Puspa gemetar sebadan-badan, tubuhnya jadi lemas layaknya jeli. Dia bahkan tidak menyadari jika ada orang lain yang saat ini sedang menopang berat tubuhnya tanpa persiapan sama sekali.
Dan di posisi seperti itu, yang paling dirugikan jelas adalah Hakam. Punggungnya terasa seperti remuk, belum lagi fakta bahwa dia harus menahan massa seorang perempuan dewasa yang beratnya jelas tidak seringan anak-anak. Melihat bahwa Puspa tidak bergerak sama sekali, Hakam menghela napas dan berdiam diri sejenak. Sebetulnya, dia pernah berada di posisi yang sama. Hanya saja waktu itu yang menimpa tubuhnya adalah anak lelakinya sendiri. Mereka jelas memiliki ciri khas yang sama pasca terjatuh, yaitu badan gemetar tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Dan hal ini pula yang Hakam rasakan pada Puspa.Setelah beberapa menit terlewati, tubuh Puspa akhirnya jadi sedikit rileks. Hakam pun membuat suara deheman kecil, menyadarkan Puspa betapa ambigunya posisi mereka saat ini. “M-maaf, Pak.” Puspa berusaha menopang berat tubuhnya menggunakan kedua tangannya. Namun, hanya satu detik Ia bertahan sebelum jatuh lagi ke pelukan Hakam. Dan lebih parahnya lagi, ada berita buruk lain, dimana posisi mereka yang sebelumnya sudah ambigu, kini jadi semakin ambigu lantaran buah dada Puspa saat ini berada tepat di depan Hakam. Menenggelamkan seluruh area wajah lelaki itu di antara bongkahan daging lembut yang cukup membuat semua cucu adam frustasi hanya dengan melihatnya.“MAAF, PAK!” Puspa pun menjerit karena makin panik. Dan dengan begitu, dia juga makin berusaha keras mengerahkan semua tenaga untuk bangun dan menjauh dari tubuh Hakam. Kali ini memang berhasil, hanya saja posisinya masih duduk, belum bisa berdiri akibat kedua kakinya yang masih lemas dan mati rasa. Sementara itu, perlahan-lahan Hakam juga berdiri. Menatap mata Puspa dengan tatapan setajam pisau daging, dia berkata, “Lain kali kamu sengaja melakukannya lagi, jangan kaget jika isi kepalamu berhamburan.”Puspa yang masih syok, merasa malu sekaligus kesal. Dia pikir siapa yang sengaja terjatuh secara dramatis begitu? Lagipula tidak ada untungnya juga, kan? Yang ada, namanya jadi tercoreng lantaran akan dilihat oleh mata orang lain sebagai kejadian konyol yang sangat memalukan.“Puspa!” Salsa berteriak dari anak tangga. Tanpa memperdulikan tubuh si pencuri yang masih pingsan, dia melompat begitu saja dan segera membantu rekannya berdiri. “Sudah telepon polisi, kan?” Tanya Puspa yang segera mendapat anggukan mantap dari Salsa. Dan benar saja, hanya selang beberapa detik setelah Salsa menganggukkan kepala, beberapa lelaki berseragam sama datang melewati pintu depan. Puspa dan Salsa tentu saja jadi saksi, yang kemudian diajak berunding serta dimintai keterangan. “Terimakasih atas kerjasamanya,” selesai dengan semua pertanyaan, Polisi itu menjabat tangan Salsa dan Puspa secara bergantian, sebelum akhirnya pamit undur diri dengan membawa tersangka pencurian untuk dimintai keterangan lebih lanjut.Salsa menghela nafas, kemudian menatap wajah Puspa yang masih nampak pucat seakan kehabisan darah. “Istirahat dulu, ya. Kamu pasti syok banget,” Salsa membantu Puspa berdiri dan membawanya ke ruang tunggu paling dekat dengan posisi mereka saat ini.Disana, Puspa meneguk habis air mineral dari dalam wadah 200 mili. Menatap wajah Salsa, dia bergumam sambil menggelengkan kepala. “Yang tadi itu super menakutkan!”