang terbentang seperti arena tanpa batas, hanya mereka berdua yang menguasai malam itu. Angin menerpa keras, dan suara deru mesin yang semakin liar membawa mereka ke kecepatan yang memacu adrenalin, seolah-olah tidak ada yang bisa menghentikan mereka. Akan tetapi, ketegangan itu seakan lenyap begitu saja ketika kedua bola mata Vale menangkap sebuah cahaya putih bergerak tak tentu arah dari posisi berlawanan. "So, tidak selambat yang aku kira," batinnya sembari menyeringai, bahkan dia tak peduli lagi dengan Vincent yang berhasil menyalip kendaraan miliknya. Senyuman terlukis di wajahnya yang cantik. Vale kembali menambah kecepatan, tak menyadari betapa dekatnya jarak antara motornya dan mobil yang bergerak tak karuan itu. Saat dia mendongak, jantungnya berdegup kencang. Dia berusaha menekan rem, tetapi sialnya, semuanya terjadi terlalu cepat. “Tiiiiiinnnn!” Brakkk!!!!! Vale melepaskan stang, membiarkan dirinya melayang di udara sebelum akhirnya terhempas ke trotoar. Suara benturan itu menggema, mengiris keheningan malam. Vincent, yang mendengar suara keras itu, segera menghentikan motornya dan melepas helm dengan panik. Di sisi jalan, Vale berjuang melepaskan helm full-face miliknya, tetapi terasa cukup sulit. Kesadarannya mulai memudar, dan saat itu sebuah tangan menyentuh tubuhnya, lantas membantunya untuk menarik helm yang menutupi wajahnya. “Bertahanlah!”Malam menyelimuti jalanan yang sunyi, hanya lampu-lampu kota yang temaram menemani sosok bermata biru layaknya lautan lepas tersebut untuk melaju di bawah langit pekat. Jemarinya erat menggenggam setir, sementara matanya fokus menembus bayang-bayang gelap yang terbentang di depan. Sesekali, bayangan pohon atau gedung tampak samar, melewati kaca sampingnya seperti bayang-bayang yang enggan beranjak.“Maria? Apakah aku benar-benar memiliki rasa padanya?” Pria itu bergumam lirih, berusaha mencari jawaban yang sampai detik ini belum ia temukan. “Jika iya, tapi kenapa rasanya biasa saja!” Dia mulai frustasi, tangannya bergerak kasar meraup wajahnya yang tampak kusut, hingga akhirnya helaan nafas berat ikut terhembuskan. “Dan jika tidak! Lalu seperti apa sebenarnya cinta itu?”“Ck!” Pria itu berdecak semakin kesal, dia memukul-mukulkan belakang kepalanya pada sandaran mobil, berharap dengan itu ia bisa berpikir lebih jernih. “Ayolah Sandro! Jangan bodoh.”Jalanan yang lengang membuat pria
“Argh”Bersamaan dengan suara rintihan yang keluar di antara kedua bibir ranumnya, tangan Vale bergerak menyentuh kepala. Sejenak mengalihkan keheningan yang menjeda, di antara ketiganya.“Vale, mana yang sakit?” Dengan langkah lebarnya Vincent mendekat dan kembali berdiri di sisi ranjang, seketika wajahnya langsung pucat pasi.Akan tetapi belum sempat tangan pria itu bergerak untuk menyentuh tubuh si perempuan Sandro sudah lebih dulu melakukannya.“Kamu tunggu sini ya! Aku panggilin dokter!” ucapnya dengan nada cemas, matanya tak berpaling darinya, memastikan dia tetap aman. Sandro siap berbalik, tetapi tiba-tiba ia merasakan cengkeraman tangan perempuan itu, kuat namun gemetar, menahan pergerakannya.“Nggak usah! Aku fine.” Vale tampak mengulum senyum, sekaan ingin meyakinkan pria dihadapannya. Sandro pun menurut dan kembali berbalik badan, menatap si perempuan sepenuhnya.“Tolong jelasin, kamu siapa? Dan…” Ucapan Vale terjeda, kepala perempuan itu bergerak, seakan ingin menelisik
