“Astaga, kenapa setiap hari ada saja yang meninggal, sih!” Salsabila mengeluh, padahal keringat di dahinya belum mengering. Namun panggilan selalu datang, bahkan kali ini harus pergi langsung ke TKP karena korban meninggalnya diduga akibat bunuh diri.
Kali ini, Puspa juga setuju dengan Salsa. “Betul, hari ini super banget lelahnya,” ujarnya, namun kembali membuka mata lebar-lebar ketika mengingat bahwa masih ada satu jadwal lagi yang harus mereka selesaikan sebelum benar-benar bisa mengakhiri pekerjaan dan pulang.Salsa yang berdiri pertama kali, “Aku cuci muka sebentar, kamu siapkan semua peralatan, ya. Nanti aku yang bawa ke mobil.”“Oke,” malas berdebat, Puspa pun mengangguk saja. Lagipula, jika tugasnya beres-beres, maka bagian yang mengangkat kebawah pasti rekannya. Anggap saja sebagai aturan tidak tertulis di antara setiap tim.Lokasi jenazah berada tepat di tengah kota, di sebuah hotel mewah yang biasa disewa oleh pasangan-pasangan yang ingin menghabiskan malam panas tanpa gangguan dari orang lain. Ketika Puspa dan Salsa sampai disana, itu sudah pukul tujuh malam lebih sedikit.Cukup ramai, namun karena pihak hotel tidak ingin membuat nama hotel mereka tercoreng, biasanya korban-korban meninggal yang ada di setiap kamar akan dirahasiakan dari publik. Hanya pihak tertentu seperti pihak keluarga korban, kepolisian, juga agen Rumah Duka seperti mereka berdua yang tahu kebenarannya.Mendatangi resepsionis, Puspa langsung menunjukkan identitas agen resminya. Tanpa basa-basi, resepsionis itu juga langsung memanggil satpam dan memintanya mengantar kedua agen tersebut memasuki kamar yang menjadi tempat peristiwa naas itu terjadi.Ketika Puspa masuk pertama kali dengan Salsa, aroma menyengat langsung menyambut hidung mereka. Juga sudah ada beberapa anggota kepolisian yang hadir untuk melakukan identifikasi. Pada dasarnya, ketika agen seperti Puspa dipanggil, TKP sudah dalam kondisi tahap akhir. Artinya, semua hal yang diperlukan pihak kepolisian sudah lebih dulu mereka amankan.Hampir satu jam mengevakuasi dengan semua keterampilan yang mereka miliki, Puspa akhirnya bisa membuka tiga lapis masker di wajahnya dengan tenang. “Akhirnya selesai juga.”Keduanya tepar, selonjoran di lantai depan kamar yang selesai dievakuasi tersebut dengan energi terkuras habis. Jenazahnya barusan di angkat oleh rekan lelaki mereka, jadi dengan kata lain, pekerjaan mereka hari ini benar-benar sudah berakhir.Salsa yang memejamkan mata sambil menyandar ke tembok, sayup-sayup mendengar suara yang cukup familiar di telinganya. Karena makin penasaran, dia pun membuka mata perlahan-lahan. Namun hampir melompat kaget begitu tahu apa yang dilihatnya mungkin adalah sebuah bencana besar.“Puspa, ayo masuk dulu.” Salsa bergerak cepat ketika menyadari sepasang kekasih yang baru keluar dari lift itu makin dekat dengan mereka.Puspa di buat bingung, namun hanya menurut dan masuk kembali ke ruangan yang sudah di steril tersebut dengan tingkah mengendap, persis seperti maling yang sedang beraksi.“Kenapa, sih?” Walau bingung, Puspa masih mengikuti tingkah Salsa yang mendekatkan wajah ke sela-sela pintu yang tidak mereka tutup sepenuhnya. Baru, setelah mengarahkan pandangan lurus mengikuti kemana mata Salsa bergerak, Puspa hampir berteriak kencang.Beruntung, Salsa siaga satu dan dengan cepat menyumpal bibir Puspa menggunakan telapak tangannya sendiri. “Lihat tidak?” Tanya Salsa yang segera mendapat anggukan syok dari Puspa.