Terik matahari tak dirasakan Hardian. Ia terus semangat mengaduk semen meski perutnya keroncongan karena sedari pagi belum makan berat, hanya segelas kopi pahit dan sepotong roti pemberian Imam teman kerjanya tadi saat sampai, tidak mampu mengganjal perut dan tubuhnya yang dipakai untuk bekerja keras.
Kulitnya coklat terbakar matahari, peluh menetes dari pelipis juga punggung, terlihat dari kaosnya yang basah. Hardian bersemangat karena hari ini ia gajian. Airin pasti senang kalau uang gajinya lebih, mengingat itu ia seolah-olah lupa kejadian tadi pagi.
Baginya, Airin adalah perempuan yang sangat berharga, ia sadar belum bisa membahagiakannya. Maka dari itu ia tak akan menyerah menghadapi realitas kehidupan yang melelahkan ini.
Para kuli tersenyum senang setelah mendapat upah. Termasuk Imam yang sudah antre terlebih dahulu.
“Hardi, aku pulang duluan, ya!” seru Imam sembari melambaikan tangan.
Hardian hanya tersenyum sebagai balasan.
Sampailah gilirannya, Hardian mendekat dan bersikap sesopan mungkin.
“Saya seperti baru lihat kamu,” ujar lelaki gagah di hadapannya. Usianya mungkin tak jauh berbeda, yang membedakan hanya nasib. Lelaki itu terlihat putih bersih dengan wajah teduh.
“Saya awalnya bekerja di proyek pembangunan lain, Pak. Kemudian Pak Bos mengoper saya ke sini,” jawab Hardian pelan sembari menunduk. Tak berani menatap Bos barunya.
“Siapa nama kamu?”
“Hardian, Pak.”
“Hardian?” Lelaki itu mengulang nama Hardian seolah-olah sedang mengingat sesuatu.
“Kenapa kamu selalu menunduk? Lihat saya!” pintanya tegas.
Ragu, Hardian memberanikan diri menatap wajah atasannya.
Netra keduanya saling berserobok, sesaat keduanya terdiam. Memastikan bahwa mereka sepertinya saling mengenal.
“Arfan?” ucap Hardian antara terdengar dan tidak.
“Kamu Hardian?” Ia pun memastikan.
Sejenak keduanya terdiam, kemudian lelaki bernama Arfan itu berpaling, sedetik kemudian ia tertawa kecil.
Pertemuan tak sengaja itu membuat Hardian dan Arfan kembali akrab. Mereka adalah sahabat semasa SMA, tetapi Arfan pindah ke Jakarta dan kini ia kembali lagi ke tempat kelahirannya, Bandung.
...
Airin menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan. Seharusnya ia tidak bersikap seperti itu kepada Hardian yang tidak tahu apa-apa. Tidak ada gunanya menanggapi nyinyiran tetangga, toh bukan mereka yang memberinya makan.
Ia menuju dapur, kemudian mulai menyiangi kangkung untuk ditumis. Hardian tak pernah mengeluh soal makanan apa pun yang ia sajikan, mungkin ia sadar karena keuangan hanya mencukupi untuk beli lauk seadanya.
Airin membuka kulkas yang terlihat sudah tua itu, ternyata masih ada ikan asin dan segenggam cabai rawit. Senyumnya tersungging, ia melirik jam di dinding, sebentar lagi Hardian pulang untuk makan siang. Ia segera menggoreng tempe, lanjut menggoreng ikan asin. Sisa minyaknya sengaja tak ia buang, melainkan untuk menggoreng cabai rawit untuk dijadikan sambal.
Setelah itu ia memutuskan mandi terlebih dahulu, meskipun pakaian yang dikenakannya sederhana, tetapi jika badannya bersih, Hardian pasti akan senang, pikirnya.
“Assalamualaikum.”
Tepat pukul 12.45, terdengar ketukan di pintu.
“Waalaikumsalam,” jawab Airin sembari bergegas membukakan pintu. Namun, ia sedikit terkejut melihat suaminya pulang bersama seseorang.
“Ini teman Aa' namanya Arfan, dia Bos proyek yang baru di tempat Aa' kerja, nggak apa-apa ya dia mampir ke sini? Aa’ yang ajak dia,” ujar Hardian langsung menjelaskan tanpa Airin minta.