“Dia udah pergi” Masih dengan suaranya yang terdengar begitu datar, bahkan kali ini sarat akan kekesalan, juga berulang kali pula pria itu terdengar menghela nafas berat.“Cepetan lo buka mata lo dan kita cabut dari sini!” Detik itu juga Vale langsung menyingkap selimut dari wajahnya, dia menatap Vincent dengan seringaian khas yang tampak begitu menawan, tetapi juga mematikan dalam satu waktu. “Gimana? Keren kan sandiwara gue?!” Perempuan itu menaik turunkan alisnya secara bergantian, tetapi sialnya bukan menjawab Vincent justru langsung beranjak tanpa sepatah katapun.Vale, dia sendiri hanya mengedikkan bahu, tidak heran juga tidak peduli dengan sikap rekannya tersebut, sebab selain terbiasa menghadapi Vincent, dia juga tergolong sosok yang tak mementingkan pengakuan orang lain. Akhirnya, setelah menarik napas panjang, perempuan itu segera bangkit, dan melangkah dengan tegas, Dia mempercepat langkah, menyelaraskan diri dengan Vincent yang sudah lebih dulu berjalan dengan langkah
“Sayang!”Suara teriakan yang cukup memekakkan indra pendengaran tersebut, berhasil memaksa tubuh Sandro untuk berhenti sejenak. Pria itu langsung memejamkan mata, seolah mencari ketenangan di balik gelapnya kelopak. Sebuah helaan nafas panjang meluncur perlahan dari bibirnya, membawa sedikit beban yang mengganjal. Ketika matanya terbuka kembali, senyuman tipis langsung menghiasi wajah, tak sepenuhnya tulus, namun cukup untuk menyembunyikan keresahan di hati. Lantas dengan gerakan tenang, ia berbalik, bersiap menghadapi sosok yang tak lagi asing baginya.“Say–”Belum sempat Sandro menyelesaikan ucapannya, sosok perempuan pemilik tubuh bak gitar spanyol, dengan lekuk sempurna dan proporsi yang memukau, serta jangan lupakan bentuk bahu yang ramping saat menopang tubuh jenjangnya dengan percaya diri, sementara pinggangnya yang melengkung halus menyambut pinggul yang membentuk siluet mengagumkan. Dialah Maria, tanpa perlu aba-aba perempaun tersebut kembali berlarian kecil, dan langsung
BRAKK!Meja kayu itu berguncang hebat, bahkan gelas di atasnya nyaris jatuh. Ton menatap lurus ke arah depan, nafasnya memburu seolah mencoba menahan sesuatu yang hendak meledak."Jadi, anak itu masih hidup?" Suaranya berat, nyaris seperti geraman.Dia berbalik dengan gerakan tiba-tiba, matanya menyalak tajam, memindai satu per satu wajah pucat para anak buahnya yang kini tidak berani menatap langsung ke arahnya. Salah seorang dari mereka menelan ludah, terlihat gemetar di sudut ruangan.Ton berjalan mendekat, langkahnya berat, setiap hentakan sepatu menciptakan gema di ruangan itu. "Kalian ... semua ini hanya sekumpulan pecundang!" Katanya sambil menunjuk mereka dengan telunjuknya, tangan kirinya mengepal hingga uratnya terlihat.“Bukankah waktu itu aku sudah menyuruhmu memastikan semuanya,” Ton selangkah lebih maju, pandangannya semakin tajam pada sosok pria yang kini hanya bisa menunduk. “Tapi bagaimana bisa dia masih hidup sekarang, jawab aku!” Tak lagi bisa membendung amarahnya,
Dengan duduk di atas pangkuan sang pria yang masih sibuk dengan layar laptop di hadapannya, Maria tampak berusaha menarik perhatiannya. Jari-jarinya yang lentik memainkan kerah kemeja pria itu dengan lembut, mencoba mengalihkan fokusnya. Namun, alih-alih terganggu, pria itu hanya mengangkat sebelah alis sambil melirik sekilas, senyum tipis menghiasi wajahnya."Kalau kamu terus begini, pekerjaanku nggak akan selesai," gumam pria itu, nada suaranya terdengar datar, meskipun bibirnya terlihat sedikit membentuk lengkungan ke atas. Maria hanya tertawa kecil, memiringkan kepala untuk menatapnya lebih dekat. "Siapa suruh kamu lebih sibuk sama pekerjaan daripada aku?" katanya dengan nada manja, seolah menuntut perhatian penuh darinya."Lagi pula kamu kerja terus! Nggak bosan apa?!” Tambah Maria, suaranya lembut namun memaksa.Pria itu mendesah panjang, berusaha menahan rasa jengah yang mulai mendidih di dadanya. "Maria, ayolah … aku sedang sibuk," jawabnya singkat, tanpa menoleh.Namun, Mari