“Memang apa yang kamu lihat?” Tanya Salsa dengan kedua alis di naik-turunkan secara bersamaan.Puspa yang masih syok hanya melongo seperti orang bodoh, “Yang barusan itu … serius? Ini kan hotel untuk …”“Untuk pasangan yang mau ‘nganu-nganu’. Yep, kita memang tidak salah lihat. Yang tadi itu jelas Zara Naila dengan lelaki lain selain suaminya, Pak Hakam,” ujar Salsa sambil menggelengkan kepalanya. “Dasar orang kaya, ada-ada saja kelakuannya” lanjutnya dengan ekspresi masam.***“Kamu nakal, Mas.” Zara terkekeh geli ketika wajah lelaki itu menyusup ke ceruk lehernya. Memberi kecupan halus, lumatan sensual, juga gesekan tubuh yang memercikkan gairah seksual di antara keduanya.Lelaki tak dikenal itu mengangkat wajah, mendekati bibir ranum Zara sebelum akhirnya memberi kecupan lembut di atasnya. “Sudah lama tidak bertemu, kamu berharap aku menahan diri?”Zara menggeleng, “Jangan ditahan, lakukan saja sesuka hati,” ujarnya pelan, kemudian meniup cuping telinga si lelaki sambil membisikkan kalimat yang memancing hasrat. “Mandi berdua. Mau, Mas?”“Hmm,” balas si lelaki yang sudah tak sanggup berkata-kata. Dengan hasrat menggebu, dia bawa tubuh ramping itu ke dalam bathup yang sudah terisi air hangat dengan taburan kelopak mawar di atasnya.Tak lama setelahnya, erangan keras terdengar. Tubuh ramping itu bergerak naik turun mengikuti irama sang dominan. Zara di buat melayang, merasa begitu tertantang akan nikmatnya dosa-dosa yang sudah dia cicipi sejak beberapa bulan belakangan.Hanya dia. Lelaki panas yang bisa memuaskannya, bisa membuatnya bahagia, juga yang selalu merindukannya dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Bagi Zara, beginilah seharusnya seorang perempuan diperlakukan. Lagipula, dia sudah berkubang dalam genangan lumpur, apa salahnya dilanjutkan?“Ah!” Zara menjerit. Mencapai puncak setelah di serang semua titik sensitif yang ada pada tubuhnya. Namun, apakah malam panjang ini hanya akan berakhir di sini? Tentu tidak. Mereka belum puas, merasa bahwa kerinduan yang terpendam begitu lama membutuhkan waktu yang lama pula untuk terurai.Akibatnya, malam panas mereka terus berlanjut, ditemani erangan nakal dan ciuman basah yang penuh gairah, tanpa ada satu orangpun yang mengganggu.Hari berikutnya, Zara terbangun sendiri di kamar besar itu. Lelakinya sudah lama pergi, meninggalkan sepucuk surat yang berisi ungkapan manis penuh gombalan kering. Walau begitu, Zara menyukainya. Darimana lagi dia bisa dapat begitu banyak cinta selain dari kekasihnya ini? Suaminya yang cuek itu? Yang benar saja.Selesai mandi, Zara tidak langsung pulang. Dia memilih menikmati secangkir teh hangat sambil merasakan semilir angin pagi dari balkon kamarnya.Tak lama kemudian, ponsel di atas meja itu berdering. Ketika melihat siapa nama kontaknya, senyuman licik mengembang di bibirnya. "Sudah dapat semua infonya? Jangan sampai buat aku kesal karena cara kerjamu yang terlalu lambat." Zara mengharapkan jawaban pasti, dan dia berharap mendapatkannya di pagi ini.Di seberang telepon, seorang lelaki menjawab santai sambil melihat beberapa lembar kertas di tangannya. "Sesuai janji, 7 juta jika kurang dari 7 hari.""Deal." Zara sangat senang. Tanpa pikir panjang, dia langsung mematikan sambunga
