Pertemuan itu membuat peluang Hardian semakin dekat dan mudah. Airin yang selalu murung, perlahan semangatnya kembali semenjak bertemu dengan dirinya. Keduanya sama-sama saling membutuhkan, hingga akhirnya memutuskan untuk menikah.
Airin tak peduli dengan keadaan Hardian, yang ia tahu, Hardian adalah teman, sekaligus orang yang berhasil membuatnya kembali bangkit untuk menjalani hidup.
Tentu saja ayah Airin menentang. Jelas, karena mereka beda kasta serta sebuah rahasia yang masih ia simpan rapat.
“Kenapa, Yah?” tanya Airin waktu itu.
“Pokoknya kamu nggak boleh nikah sama dia.” Ayah Airin kekeh.
“Nggak bisa, Pa. Aku cinta sama dia.”
“Makan itu cinta. Memangnya kamu hidup kenyang cuma makan cinta.”
Sikap keras kepala Airin tak jauh beda dengan ayahnya. Keduanya tetap menikah dengan wali hakim.
Sepertinya, perempuan itu akhir-akhir ini menyesali keputusannya. Semenjak menikah pun ia tak pernah kembali ke rumah. Ada rasa rindu yang menjalar, tetapi egonya begitu keras. Ayahnya pasti akan mengejek atau bahkan mengusirnya.
Jika rasa rindu itu muncul, Airin akan menggeleng kuat, kemudian memutuskan untuk tidur.
Hal itu pula yang dirasakan Hardian. Airin sepertinya mulai bosan dengan kehidupan seperti ini. Maka ia teringat tawaran Arfan. Apa sebaiknya ia menerima tawaran itu? Ah, Hardian dilema.
*
Suara 'klik' terdengar kala sakelar dinyalakan, lalu tampaklah ranjang ukuran queen dengan seprei putih dan di atasnya terbaring seorang wanita yang usianya genap 48 tahun.
Langkah Arfan terayun pelan, beberapa detik kemudian tepian kasur itu melesak ketika bokongnya mendarat.
“Selamat ulang tahun, ya, Ma.” Arfan mendaratkan kecupan di kening wanita yang telah melahirkannya. Namun, jangankan ucapan terima kasih, raut wajah bahagia pun sedikit saja tak terlihat dari wanita dengan tahi lalat di atas bibir sebelah kanan itu.
Tatapan Arfan beralih pada sepiring makan malam yang belum tersentuh, kenapa Bik Iyam tidak menyuapinya? Pikir Arfan.
Lelaki itu melepas jas, menaruhnya asal lalu mengendurkan dasi serta menggulung lengan kemeja hingga siku, berniat untuk menyuapi sang mama.
“Jangan buat Arfan semakin sedih karena melihat Mama makin kurus. Tolong! Mama makan, ya,” ujar Arfan seraya menarik lembut tubuh mamanya untuk bangkit, ia menaruh bantal agar mamanya nyaman ketika bersandar.
Tatapan wanita itu kosong, kehadiran Arfan seolah-olah tak kasat mata.
“Makan dulu, Ma,” ujarnya seraya menyendok sedikit nasi dan diarahkan ke mulut mamanya.
“Ayo, Ma!” Arfan setengah memohon tatkala bibir itu terkatup.
“Dari tadi aku juga udah mencoba menyuapinya, Mas. Tapi Mama malah menggeleng terus,” timpal seseorang.
Arfan menoleh, mendapati—Elsa—istrinya berdiri diambang pintu. Lelaki itu berpaling seraya berdecak kesal.
“Makan dulu, Ma!” pinta Arfan sekali lagi. Namun, mulut mamanya seolah-olah enggan untuk mangap.
“Biarlah, Mas. Buat apa kita gaji Bik Iyam kalau untuk menyuapi Mama aja dia gak bisa.”
“Diam, Elsa!”
Netra keduanya saling berserobok, perempuan dengan rambut sebahu berwarna kecokelatan itu tampak sedikit terkejut dengan nada bicara suaminya yang tak biasa.
Hening sejenak mengambil alih. Arfan kembali menaruh piring disusul tarikan napasnya yang terdengar berat.
“Sebenarnya aku sakit hati dibentak-bentak, Mas. Tapi karena aku sayang sama kamu, jadi aku maafkan,” ucap Elsa seraya berbalik hendak pergi.