“Kamu itu, lho, yang cerobohnya keterlaluan,” sambar Salsa dengan ekspresi kesal. “Bisa-bisanya main dorong di dekat tangga, untung selamat.” Lanjutnya masih dengan intonasi kesal yang sama seperti sebelumnya.“Eh, bicara soal selamat, Pak Hakam ternyata masih disini, loh.” Imbuh Salsa yang sengaja merubah topik pembicaraan.Puspa memutar mata, “Terus kenapa?”“Yeuu .. masih belum paham juga. Ya, kamu harus berterima kasih, dong.” Salsa memukul pelan kepala Puspa. Kemudian, seakan teringat sesuatu, dia melanjutkan, “Ternyata, dia datang kesini juga bukan tanpa alasan. Tetua di keluarga mereka meninggal.”Puspa langsung nyambung, “Tetua di keluarga Astana meninggal? Neneknya atau Kakeknya?”“Tetua yang perempuan. Aku dengar meninggalnya tepat dini hari tadi, dan mereka butuh jasa kita, katanya,” jawab Salsa.“Memang mayatnya sudah di antar?” tanya Puspa yang langsung dijawab gelengan kecil dari Salsa.“Belum, masih dalam perjalanan,” Salsa tiba-tiba menjatuhkan diri ke sandaran sofa belakang. “Nanti kamu harus berterimakasih loh, sama Pak Hakam. Dia yang selamatkan kamu.”Puspa pun seketika diingatkan akan dada bidang yang penuh aroma lelaki dewasa itu. Sayangnya, ada kejadian yang kurang mengenakkan, yang seharusnya tidak pernah terjadi di antara mereka. Walau sejujurnya, dia memang suka tipe lelaki yang lebih tua darinya. Apalagi yang tampan dan mapan seperti Hakam Astana. “Tapi sifatnya menakutkan, ya. Kamu pasti sering dengar tentang rumor keluarga Astana.” Timpal Salsa, lagi, yang seketika membuyarkan khayalan indah Puspa Paramita.Puspa mengangguk, “Keluarga rentenir,” gumamnya pelan, yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua.“Banyak yang bersaksi, pernah melihat Hakam Astana menembak mati para penghutang yang meminjam uang padanya.” Salsa pun melanjutkan gosipnya. Tentu saja, di antara mereka berdua, yang paling up to date tentang banyak hal di sekitar mereka, jelas Salsabila.Puspa bergidik ngeri, “Aku juga pernah dengar, tapi pasti ada alasannya, kan? Mana mungkin asal tembak orang tanpa alasan yang jelas.” Tanpa sadar, Puspa memberi pembelaan terhadap rumor kekejaman Hakam. Hal itu jelas di sadari oleh Salsa, yang kemudian ia jadikan sebagai bahan olokan kepada temannya itu.“Ya, ampun. Baru sekali di peluk, itu pun bukan disengaja, kamunya sudah klepek-klepek.” Salsa menggelengkan kepala sambil tersenyum jahil.Puspa mendelik kesal, namun pipinya jelas agak merona. “Jangan asal bicara, kamu lupa siapa dia? Lagipula, dia ‘kan sudah punya keluarga sendiri.”Seakan diingatkan akan sesuatu, Salsa tiba-tiba memukul keras pundak Puspa. “Astaga, aku baru ingat! Kamu tahu, rumah tangga Pak Hakam rumornya lagi kena badai. Banyak yang bilang mereka bakal ... cerai.”Puspa terkejut, kemudian pura-pura tak peduli. “Sudahlah, bukan urusan kita.”***Hakam memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celana. Seseorang barusan menelepon, orang gila itu terus mengungkit soal sidang perceraian yang akan mereka lakukan. Jujur saja, beberapa kali Hakam menolak keputusan sang istri yang meminta pisah. Bukannya dia cinta, hanya saja Hakam memikirkan perasaan putra mereka. Hamun Ihatra Astana, anak itu jelas masih membutuhkan kasih sayang dari ibu kandungnya. Namun, sayangnya, Zara Naila, calon mantan istrinya itu hanya memikirkan dirinya sendiri.