“Mang, tempe sama kangkungnya,” pinta Airin. Sebenarnya ia ragu untuk berbelanja di Mang Asep, tetapi harga sayur-mayur di Mang Asep terbilang lebih murah dari tukang sayur yang lain, lumayan sisanya buat jajan cilok, pikir Airin. Namun, nyatanya ibu-ibu yang gemar bergosip itu tak akan membiarkannya pergi tanpa julid terlebih dahulu.
“Eh, Airin, masa tiap hari makannya tempe sama kangkung terus sih, pantes aja kamu belum hamil, lha makanannya aja kurang bergizi,” timpal Bu Ani wanita yang selalu memakai seluruh perhiasannya meski hanya untuk belanja sayur.
Airin hanya diam, malas sepertinya membalas ucapan Bu Ani yang sebenarnya menyakitkan hati.
“Berapa, Mang?” tanya Airin.
“Tujuh ribu, Neng,” jawab Mang Asep ramah.
Airin mengambil selembar uang sepuluh ribu lalu memberikannya pada Mang Asep.
“Kembaliannya tiga ribu ya, Neng.” Mang Asep merogoh tas pinggang usang yang selalu melingkar di pinggangnya.
“Kembalin segitu mah atuh dikasih Mang Asep aja, Rin. Pelit banget sih kamu,” timbrung Bu Yuli.
Airin melirik keduanya sekilas, telinganya sudah benar-benar panas mendengar celotehan mereka.
“Yaudah, Mang. Kembaliannya buat Mang Asep aja,” ujar Airin seraya bergegas pergi. Tak memedulikan panggilan Mang Asep yang memang berniat memberikan kembalian.
“Jangan begitu atuh, ibu-ibu. Kasihan Neng Airin, saya juga nggak mau mengemis kembalian,” ucap Mang Asep sembari meremas uang recehan seribu di tangannya, dalam hati berniat akan memberikannya pada Airin nanti kalau belanja lagi.
“Mang, dagingnya sekilo, ayam sekilo sama kangkungnya seikat ya,” ujar Bu Anis yang sedari tadi memilih diam. Membuat Bu Ani dan Bu Yuli menoleh tak percaya. Keduanya saling sikut sembari berbisik.
“Wah, alhamdulillah, dagangan saya diborong Bu Anis.” Mang Asep bersyukur senang. Ia segera membungkus pesanan Bu Anis dan memberikannya dengan semringah.
“Kembaliannya buat Mang Asep,” ujar Bu Anis sembari menerima plastik dari tangan Mang Asep.
“Jangan, Bu. Saya malu, tiap belanja kembaliannya dikasih ke saya,” tolak Mang Asep.
“Nggak apa-apa, Mang. Saya ikhlas.” Bu Anis tersenyum tulus.
“Terima kasih, Bu.” Mang Asep senang.
“Sama-sama, Mang. Saya pulang dulu ya, Bu Ani, Bu Yuli, Mang, mari.” Bu Anis menatap mereka bergantian. “Assalamualaikum,” sambung Bu Anis sebelum akhirnya pergi.
“Sok banget dia belanja banyak-banyak, paling duitnya dari anaknya yang jarang pulang itu, jangan-jangan anaknya kerja nggak halal lagi.”
“Hus! Bu Ani jangan suuzan terus, pamali. Sudah siang ini, saya mau keliling lagi,” protes Mang Asep.
“Mang Asep, mentang-mentang dapat kembalian dari Bu Anis, langsung ngusir kita, begitu?” tanya Bu Ani kesal. Sedetik kemudian bibir bergincu merah itu mengerucut.
“Jadi semuanya berapa?” tanya Bu Yuli ikut judes.
“Dua puluh lima ribu, Bu Yuli,” jawab Mang Asep seramah mungkin.
“Nih!” Bu Yuli memberikan selembar uang berwarna hijau.
“Lho, kurang ini, Bu.”
“Ngutang dulu, Mang. Nanti saya bayar,” jawab Bu Yuli tanpa malu.
“Jadi lima belas ribu ya sama kemarin,” balas Mang Asep sembari memasukkan uang dengan menghela napas kasar.
“Terus Bu Ani jadinya beli apa?” tanya Mang Asep memastikan.