“Ini istriku, Fan. Namanya Airin.” Selanjutnya Hardian memperkenalkan istrinya itu.
“Airin?” ucap Arfan dengan raut wajah sedikit terkejut.
“Iya, kenapa, Fan? Ada yang salah?” tanya Hardian jadi bingung.
“Ah, nggak, Har. Aku cuma merasa familier aja.” Arfan berubah gugup.
“Oh, ya udah. Gak apa-apa, kok. Silakan masuk, sekalian makan siang,” balas Airin ramah.
Melihat istrinya sudah kembali tersenyum, dalam hati Hardian merasa lega. Sebenarnya ia tadi sempat ragu, takut Airin masih marah dan malah mengusir Arfan, tetapi ia salah menduga. Istrinya memang terbaik, Hardian merasa semakin menyayanginya, terlebih Airin selama ini jarang mengeluh.
“Silakan minum dulu, tapi maaf cuma air putih.” Airin menyuguhkan dua gelas berisi air.
“Makasih ya, Neng.” Hardian tersenyum sembari mengambil minum dan mulai meneguknya. Berbeda dengan Arfan yang sedari tadi memilih diam dan sesekali tersenyum membalas ucapan Airin.
Ia kagum dengan kesederhanaan rumah tangga sahabatnya. Meskipun Hardian hanya seorang kuli, tetapi Airin begitu terlihat menghormatinya. Ah, sebenarnya mungkin ia iri, mengingat hubungannya dengan Elsa begitu rumit. Istrinya memang cantik, pandai merawat diri, tetapi tak pandai melayani suami.
Andai ia memiliki istri seperti Airin, batinnya.
“Minum, Fan! Kamu nggak mau minum air putih ya? Terbiasa minum jus,” ujar Hardian dan berhasil membuyarkan lamunannya.
Ah, ia berpikir terlalu jauh.
“Enggak begitu kok, Har.” Merasa tak enak, Arfan pun meraih gelas dan meminumnya sedikit.
Netranya menyapu sekeliling, sangat jauh berbeda dengan isi rumahnya yang mewah. Namun, kehangatan di sini begitu terasa, berbeda dengan rumahnya yang selalu sepi. Ia dan Elsa selalu sibuk, kerja dan kerja.
“A', ke sini sebentar,” pinta Airin dari arah dapur.
“Istriku manggil, bentar ya. Aku tinggal dulu,” ujar Hardian sekilas melirik Arfan, dan dibalas anggukan oleh pria itu.
Arfan menatap kepergian Hardian sampai hilang di balik tirai. Lelaki itu sesegera mungkin merisik saku dan mengeluarkan ponselnya.
Sedetik kemudian debar di dadanya berdegup keras, lelaki itu menggeleng pelan, menunjukkan raut wajah tak percaya dengan sorot mata tajam sedangkan tangan kiri terkepal hingga buku jarinya memutih.
“Jadi, dia istrinya Hardian?” gumamnya nyaris tak terdengar.
Sementara, Hardian menghampiri Airin dan langsung memeluknya dari belakang.
“Neng udah nggak marah?” tanya Hardian memastikan.
Terdengar tawa kecil Airin. Suara meletup-letup terdengar dari wajan yang ditutupi dengan peranti berbahan kaleng.
“Lagi bikin buat sambel, cabai rawitnya aku goreng dulu, nanti diulek sama tempe goreng,” jelas Airin sembari mematikan kompor. Setelah dipastikan cabai rawit tidak pecah-pecah lagi, Airin langsung menyiapkan cobek.
Hardian melepaskan pelukannya, kemudian duduk di kursi, memperhatikan istrinya yang mulai mengulek.
“Neng?”
“Hmm,” jawab Airin lembut.
“Aa’, sebenarnya malu Arfan ikut ke sini, tadi dia sedikit maksa, katanya mau berkunjung ke rumah.” Hardian mengungkapkan kegelisahannya.
“Kenapa harus malu?” tanya Airin tanpa menoleh, tangannya cekatan mengambil tempe lalu menaruhnya di atas cobek, kemudian sedikit menekan-nekan tempe tersebut agar menyatu dengan sambal.
Airin terlihat kembali menyalakan kompor, setelah terlihat panas, ia menuangkan minyak panas tersebut ke atas tempe dan sambal yang sudah diulek.