BRUKK“Argh! stt!” Suara yang terdengar begitu nyaring, disusul suara rintihan tersebut membuat Sandro reflek menarik tubuhnya dari Maria, tak peduli dengan sang wanita yang langsung berdecak kesal, pria itu tetap berlari untuk menuju ke depan ruangan.Matanya membola tatkala mendapati salah seorang staf tersungkur di atas lantai dengan beberapa lembar dokumen yang berserakan. Tanpa pikir panjang pria itu ikut duduk hanya untuk membantu mengumpulkan beberapa dokumen. “Maaf, saya tidak sengaja, Pak! Kaki saya tiba-tiba keseleo dan semua dokumen ini jatuh.” katanya begitu lirih, dia menunduk dalam-dalam, tak berani menatap sang atasan.“It’s okay, lain kali hati-hati,” balas Sandro tersenyum ramah, dia mengulurkan beberapa berkas yang ia kumpulakan, dan langsung diterima oleh si perempuan.“Halah, kamu cuma alasan kan? Kamu pasti ngintip aku sama Sandro kan?” Dari dalam ruangan Maria melangkah mendekat, dia bersedekap dada dengan tatapannya yang tidak ramah.“Maria, tolong jaga bicar
“Siapa wanita ini?” Vale, dengan tatapannya yang tampak begitu menyala penuh amarah, dia terus menatap beberapa lembar cetak foto yang kini berserakan diatas meja. “Dia adalah Maria, sejauh ini yang kita tahu, dia adalah wanita yang akan menjadi tunangan Sandro, dan acara pertunangan tersebut akan berlangsung minggu depan.” “Brengsek!” Nafas Vale memburu secara tiba-tiba, otot-otot di tangannya terlihat begitu menonjol tatkala sebelah tangannya meremas satu foto yang memperlihatkan dua manusia berbeda gender tersebut tengah berciuman mesra.Detik berikutnya perempuan itu sedikit mendongak, menatap beberapa orang yang masih setia berdiri di hadapannya. “Cari tahu lebih dalam mengenai wanita ini, jangan biarkan dia mempersulit rencanaku untuk kedepannya!” “Baiklah, akan kami lakukan,“ jawab salah satu darii pria bertubuh tegap dengan pakaian rapi serba hitam tersebut, sebelum kemudian mereka semua bergegas pergi meninggalkan Vale dengan dua orang yang sedari tadi hanya diam di bela
Vale melempar senyuman canggung ke arah Sandro, begitu pula sebaliknya, sebelum keduanya sama-sama duduk diatas bangku taman dibawah pohon rindang. Awalnya tidak ada yang bersuara, suasana tampak hening, hanya ada suara desiran angin, dan suara tawa dari beberapa anak yang saling bersahutan dari kejauhan. Vale sendiri tampak fokus menatap ke arah beberapa anak di depan sana, bibirnya melengkung, membentuk senyuman yang jarang sekali ia tonjolkan. Sandro yang memperhatikan hal itu merasa semakin canggung, dia bingung harus berbuat apa, selain belum mengenal perempuan di sampingnya, dia juga masih terbayang hal tidak mengenakan yang pernah menimpa keduanya. Jangan kira Vale tidak sadar akan hal tersebut, justru perempuan itu cukup peka, dan apa yang dilakukannya saat itu sudah termasuk kedalam rencana, “Kenapa ngelihatinya kayak gitu? Ada yang aneh ya?!”Bak maling yang tertangkap basah, detik itu juga Sandro langsung memalingkan pandangan, dia menggaruk tengkuknya dengan canggung,
Di balik dedaunan rimbun, Vale masih setia mengamati beberapa anak kecil yang tampak asik berlarian di sebuah taman yang berada tak jauh dari sebuah gedung yang menjulang tinggi.“Mereka sangat lucu,” katanya dengan menarik tinggi sebelah bibirnya, “Sama seperti perannya yang akan membawaku kedalam hubungan yang indah.” “Gue udah selesai, sekarang apa yang akan lo lakuin ke mereka?” Vale menoleh, tatapannya terus bergerak ke atas hingga kebawah, menelisik pakaian Vincent yang baginya tidak tepat di situasi saat ini, beruntung dia sudah menyiapkan semuanya. Dia mengambil sebuah paper bag yang semua ia bawa. “Ganti baju lo dengan ini dan tampil menarik didepan anak-ank itu.”“M-makBaru saja Vincent hendak membuka suara Vale sudah lebih dulu memotongnya. “Lakuin apa yang gue mau, Vincent!” Entah sudah untuk yang keberapa kalinya Vincent hanya mampu berdecak, tetapi tak urung ia tetap menerima pemberian Vale meski dengan kasar, lantas tanpa permisi langsung beranjak pergi. Vale se