“Nggak jadi beli, tadinya mau beli dagingnya sekilo. Lha, ini tinggal setengah, mana cukup buat keluarga saya,” cetus Bu Ani.
“Biasanya juga Bu Ani suka belinya setengah atuh,” timpal Mang Asep.
“Iya kan biasanya, kalau hari ini awalnya mau beli sekilo, tapi keburu dibeli Bu Anis, jadi aku beli di tempat lain saja. Yuk, Bu Yuli. Kita pulang,” ajak Bu Ani. Keduanya pun melenggang pergi dengan mulut masih komat-kamit tak jelas.
“Astagfirullah ....” Mang Asep mengusap wajah dengan handuknya sembari menggeleng. Ia pun memutuskan untuk kembali jualan sambil berseru, “Sayur ... sayur ...!” Dengan lantang.
...
Airin berjalan sembari menunduk, beberapa kali ia mengusap buliran bening yang lolos dari matanya. Ucapan Bu Ani dipikir ada benarnya, mungkin ia tak kunjung hamil karena makanan yang dikonsumsi setiap hari kurang bergizi, jadi ia dan Hardian–suaminya– kurang subur.
Pandangannya buram karena air mata yang terus mendesak keluar, tetapi ia masih bisa melihat suaminya masih setia duduk di kursi rotan sembari menyeruput kopi pahit buatannya. Bahkan, ia tak mampu membeli gula karena Hardian belum gajian. Mengingat hal itu membuat hatinya semakin teriris.
Sejenak langkahnya terhenti, ada rasa marah timbul di lubuk hati. Rupanya Hardian menyadari itu, ia melambaikan tangannya kemudian berkata, “Neng, kenapa kamu diam di sana?” tanyanya dengan sedikit berteriak.
Arini mengusap kasar wajahnya, kemudian berjalan tergesa menghampiri Hardian.
“Aa’ mau berangkat, kok kamu lama belanjanya?”
Airin hanya diam, menjatuhkan kantong berisi sayur yang sedari tadi ditentengnya begitu saja.
“Kenapa, Neng?” tanya Hardian sembari bangkit saat menyadari Airin mulai terisak.
Tak menjawab, tangis Airin semakin menjadi. Hardian tak ingin terburu-buru bertanya, ia mengambil sayuran yang tergeletak, kemudian sebelah tangannya merangkul Airin untuk masuk.
Airin mengempaskan tubuhnya di sofa merah muda yang warnanya sudah pudar itu, sedangkan Hardian sigap mengambil minum.
“Minum dulu, biar Neng tenang.” Hardian menyodorkan gelas ke hadapan Airin.
Perempuan manis dengan hidung yang memerah akibat menangis itu menatap suaminya nanar.
Setelah itu ia malah menepis gelas yang penuh dengan air hingga jatuh dan pecah. Hardian tampak terkejut, rahangnya mengeras, tetapi lelaki itu seperti berusaha menahan amarahnya.
Hardian bangkit, membuang muka ke arah jendela sembari menyugar rambutnya kasar.
“Aa’ nggak tahu apa yang terjadi sama kamu. Aa' minta maaf kalau salah sama kamu. Udah siang, Aa' mau berangkat kerja dulu.” Hardian melenggang pergi memasuki kamar. Tak berselang lama ia keluar dengan pakaian yang biasa ia kenakan ketika hendak kerja.
“Assalamualaikum,” ucap Hardian berpamitan. Sekilas ia melirik istrinya itu, tetapi Airin masih saja menangis, bahkan kini perempuan itu menutupi wajah dengan tangannya.
Biasanya, Hardian akan mengecup dahi Airin sebelum pergi, kemudian Airin akan mencium tangannya. Kemarin, kehangatan itu masih menyelimuti, tetapi tiba-tiba hawa dingin hadir pagi ini.
Airin menutup pintu dengan kasar, hingga membuat Hardian yang sudah berjalan agak jauh pun menoleh, lelaki itu tampak menggeleng, kemudian memutuskan untuk tetap pergi.
Meskipun sebenarnya ia merasa lapar, karena Airin belum sempat memasak. Biasanya, setelah berbelanja Airin akan segera ke dapur lalu menyiapkan sarapan untuknya. Sesekali ia menggoda istrinya itu, kemudian saling bercanda.