“Pak Hakam?” Puspa datang dan menyapa. Sebenarnya, dia sudah sejak tadi memperhatikan Hakam berdiri diam di bawah pohon itu, namun baru sekarang Ia berani membuka suaranya.Hakam berbalik dan menatap mata Puspa. “Kakimu tidak patah?” Pertanyaan aneh yang membuat Puspa bingung untuk menjawabnya.Gadis muda itu tertawa canggung, kemudian mengangguk dan berkata, “Terimakasih karena menyelamatkan saya.”“Cuma kebetulan. Kalau aku sedang tidak butuh jasa kalian, sebenarnya aku tidak peduli.” Hakam memantik sebatang rokok dan mengalihkan pandangan ke arah lain.Puspa hanya bisa meringis kecil, merasa bahwa sikap Hakam terlalu kasar dan blak-blakan. Juga, bukankah yang seharusnya marah itu dia? Jangan lupakan sikap menyebalkan Hakam di awal pertemuan mereka tadi. Namun, apa mungkin dia masih bisa kesal sementara yang menyelamatkan nyawanya tadi adalah orang yang sama yang juga menghinanya? Kemungkinan kecil memang masih marah, namun selebihnya jelas sudah pudar.Kendati demikian, tetap saja Puspa bertanya-tanya dalam hati kecilnya. ‘Keluarga Astana ini, apa mereka semua bersikap seperti ini, ya.’ Batinnya. Untung saja dia tidak bekerja sebagai pelayan keluarga itu. Kalau tidak, mungkin dia sudah mati bunuh diri karena sakit hati.“Aku anggap ini sebagai hutang. Kau tahu, tidak ada yang gratis di dunia ini,” Hakam tiba-tiba membuka mulutnya. Mengucapkan kalimat angkuh yang membuat Puspa agak menyesal karena sudah diselamatkan oleh Iblis kejam macam Hakam.Puspa pun mencoba tetap tenang, “Berapa yang harus saya bayar?” Tanyanya dengan berani.“Aku tidak butuh uang. Simpan saja untuk sementara, mungkin suatu saat nanti aku membutuhkan jasamu lagi sebagai agen mayat, atau ... bantuan yang lainnya? Siapa yang tahu.” Membuang puntung rokok di dalam genangan air, Hakam beralih menatap mata Puspa. “Nenekku sebentar lagi sampai, bersiaplah.” Titah Hakam yang entah bagaimana berhasil membuat Puspa menurut tanpa perlawanan.Gadis itu beranjak pergi, dan tanpa sadar jantungnya berdegup kencang. Entah mengapa, hutang yang dibicarakan Hakam barusan terdengar ambigu dan terus membuatnya kepikiran. ‘Aih, aku berpikir apa, sih.’ Puspa menggelengkan kepala dan mencoba fokus lagi pada pekerjaannya.Tidak sampai satu jam, sebuah mobil yang jelas masuk dalam kategori mahal memasuki halaman Rumah Duka. Salsa dan Puspa bergegas kesana untuk mengambil alih mayat si Nenek untuk kemudian dipersiapkan dalam peti mati.“Hati-hati, sehelai rambut Nenek kami sangat berharga. Nyawamu bahkan tidak sepadan.” Seorang wanita cantik menepis tangan Puspa yang hendak menyentuh bagian tubuh si Nenek. Dia adalah istri Hakam, Zara Naila.Pakaiannya khas berkabung, hitam-hitam, namun masih membentuk lekuk tubuhnya yang berbentuk seperti biola. Dalam hati, Puspa mengeluh, ‘Ternyata benar, sepertinya semua orang di keluarga kaya sangat sombong seperti ini. Merepotkan!’ Batinnya. Kemudian menatap wajah Zara dengan ekspresi rendah hati.