Ku usap bulir keringat di dahi. Kemudian, aku menatap ke arah wajah pemuda tampan yang terbaring kaku di dalam peti matinya.
"Akhirnya, selesai juga," ujarku sambil menghela nafas panjang.“Kasihan, ya. Masih muda tapi sudah meninggal. Iya ‘kan, Puspa?” Salsabila, seperti biasa, menyeletuk tidak sopan tanpa tahu tempat.Untung saja hanya ada kami berdua di ruangan ini. Dia adalah sahabat dekat sekaligus tim kerjaku di Agen Pemakaman. Ya, kalian tidak salah baca, aku selalu berurusan dengan mayat setiap hari. Termasuk si pemuda tampan yang meninggal akibat kecelakaan ini.Aku mendelik, menatap kesal ke arah Salsa. “Jangan sembarangan ngomong! Kalau ada yang dengar, kita berdua bisa dipecat!”Kulihat Salsa hanya tersenyum bodoh, kemudian kami kembali fokus menatap mayat lelaki muda yang sudah selesai di dandani dalam peti itu."Ya, mau bagaimana lagi? Habisnya dia ini definisi lelaki idaman semua wanita, lho. Lihat, wajahnya sangat tampan, keluarganya kaya raya, umurnya juga masih muda! Bisa-bisanya mati duluan dibanding orang tuanya." Salsa berdecak sambil menggelengkan kepala.Aku pun memutar bola mata, "Jangankan dia, pulang dari sini kamu meninggal pun bukan perkara mustahil, lho. Jangan suka berkomentar di depan jenazah, nanti nasibnya nular ke kamu, mau?""Duh, amit-amit!" Salsa bergidik, kemudian bersiap untuk pergi. "Aku mandi duluan, ya. Sebentar, kok. Janji!""Sebentarnya mandimu itu sama dengan dua kalinya aku mandi," Aku yang sudah hafal dengan kebiasaan Salsa, hanya bisa menggelengkan kepala. Apalagi ketika melihatnya sama sekali tak mengindahkan kalimatku.Alhasil, aku yang kelelahan dan berkeringat memutuskan turun ke lantai satu untuk mencari udara segar, di halaman gedung tempatku bekerja.***Karena hanya ada dua lantai di gedung ini, lift tidak disediakan. Puspa berjalan menuruni anak tangga terakhir, melewati meja resepsionis yang sepertinya sedang menerima tamu tak biasa.Puspa berpikir begitu karena dari gaya berpakaiannya, orang itu terlihat bukan seperti lelaki sembarangan."Aku berniat memakai jasa kalian. Hanya saja, aku perlu melihat bagaimana mekanismenya, tempat eksekusi jenazahnya, juga para pekerja yang bertugas menangani para mayat." Seorang lelaki dengan temperamen luar biasa dominan berbicara tegas tanpa senyum di wajahnya.Sang resepsionis terlihat sedikit gugup, namun ketika melihat Puspa lewat, matanya berbinar terang seolah melihat malaikat penolong yang siap membantunya."Puspa!" Panggilnya yang seketika membuat sang empu menghentikan langkah.Puspa berhenti, kemudian berbalik dan melihat dua pasang mata menatap ke arahnya dengan pandangan yang kontras berbeda.Yang satu terlihat berbinar bahagia, sementara yang lain jelas menunjukkan ekspresi hinaan di wajahnya. Lelaki yang entah siapa itu mengangkat sebelah alis, menatap Puspa seolah dia adalah sampah buangan di atas genangan air comberan yang berbau busuk.Puspa mungkin tidak sadar, namun fakta bahwa dia kelelahan akibat berturut-turut melayani 3 jenazah sekaligus, membuat energinya terkuras habis. Bedak di wajahnya belang setengah, terutama di bagian dahi yang terus berkeringat dan tentu perlu di usap setiap saat. Sementara rambutnya yang dikuncir kuda itu berantakan karena gatal ketombe akibat belum keramas dua hari ini. Jadi, terlihat jelas sekusut apa kondisinya saat ini.Namun, apa Puspa nampak peduli? Tidak sama sekali!Dia lelah! Hanya ingin istirahat lalu pulang. Jadi, ketika di panggil resepsionis itu, dia