Di mata Hardian, Airin adalah istri yang baik juga cantik. Ia bahkan selalu tergoda setiap Airin merengek kegelian saat ia mengganggunya ketika memasak.
“A’ jangan ganggu terus, ini susah geraknya,” ujar Airin saat Hardian malah memeluknya dari belakang.
“Liat kamu lagi masak, cantiknya jadi nambah, Aa' jadi pengen,” balas Hardian sembari mengecup tengkuk Airin sekilas.
“Kamu kan harus buru-buru berangkat kerja, nanti bos marah lho, kalau kamu telat,” ucap Airin lembut.
Bukannya berhenti, Hardian malah mematikan kompor, kemudian membopong Airin.
“A’ lepas!”
Hardian tak menggubris Airin yang terus merengek manja, ia semakin tertantang dan malah membawa Airin ke peraduan.
Duhai ... indahnya hari kemarin.
Sementara seorang lelaki yang diperkirakan berusia setengah abad tampak memperhatikan dari kejauhan. Rasa rindulah yang menggerakkan kakinya ke tempat di mana sepasang suami istri itu tinggal.
Sebenarnya ia ingin sekali bertamu dan berbincang membicarakan apa saja untuk sekadar melepas rindu, tetapi ego menjadi benteng pertahanan hingga dirinya mampu tetap mematung.
Ingatannya melayang tertuju pada suatu ketika seorang perempuan datang ke rumahnya, memohon agar cinta Airin dan Hardian diberi restu dengan alasan karena dirinya juga berhak ikut bersuara atas lanjut atau tidaknya hubungan mereka.
Ah, ia menggeleng keras, memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening. Ada banyak rahasia dalam hidupnya, rasanya ia sudah tak sanggup lagi untuk menyimpannya sendirian. Melihat Hardian yang memang begitu sabar membuat dirinya malu mengingat permintaan perempuan itu.
Terik matahari tak dirasakan Hardian. Ia terus semangat mengaduk semen meski perutnya keroncongan karena sedari pagi belum makan berat, hanya segelas kopi pahit dan sepotong roti pemberian Imam teman kerjanya tadi saat sampai, tidak mampu mengganjal perut dan tubuhnya yang dipakai untuk bekerja keras.Kulitnya coklat terbakar matahari, peluh menetes dari pelipis juga punggung, terlihat dari kaosnya yang basah. Hardian bersemangat karena hari ini ia gajian. Airin pasti senang kalau uang gajinya lebih, mengingat itu ia seolah-olah lupa kejadian tadi pagi.Baginya, Airin adalah perempuan yang sangat berharga, ia sadar belum bisa membahagiakannya. Maka dari itu ia tak akan menyerah menghadapi realitas kehidupan yang melelahkan ini.Para kuli tersenyum senang setelah mendapat upah. Termasuk Imam yang sudah antre terlebih dahulu.“Hardi, aku pulang duluan, ya!” seru Imam sembari melambaikan tangan.Hardian hanya tersenyum sebagai balasan.