“Maaf, saya harus memindahkan mayat ini ke dalam Rumah Duka. Jika saya dan teman saya tidak di perkenankan menyentuh bahkan sehelai rambutnya saja, mungkinkah Nyonya ini ingin mengangkat jasadnya sendiri?” Sudah cukup terus di remehkan, Puspa merasa perlu memberi pelajaran pada orang-orang kaya yang sombong ini.Zara pada dasarnya tidak pernah ditentang oleh siapapun, dia merasa sangat kesal ketika gadis miskin seperti Puspa menjawab dengan sarkasme atas kalimat yang disampaikan. “Kamu mengejekku?” Tanya Zara dengan ekspresi tidak senang. “Aku bilang, hati-hati. Apa telingamu tidak pernah di bawa ke dokter telinga? Sudah rusak, ya?”Puspa sebenarnya masih ingin berdebat, namun Salsabila dengan cepat mendahului. “Tolong maafkan teman saya, kadang-kadang dia memang bicara seperti itu. Nyonya tenang saja, kami selalu hati-hati dalam memperlakukan semua jenazah yang datang. Anda tidak perlu khawatir.”Zara berdecak pelan, mengabaikan dua gadis itu dan berjalan keluar dari mobil, mendatangi Hakam yang terlihat sedang berjalan mendekat ke arahnya. Melihat Hakam dengan wajah angkuhnya itu, seperti biasa, Zara tidak terkejut. Sebaliknya, dia dengan mesra langsung memeluk leher sang suami dan berbisik di telinganya.“Setelah pemakaman Nenek selesai, sebaiknya kamu bersiap untuk sidang perceraian kita.” Zara mundur dan membenarkan kerah kemeja sang suami. “Hamun pasti akan pulang bersama Ibunya. Aku jamin, aku yang akan memenangkan hak asuhnya di persidangan nanti, Suamiku.” Zara tersenyum manis, namun jelas menyiratkan perasaan lain di balik senyuman itu.Menatap mata Zara, Hakam mengangkat ujung bibirnya, menyeringai kecil dan membalas dengan singkat. “Semoga berhasil,” ujarnya, kemudian pergi menyusul yang lain masuk ke Rumah Duka. Meninggalkan Zara yang masih berdiri diam dengan kedua tangan mengepal erat.Setelah pertemuannya dengan Hakam barusan, semua kembali seperti biasa. Puspa sibuk dengan jenazah si nenek tua yang di gadang-gadang punya harga melebihi harga dirinya. Setelah beberapa waktu sibuk dengan semua persiapan jenazahnya di dalam peti mati, tugas Puspa akhirnya selesai. Dia dan Salsa bersiap untuk pulang dengan keadaan lelah, seperti biasanya. “Kamu yakin, pulang sendiri?” Salsa bertanya pada Puspa untuk yang kesekian kali. Biasanya, dia akan mengantar temannya itu sampai ke halte bus depan sana. Karena posisi Rumah Duka masuk ke dalam gang, yang cukup jauh dari jalan raya. Puspa memutar mata, “Memangnya aku punya pilihan? Kamu sendiri yang bilang ada urusan, ya sudah tidak apa-apa. Halte depan tidak terlalu jauh, kok.” Walaupun merasa bersalah, Salsa tidak bisa mengabaikan urusannya yang satu ini, sehingga dia benar-benar harus pergi sekarang. “Kalau begitu, aku duluan, ya. Kamu hati-hati!” Motor matic itu dinyalakan, kemudian rodanya berputar meninggalkan area Rumah Du
Puspa pun merasakan rintik hujan jatuh di atas kepalanya. Karena tidak punya banyak pilihan, mengingat penyakit alerginya yang merepotkan, Puspa pun buru-buru masuk ke kursi tengah dengan tergesa. “Permisi,” ujarnya, sopan. Kemudian membuka pintu mobil bagian belakang dan duduk dengan nyaman. Dalam perjalanan, Hamun terus menatap wajah Puspa. Anak itu begitu terus terang dalam bertindak. Dia bahkan sengaja membalik posisi badan agar bisa terus melihat wajah Puspa. Gadis muda itu jelas tidak nyaman di perhatikan sampai sedemikian rupa, namun apalah daya, anak-anak seperti Hamun mana tahu perasaan orang dewasa, dan tentu tidak mau tahu terlepas dari apa yang mereka rasa. Sudah menjadi ciri khasnya anak-anak pada umumnya, jika kamu senang maka tunjukkanlah sikap bahwa kamu menyukainya. Begitupun sebaliknya. “Kamu sangat cantik,” Hamun tersenyum lebar. Menunjukkan deretan gigi yang tak sepenuhnya utuh. Satu gigi depannya ompong, terlihat lucu saat di perhatikan lebih dekat. Puspa tida