Harum menguar tertiup angin, cacing-cacing di perut Hardian semakin meronta minta diisi. Ia tersenyum memandangi punggung Airin, yang di matanya pandai menyenangkan hati suami meski dengan hal sederhana.
Arfan pun mencium harum masakan rumahan yang sangat sederhana itu, ah, sebenarnya ingin sekali ia pergi, tetapi cacing-cacing di perutnya sulit berdusta. Tarikan napasnya yang panjang menandakan dirinya sedang mencoba meredam amarah yang saat ini sedang menguasai.
Lagi pula, Hardian pasti akan menahannya karena harum masakan ini menandakan jamuan makan siang telah siap.
“Jangan sia-siakan kesempatan yang sudah ada di depan mata, Arfan! Cari tahu lebih banyak agar misimu berhasil,” batin Arfan menyemangati. Lelaki pemilik lesung pipi itu lalu bangkit melangkah pelan berniat untuk mengintip apa yang tengah dilakukan sepasang suami istri itu?
Ia sedikit menyibakkan tirai, hatinya terasa sesak sekaligus benci melihat Hardian sedang mencicipi masakan tersebut sembari disuapi Airin. Ia menginginkan hal itu terjadi juga pada dirinya. Namun, baginya itu mustahil.
“Tidak, Arfan. Kenapa kamu malah iri? Seharusnya kamu senang karena tidak perlu bersusah payah untuk menghancurkan kehidupan perempuan itu. Lihatlah! Dia tidak punya kuasa apa pun.”
Arfan lagi-lagi menggeleng, mencerna lalu membenarkan bisikan kalbu jahat yang sering mendominasi akhir-akhir ini.
“A’, apa teman kamu itu bakalan mau makanan kaya gini?” tanya Airin seperti ragu.
“Aa’, nggak tahu, tamu kan harus kita jamu. Tapi ... ya adanya kita cuma ini, daripada nggak sama sekali.” Hardian mengedikkan bahu.
Airin menghela napas pelan. “Yaudah, Aa' bantuin bawa sayur kangkung sama ikan asinnya ya, aku bawa ini,” ujar Airin sembari membawa sebakul nasi dan cobek.
“Iya, Sayang ...,” jawab Hardian sembari melempar senyum. Airin hanya menggeleng melihat kelakuan suaminya, sedangkan Arfan bergegas kembali duduk.
Arfan mencoba bersikap biasa saja, ia tersenyum saat Hardian dan Airin menghampirinya dengan membawa makanan.“Makan siang dulu, Fan. Tapi seadanya, ya.” Hardian menaruh tumis kangkung dan ikan asin di atas meja.Sisi lain hati Arfan diam-diam tersentuh, semacam merindukan kehangatan yang sama, tetapi semua itu seperti mustahil.Sangat, sangat sederhana di mata Arfan. Namun, mau sesederhana apa pun makanan itu, akan terasa nikmat jika disantap berdua dengan orang terkasih. Seperti yang dilakukan Airin dan Hardian saat ini.Perempuan itu kembali ke dapur dan mengambil tiga buah piring beserta sendok. Kemudian ia mengambilkan nasi untuk suaminya.“Makasih, Neng,” ucap Hardian sembari tersenyum. Airin pun hanya tersenyum sebagai balasan.Setelah itu ia menyodorkan piring ke arah Arfan yang termenung, lelaki itu awalnya berharap Airin akan mengambilkan nasi untuknya juga.“Eh, iya.” Arfan gelagapa
Pertemuan itu membuat peluang Hardian semakin dekat dan mudah. Airin yang selalu murung, perlahan semangatnya kembali semenjak bertemu dengan dirinya. Keduanya sama-sama saling membutuhkan, hingga akhirnya memutuskan untuk menikah.Airin tak peduli dengan keadaan Hardian, yang ia tahu, Hardian adalah teman, sekaligus orang yang berhasil membuatnya kembali bangkit untuk menjalani hidup.Tentu saja ayah Airin menentang. Jelas, karena mereka beda kasta serta sebuah rahasia yang masih ia simpan rapat.“Kenapa, Yah?” tanya Airin waktu itu.“Pokoknya kamu nggak boleh nikah sama dia.” Ayah Airin kekeh.“Nggak bisa, Pa. Aku cinta sama dia.”“Makan itu cinta. Memangnya kamu hidup kenyang cuma makan cinta.”Sikap keras kepala Airin tak jauh beda dengan ayahnya. Keduanya tetap menikah dengan wali hakim.Sepertinya, perempuan itu akhir-akhir ini menyesali keputusannya. Semenjak menikah pun ia