“Siapa wanita ini?” Vale, dengan tatapannya yang tampak begitu menyala penuh amarah, dia terus menatap beberapa lembar cetak foto yang kini berserakan diatas meja. “Dia adalah Maria, sejauh ini yang kita tahu, dia adalah wanita yang akan menjadi tunangan Sandro, dan acara pertunangan tersebut akan berlangsung minggu depan.” “Brengsek!” Nafas Vale memburu secara tiba-tiba, otot-otot di tangannya terlihat begitu menonjol tatkala sebelah tangannya meremas satu foto yang memperlihatkan dua manusia berbeda gender tersebut tengah berciuman mesra.Detik berikutnya perempuan itu sedikit mendongak, menatap beberapa orang yang masih setia berdiri di hadapannya. “Cari tahu lebih dalam mengenai wanita ini, jangan biarkan dia mempersulit rencanaku untuk kedepannya!” “Baiklah, akan kami lakukan,“ jawab salah satu darii pria bertubuh tegap dengan pakaian rapi serba hitam tersebut, sebelum kemudian mereka semua bergegas pergi meninggalkan Vale dengan dua orang yang sedari tadi hanya diam di bela
BRUKK“Argh! stt!” Suara yang terdengar begitu nyaring, disusul suara rintihan tersebut membuat Sandro reflek menarik tubuhnya dari Maria, tak peduli dengan sang wanita yang langsung berdecak kesal, pria itu tetap berlari untuk menuju ke depan ruangan.Matanya membola tatkala mendapati salah seorang staf tersungkur di atas lantai dengan beberapa lembar dokumen yang berserakan. Tanpa pikir panjang pria itu ikut duduk hanya untuk membantu mengumpulkan beberapa dokumen. “Maaf, saya tidak sengaja, Pak! Kaki saya tiba-tiba keseleo dan semua dokumen ini jatuh.” katanya begitu lirih, dia menunduk dalam-dalam, tak berani menatap sang atasan.“It’s okay, lain kali hati-hati,” balas Sandro tersenyum ramah, dia mengulurkan beberapa berkas yang ia kumpulakan, dan langsung diterima oleh si perempuan.“Halah, kamu cuma alasan kan? Kamu pasti ngintip aku sama Sandro kan?” Dari dalam ruangan Maria melangkah mendekat, dia bersedekap dada dengan tatapannya yang tidak ramah.“Maria, tolong jaga bicar
Dengan duduk di atas pangkuan sang pria yang masih sibuk dengan layar laptop di hadapannya, Maria tampak berusaha menarik perhatiannya. Jari-jarinya yang lentik memainkan kerah kemeja pria itu dengan lembut, mencoba mengalihkan fokusnya. Namun, alih-alih terganggu, pria itu hanya mengangkat sebelah alis sambil melirik sekilas, senyum tipis menghiasi wajahnya."Kalau kamu terus begini, pekerjaanku nggak akan selesai," gumam pria itu, nada suaranya terdengar datar, meskipun bibirnya terlihat sedikit membentuk lengkungan ke atas. Maria hanya tertawa kecil, memiringkan kepala untuk menatapnya lebih dekat. "Siapa suruh kamu lebih sibuk sama pekerjaan daripada aku?" katanya dengan nada manja, seolah menuntut perhatian penuh darinya."Lagi pula kamu kerja terus! Nggak bosan apa?!” Tambah Maria, suaranya lembut namun memaksa.Pria itu mendesah panjang, berusaha menahan rasa jengah yang mulai mendidih di dadanya. "Maria, ayolah … aku sedang sibuk," jawabnya singkat, tanpa menoleh.Namun, Mari