"Kurang ajar!" Tukang ojek itu mengusap hidungnya yang berdarah. Menatap Puspa yang sudah lari jauh di depan, dia segera mengambil motor dan membawanya sekencang angin. Puspa yang menyadari hal ini mengumpat dalam hati, menyalahkan kebodohannya yang malah berlari begitu saja. Padahal seharusnya pakai saja motor penjahatnya lalu kabur, daripada jadi kejar-kejaran seperti ini? Sambil berlari sekencang yang dia bisa, Puspa sesekali melihat ke belakang dimana motor si penjahat itu makin lama semakin dekat dengan dirinya. Puspa mencari akal, pikirnya si penjahat akan sangat kewalahan jika dia berhasil menjauhkannya dari motornya. Tapi bagaimana caranya?! Berpikir sambil berlari bukanlah suatu perkara mudah. Puspa terengah-engah, hampir menyerah sebelum akhirnya melihat sebuah jurang dangkal di depan sana. Puspa dibesarkan di sini, tidak ada yang lebih tahu wilayah ini daripada dirinya sendiri. Bersama teman-teman kecilnya dulu, Puspa sering menyelinap ke daerah kebun sawit untuk bermain
Di sebuah kamar besar dengan aksen mewah khas milik orang-orang kaya, Zara Naila nampak tersenyum lebar sambil minum secangkir jus buah segar. Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar akibat panggilan telepon yang membuatnya naik pitam. Zara membanting gelas yang ia pegang ke lantai dan memaki dengan suara keras. "Gagal?! Bagaimana bisa!" Jika orang yang sedang bicara dengannya ini ada di depan wajahnya, pasti sudah dia cabik-cabik seluruh tubuhnya. "Maaf, tapi orangnya sudah ditangkap penjaga kebun dan dibawa ke kantor polisi," ujar seorang lelaki yang dibayar mahal oleh Zara untuk memberi pelajaran pada Puspa. Zara tidak dapat menerima kegagalan ini, terutama pelakunya sampai tertangkap dan dibawa ke kantor polisi. Jika sampai pelaku itu bicara macam-macam, namanya juga bisa ikut terseret! "Sial!" Zara kembali menghubungi seseorang, memintanya menghabisi si tukang ojek yang mereka sewa untuk melecehkan Puspa, yang saat ini sudah berada di kantor polisi. Padahal, rencanan
Puspa sedang berkemas, bersiap untuk pulang karena memang sudah waktunya. Sebenarnya, jam pulang memang selalu pukul 3 sore. Kecuali ada terlalu banyak pasien yang perlu diurus, maka hitungannya akan masuk kedalam jam lemburan. “Puspa?” Panggil seorang perempuan yang tak lain adalah Manajer Pemasar baru mereka. Puspa yang dipanggil tidak langsung menjawab. Ini dikarenakan dia belum tahu siapa namanya. Bukan karena tidak diberitahu, hanya saja Puspa sibuk bergosip dengan Salsa di aula tadi, sehingga namanya pun dia tidak ingat. “Oh, Ibu manajer baru, ternyata.” Berbasa-basi tanpa menyebut nama adalah keahlian Puspa. Manajer perempuan itu tersenyum kecil, “Nama saya Sinta, panggil nama saja, ya. Lagi pula umur kita tidak terlalu jauh, kok.” “Baik, Bu Sinta. Ada perlu apa, ya? Kebetulan hari ini saya tidak ada lembur. Kalau mau tanya-tanya terkait banyak hal, saya tidak bisa. Tapi ada banyak divisi yang lembur selain saya hari ini.” Tidak biasany
