Share

BAB 6

Penulis: Apsarasswatama
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Melihat kepergian Zara, Hakam hanya diam sambil mengamati dengan tenang. Ketika dia mengalihkan pandangan ke arah Hamun, anak itu juga sama sepertinya. Nampak tidak peduli oleh sang Ibu, malah lebih perhatian pada Puspa yang bukan siapa-siapanya.

“Kamu baik?” Tanya Hamun sambil menyodorkan sebotol air mineral pada Puspa. 

Puspa meneguk setengahnya, baru kemudian balas tersenyum ke arah Hamun. “Terimakasih, tapi aku sedang tidak baik. Ternyata suhu AC tidak cocok dengan orang sepertiku,” ujarnya sambil tertawa. 

“Acara sudah selesai, sebaiknya kamu langsung pulang.” Hakam berkata singkat, kemudian masuk kedalam mobil begitu saja tanpa menunggu persetujuan dari yang lain.

Hamun berdecak, kemudian meminta Puspa menurut saja. “Papaku itu orangnya galak. Lebih baik sedikit bicara kalau dekat dengannya,” saran anak itu yang langsung mendapat anggukan setuju dari Puspa.

Setelah semua orang masuk kedalam mobil, mesin dinyalakan dan berjalan menjauhi area pemakaman. Di sepanjang perjalanan menuju rumah Puspa, tak sedetikpun dilewatkan Hamun untuk diam. Bibirnya terus mengoceh tentang banyak hal, membuat Puspa kewalahan menjawab semua keingintahuan dari si kecil tentang banyak hal yang tidak diketahui.

“Terima Kasih tumpangannya.” Puspa berucap tulus sebelum turun dari mobil. Dia sengaja turun di depan gang dekat jalan raya. Padahal rumahnya masih harus masuk kedalam.

Hamun memanjangkan leher dan melihat sekeliling, “Rumahmu dimana?”

“Ada masuk ke dalam gang, tapi tidak perlu repot-repot mengantar sampai kesana. Cukup sampai sini saja,” jawab Puspa terakhir kali sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkan dua orang itu.

Hakam melihat ekspresi sang anak yang tampak murung, dia pun berkata dengan tidak senang. “Apa yang kamu sesalkan. Ingat, Hamun. Jangan terlibat dengan orang baru yang bahkan belum kita ketahui asal-usulnya.”

“Aku tahu,” Anak itu mendengus, “Siapa yang sedih, Papa sok tahu,” elaknya, walau jelas dari ekspresi wajahnya saja sudah menunjukkan segala kebenarannya.

Setelah percakapan singkat itu, suasana mobil kembali hening. Tidak ada lagi celotehan dari bibir kecil Hamun, juga Hakam tidak berinisiatif membuka percakapan lain. Sehingga ketika mobil sampai di depan gerbang besar keluarga Astana, pun, suasana dalam mobil masih sunyi. Kecuali fakta akan ada badai di balik pintu utama kediaman itu yang tidak bisa dihindari lagi.

Hakam memarkir mobil di halaman rumah, kemudian pasangan Ayah dan Anak itu turun menuju pintu utama yang nampak tertutup rapat seperti biasa. Sebelum memutar knop pintu, Hakam menatap wajah sang anak seraya berkata, “Langsung masuk ke dalam kamarmu.”

Hamun tidak banyak bicara, hanya mengangguk saja. “Oke,” jawabnya sebelum benar-benar masuk setelah daun pintu dibukakan oleh sang ayah.

Melewati ruang tamu, keduanya sudah disambut dengan ekspresi gelap seorang wanita cantik yang tak lain adalah Zara. Hamun melihat ke arah sang Ibu sejenak, kemudian memikirkan kalimat kasar yang sudah ia berikan padanya ketika di pemakaman Tetua tadi. Jadi, sebelum masuk kedalam kamarnya, Hamun berinisiatif mendekati sang Ibu dan meminta maaf.

Zara yang pura-pura tidak melihat kedatangan mereka agak terkejut ketika mendapati Hamun berjalan ke arahnya. Apalagi yang terjadi selanjutnya adalah pipinya yang mendapat ciuman langka dari sang putra.