Arfan mencoba bersikap biasa saja, ia tersenyum saat Hardian dan Airin menghampirinya dengan membawa makanan.“Makan siang dulu, Fan. Tapi seadanya, ya.” Hardian menaruh tumis kangkung dan ikan asin di atas meja.Sisi lain hati Arfan diam-diam tersentuh, semacam merindukan kehangatan yang sama, tetapi semua itu seperti mustahil.Sangat, sangat sederhana di mata Arfan. Namun, mau sesederhana apa pun makanan itu, akan terasa nikmat jika disantap berdua dengan orang terkasih. Seperti yang dilakukan Airin dan Hardian saat ini.Perempuan itu kembali ke dapur dan mengambil tiga buah piring beserta sendok. Kemudian ia mengambilkan nasi untuk suaminya.“Makasih, Neng,” ucap Hardian sembari tersenyum. Airin pun hanya tersenyum sebagai balasan.Setelah itu ia menyodorkan piring ke arah Arfan yang termenung, lelaki itu awalnya berharap Airin akan mengambilkan nasi untuknya juga.“Eh, iya.” Arfan gelagapa
Pertemuan itu membuat peluang Hardian semakin dekat dan mudah. Airin yang selalu murung, perlahan semangatnya kembali semenjak bertemu dengan dirinya. Keduanya sama-sama saling membutuhkan, hingga akhirnya memutuskan untuk menikah.Airin tak peduli dengan keadaan Hardian, yang ia tahu, Hardian adalah teman, sekaligus orang yang berhasil membuatnya kembali bangkit untuk menjalani hidup.Tentu saja ayah Airin menentang. Jelas, karena mereka beda kasta serta sebuah rahasia yang masih ia simpan rapat.“Kenapa, Yah?” tanya Airin waktu itu.“Pokoknya kamu nggak boleh nikah sama dia.” Ayah Airin kekeh.“Nggak bisa, Pa. Aku cinta sama dia.”“Makan itu cinta. Memangnya kamu hidup kenyang cuma makan cinta.”Sikap keras kepala Airin tak jauh beda dengan ayahnya. Keduanya tetap menikah dengan wali hakim.Sepertinya, perempuan itu akhir-akhir ini menyesali keputusannya. Semenjak menikah pun ia
“Kamu kenapa sih? Kok malah ngelamun? Bukannya bikinin aku teh panas misalnya.” Sindir Airin.Hardian tersenyum samar, sebagai seorang suami ia memang belum se-peka yang diinginkan Airin.“Sebentar, ya, Sayang. ‘Aa bikin dulu,” ujar Hardian kemudian bangkit berdiri dan keluar menuju dapur.Tak lama lelaki itu kembali, membawa secangkir teh panas dengan asap yang masih mengepul.“Pelan-pelan minumnya, masih panas,” ucap Hardian sembari memberikannya pada Airin.Perempuan itu menerimanya dengan perlahan, berniat untuk menghirup aroma teh yang begitu khas tetapi ia mendadak mual.“Ih, kok bau melati,” ujar Airin cepat memberikannya kembali pada Hardian, hingga sedikit air teh tersebut tumpah.“Lho, iya. Ini kan teh kesukaan kamu yang ada aroma melatinya.” Hardian bingung.“Pokoknya aku nggak suka. Aku mau ganti yang biasa aja,” pinta Airin.
Hardian pun menyusul masuk, menyimpan helm di atas meja, kemudian melenggang ke dapur untuk sekadar mengambil minum. Dirasa kerongkongannya sudah tak lagi kering, Hardian berniat untuk menyusul Airin ke kamar, tetapi saat ia memutar kenop pintu malah dikunci. “Lho, Neng, kok dikunci?” seru Hardian sembari mengetuk pintu. “Biarin! Itu balasan buat suami yang gak pernah peka!” seru Airin dari dalam. “Peka gimana, Neng? Aa' salah apa lagi?” tanya Hardian bingung. Niat hati ingin menghabiskan waktu berdua tak ingin sia-sia karena sudah terlanjur izin kepada Arfan untuk tak masuk kerja, malah dapat hal tak menyenangkan lagi dari Airin. “Kamu pikir aja sendiri!” Hardian menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Malah disuruh mikir, gimana sih? Batinnya. “Aa’ gak ngerti, Neng. Memangnya Neng Airin mau apa? Bilang aja! Aa' gak ngerti kode-kodean, Neng.” Hardian to the point. Terdengar derap langkah mendekat, kemudian kenop pintu terlihat be