“Kamu kenapa sih? Kok malah ngelamun? Bukannya bikinin aku teh panas misalnya.” Sindir Airin.Hardian tersenyum samar, sebagai seorang suami ia memang belum se-peka yang diinginkan Airin.“Sebentar, ya, Sayang. ‘Aa bikin dulu,” ujar Hardian kemudian bangkit berdiri dan keluar menuju dapur.Tak lama lelaki itu kembali, membawa secangkir teh panas dengan asap yang masih mengepul.“Pelan-pelan minumnya, masih panas,” ucap Hardian sembari memberikannya pada Airin.Perempuan itu menerimanya dengan perlahan, berniat untuk menghirup aroma teh yang begitu khas tetapi ia mendadak mual.“Ih, kok bau melati,” ujar Airin cepat memberikannya kembali pada Hardian, hingga sedikit air teh tersebut tumpah.“Lho, iya. Ini kan teh kesukaan kamu yang ada aroma melatinya.” Hardian bingung.“Pokoknya aku nggak suka. Aku mau ganti yang biasa aja,” pinta Airin.
Hardian pun menyusul masuk, menyimpan helm di atas meja, kemudian melenggang ke dapur untuk sekadar mengambil minum. Dirasa kerongkongannya sudah tak lagi kering, Hardian berniat untuk menyusul Airin ke kamar, tetapi saat ia memutar kenop pintu malah dikunci. “Lho, Neng, kok dikunci?” seru Hardian sembari mengetuk pintu. “Biarin! Itu balasan buat suami yang gak pernah peka!” seru Airin dari dalam. “Peka gimana, Neng? Aa' salah apa lagi?” tanya Hardian bingung. Niat hati ingin menghabiskan waktu berdua tak ingin sia-sia karena sudah terlanjur izin kepada Arfan untuk tak masuk kerja, malah dapat hal tak menyenangkan lagi dari Airin. “Kamu pikir aja sendiri!” Hardian menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Malah disuruh mikir, gimana sih? Batinnya. “Aa’ gak ngerti, Neng. Memangnya Neng Airin mau apa? Bilang aja! Aa' gak ngerti kode-kodean, Neng.” Hardian to the point. Terdengar derap langkah mendekat, kemudian kenop pintu terlihat be
“Terima kasih, Fan udah mau nunggu. Ini uangnya, aku beli.” Hardian menyodorkan selembar uang berwarna merah. Arfan mendongak kemudian bangkit berdiri. “Jangan gengsi, Har. Aku ikhlas membantu,” ujarnya. “Jangan pura-pura, aku tahu kamu iba kan sama aku? Aku gak mau dikasihani, Fan!” Hardian meraih bungkusan yang tergeletak di meja dengan kasar. Kemudian berlalu pergi tanpa sepatah kata pun. Arfan meremas uang yang diberikan Hardian. Baginya uang selembar ini tak ada apa-apanya dibanding sikap Hardian yang menurutnya sombong meskipun miskin. Ia tak terima, dan akan membalasnya. “Awas kamu, Har!” batinnya murka. * Airin bergegas membukakan pintu. Hardian masuk dengan wajah tak bersahabat. “Ini, makan sepuasnya, aku beli ini dengan harga diri,” ucap Hardian sembari menaruh bungkusan di atas meja dengan sedikit kasar. “Gak mau,” balas Airin cepat. Hardian berbalik, menatap Airin tajam. Sedari tadi ia menaha
'Mulai hari ini, kamu saya pecat, Hardian!’Bagai disambar petir di siang bolong, Hardian terenyak, tak percaya dengan tulisan tangan tersebut. Uang ini? Ia jadi teringat kejadian kemarin, sikapnya mungkin saja membuat Arfan merasa sakit hati. Ah, ia tak berpikir sejauh itu, dan tak berniat untuk sombong atau menyakiti hati orang lain.“Kenapa, Har?” tanya Imam saat melihat perubahan raut wajah Hardian.“Enggak, Mam. Aku ada urusan sebentar, aku harus pergi!” Hardian tergesa-gesa menuju tempat membersihkan diri.“Lho, ada apa, Har? Cerita sama aku,” ujar Imam menangkap keanehan.Tak membalas, setelah mencuci tangan dan kakinya ia bergegas pergi, meninggalkan Imam yang masih dilanda penasaran.“Har ... Har, hobi banget kamu bikin orang penasaran,” gumam Imam sembari menggeleng menatap kepergian temannya itu.*Airin melangkah mantap saat mendengar teriakkan khas Mang Asep, ia