Ketika pemakaman selesai, Zara buru-buru memanfaatkan kesempatan mendekati sang putra semata wayang yang selalu menghindar darinya. “Sayang, mau ikut pulang dengan Mama?” “Dengan Papa saja.” Bahkan tanpa pikir panjang, Hamun langsung menolak ajakan sang Ibu. Yang mana hal itu menjadi hiburan tersendiri bagi Hakam. Zara sangat kesal saat memperhatikan ekspresi mengejek dari suaminya itu. Dia pun menyeletuk, “Apa sih enaknya sama Papa? Dia bahkan tidak pernah ajak kamu pergi ke tempat main yang seru. Dia juga tidak pernah ajak Hamun pergi jalan-jalan, kan? Kamu itu di kekang sama Papamu, harusnya kamu sadar!” Mendengar lontaran kalimat ini, Hakam tidak bereaksi apa-apa karena ingin mendengar jawaban langsung dari sang anak. Saat kepalanya menunduk untuk melihat ekspresi Hamun, anak itu juga sama sekali tidak bergeming. Justru saat ini Hamun memasang wajah serius ketika menatap mata sang Ibu. “Itulah alasan kenapa aku tidak pernah mau dekat dengan orang sepertimu. Kalian berdua jelas
Melihat kepergian Zara, Hakam hanya diam sambil mengamati dengan tenang. Ketika dia mengalihkan pandangan ke arah Hamun, anak itu juga sama sepertinya. Nampak tidak peduli oleh sang Ibu, malah lebih perhatian pada Puspa yang bukan siapa-siapanya. “Kamu baik?” Tanya Hamun sambil menyodorkan sebotol air mineral pada Puspa. Puspa meneguk setengahnya, baru kemudian balas tersenyum ke arah Hamun. “Terimakasih, tapi aku sedang tidak baik. Ternyata suhu AC tidak cocok dengan orang sepertiku,” ujarnya sambil tertawa. “Acara sudah selesai, sebaiknya kamu langsung pulang.” Hakam berkata singkat, kemudian masuk kedalam mobil begitu saja tanpa menunggu persetujuan dari yang lain. Hamun berdecak, kemudian meminta Puspa menurut saja. “Papaku itu orangnya galak. Lebih baik sedikit bicara kalau dekat dengannya,” saran anak itu yang langsung mendapat anggukan setuju dari Puspa. Setelah semua orang masuk kedalam mobil, mesin dinyalakan dan berjalan menjauhi area pemakaman. Di sepanjang perjalana
“Bisa-bisanya kamu bilang itu bukan urusanku,” Zara menggelengkan kepalanya. “Aku ini masih Istrimu, Mas! Kita bahkan belum resmi bercerai, tapi kamu sudah dapat yang baru secepat itu?!” “Jadi, ini salahku?” Hakam tidak peduli dengan tamparan yang barusan. Baginya itu hanya pukulan bayi kecil yang baru lahir, tidak berasa sama sekali. Menatap mata Zara, dia melanjutkan. “Kamu lupa, berapa kali aku tolak semua permintaan pisah yang terus kamu berikan tanpa jeda? Sekarang setelah semua, masih harus aku yang disalahkan? Lucu, kamu.” Hakam tertawa kecil, mengusap pipinya sambil memasang ekspresi mengejek, “Bahkan anak kecil tau seberapa buruknya kamu. Jangan terlalu mendalami peran sebagai Ibu peri, itu tidak akan berhasil.” Ujarnya sebelum berlalu dari hadapan Zara. Zara mengepalkan kedua tangannya. Kini, rasa ingin mencabik-cabik perempuan yang ia temui tadi jadi semakin membengkak dalam hatinya. “Puspa Paramita,” Zara menggertakkan gigi. “Kamu benar-benar benalu yang harus segera d