sama sekali tidak bergeming. Hanya berjalan lesu dan bertanya dengan lemas."Butuh bantuan?" Tanya Puspa dengan senyuman paksa."Banget!" Resepsionis itu tanpa basa-basi langsung mengangguk. "Ini, tolong bawa Pak Hakam berkeliling gedung. Beritahu semua fasilitas dan jelaskan mekanisme persiapan mayat sebelum masuk ke dalam peti. Bisa, kan?"Puspa terdiam. Teramat murka dalam hati, namun sulit dia tunjukkan akibat sifat 'tak enakan' yang selalu membuatnya jadi babu untuk orang lain, secara tidak langsung.Akhirnya, hanya anggukan kecil yang cukup untuk menyelesaikan persetujuan terpaksanya itu. "Oke," jawabnya singkat. Kemudian beralih pada lelaki yang diketahui bernama Hakam. "Kamu 'kan, Pak Hakam?" Lanjutnya tanpa ekspresi yang berarti, yang seketika membuat Resepsionis geram sampai memukul pelan pundak Puspa."Puspa, kamu yang sopan, ya." Resepsionis itu membulatkan mata, bersuara lirih dengan gigi terkatup. Kemudian beralih lagi pada Hakam, resepsionis itu kembali tersenyum lebar, "Pak Hakam, perkenalkan, ini Puspa. Semua pertanyaan yang sebelumnya Bapak berikan akan dijawab oleh agen kami yang cekatan ini."Melirik Puspa dengan ekor matanya, Hakam mengernyitkan dahi dan berkata dengan tidak setuju. "Ada orang lain? Hidungku alergi bau keringat. Mataku juga alergi dengan 'sesuatu' yang berantakan."Ketika kalimat ini dilontarkan, dua perempuan disana terdiam. Puspa yang sudah lelah sejak awal, jelas naik pitam. Dengan deru nafas tak beraturan, dia berbalik sambil berkata kasar."Kalau begitu cari saja orang lain! PERMISI!" Puspa berjalan dengan kedua tangan terkepal. Meninggalkan jejak udara kosong di antara Resepsionis dan lelaki jangkung bernama Hakam Astana, yang sejak tadi tidak bergeming dari tempatnya.Resepsionis itu menghela napas panjang, "Mohon maaf, sepertinya kesan pertama pertemuan kita jadi agak buruk, Pak.""Aku tidak peduli," Hakam memantik sebatang rokok. "Suruh dia mandi, kemudian minta temui aku di taman belakang. Aku mau gadis bau itu jadi pemanduku.""Hah?" Resepsionis itu berkedip bingung, namun tidak sempat bertanya karena Hakam sudah melenggang pergi melewati pintu keluar.Sungguh, dia tidak habis pikir dengan tamu spesialnya itu. Apa tamunya yang satu ini memang tipe orang yang suka keributan, ya? Atau gaya hidup setiap orang kaya memang seperti itu? Entahlah. Hanya mereka sendiri yang tahu.***Usai mandi dan keramas, Puspa merasa segar dan hidup kembali. Rambutnya yang super gatal akhirnya terasa normal. Gadis itu berkaca di cermin sambil mengoleskan krim pelembab di wajahnya.Pikirnya, dia bisa pulang dengan nyaman setelah ini. Namun, harapannya harus sirna begitu saja ketika Salsa masuk kedalam kamar dan memberitahu perihal Hakam yang hanya mau di pandu olehnya untuk berkeliling.Puspa menggebrak meja, "Maunya apa, sih?!" Sungutnya kesal."Huss, jangan begitu. Kamu lupa ada marga Astana di belakang namanya?" Sambil makan sekantong keripik singkong, Salsa bergumam pada Puspa.Puspa pun hanya bisa menghela napas, menetralkan segala emosi yang berkecamuk dalam hati, sebelum akhirnya membuka pintu kamarnya dan berjalan keluar.Namun, baru sejengkal Ia melangkah, seseorang menabrak bahunya sangat keras. Membuatnya terjungkal ke belakang dan hampir jatuh ke lantai."MINGGIR!" Teriak seorang wanita yang barusan menabrak Puspa. Wanita itu terlihat sangat gelisah sambil membawa sesuatu di pelukannya. Juga terbukti dengan gaya berlarinya yang tak beraturan, seolah menjelaskan