Airin berhenti bersenandung saat terdengar salam dari depan. Ia segera mematikan kompor kemudian bergegas untuk membukakan pintu.Belum sempat memutar kenop, pintu sudah terbuka. Hardian masuk dengan wajah masam. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke sofa tua kemudian bersandar sembari memejamkan mata.“Ada apa lagi?” tanya Airin mencoba mencairkan suasana.Terdengar hela napas berat suaminya itu. Hardian mengubah posisi, menegakkan tubuh sembari mengusap wajahnya kasar.“Neng masak apa? Aa' lapar,” ujarnya berdusta. Padahal, dalam hati ia sangat ingin mengatakan yang sebenarnya.Ajaib, Airin tersenyum padanya. Hardian pikir akan seperti semalam atau pagi sebelum ia berangkat. Setidaknya hal itu membuat rasa kesal di hati Hardian sedikit berkurang.“Kok malah senyum? Neng masak enak, ya? Aa’ jadi makin lapar, gak sabar pengen cepet-cepet makan.” Lagi, Hardian menebak.“Ada deh, ya udah, y
“Hardi?” Si pemilik nama refleks menoleh, lantas bergegas bangkit dan mencium takzim punggung tangan sang mertua. “Bapak, sehat?” tanya Hardian kemudian. “Sehat. Duduk!” titahnya. Hening sesaat merajai. Jujur, Hardian bingung harus memulai percakapan dari mana. “Ada apa?” tanya lelaki tua itu datar dan terkesan menghindari basa-basi. “Saya mau pinjam uang, Pak,” ucap Hardian seraya menunduk. Lagi-lagi hening. “Untuk apa?” tanyanya memastikan. “Untuk modal jualan, Pak.” “Untuk modal aja kamu sampai gak punya tabungan, Har.” Kepala Hardian terangkat, ia memberanikan diri menatap ayah mertuanya. “Ada, Pak. Tapi ... Airin bilang itu tabungan untuk lahiran nanti.” “Lahiran?” Hardian mengangguk. Ah, ia sampai lupa kalau ayah mertuanya itu belum tahu soal kehamilan Airin. “Airin hamil?” tanyanya terdengar antusias. “Alhamdulillah, Pak.” Hardian mengulas senyum. Me
Ketukan keras di pintu menghentikan aktivitas Airin yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk.“Biar Aa' yang buka,” ucap Hardian kala menyadari istrinya itu belum siap untuk menerima tamu.Airin hanya mengulas senyum. Sepertinya pengaduan kasih yang usai terjadi setengah jam yang lalu membuat Hardian tampak bersemangat dengan wajah berseri-seri dan terlihat lebih fresh dari sebelumnya.Suami Airin itu bergegas membukakan pintu, lantas keningnya berkerut menyadari seorang perempuan yang di matanya tak asing tetapi ia lupa-lupa ingat.“Saya pelayan yang kerja di tempatnya Pak Amar.” Seolah-olah paham, gadis itu langsung menjelaskan tanpa ditanya.“Ayo masuk!” ajak Hardian.“Nggak, A'. Saya buru-buru, saya cuma mau bilang kalau Pak Amar masuk rumah sakit,” jelasnya.“Ayah masuk rumah sakit?” timpal Airin dengan langkah terhenti.Hardian menoleh, ia kira istrinya itu masih di kamar. “Neng,” gumamnya dengan nada cemas, takut Airin syok dan malah mengganggu kehamilannya.“Teh Airin, ya