Hakam melamun sepanjang perjalanan pulang. Entah mengapa, kalimat yang keluar dari bibir Puspa terus membuatnya kepikiran. Tidak biasanya dia begini, selalunya tidak pernah peduli dengan perasaan orang lain. Namun, dengan gadis miskin itu, Hakam merasa berbeda. “Papa pulang,” Hakam membuka pintu dan berniat menyapa Hamun. Namun yang ia dapati pertama kali justru orang lain, yakni sang Ibu yang ternyata sedang berkunjung. Batari, namanya. Perempuan yang sudah berkepala hampir lima itu terlihat sedang bermain bersama cucu kesayangannya. Melihat kedatangan Hakam, Batari tersenyum. “Mama dengar kamu rajin patroli dua hari ini?” Hakam memutar mata, “Baru dua hari.” “Dua hari itu sudah termasuk kemajuan, lho. Ingat siapa yang menolak keras melanjutkan bisnis Papamu dulu? Itu kamu. Tapi coba lihat sekarang, mau tak mau, nyatanya kamu tetap melanjutkan.” Batari berdiri dan berjalan menuju meja ma
Puspa menatap langit-langit kamarnya yang sudah mengelupas. Kemudian ingatannya kembali ke waktu dimana Hakam mengatakan kalimat menyakitkan tentang antingnya yang hilang. Padahal itu masalah sepele, Puspa sering dapat cemoohan yang lebih sakit daripada itu. Namun, entah mengapa dia masih terus kepikiran sampai sekarang.“Kenapa semua orang kaya selalu begitu, ya.” Puspa menghela nafas dan memutuskan untuk keluar dari rumah, mencari udara segar. Dia berjalan tanpa alas kaki, menyusuri jalan setapak yang ditumbuhi rerumputan pendek. Menggelitik telapak kakinya, menjadikan hal itu sebagai hiburan tersendiri baginya yang tidak punya apa-apa.Ketika melihat kaki telanjangnya yang menyentuh tanah, Puspa jadi ingat masa-masa sekolah dasar yang dianggap sebagai tahun terberat baginya. Puspa ingat waktu itu sepatunya rusak parah, tapi karena ibunya belum memiliki uang lebih, dia terpaksa sekolah dengan sepatu rusaknya.Teman-temannya mengejeknya, menja
Hakam mengerang, memejamkan mata sambil menikmati setiap sentuhan yang dia berikan pada teman besarnya. Tetapi, ada yang aneh. Hakam tidak bisa memikirkan hal lain selain pemandangan es krim meleleh yang beberapa saat lalu membuatnya terkesan. Setiap kali dia mencoba untuk membayangkan hal lainnya, libidonya menurun. Namun, akan naik lagi dengan cepat ketika membayangkan adegan yang barusan di lihatnya di pinggir jalan. “Sial!” Hakam mengumpat, merasa seakan melayang diudara ketika lahar panas di bawah sana berhasil di muntahkan. Sungguh, satu tahun adalah waktu yang cukup lama untuk menyimpan semua benih dalam dirinya. Kini, ketika akhirnya dibebaskan, masing-masing dari mereka seakan menggila. Membuat pelepasannya kali ini menjadi salah satu yang paling memuaskan, layaknya gunung meletus yang memuntahkan lahar panas.Terengah-engah, Hakam memejamkan matanya sebentar untuk rehat. Akhirnya, pikirannya kembali jernih setelah berhasil menjinakkan si cacing alaska. Mengingat kelakuannya
Karena ada dua mayat, Puspa dan Salsa harus mengerjakan satu-persatu. Ternyata kedua jenazah tersebut adalah sepasang suami istri yang meninggal akibat kecelakaan. Yang sedang digarap mereka saat ini adalah si lelakinya. Sementara mayat perempuan diletakkan di ruangan lain. Bu Sinta yang sejak tadi masih bersembunyi di balik tikungan, kini perlahan muncul dan berjalan melewati lorong dengan masing-masing pintu tertutup. Kemudian dia berhenti di depan salah satu pintu dan masuk kedalamnya. Melihat mayat perempuan itu masih tergeletak di tempat yang seharusnya, dia buru-buru mendekat dan mencari-cari sesuatu.Ya, dia memang punya niat jahat. Ingin mengambil barang berharga apapun dari si mayat, yang nantinya akan diletakkan ke dalam tas kerja Puspa. “Ketemu,” Sinta tertawa ketika melihat jari manis mayat itu masih terpasang cincin kawinnya. “Ini pasti akan jadi hiburan yang menarik,” Sinta tersenyum licik, kemudian bergerak cepat mengambil cincin itu sebelum dibawa pergi dengan langk
Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n
"APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu
"Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m
Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det
Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,
Puspa dan kedua orangtua Fajar bergegas ke kantor polisi. Mobil hitam itu melesat kencang menuju kantor polisi terdekat. Mereka hanya bisa berharap pihak kepolisian bisa dengan mudah membantu rencana mereka."Ada yang bisa kami bantu?" Tanya salah seorang polisi kepada ketiga orang itu.Puspa mengangguk, "Ini sangat mendesak. Saya harap bapak mau mendengarkan."Pak polisi mengangguk, kemudian mendengarkan dengan seksama laporan dari ketiga orang di depannya. Begitu mereka selesai menjelaskan, ia terkejut. Terutama ketika ia mendengar rekaman yang baru saja di putar."Apa rekaman ini asli?" Tanya polisi itu.Kali ini, ibu fajar mengangguk. Ia langsung menjelaskan secara lebih rinci tentang permasalahan yang mereka hadapi. Sementara itu, Puspa merasa semakin gelisah. Telapak tangannya berkeringat, pikirannya kacau. Berada di kantor polisi tidak membuatnya merasa tenang sama sekali.Ia takut hal ini akan membawa keluarga Fajar berada dalam masalah. Tetapi masalahnya, ia juga tidak yakin
Setelah Anton kembali, Fajar berbasa-basi sejenak, kemudian berpamitan dan langsung pergi ke studio untuk berdiskusi dengan Puspa."Apa? Kenapa?" Puspa kebingungan ketika Fajar tiba-tiba datang dengan ekspresi aneh. Dia langsung menutup pintu rapat-rapat dan membawa Puspa duduk di atas sofa.Fajar terdiam sejenak, terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. "Itu ...""Apa? Apa yang itu?" Puspa mengerutkan kening."Ada hal penting yang harus aku katakan. Tapi ... ""Jangan buat aku penasaran!" Puspa yang tidak tahan, reflek memukul pundak Fajar.Fajar langsung duduk tegap, kemudian agak takut melihat ekspresi yang dipasang oleh Puspa saat ini. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya berani membuka mulutnya."Aku tidak yakin bisa mengatakannya, sebaiknya kamu mendengarnya secara langsung." Fajar langsung memasangkan earphone ke telinga Puspa dan memutar rekaman yang baru saja ia dapatkan.Puspa awalnya bingung, karena tidak ada suara apapun selama beberapa saat. Itu karena Fajar sedang m
"Aku sudah curiga sejak awal, tapi masih terasa sakit mendengarnya langsung dari orang lain." Puspa mengusap air mata di pipinya. Dia masih tidak menyangka jika sang ibu tega melakukan hal jahat demi uang."Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Apalagi ibumu bukan ibu kandung, kan? Bukan maksudku menjelek-jelekkan ibumu. Tetapi itu mungkin karena kalian berdua tidak memiliki ikatan darah."Puspa tidak setuju, "Seharusnya lebih daripada itu. Jika memang hanya karena alasan hubungan darah, sejak kecil aku tidak mungkin mendapat kasih sayang darinya. Ini pasti ada alasan lain mengapa Ibuk mau bekerja sama dengan Zara. Mungkin Zara mengancamnya.""Mengancam dengan apa?" Tanya Fajar penasaran.Puspa menggeleng, "Aku juga belum tahu, tetapi akan segera aku caritahu kebenarannya.""Tetapi kamu akan sibuk akhir-akhir ini. Bagaimana mungkin kamu punya waktu untuk menyelidiki sesuatu yang jauh disana?""Entahlah," Puspa tertawa, "Aku yakin pasti ada jalan jika memang takdirku mengatakan ha