“Terima kasih, Fan udah mau nunggu. Ini uangnya, aku beli.” Hardian menyodorkan selembar uang berwarna merah. Arfan mendongak kemudian bangkit berdiri. “Jangan gengsi, Har. Aku ikhlas membantu,” ujarnya. “Jangan pura-pura, aku tahu kamu iba kan sama aku? Aku gak mau dikasihani, Fan!” Hardian meraih bungkusan yang tergeletak di meja dengan kasar. Kemudian berlalu pergi tanpa sepatah kata pun. Arfan meremas uang yang diberikan Hardian. Baginya uang selembar ini tak ada apa-apanya dibanding sikap Hardian yang menurutnya sombong meskipun miskin. Ia tak terima, dan akan membalasnya. “Awas kamu, Har!” batinnya murka. * Airin bergegas membukakan pintu. Hardian masuk dengan wajah tak bersahabat. “Ini, makan sepuasnya, aku beli ini dengan harga diri,” ucap Hardian sembari menaruh bungkusan di atas meja dengan sedikit kasar. “Gak mau,” balas Airin cepat. Hardian berbalik, menatap Airin tajam. Sedari tadi ia menaha
'Mulai hari ini, kamu saya pecat, Hardian!’Bagai disambar petir di siang bolong, Hardian terenyak, tak percaya dengan tulisan tangan tersebut. Uang ini? Ia jadi teringat kejadian kemarin, sikapnya mungkin saja membuat Arfan merasa sakit hati. Ah, ia tak berpikir sejauh itu, dan tak berniat untuk sombong atau menyakiti hati orang lain.“Kenapa, Har?” tanya Imam saat melihat perubahan raut wajah Hardian.“Enggak, Mam. Aku ada urusan sebentar, aku harus pergi!” Hardian tergesa-gesa menuju tempat membersihkan diri.“Lho, ada apa, Har? Cerita sama aku,” ujar Imam menangkap keanehan.Tak membalas, setelah mencuci tangan dan kakinya ia bergegas pergi, meninggalkan Imam yang masih dilanda penasaran.“Har ... Har, hobi banget kamu bikin orang penasaran,” gumam Imam sembari menggeleng menatap kepergian temannya itu.*Airin melangkah mantap saat mendengar teriakkan khas Mang Asep, ia
Airin berhenti bersenandung saat terdengar salam dari depan. Ia segera mematikan kompor kemudian bergegas untuk membukakan pintu.Belum sempat memutar kenop, pintu sudah terbuka. Hardian masuk dengan wajah masam. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke sofa tua kemudian bersandar sembari memejamkan mata.“Ada apa lagi?” tanya Airin mencoba mencairkan suasana.Terdengar hela napas berat suaminya itu. Hardian mengubah posisi, menegakkan tubuh sembari mengusap wajahnya kasar.“Neng masak apa? Aa' lapar,” ujarnya berdusta. Padahal, dalam hati ia sangat ingin mengatakan yang sebenarnya.Ajaib, Airin tersenyum padanya. Hardian pikir akan seperti semalam atau pagi sebelum ia berangkat. Setidaknya hal itu membuat rasa kesal di hati Hardian sedikit berkurang.“Kok malah senyum? Neng masak enak, ya? Aa’ jadi makin lapar, gak sabar pengen cepet-cepet makan.” Lagi, Hardian menebak.“Ada deh, ya udah, y
Ketukan keras di pintu menghentikan aktivitas Airin yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk.“Biar Aa' yang buka,” ucap Hardian kala menyadari istrinya itu belum siap untuk menerima tamu.Airin hanya mengulas senyum. Sepertinya pengaduan kasih yang usai terjadi setengah jam yang lalu membuat Hardian tampak bersemangat dengan wajah berseri-seri dan terlihat lebih fresh dari sebelumnya.Suami Airin itu bergegas membukakan pintu, lantas keningnya berkerut menyadari seorang perempuan yang di matanya tak asing tetapi ia lupa-lupa ingat.“Saya pelayan yang kerja di tempatnya Pak Amar.” Seolah-olah paham, gadis itu langsung menjelaskan tanpa ditanya.“Ayo masuk!” ajak Hardian.“Nggak, A'. Saya buru-buru, saya cuma mau bilang kalau Pak Amar masuk rumah sakit,” jelasnya.“Ayah masuk rumah sakit?” timpal Airin dengan langkah terhenti.Hardian menoleh, ia kira istrinya itu masih di kamar. “Neng,” gumamnya dengan nada cemas, takut Airin syok dan malah mengganggu kehamilannya.“Teh Airin, ya