Hamun mengecup sebelah pipi Ibunya, “Maaf, tadi Hamun bicara kasar. Selamat malam.” Si kecil hanya berkata sesingkat itu sebelum berlari masuk kedalam kamarnya sendiri, tidak berniat menunggu balasan dari sang Ibu atau apa, menuruti perintah dari sang Papa persis seperti yang diperintahkan

Zara tersenyum sendiri, pikirnya apa mungkin Hamun mulai membuka hati padanya? Walau harus diakui itu salahnya sendiri. Kurang memperhatikan sang anak sedari kecil dan hanya mengandalkan posisi asisten rumah tangga untuk mengurus semua keperluan Hamun, hingga imbasnya adalah dijauhi seakan dia adalah orang lain.

“Sesenang itukah mendapat kecupan kecil dari putramu?” Celetuk Hakam tiba-tiba.

Senyuman di bibir Zara luntur, dia pun menatap wajah Hakam dengan ekspresi sinis. “Tentu saja. Memang kenapa, ada masalah?”

“Tidak ada,” Hakam tersenyum miring, “Hanya saja aku menyayangkan kesadaranmu yang sangat terlambat. Bukankah sekarang kamu menyesal karena di jauhi oleh anakmu sendiri?”

Zara naik pitam mendengar kalimat ini, dia berdiri dan menunjuk wajah Hakam dengan telunjuknya. “Jangan sok jadi orangtua paling baik, fakta bahwa aku sudah berani melahirkan Hamun adalah bukti kuat bahwa aku peduli padanya!”

“Peduli? Kamu yakin? Bukannya pedulimu itu baru sekarang setelah kita akan bercerai saja, ya?” Hakam tertawa renyah. “Aku pikir yang benar-benar kamu pedulikan bukan Hamun, tapi sesuatu yang lain, seperti—

“DIAM!” 

PRANK! 

Vas bunga di atas meja itu hancur berkeping-keping. Pelakunya tentu saja Zara yang tidak terima dengan perkataan Hakam barusan.

“Kamu jangan bicara sembarangan, Mas! Mana mungkin aku tidak peduli dengan darah dagingku sendiri! Seharusnya aku yang tanya ke kamu, siapa perempuan tadi? Selingkuhanmu, kan?!”

Wajah Hakam menggelap, tidak terima dituduh selingkuh oleh Zara. “Bukan urusanmu.”

“Bukan urusanku?” Zara tertawa kencang, kemudian berjalan mendekati Hakam sebelum akhirnya memberi tamparan keras di pipi suaminya itu.

 

Bab terkait

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 7

    “Bisa-bisanya kamu bilang itu bukan urusanku,” Zara menggelengkan kepalanya. “Aku ini masih Istrimu, Mas! Kita bahkan belum resmi bercerai, tapi kamu sudah dapat yang baru secepat itu?!” “Jadi, ini salahku?” Hakam tidak peduli dengan tamparan yang barusan. Baginya itu hanya pukulan bayi kecil yang baru lahir, tidak berasa sama sekali. Menatap mata Zara, dia melanjutkan. “Kamu lupa, berapa kali aku tolak semua permintaan pisah yang terus kamu berikan tanpa jeda? Sekarang setelah semua, masih harus aku yang disalahkan? Lucu, kamu.” Hakam tertawa kecil, mengusap pipinya sambil memasang ekspresi mengejek, “Bahkan anak kecil tau seberapa buruknya kamu. Jangan terlalu mendalami peran sebagai Ibu peri, itu tidak akan berhasil.” Ujarnya sebelum berlalu dari hadapan Zara. Zara mengepalkan kedua tangannya. Kini, rasa ingin mencabik-cabik perempuan yang ia temui tadi jadi semakin membengkak dalam hatinya. “Puspa Paramita,” Zara menggertakkan gigi. “Kamu benar-benar benalu yang harus segera d