situasinya yang sedang dalam bahaya serius.Dan untungnya, mata Puspa cukup tajam untuk mengenali benda apa yang dibawa wanita barusan. Menghadap ke belakang, Puspa lekas memberitahu Salsa."Telepon polisi!" Pekiknya yang berhasil mengejutkan Salsa.Kantong keripik yang di pegangnya melayang begitu saja, isinya pun berhamburan keluar. Namun, Salsa melihat situasi yang nampak serius, sehingga tanpa basa-basi segera mengambil ponsel pipih di sebelahnya dan mendial kontak polisi.Sementara Puspa juga bergerak cepat menyusul si pencuri. Ya, dia yakin itu pasti pencuri. Karena benda yang dibawa wanita barusan jelas adalah kotak perhiasan berisikan emas yang sengaja diberikan pihak keluarga untuk disertakan dalam peti mati putra mereka. Bagi umat Katolik sebenarnya tidak dibenarkan, hanya saja keluarga jenazah terlihat seperti keturunan Tionghoa. Sehingga masih bisa di toleransi."HEI, PENCURI!" Puspa cukup lincah. Dalam beberapa langkah lebar, dia berhasil menyusul wanita itu dan menabrak punggungnya dengan keras.Sayang, posisi keduanya saat ini berada tepat di bibir pintu menuju turunan anak tangga. Wanita pencuri itu terdorong ke depan dan jatuh berguling-guling. Sementara Puspa juga ikut terjerumus, namun bukan terdorong ke depan, melainkan ke arah pembatas pagar antara lantai satu dan lantai dua, yang seketika membuat tubuhnya melayang di udara.Untung saja, Tuhan tidak tidur. Salah satu tangan Puspa berhasil menggapai besi pembatas. Tubuhnya bergelantungan, sementara bibirnya berteriak meminta pertolongan.Di lantai satu, beberapa orang yang mendengar suara keributan itu ikut heboh. Terlebih ketika melihat tubuh seorang wanita berguling-guling dari lantai dua dan berhenti tepat di anak tangga terakhir.Hakam mengernyitkan dahi, kemudian terkejut ketika mendengar teriakan yang berasal dari atas kepalanya.Pegangan Puspa tidak terlalu kuat, terlebih tangannya berkeringat dan besi itu licin. Hingga pada akhirnya, ia tetap jatuh bebas. Namun, bersamaan dengan jatuhnya dia ke bawah, ada Hakam yang siap pasang badan. Dengan reflek cepat ala tentara militer, dia maju ke depan dan berhasil menangkap tubuh ramping itu tepat sasaran.Namun, tetap saja, jatuh dari ketinggian bukan suatu perkara mudah. Tubuh Hakam tak kuasa menahan beban yang jatuh secara tiba-tiba. Ia pun berakhir tertimpa tubuh Puspa dengan posisinya yang telentang, sementara Puspa juga mendarat dengan selamat, tepat di atas tubuh Hakam.Setiap hari update. Jangan lupa klik ❤️ untuk berlangganan. Terimakasih~
Puspa gemetar sebadan-badan, tubuhnya jadi lemas layaknya jeli. Dia bahkan tidak menyadari jika ada orang lain yang saat ini sedang menopang berat tubuhnya tanpa persiapan sama sekali. Dan di posisi seperti itu, yang paling dirugikan jelas adalah Hakam. Punggungnya terasa seperti remuk, belum lagi fakta bahwa dia harus menahan massa seorang perempuan dewasa yang beratnya jelas tidak seringan anak-anak. Melihat bahwa Puspa tidak bergerak sama sekali, Hakam menghela napas dan berdiam diri sejenak. Sebetulnya, dia pernah berada di posisi yang sama. Hanya saja waktu itu yang menimpa tubuhnya adalah anak lelakinya sendiri. Mereka jelas memiliki ciri khas yang sama pasca terjatuh, yaitu badan gemetar tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Dan hal ini pula yang Hakam rasakan pada Puspa.Setelah beberapa menit terlewati, tubuh Puspa akhirnya jadi sedikit rileks. Hakam pun membuat suara deheman kecil, menyadarkan Puspa betapa ambigunya posisi mereka saat ini. “M-maaf, Pak.” Puspa berusaha men