Keesokan harinya Hardian tak diperbolehkan Airin untuk berjualan. Meski kesal, perempuan itu sepertinya tak sampai hati melihat suaminya berjualan dengan kondisi wajah yang babak belur.Tak ingin lama-lama berdiam diri di rumah, di hari ketiga Hardian kembali membeli bahan-bahan untuk membuat cilok. Lelaki itu juga tampak bersemangat tatkala Airin duduk mendekat kemudian membantu.Airin juga lebih memilih diam ketimbang berbicara yang berujung kesal seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin, ia iba pada Hardian.“Aa’ berangkat, ya.” Hardian melirik Airin yang bersandar di ambang pintu.“Hati-hati,” balas Airin setelah beberapa detik terlewatkan hanya dengan menatap lekat netra suaminya tersebut.Senyum Hardian terukir seiring berlalu dengan harapan yang melambung, semoga banyak pembeli dan pulang dengan hasil yang memuaskan. Namun, berlainan dengan hati Airin. Perempuan itu merasa Hardian begitu tampak menyedihkan di matanya
“Alhamdulillah.” Hardian mengucap syukur.“Terus gimana jualan Aa'?” tanya Airin antusias.Senyum Hardian yang memudar seketika menimbulkan rasa curiga di hati Airin.“Abis, kan?” Airin memastikan.Hardian bungkam. Bingung. Tanpa berpikir panjang, Airin bangkit dan mengayun kakinya keluar.Bunyi kelontang panci menandakan bahwa Airin telah mengetahui semuanya. Hardian berdiri mematung memperhatikan ekspresi Airin yang tampak menahan amarah.“Kenapa masih nyisa banyak?” Airin beralih menatap Hardian dengan penuh tanda tanya.“Tadi ... tadi Aa' ngebantuin orang terus lupa matiin kompor dan—““Airnya habis lalu gosong, gitu?” Airin memotong penjelasan suaminya itu.Hardian kembali terdiam. Membalas kemarahan Airin dengan ucapan hanya akan menimbulkan pertengkaran, ia tak menginginkan hal itu, terlebih kini istrinya itu tengah mengandung buah hatin
Hardian dan Pak Amar duduk terdiam sedangkan Arfan mondar-mandir, raut wajahnya menyiratkan kegelisahan. Tentu saja hal itu memancing rasa penasaran di benak Pak Amar, tetapi mertua Hardian itu memilih untuk diam.Derit pintu terdengar kala dibuka, Arfan gegas menghampiri lantas bertanya, “Gimana istri saya, Dok?” Dengan nada cemas.Pak Amar dan Hardian refleks menoleh bersamaan. Keduanya begitu tak habis pikir kenapa Arfan sedari tadi tidak mengungkapkan kalau perempuan tersebut adalah istrinya.“Terlambat sedikit saja, janinnya mungkin tidak bisa diselamatkan.”Arfan menghela napas lega. Antara bahagia dan entah, ia sendiri bingung memaknai perasaannya kini. Setelah dokter itu pergi, Arfan bergegas masuk.Didapatinya Elsa sedang bersandar dengan tatapan yang sulit diartikan kala empat mata itu saling bertemu.“Apa yang udah kamu lakukan?” tanya Arfan dingin.Elsa berpaling, merasa hilang akal akan
“Alhamdulillah, Yah. Do'ain aja semoga janinnya sehat-sehat sampai lahiran nanti,” jawab Airin.“Kamu anak satu-satunya Ayah, Rin. Sebenarnya Ayah gak tega melihat kamu susah kayak gini,” tutur Pak Amar terdengar sendu.Airin mengembuskan napas pelan lalu berkata, “Ayah gak perlu pura-pura sedih, kalau ingin tertawa silahkan saja.”Pak Amar menatap Airin dengan ekspresi kecewa.“Kenapa kamu gak pernah mengunjungi Ayah?”“Ini udah keputusan Airin, Yah.” Perempuan itu berpaling, menyembunyikan netranya yang mulai berembun.“Sedalam itukah kamu benci sama Ayah, Rin? Sampai-sampai disaat kesusahan pun kamu gak mau membaginya dengan ayahmu ini?” tanya Pak Amar lirih.Airin terdiam, jemarinya bergerak cepat mengusap air mata yang mulai menitik. Hatinya berbisik rindu, tetapi egonya lebih kuat hingga perempuan itu tetap terdiam di tempat.Pak Amar merisik saku dan