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 8

    Di pagi hari berikutnya, Elisha mendiamkan Puspa. Sarapan pagi ini tidak sehangat biasanya. Terasa sunyi karena Elisha yang biasa menemani sang putri kini memilih untuk menyibukkan diri dengan urusan gereja sejak pagi-pagi buta. Puspa juga seakan sudah terbiasa dengan perang dingin ini, karena memang bukan pertama kalinya mereka berada dalam situasi seperti ini. Setiap kali Puspa ketahuan bernyanyi oleh sang ibu, maka keesokan harinya pasti akan ada jarak di antara keduanya. Puspa juga tidak terlalu ambil pusing, setelah memakai sepasang sepatu itu, dia berjalan melewati gereja menuju jalan setapak yang dipenuhi rumput liar. Sepanjang jalan menuju jalan raya, Puspa memikirkan banyak hal di kepalanya. Termasuk soal pertemuannya dengan Hakam kemarin. Entah mengapa, dia jadi terbayang wajah tampan namun menakutkan dari lelaki ganas itu. “Jadi mereka benar-benar mau berpisah, ya.” Puspa bergumam, mengingat kejadian dimana dia langsung menyaksikan pertengkaran antara pasangan suami istr

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 9

    “Astaga, kenapa setiap hari ada saja yang meninggal, sih!” Salsabila mengeluh, padahal keringat di dahinya belum mengering. Namun panggilan selalu datang, bahkan kali ini harus pergi langsung ke TKP karena korban meninggalnya diduga akibat bunuh diri. Kali ini, Puspa juga setuju dengan Salsa. “Betul, hari ini super banget lelahnya,” ujarnya, namun kembali membuka mata lebar-lebar ketika mengingat bahwa masih ada satu jadwal lagi yang harus mereka selesaikan sebelum benar-benar bisa mengakhiri pekerjaan dan pulang. Salsa yang berdiri pertama kali, “Aku cuci muka sebentar, kamu siapkan semua peralatan, ya. Nanti aku yang bawa ke mobil.” “Oke,” malas berdebat, Puspa pun mengangguk saja. Lagipula, jika tugasnya beres-beres, maka bagian yang mengangkat kebawah pasti rekannya. Anggap saja sebagai aturan tidak tertulis di antara setiap tim. Lokasi jenazah berada tepat di tengah kota, di sebuah hotel mewah yang biasa disewa oleh pasangan-pasangan yang ingin menghabiskan malam panas tanpa g

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 10

    Hari berikutnya, Zara terbangun sendiri di kamar besar itu. Lelakinya sudah lama pergi, meninggalkan sepucuk surat yang berisi ungkapan manis penuh gombalan kering. Walau begitu, Zara menyukainya. Darimana lagi dia bisa dapat begitu banyak cinta selain dari kekasihnya ini? Suaminya yang cuek itu? Yang benar saja.Selesai mandi, Zara tidak langsung pulang. Dia memilih menikmati secangkir teh hangat sambil merasakan semilir angin pagi dari balkon kamarnya.Tak lama kemudian, ponsel di atas meja itu berdering. Ketika melihat siapa nama kontaknya, senyuman licik mengembang di bibirnya. "Sudah dapat semua infonya? Jangan sampai buat aku kesal karena cara kerjamu yang terlalu lambat." Zara mengharapkan jawaban pasti, dan dia berharap mendapatkannya di pagi ini.Di seberang telepon, seorang lelaki menjawab santai sambil melihat beberapa lembar kertas di tangannya. "Sesuai janji, 7 juta jika kurang dari 7 hari.""Deal." Zara sangat senang. Tanpa pikir panjang, dia langsung mematikan sambunga