“Mau ke mana kamu?” tanya Arfan berhasil mencegah langkahnya.
“Ke cafe-lah, Mas. Emangnya mau ke mana lagi?”
Arfan mengusap wajah kasar.
“Makan malam udah siap,” tambah Elsa.
“Bisa temani aku malam ini?” Arfan bertanya sembari menatap Elsa dengan tatapan yang sulit diartikan.
Sudut bibir Elsa tertarik, “Tumben,” balasnya.
Arfan tersenyum kecil, benar juga apa kata istrinya. Tidak heran jika Elsa berucap demikian.
“Kamu kesambet apa sih, Mas? Biasanya juga cuek aja, bodo amat gitu kalau aku pergi. Udah ah, keburu malem, aku berangkat sekarang, ya.” Elsa tak ingin berbincang lebih lama lagi dengan Arfan, ia tahu ujungnya akan berakhir dengan adu mulut.
Arfan terdiam, menatap kepergian Elsa yang mulai menjauh. Kehangatan sederhana antara Hardian dan Airin kembali menari-nari di benaknya. Ah, ia merasa benci terhadap dirinya sendiri, permintaannya pada Elsa baru saja seolah-olah efek dari apa yang dilihat di rumah sahabatnya tadi siang.
Lelaki itu lantas menunduk, menggeleng pelan menetralkan segala rasa yang seharusnya dienyahkan.
“Mama makan, ya, please!” Arfan beralih menatap mamanya yang sedari tadi tetap dengan ekspresi datar.
Tak putus asa, Arfan kembali menyodorkan sesendok nasi dan diarahkan ke mulut mamanya.
“Mama harus ma—“
“Aku gak mau makaaan!!!”
Rahang Arfan mengeras tatkala sendok dan piring di tangannya terlempar akibat tepisan sang mama hingga menimbulkan denting gaduh dan berserakan.
“Astagfirullah!” Terdengar pekikan wanita yang usianya di perkirakan lebih tua dari ibu majikannya. Ia tergopoh-gopoh menghampiri, bergegas jongkok memunguti beberapa pecahan yang besar.
Arfan menatap mamanya sendu, dalam hati ia bertekad tidak akan melemah ketika sisi lain dalam dirinya yang kesepian lebih mendominasi. Ia harus menjalankan misi balas dendamnya. Segera.
*
“Assalamualaikum,” ucap Hardian saat memasuki rumah sehabis pulang dari musala.
Tak ada jawaban, biasanya Airin sudah berkutat di dapur, meski sekadar membuat pisang goreng dan kopi pahit yang sering kehabisan gula. Namun, berbeda dengan pagi ini.
Hardian melangkah menuju kamar, ia berucap istigfar dalam hati. Dilihatnya Airin masih tertidur dengan selimut tebal yang membalut tubuhnya hampir kepala.
“Neng, kok belum bangun? Kamu lagi datang bulan, ya?” Hardian menebak. Mungkin saja istrinya itu tidak salat karena sedang berhalangan.
Airin menggeleng, terlihat lemah.
Hardian berniat untuk mengusap rambut Airin, tetapi lelaki itu terperanjat karena hal lain.
“Ya Allah, Neng. Kamu kok pucat? Sakit?” tanya Hardian cemas.
“Nggak tahu. Aku kayanya masuk angin. Malas salat, pegang air dikit aja dingin.”
“Jangan ngomong gitu, Neng. Selama kamu masih kuat, kamu harus melakukannya, itu kewajiban lho.” Hardian sedikit tersentil dengan kata 'malas' yang keluar dari mulut istrinya.
“Kamu gimana sih, 'A? Orang sakit malah diceramahi.” Airin kesal.
“Hanya mengingatkan, Neng. Lagi pula ini sudah habis waktunya. Sekarang kita ke puskesmas aja, ya. Periksa, takutnya kamu kenapa-kenapa,” saran Hardian.
“Nggak usah lah, cuma nggak enak badan biasa.” Tolak Airin. Perempuan itu berusaha untuk bangkit, sigap Hardian membantunya.
Airin bersandar sembari memejamkan mata, rambutnya terlihat acak-acakan, tetapi bagi Hardian di sanalah letak pesonanya. Ada rasa sesak dalam hati karena sudah dua malam ini Airin selalu membelakanginya. Ia tak berani meminta, karena Airin akan lebih marah.