Di pagi hari berikutnya, Elisha mendiamkan Puspa. Sarapan pagi ini tidak sehangat biasanya. Terasa sunyi karena Elisha yang biasa menemani sang putri kini memilih untuk menyibukkan diri dengan urusan gereja sejak pagi-pagi buta. Puspa juga seakan sudah terbiasa dengan perang dingin ini, karena memang bukan pertama kalinya mereka berada dalam situasi seperti ini. Setiap kali Puspa ketahuan bernyanyi oleh sang ibu, maka keesokan harinya pasti akan ada jarak di antara keduanya. Puspa juga tidak terlalu ambil pusing, setelah memakai sepasang sepatu itu, dia berjalan melewati gereja menuju jalan setapak yang dipenuhi rumput liar. Sepanjang jalan menuju jalan raya, Puspa memikirkan banyak hal di kepalanya. Termasuk soal pertemuannya dengan Hakam kemarin. Entah mengapa, dia jadi terbayang wajah tampan namun menakutkan dari lelaki ganas itu. “Jadi mereka benar-benar mau berpisah, ya.” Puspa bergumam, mengingat kejadian dimana dia langsung menyaksikan pertengkaran antara pasangan suami istr
“Astaga, kenapa setiap hari ada saja yang meninggal, sih!” Salsabila mengeluh, padahal keringat di dahinya belum mengering. Namun panggilan selalu datang, bahkan kali ini harus pergi langsung ke TKP karena korban meninggalnya diduga akibat bunuh diri. Kali ini, Puspa juga setuju dengan Salsa. “Betul, hari ini super banget lelahnya,” ujarnya, namun kembali membuka mata lebar-lebar ketika mengingat bahwa masih ada satu jadwal lagi yang harus mereka selesaikan sebelum benar-benar bisa mengakhiri pekerjaan dan pulang. Salsa yang berdiri pertama kali, “Aku cuci muka sebentar, kamu siapkan semua peralatan, ya. Nanti aku yang bawa ke mobil.” “Oke,” malas berdebat, Puspa pun mengangguk saja. Lagipula, jika tugasnya beres-beres, maka bagian yang mengangkat kebawah pasti rekannya. Anggap saja sebagai aturan tidak tertulis di antara setiap tim. Lokasi jenazah berada tepat di tengah kota, di sebuah hotel mewah yang biasa disewa oleh pasangan-pasangan yang ingin menghabiskan malam panas tanpa g
Hari berikutnya, Zara terbangun sendiri di kamar besar itu. Lelakinya sudah lama pergi, meninggalkan sepucuk surat yang berisi ungkapan manis penuh gombalan kering. Walau begitu, Zara menyukainya. Darimana lagi dia bisa dapat begitu banyak cinta selain dari kekasihnya ini? Suaminya yang cuek itu? Yang benar saja.Selesai mandi, Zara tidak langsung pulang. Dia memilih menikmati secangkir teh hangat sambil merasakan semilir angin pagi dari balkon kamarnya.Tak lama kemudian, ponsel di atas meja itu berdering. Ketika melihat siapa nama kontaknya, senyuman licik mengembang di bibirnya. "Sudah dapat semua infonya? Jangan sampai buat aku kesal karena cara kerjamu yang terlalu lambat." Zara mengharapkan jawaban pasti, dan dia berharap mendapatkannya di pagi ini.Di seberang telepon, seorang lelaki menjawab santai sambil melihat beberapa lembar kertas di tangannya. "Sesuai janji, 7 juta jika kurang dari 7 hari.""Deal." Zara sangat senang. Tanpa pikir panjang, dia langsung mematikan sambunga
Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n
"APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu
"Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m
Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det
Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,
Puspa dan kedua orangtua Fajar bergegas ke kantor polisi. Mobil hitam itu melesat kencang menuju kantor polisi terdekat. Mereka hanya bisa berharap pihak kepolisian bisa dengan mudah membantu rencana mereka."Ada yang bisa kami bantu?" Tanya salah seorang polisi kepada ketiga orang itu.Puspa mengangguk, "Ini sangat mendesak. Saya harap bapak mau mendengarkan."Pak polisi mengangguk, kemudian mendengarkan dengan seksama laporan dari ketiga orang di depannya. Begitu mereka selesai menjelaskan, ia terkejut. Terutama ketika ia mendengar rekaman yang baru saja di putar."Apa rekaman ini asli?" Tanya polisi itu.Kali ini, ibu fajar mengangguk. Ia langsung menjelaskan secara lebih rinci tentang permasalahan yang mereka hadapi. Sementara itu, Puspa merasa semakin gelisah. Telapak tangannya berkeringat, pikirannya kacau. Berada di kantor polisi tidak membuatnya merasa tenang sama sekali.Ia takut hal ini akan membawa keluarga Fajar berada dalam masalah. Tetapi masalahnya, ia juga tidak yakin
Setelah Anton kembali, Fajar berbasa-basi sejenak, kemudian berpamitan dan langsung pergi ke studio untuk berdiskusi dengan Puspa."Apa? Kenapa?" Puspa kebingungan ketika Fajar tiba-tiba datang dengan ekspresi aneh. Dia langsung menutup pintu rapat-rapat dan membawa Puspa duduk di atas sofa.Fajar terdiam sejenak, terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. "Itu ...""Apa? Apa yang itu?" Puspa mengerutkan kening."Ada hal penting yang harus aku katakan. Tapi ... ""Jangan buat aku penasaran!" Puspa yang tidak tahan, reflek memukul pundak Fajar.Fajar langsung duduk tegap, kemudian agak takut melihat ekspresi yang dipasang oleh Puspa saat ini. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya berani membuka mulutnya."Aku tidak yakin bisa mengatakannya, sebaiknya kamu mendengarnya secara langsung." Fajar langsung memasangkan earphone ke telinga Puspa dan memutar rekaman yang baru saja ia dapatkan.Puspa awalnya bingung, karena tidak ada suara apapun selama beberapa saat. Itu karena Fajar sedang m
"Aku sudah curiga sejak awal, tapi masih terasa sakit mendengarnya langsung dari orang lain." Puspa mengusap air mata di pipinya. Dia masih tidak menyangka jika sang ibu tega melakukan hal jahat demi uang."Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Apalagi ibumu bukan ibu kandung, kan? Bukan maksudku menjelek-jelekkan ibumu. Tetapi itu mungkin karena kalian berdua tidak memiliki ikatan darah."Puspa tidak setuju, "Seharusnya lebih daripada itu. Jika memang hanya karena alasan hubungan darah, sejak kecil aku tidak mungkin mendapat kasih sayang darinya. Ini pasti ada alasan lain mengapa Ibuk mau bekerja sama dengan Zara. Mungkin Zara mengancamnya.""Mengancam dengan apa?" Tanya Fajar penasaran.Puspa menggeleng, "Aku juga belum tahu, tetapi akan segera aku caritahu kebenarannya.""Tetapi kamu akan sibuk akhir-akhir ini. Bagaimana mungkin kamu punya waktu untuk menyelidiki sesuatu yang jauh disana?""Entahlah," Puspa tertawa, "Aku yakin pasti ada jalan jika memang takdirku mengatakan ha