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 11

    "Kurang ajar!" Tukang ojek itu mengusap hidungnya yang berdarah. Menatap Puspa yang sudah lari jauh di depan, dia segera mengambil motor dan membawanya sekencang angin. Puspa yang menyadari hal ini mengumpat dalam hati, menyalahkan kebodohannya yang malah berlari begitu saja. Padahal seharusnya pakai saja motor penjahatnya lalu kabur, daripada jadi kejar-kejaran seperti ini? Sambil berlari sekencang yang dia bisa, Puspa sesekali melihat ke belakang dimana motor si penjahat itu makin lama semakin dekat dengan dirinya. Puspa mencari akal, pikirnya si penjahat akan sangat kewalahan jika dia berhasil menjauhkannya dari motornya. Tapi bagaimana caranya?! Berpikir sambil berlari bukanlah suatu perkara mudah. Puspa terengah-engah, hampir menyerah sebelum akhirnya melihat sebuah jurang dangkal di depan sana. Puspa dibesarkan di sini, tidak ada yang lebih tahu wilayah ini daripada dirinya sendiri. Bersama teman-teman kecilnya dulu, Puspa sering menyelinap ke daerah kebun sawit untuk bermain

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 12

    Di sebuah kamar besar dengan aksen mewah khas milik orang-orang kaya, Zara Naila nampak tersenyum lebar sambil minum secangkir jus buah segar. Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar akibat panggilan telepon yang membuatnya naik pitam. Zara membanting gelas yang ia pegang ke lantai dan memaki dengan suara keras. "Gagal?! Bagaimana bisa!" Jika orang yang sedang bicara dengannya ini ada di depan wajahnya, pasti sudah dia cabik-cabik seluruh tubuhnya. "Maaf, tapi orangnya sudah ditangkap penjaga kebun dan dibawa ke kantor polisi," ujar seorang lelaki yang dibayar mahal oleh Zara untuk memberi pelajaran pada Puspa. Zara tidak dapat menerima kegagalan ini, terutama pelakunya sampai tertangkap dan dibawa ke kantor polisi. Jika sampai pelaku itu bicara macam-macam, namanya juga bisa ikut terseret! "Sial!" Zara kembali menghubungi seseorang, memintanya menghabisi si tukang ojek yang mereka sewa untuk melecehkan Puspa, yang saat ini sudah berada di kantor polisi. Padahal, rencanan

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 13

    Puspa sedang berkemas, bersiap untuk pulang karena memang sudah waktunya. Sebenarnya, jam pulang memang selalu pukul 3 sore. Kecuali ada terlalu banyak pasien yang perlu diurus, maka hitungannya akan masuk kedalam jam lemburan. “Puspa?” Panggil seorang perempuan yang tak lain adalah Manajer Pemasar baru mereka. Puspa yang dipanggil tidak langsung menjawab. Ini dikarenakan dia belum tahu siapa namanya. Bukan karena tidak diberitahu, hanya saja Puspa sibuk bergosip dengan Salsa di aula tadi, sehingga namanya pun dia tidak ingat. “Oh, Ibu manajer baru, ternyata.” Berbasa-basi tanpa menyebut nama adalah keahlian Puspa. Manajer perempuan itu tersenyum kecil, “Nama saya Sinta, panggil nama saja, ya. Lagi pula umur kita tidak terlalu jauh, kok.” “Baik, Bu Sinta. Ada perlu apa, ya? Kebetulan hari ini saya tidak ada lembur. Kalau mau tanya-tanya terkait banyak hal, saya tidak bisa. Tapi ada banyak divisi yang lembur selain saya hari ini.” Tidak biasany

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 14

    Hakam melamun sepanjang perjalanan pulang. Entah mengapa, kalimat yang keluar dari bibir Puspa terus membuatnya kepikiran. Tidak biasanya dia begini, selalunya tidak pernah peduli dengan perasaan orang lain. Namun, dengan gadis miskin itu, Hakam merasa berbeda. “Papa pulang,” Hakam membuka pintu dan berniat menyapa Hamun. Namun yang ia dapati pertama kali justru orang lain, yakni sang Ibu yang ternyata sedang berkunjung. Batari, namanya. Perempuan yang sudah berkepala hampir lima itu terlihat sedang bermain bersama cucu kesayangannya. Melihat kedatangan Hakam, Batari tersenyum. “Mama dengar kamu rajin patroli dua hari ini?” Hakam memutar mata, “Baru dua hari.” “Dua hari itu sudah termasuk kemajuan, lho. Ingat siapa yang menolak keras melanjutkan bisnis Papamu dulu? Itu kamu. Tapi coba lihat sekarang, mau tak mau, nyatanya kamu tetap melanjutkan.” Batari berdiri dan berjalan menuju meja ma