Keesokan harinya Hardian tak diperbolehkan Airin untuk berjualan. Meski kesal, perempuan itu sepertinya tak sampai hati melihat suaminya berjualan dengan kondisi wajah yang babak belur.Tak ingin lama-lama berdiam diri di rumah, di hari ketiga Hardian kembali membeli bahan-bahan untuk membuat cilok. Lelaki itu juga tampak bersemangat tatkala Airin duduk mendekat kemudian membantu.Airin juga lebih memilih diam ketimbang berbicara yang berujung kesal seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin, ia iba pada Hardian.“Aa’ berangkat, ya.” Hardian melirik Airin yang bersandar di ambang pintu.“Hati-hati,” balas Airin setelah beberapa detik terlewatkan hanya dengan menatap lekat netra suaminya tersebut.Senyum Hardian terukir seiring berlalu dengan harapan yang melambung, semoga banyak pembeli dan pulang dengan hasil yang memuaskan. Namun, berlainan dengan hati Airin. Perempuan itu merasa Hardian begitu tampak menyedihkan di matanya
“Alhamdulillah.” Hardian mengucap syukur.“Terus gimana jualan Aa'?” tanya Airin antusias.Senyum Hardian yang memudar seketika menimbulkan rasa curiga di hati Airin.“Abis, kan?” Airin memastikan.Hardian bungkam. Bingung. Tanpa berpikir panjang, Airin bangkit dan mengayun kakinya keluar.Bunyi kelontang panci menandakan bahwa Airin telah mengetahui semuanya. Hardian berdiri mematung memperhatikan ekspresi Airin yang tampak menahan amarah.“Kenapa masih nyisa banyak?” Airin beralih menatap Hardian dengan penuh tanda tanya.“Tadi ... tadi Aa' ngebantuin orang terus lupa matiin kompor dan—““Airnya habis lalu gosong, gitu?” Airin memotong penjelasan suaminya itu.Hardian kembali terdiam. Membalas kemarahan Airin dengan ucapan hanya akan menimbulkan pertengkaran, ia tak menginginkan hal itu, terlebih kini istrinya itu tengah mengandung buah hatin
Hardian dan Pak Amar duduk terdiam sedangkan Arfan mondar-mandir, raut wajahnya menyiratkan kegelisahan. Tentu saja hal itu memancing rasa penasaran di benak Pak Amar, tetapi mertua Hardian itu memilih untuk diam.Derit pintu terdengar kala dibuka, Arfan gegas menghampiri lantas bertanya, “Gimana istri saya, Dok?” Dengan nada cemas.Pak Amar dan Hardian refleks menoleh bersamaan. Keduanya begitu tak habis pikir kenapa Arfan sedari tadi tidak mengungkapkan kalau perempuan tersebut adalah istrinya.“Terlambat sedikit saja, janinnya mungkin tidak bisa diselamatkan.”Arfan menghela napas lega. Antara bahagia dan entah, ia sendiri bingung memaknai perasaannya kini. Setelah dokter itu pergi, Arfan bergegas masuk.Didapatinya Elsa sedang bersandar dengan tatapan yang sulit diartikan kala empat mata itu saling bertemu.“Apa yang udah kamu lakukan?” tanya Arfan dingin.Elsa berpaling, merasa hilang akal akan
“Alhamdulillah, Yah. Do'ain aja semoga janinnya sehat-sehat sampai lahiran nanti,” jawab Airin.“Kamu anak satu-satunya Ayah, Rin. Sebenarnya Ayah gak tega melihat kamu susah kayak gini,” tutur Pak Amar terdengar sendu.Airin mengembuskan napas pelan lalu berkata, “Ayah gak perlu pura-pura sedih, kalau ingin tertawa silahkan saja.”Pak Amar menatap Airin dengan ekspresi kecewa.“Kenapa kamu gak pernah mengunjungi Ayah?”“Ini udah keputusan Airin, Yah.” Perempuan itu berpaling, menyembunyikan netranya yang mulai berembun.“Sedalam itukah kamu benci sama Ayah, Rin? Sampai-sampai disaat kesusahan pun kamu gak mau membaginya dengan ayahmu ini?” tanya Pak Amar lirih.Airin terdiam, jemarinya bergerak cepat mengusap air mata yang mulai menitik. Hatinya berbisik rindu, tetapi egonya lebih kuat hingga perempuan itu tetap terdiam di tempat.Pak Amar merisik saku dan