Setelah pertemuannya dengan Hakam barusan, semua kembali seperti biasa. Puspa sibuk dengan jenazah si nenek tua yang di gadang-gadang punya harga melebihi harga dirinya. Setelah beberapa waktu sibuk dengan semua persiapan jenazahnya di dalam peti mati, tugas Puspa akhirnya selesai. Dia dan Salsa bersiap untuk pulang dengan keadaan lelah, seperti biasanya. “Kamu yakin, pulang sendiri?” Salsa bertanya pada Puspa untuk yang kesekian kali. Biasanya, dia akan mengantar temannya itu sampai ke halte bus depan sana. Karena posisi Rumah Duka masuk ke dalam gang, yang cukup jauh dari jalan raya. Puspa memutar mata, “Memangnya aku punya pilihan? Kamu sendiri yang bilang ada urusan, ya sudah tidak apa-apa. Halte depan tidak terlalu jauh, kok.” Walaupun merasa bersalah, Salsa tidak bisa mengabaikan urusannya yang satu ini, sehingga dia benar-benar harus pergi sekarang. “Kalau begitu, aku duluan, ya. Kamu hati-hati!” Motor matic itu dinyalakan, kemudian rodanya berputar meninggalkan area Rumah Du
Puspa pun merasakan rintik hujan jatuh di atas kepalanya. Karena tidak punya banyak pilihan, mengingat penyakit alerginya yang merepotkan, Puspa pun buru-buru masuk ke kursi tengah dengan tergesa. “Permisi,” ujarnya, sopan. Kemudian membuka pintu mobil bagian belakang dan duduk dengan nyaman. Dalam perjalanan, Hamun terus menatap wajah Puspa. Anak itu begitu terus terang dalam bertindak. Dia bahkan sengaja membalik posisi badan agar bisa terus melihat wajah Puspa. Gadis muda itu jelas tidak nyaman di perhatikan sampai sedemikian rupa, namun apalah daya, anak-anak seperti Hamun mana tahu perasaan orang dewasa, dan tentu tidak mau tahu terlepas dari apa yang mereka rasa. Sudah menjadi ciri khasnya anak-anak pada umumnya, jika kamu senang maka tunjukkanlah sikap bahwa kamu menyukainya. Begitupun sebaliknya. “Kamu sangat cantik,” Hamun tersenyum lebar. Menunjukkan deretan gigi yang tak sepenuhnya utuh. Satu gigi depannya ompong, terlihat lucu saat di perhatikan lebih dekat. Puspa tida
Ketika pemakaman selesai, Zara buru-buru memanfaatkan kesempatan mendekati sang putra semata wayang yang selalu menghindar darinya. “Sayang, mau ikut pulang dengan Mama?” “Dengan Papa saja.” Bahkan tanpa pikir panjang, Hamun langsung menolak ajakan sang Ibu. Yang mana hal itu menjadi hiburan tersendiri bagi Hakam. Zara sangat kesal saat memperhatikan ekspresi mengejek dari suaminya itu. Dia pun menyeletuk, “Apa sih enaknya sama Papa? Dia bahkan tidak pernah ajak kamu pergi ke tempat main yang seru. Dia juga tidak pernah ajak Hamun pergi jalan-jalan, kan? Kamu itu di kekang sama Papamu, harusnya kamu sadar!” Mendengar lontaran kalimat ini, Hakam tidak bereaksi apa-apa karena ingin mendengar jawaban langsung dari sang anak. Saat kepalanya menunduk untuk melihat ekspresi Hamun, anak itu juga sama sekali tidak bergeming. Justru saat ini Hamun memasang wajah serius ketika menatap mata sang Ibu. “Itulah alasan kenapa aku tidak pernah mau dekat dengan orang sepertimu. Kalian berdua jelas