“Naik, Neng!” titah Hardian setelah bersisian dengan Airin yang berjalan dengan cepat sembari sesekali mengusap air matanya.“Ayo, Neng!” bujuk Hardian lagi. Ia melajukan kuda besinya pelan, kaki kanannya sesekali turun untuk menahan keseimbangan.“Pulang aja sendiri, aku pengen jalan kaki,” balas Airin ketus.“Ya udah, Aa' temenin.”“Gak usah, A'. Kamu denger gak aku ngomong apa?” Langkah Airin terhenti seiring nada bicaranya yang meninggi.Hardian pun menghentikan laju motornya, lalu menatap Airin dengan sendu.“Aa’ minta maaf,” ujarnya terdengar berat.Airin berpaling. Jalanan yang tidak terlalu ramai menjadi titik pusat perhatiannya. Perempuan itu tampak menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.“Aku gak mau kamu ngemis-ngemis lagi sama ayah,” ucap Airin kemudian tanpa menatap Hardian.“Aa’ gak ngemis, Nen
“Hardi?” Si pemilik nama refleks menoleh, lantas bergegas bangkit dan mencium takzim punggung tangan sang mertua. “Bapak, sehat?” tanya Hardian kemudian. “Sehat. Duduk!” titahnya. Hening sesaat merajai. Jujur, Hardian bingung harus memulai percakapan dari mana. “Ada apa?” tanya lelaki tua itu datar dan terkesan menghindari basa-basi. “Saya mau pinjam uang, Pak,” ucap Hardian seraya menunduk. Lagi-lagi hening. “Untuk apa?” tanyanya memastikan. “Untuk modal jualan, Pak.” “Untuk modal aja kamu sampai gak punya tabungan, Har.” Kepala Hardian terangkat, ia memberanikan diri menatap ayah mertuanya. “Ada, Pak. Tapi ... Airin bilang itu tabungan untuk lahiran nanti.” “Lahiran?” Hardian mengangguk. Ah, ia sampai lupa kalau ayah mertuanya itu belum tahu soal kehamilan Airin. “Airin hamil?” tanyanya terdengar antusias. “Alhamdulillah, Pak.” Hardian mengulas senyum. Me
Airin berhenti bersenandung saat terdengar salam dari depan. Ia segera mematikan kompor kemudian bergegas untuk membukakan pintu.Belum sempat memutar kenop, pintu sudah terbuka. Hardian masuk dengan wajah masam. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke sofa tua kemudian bersandar sembari memejamkan mata.“Ada apa lagi?” tanya Airin mencoba mencairkan suasana.Terdengar hela napas berat suaminya itu. Hardian mengubah posisi, menegakkan tubuh sembari mengusap wajahnya kasar.“Neng masak apa? Aa' lapar,” ujarnya berdusta. Padahal, dalam hati ia sangat ingin mengatakan yang sebenarnya.Ajaib, Airin tersenyum padanya. Hardian pikir akan seperti semalam atau pagi sebelum ia berangkat. Setidaknya hal itu membuat rasa kesal di hati Hardian sedikit berkurang.“Kok malah senyum? Neng masak enak, ya? Aa’ jadi makin lapar, gak sabar pengen cepet-cepet makan.” Lagi, Hardian menebak.“Ada deh, ya udah, y
'Mulai hari ini, kamu saya pecat, Hardian!’Bagai disambar petir di siang bolong, Hardian terenyak, tak percaya dengan tulisan tangan tersebut. Uang ini? Ia jadi teringat kejadian kemarin, sikapnya mungkin saja membuat Arfan merasa sakit hati. Ah, ia tak berpikir sejauh itu, dan tak berniat untuk sombong atau menyakiti hati orang lain.“Kenapa, Har?” tanya Imam saat melihat perubahan raut wajah Hardian.“Enggak, Mam. Aku ada urusan sebentar, aku harus pergi!” Hardian tergesa-gesa menuju tempat membersihkan diri.“Lho, ada apa, Har? Cerita sama aku,” ujar Imam menangkap keanehan.Tak membalas, setelah mencuci tangan dan kakinya ia bergegas pergi, meninggalkan Imam yang masih dilanda penasaran.“Har ... Har, hobi banget kamu bikin orang penasaran,” gumam Imam sembari menggeleng menatap kepergian temannya itu.*Airin melangkah mantap saat mendengar teriakkan khas Mang Asep, ia