Bab terbaru

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 162 END

    Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 161

    "APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 160

    "Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 159

    "Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 158

    Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 157

    Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 156

    Puspa dan kedua orangtua Fajar bergegas ke kantor polisi. Mobil hitam itu melesat kencang menuju kantor polisi terdekat. Mereka hanya bisa berharap pihak kepolisian bisa dengan mudah membantu rencana mereka."Ada yang bisa kami bantu?" Tanya salah seorang polisi kepada ketiga orang itu.Puspa mengangguk, "Ini sangat mendesak. Saya harap bapak mau mendengarkan."Pak polisi mengangguk, kemudian mendengarkan dengan seksama laporan dari ketiga orang di depannya. Begitu mereka selesai menjelaskan, ia terkejut. Terutama ketika ia mendengar rekaman yang baru saja di putar."Apa rekaman ini asli?" Tanya polisi itu.Kali ini, ibu fajar mengangguk. Ia langsung menjelaskan secara lebih rinci tentang permasalahan yang mereka hadapi. Sementara itu, Puspa merasa semakin gelisah. Telapak tangannya berkeringat, pikirannya kacau. Berada di kantor polisi tidak membuatnya merasa tenang sama sekali.Ia takut hal ini akan membawa keluarga Fajar berada dalam masalah. Tetapi masalahnya, ia juga tidak yakin

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 155

    Setelah Anton kembali, Fajar berbasa-basi sejenak, kemudian berpamitan dan langsung pergi ke studio untuk berdiskusi dengan Puspa."Apa? Kenapa?" Puspa kebingungan ketika Fajar tiba-tiba datang dengan ekspresi aneh. Dia langsung menutup pintu rapat-rapat dan membawa Puspa duduk di atas sofa.Fajar terdiam sejenak, terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. "Itu ...""Apa? Apa yang itu?" Puspa mengerutkan kening."Ada hal penting yang harus aku katakan. Tapi ... ""Jangan buat aku penasaran!" Puspa yang tidak tahan, reflek memukul pundak Fajar.Fajar langsung duduk tegap, kemudian agak takut melihat ekspresi yang dipasang oleh Puspa saat ini. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya berani membuka mulutnya."Aku tidak yakin bisa mengatakannya, sebaiknya kamu mendengarnya secara langsung." Fajar langsung memasangkan earphone ke telinga Puspa dan memutar rekaman yang baru saja ia dapatkan.Puspa awalnya bingung, karena tidak ada suara apapun selama beberapa saat. Itu karena Fajar sedang m

  • Rentenir Duda Itu Suamiku   BAB 154

    "Aku sudah curiga sejak awal, tapi masih terasa sakit mendengarnya langsung dari orang lain." Puspa mengusap air mata di pipinya. Dia masih tidak menyangka jika sang ibu tega melakukan hal jahat demi uang."Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Apalagi ibumu bukan ibu kandung, kan? Bukan maksudku menjelek-jelekkan ibumu. Tetapi itu mungkin karena kalian berdua tidak memiliki ikatan darah."Puspa tidak setuju, "Seharusnya lebih daripada itu. Jika memang hanya karena alasan hubungan darah, sejak kecil aku tidak mungkin mendapat kasih sayang darinya. Ini pasti ada alasan lain mengapa Ibuk mau bekerja sama dengan Zara. Mungkin Zara mengancamnya.""Mengancam dengan apa?" Tanya Fajar penasaran.Puspa menggeleng, "Aku juga belum tahu, tetapi akan segera aku caritahu kebenarannya.""Tetapi kamu akan sibuk akhir-akhir ini. Bagaimana mungkin kamu punya waktu untuk menyelidiki sesuatu yang jauh disana?""Entahlah," Puspa tertawa, "Aku yakin pasti ada jalan jika memang takdirku mengatakan ha

DMCA.com Protection Status