BRAKK!Meja kayu itu berguncang hebat, bahkan gelas di atasnya nyaris jatuh. Ton menatap lurus ke arah depan, nafasnya memburu seolah mencoba menahan sesuatu yang hendak meledak."Jadi, anak itu masih hidup?" Suaranya berat, nyaris seperti geraman.Dia berbalik dengan gerakan tiba-tiba, matanya menyalak tajam, memindai satu per satu wajah pucat para anak buahnya yang kini tidak berani menatap langsung ke arahnya. Salah seorang dari mereka menelan ludah, terlihat gemetar di sudut ruangan.Ton berjalan mendekat, langkahnya berat, setiap hentakan sepatu menciptakan gema di ruangan itu. "Kalian ... semua ini hanya sekumpulan pecundang!" Katanya sambil menunjuk mereka dengan telunjuknya, tangan kirinya mengepal hingga uratnya terlihat.“Bukankah waktu itu aku sudah menyuruhmu memastikan semuanya,” Ton selangkah lebih maju, pandangannya semakin tajam pada sosok pria yang kini hanya bisa menunduk. “Tapi bagaimana bisa dia masih hidup sekarang, jawab aku!” Tak lagi bisa membendung amarahnya,
“Sayang!”Suara teriakan yang cukup memekakkan indra pendengaran tersebut, berhasil memaksa tubuh Sandro untuk berhenti sejenak. Pria itu langsung memejamkan mata, seolah mencari ketenangan di balik gelapnya kelopak. Sebuah helaan nafas panjang meluncur perlahan dari bibirnya, membawa sedikit beban yang mengganjal. Ketika matanya terbuka kembali, senyuman tipis langsung menghiasi wajah, tak sepenuhnya tulus, namun cukup untuk menyembunyikan keresahan di hati. Lantas dengan gerakan tenang, ia berbalik, bersiap menghadapi sosok yang tak lagi asing baginya.“Say–”Belum sempat Sandro menyelesaikan ucapannya, sosok perempuan pemilik tubuh bak gitar spanyol, dengan lekuk sempurna dan proporsi yang memukau, serta jangan lupakan bentuk bahu yang ramping saat menopang tubuh jenjangnya dengan percaya diri, sementara pinggangnya yang melengkung halus menyambut pinggul yang membentuk siluet mengagumkan. Dialah Maria, tanpa perlu aba-aba perempaun tersebut kembali berlarian kecil, dan langsung
“Dia udah pergi” Masih dengan suaranya yang terdengar begitu datar, bahkan kali ini sarat akan kekesalan, juga berulang kali pula pria itu terdengar menghela nafas berat.“Cepetan lo buka mata lo dan kita cabut dari sini!” Detik itu juga Vale langsung menyingkap selimut dari wajahnya, dia menatap Vincent dengan seringaian khas yang tampak begitu menawan, tetapi juga mematikan dalam satu waktu. “Gimana? Keren kan sandiwara gue?!” Perempuan itu menaik turunkan alisnya secara bergantian, tetapi sialnya bukan menjawab Vincent justru langsung beranjak tanpa sepatah katapun.Vale, dia sendiri hanya mengedikkan bahu, tidak heran juga tidak peduli dengan sikap rekannya tersebut, sebab selain terbiasa menghadapi Vincent, dia juga tergolong sosok yang tak mementingkan pengakuan orang lain. Akhirnya, setelah menarik napas panjang, perempuan itu segera bangkit, dan melangkah dengan tegas, Dia mempercepat langkah, menyelaraskan diri dengan Vincent yang sudah lebih dulu berjalan dengan langkah
“Argh”Bersamaan dengan suara rintihan yang keluar di antara kedua bibir ranumnya, tangan Vale bergerak menyentuh kepala. Sejenak mengalihkan keheningan yang menjeda, di antara ketiganya.“Vale, mana yang sakit?” Dengan langkah lebarnya Vincent mendekat dan kembali berdiri di sisi ranjang, seketika wajahnya langsung pucat pasi.Akan tetapi belum sempat tangan pria itu bergerak untuk menyentuh tubuh si perempuan Sandro sudah lebih dulu melakukannya.“Kamu tunggu sini ya! Aku panggilin dokter!” ucapnya dengan nada cemas, matanya tak berpaling darinya, memastikan dia tetap aman. Sandro siap berbalik, tetapi tiba-tiba ia merasakan cengkeraman tangan perempuan itu, kuat namun gemetar, menahan pergerakannya.“Nggak usah! Aku fine.” Vale tampak mengulum senyum, sekaan ingin meyakinkan pria dihadapannya. Sandro pun menurut dan kembali berbalik badan, menatap si perempuan sepenuhnya.“Tolong jelasin, kamu siapa? Dan…” Ucapan Vale terjeda, kepala perempuan itu bergerak, seakan ingin menelisik