Melihat kepergian Zara, Hakam hanya diam sambil mengamati dengan tenang. Ketika dia mengalihkan pandangan ke arah Hamun, anak itu juga sama sepertinya. Nampak tidak peduli oleh sang Ibu, malah lebih perhatian pada Puspa yang bukan siapa-siapanya. “Kamu baik?” Tanya Hamun sambil menyodorkan sebotol air mineral pada Puspa. Puspa meneguk setengahnya, baru kemudian balas tersenyum ke arah Hamun. “Terimakasih, tapi aku sedang tidak baik. Ternyata suhu AC tidak cocok dengan orang sepertiku,” ujarnya sambil tertawa. “Acara sudah selesai, sebaiknya kamu langsung pulang.” Hakam berkata singkat, kemudian masuk kedalam mobil begitu saja tanpa menunggu persetujuan dari yang lain. Hamun berdecak, kemudian meminta Puspa menurut saja. “Papaku itu orangnya galak. Lebih baik sedikit bicara kalau dekat dengannya,” saran anak itu yang langsung mendapat anggukan setuju dari Puspa. Setelah semua orang masuk kedalam mobil, mesin dinyalakan dan berjalan menjauhi area pemakaman. Di sepanjang perjalana
“Bisa-bisanya kamu bilang itu bukan urusanku,” Zara menggelengkan kepalanya. “Aku ini masih Istrimu, Mas! Kita bahkan belum resmi bercerai, tapi kamu sudah dapat yang baru secepat itu?!” “Jadi, ini salahku?” Hakam tidak peduli dengan tamparan yang barusan. Baginya itu hanya pukulan bayi kecil yang baru lahir, tidak berasa sama sekali. Menatap mata Zara, dia melanjutkan. “Kamu lupa, berapa kali aku tolak semua permintaan pisah yang terus kamu berikan tanpa jeda? Sekarang setelah semua, masih harus aku yang disalahkan? Lucu, kamu.” Hakam tertawa kecil, mengusap pipinya sambil memasang ekspresi mengejek, “Bahkan anak kecil tau seberapa buruknya kamu. Jangan terlalu mendalami peran sebagai Ibu peri, itu tidak akan berhasil.” Ujarnya sebelum berlalu dari hadapan Zara. Zara mengepalkan kedua tangannya. Kini, rasa ingin mencabik-cabik perempuan yang ia temui tadi jadi semakin membengkak dalam hatinya. “Puspa Paramita,” Zara menggertakkan gigi. “Kamu benar-benar benalu yang harus segera d
Di pagi hari berikutnya, Elisha mendiamkan Puspa. Sarapan pagi ini tidak sehangat biasanya. Terasa sunyi karena Elisha yang biasa menemani sang putri kini memilih untuk menyibukkan diri dengan urusan gereja sejak pagi-pagi buta. Puspa juga seakan sudah terbiasa dengan perang dingin ini, karena memang bukan pertama kalinya mereka berada dalam situasi seperti ini. Setiap kali Puspa ketahuan bernyanyi oleh sang ibu, maka keesokan harinya pasti akan ada jarak di antara keduanya. Puspa juga tidak terlalu ambil pusing, setelah memakai sepasang sepatu itu, dia berjalan melewati gereja menuju jalan setapak yang dipenuhi rumput liar. Sepanjang jalan menuju jalan raya, Puspa memikirkan banyak hal di kepalanya. Termasuk soal pertemuannya dengan Hakam kemarin. Entah mengapa, dia jadi terbayang wajah tampan namun menakutkan dari lelaki ganas itu. “Jadi mereka benar-benar mau berpisah, ya.” Puspa bergumam, mengingat kejadian dimana dia langsung menyaksikan pertengkaran antara pasangan suami istr
“Astaga, kenapa setiap hari ada saja yang meninggal, sih!” Salsabila mengeluh, padahal keringat di dahinya belum mengering. Namun panggilan selalu datang, bahkan kali ini harus pergi langsung ke TKP karena korban meninggalnya diduga akibat bunuh diri. Kali ini, Puspa juga setuju dengan Salsa. “Betul, hari ini super banget lelahnya,” ujarnya, namun kembali membuka mata lebar-lebar ketika mengingat bahwa masih ada satu jadwal lagi yang harus mereka selesaikan sebelum benar-benar bisa mengakhiri pekerjaan dan pulang. Salsa yang berdiri pertama kali, “Aku cuci muka sebentar, kamu siapkan semua peralatan, ya. Nanti aku yang bawa ke mobil.” “Oke,” malas berdebat, Puspa pun mengangguk saja. Lagipula, jika tugasnya beres-beres, maka bagian yang mengangkat kebawah pasti rekannya. Anggap saja sebagai aturan tidak tertulis di antara setiap tim. Lokasi jenazah berada tepat di tengah kota, di sebuah hotel mewah yang biasa disewa oleh pasangan-pasangan yang ingin menghabiskan malam panas tanpa g
Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n
"APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu
"Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m
Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det
Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,
Puspa dan kedua orangtua Fajar bergegas ke kantor polisi. Mobil hitam itu melesat kencang menuju kantor polisi terdekat. Mereka hanya bisa berharap pihak kepolisian bisa dengan mudah membantu rencana mereka."Ada yang bisa kami bantu?" Tanya salah seorang polisi kepada ketiga orang itu.Puspa mengangguk, "Ini sangat mendesak. Saya harap bapak mau mendengarkan."Pak polisi mengangguk, kemudian mendengarkan dengan seksama laporan dari ketiga orang di depannya. Begitu mereka selesai menjelaskan, ia terkejut. Terutama ketika ia mendengar rekaman yang baru saja di putar."Apa rekaman ini asli?" Tanya polisi itu.Kali ini, ibu fajar mengangguk. Ia langsung menjelaskan secara lebih rinci tentang permasalahan yang mereka hadapi. Sementara itu, Puspa merasa semakin gelisah. Telapak tangannya berkeringat, pikirannya kacau. Berada di kantor polisi tidak membuatnya merasa tenang sama sekali.Ia takut hal ini akan membawa keluarga Fajar berada dalam masalah. Tetapi masalahnya, ia juga tidak yakin
Setelah Anton kembali, Fajar berbasa-basi sejenak, kemudian berpamitan dan langsung pergi ke studio untuk berdiskusi dengan Puspa."Apa? Kenapa?" Puspa kebingungan ketika Fajar tiba-tiba datang dengan ekspresi aneh. Dia langsung menutup pintu rapat-rapat dan membawa Puspa duduk di atas sofa.Fajar terdiam sejenak, terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. "Itu ...""Apa? Apa yang itu?" Puspa mengerutkan kening."Ada hal penting yang harus aku katakan. Tapi ... ""Jangan buat aku penasaran!" Puspa yang tidak tahan, reflek memukul pundak Fajar.Fajar langsung duduk tegap, kemudian agak takut melihat ekspresi yang dipasang oleh Puspa saat ini. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya berani membuka mulutnya."Aku tidak yakin bisa mengatakannya, sebaiknya kamu mendengarnya secara langsung." Fajar langsung memasangkan earphone ke telinga Puspa dan memutar rekaman yang baru saja ia dapatkan.Puspa awalnya bingung, karena tidak ada suara apapun selama beberapa saat. Itu karena Fajar sedang m
"Aku sudah curiga sejak awal, tapi masih terasa sakit mendengarnya langsung dari orang lain." Puspa mengusap air mata di pipinya. Dia masih tidak menyangka jika sang ibu tega melakukan hal jahat demi uang."Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Apalagi ibumu bukan ibu kandung, kan? Bukan maksudku menjelek-jelekkan ibumu. Tetapi itu mungkin karena kalian berdua tidak memiliki ikatan darah."Puspa tidak setuju, "Seharusnya lebih daripada itu. Jika memang hanya karena alasan hubungan darah, sejak kecil aku tidak mungkin mendapat kasih sayang darinya. Ini pasti ada alasan lain mengapa Ibuk mau bekerja sama dengan Zara. Mungkin Zara mengancamnya.""Mengancam dengan apa?" Tanya Fajar penasaran.Puspa menggeleng, "Aku juga belum tahu, tetapi akan segera aku caritahu kebenarannya.""Tetapi kamu akan sibuk akhir-akhir ini. Bagaimana mungkin kamu punya waktu untuk menyelidiki sesuatu yang jauh disana?""Entahlah," Puspa tertawa, "Aku yakin pasti ada jalan jika memang takdirku mengatakan ha