“Naik, Neng!” titah Hardian setelah bersisian dengan Airin yang berjalan dengan cepat sembari sesekali mengusap air matanya.“Ayo, Neng!” bujuk Hardian lagi. Ia melajukan kuda besinya pelan, kaki kanannya sesekali turun untuk menahan keseimbangan.“Pulang aja sendiri, aku pengen jalan kaki,” balas Airin ketus.“Ya udah, Aa' temenin.”“Gak usah, A'. Kamu denger gak aku ngomong apa?” Langkah Airin terhenti seiring nada bicaranya yang meninggi.Hardian pun menghentikan laju motornya, lalu menatap Airin dengan sendu.“Aa’ minta maaf,” ujarnya terdengar berat.Airin berpaling. Jalanan yang tidak terlalu ramai menjadi titik pusat perhatiannya. Perempuan itu tampak menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.“Aku gak mau kamu ngemis-ngemis lagi sama ayah,” ucap Airin kemudian tanpa menatap Hardian.“Aa’ gak ngemis, Nen
“Hardi?” Si pemilik nama refleks menoleh, lantas bergegas bangkit dan mencium takzim punggung tangan sang mertua. “Bapak, sehat?” tanya Hardian kemudian. “Sehat. Duduk!” titahnya. Hening sesaat merajai. Jujur, Hardian bingung harus memulai percakapan dari mana. “Ada apa?” tanya lelaki tua itu datar dan terkesan menghindari basa-basi. “Saya mau pinjam uang, Pak,” ucap Hardian seraya menunduk. Lagi-lagi hening. “Untuk apa?” tanyanya memastikan. “Untuk modal jualan, Pak.” “Untuk modal aja kamu sampai gak punya tabungan, Har.” Kepala Hardian terangkat, ia memberanikan diri menatap ayah mertuanya. “Ada, Pak. Tapi ... Airin bilang itu tabungan untuk lahiran nanti.” “Lahiran?” Hardian mengangguk. Ah, ia sampai lupa kalau ayah mertuanya itu belum tahu soal kehamilan Airin. “Airin hamil?” tanyanya terdengar antusias. “Alhamdulillah, Pak.” Hardian mengulas senyum. Me
Airin berhenti bersenandung saat terdengar salam dari depan. Ia segera mematikan kompor kemudian bergegas untuk membukakan pintu.Belum sempat memutar kenop, pintu sudah terbuka. Hardian masuk dengan wajah masam. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke sofa tua kemudian bersandar sembari memejamkan mata.“Ada apa lagi?” tanya Airin mencoba mencairkan suasana.Terdengar hela napas berat suaminya itu. Hardian mengubah posisi, menegakkan tubuh sembari mengusap wajahnya kasar.“Neng masak apa? Aa' lapar,” ujarnya berdusta. Padahal, dalam hati ia sangat ingin mengatakan yang sebenarnya.Ajaib, Airin tersenyum padanya. Hardian pikir akan seperti semalam atau pagi sebelum ia berangkat. Setidaknya hal itu membuat rasa kesal di hati Hardian sedikit berkurang.“Kok malah senyum? Neng masak enak, ya? Aa’ jadi makin lapar, gak sabar pengen cepet-cepet makan.” Lagi, Hardian menebak.“Ada deh, ya udah, y
'Mulai hari ini, kamu saya pecat, Hardian!’Bagai disambar petir di siang bolong, Hardian terenyak, tak percaya dengan tulisan tangan tersebut. Uang ini? Ia jadi teringat kejadian kemarin, sikapnya mungkin saja membuat Arfan merasa sakit hati. Ah, ia tak berpikir sejauh itu, dan tak berniat untuk sombong atau menyakiti hati orang lain.“Kenapa, Har?” tanya Imam saat melihat perubahan raut wajah Hardian.“Enggak, Mam. Aku ada urusan sebentar, aku harus pergi!” Hardian tergesa-gesa menuju tempat membersihkan diri.“Lho, ada apa, Har? Cerita sama aku,” ujar Imam menangkap keanehan.Tak membalas, setelah mencuci tangan dan kakinya ia bergegas pergi, meninggalkan Imam yang masih dilanda penasaran.“Har ... Har, hobi banget kamu bikin orang penasaran,” gumam Imam sembari menggeleng menatap kepergian temannya itu.*Airin melangkah mantap saat mendengar teriakkan khas Mang Asep, ia