Ingin sekali ia menjatuhkan diri lalu mengecup bibir mungil itu dan menggapai indahnya cinta pagi ini. Namun, segera ia menepisnya. Ia tak boleh egois, Airin perlu waktu untuk menenangkan diri, dari segala kemelut kehidupan yang tak sesuai ekspektasi, mungkin karena itulah istrinya jadi tak berhasrat akhir-akhir ini.
“Kamu kenapa sih? Kok malah ngelamun? Bukannya bikinin aku teh panas misalnya.” Sindir Airin.Hardian tersenyum samar, sebagai seorang suami ia memang belum se-peka yang diinginkan Airin.“Sebentar, ya, Sayang. ‘Aa bikin dulu,” ujar Hardian kemudian bangkit berdiri dan keluar menuju dapur.Tak lama lelaki itu kembali, membawa secangkir teh panas dengan asap yang masih mengepul.“Pelan-pelan minumnya, masih panas,” ucap Hardian sembari memberikannya pada Airin.Perempuan itu menerimanya dengan perlahan, berniat untuk menghirup aroma teh yang begitu khas tetapi ia mendadak mual.“Ih, kok bau melati,” ujar Airin cepat memberikannya kembali pada Hardian, hingga sedikit air teh tersebut tumpah.“Lho, iya. Ini kan teh kesukaan kamu yang ada aroma melatinya.” Hardian bingung.“Pokoknya aku nggak suka. Aku mau ganti yang biasa aja,” pinta Airin.
Hardian pun menyusul masuk, menyimpan helm di atas meja, kemudian melenggang ke dapur untuk sekadar mengambil minum. Dirasa kerongkongannya sudah tak lagi kering, Hardian berniat untuk menyusul Airin ke kamar, tetapi saat ia memutar kenop pintu malah dikunci. “Lho, Neng, kok dikunci?” seru Hardian sembari mengetuk pintu. “Biarin! Itu balasan buat suami yang gak pernah peka!” seru Airin dari dalam. “Peka gimana, Neng? Aa' salah apa lagi?” tanya Hardian bingung. Niat hati ingin menghabiskan waktu berdua tak ingin sia-sia karena sudah terlanjur izin kepada Arfan untuk tak masuk kerja, malah dapat hal tak menyenangkan lagi dari Airin. “Kamu pikir aja sendiri!” Hardian menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Malah disuruh mikir, gimana sih? Batinnya. “Aa’ gak ngerti, Neng. Memangnya Neng Airin mau apa? Bilang aja! Aa' gak ngerti kode-kodean, Neng.” Hardian to the point. Terdengar derap langkah mendekat, kemudian kenop pintu terlihat be
“Terima kasih, Fan udah mau nunggu. Ini uangnya, aku beli.” Hardian menyodorkan selembar uang berwarna merah. Arfan mendongak kemudian bangkit berdiri. “Jangan gengsi, Har. Aku ikhlas membantu,” ujarnya. “Jangan pura-pura, aku tahu kamu iba kan sama aku? Aku gak mau dikasihani, Fan!” Hardian meraih bungkusan yang tergeletak di meja dengan kasar. Kemudian berlalu pergi tanpa sepatah kata pun. Arfan meremas uang yang diberikan Hardian. Baginya uang selembar ini tak ada apa-apanya dibanding sikap Hardian yang menurutnya sombong meskipun miskin. Ia tak terima, dan akan membalasnya. “Awas kamu, Har!” batinnya murka. * Airin bergegas membukakan pintu. Hardian masuk dengan wajah tak bersahabat. “Ini, makan sepuasnya, aku beli ini dengan harga diri,” ucap Hardian sembari menaruh bungkusan di atas meja dengan sedikit kasar. “Gak mau,” balas Airin cepat. Hardian berbalik, menatap Airin tajam. Sedari tadi ia menaha
'Mulai hari ini, kamu saya pecat, Hardian!’Bagai disambar petir di siang bolong, Hardian terenyak, tak percaya dengan tulisan tangan tersebut. Uang ini? Ia jadi teringat kejadian kemarin, sikapnya mungkin saja membuat Arfan merasa sakit hati. Ah, ia tak berpikir sejauh itu, dan tak berniat untuk sombong atau menyakiti hati orang lain.“Kenapa, Har?” tanya Imam saat melihat perubahan raut wajah Hardian.“Enggak, Mam. Aku ada urusan sebentar, aku harus pergi!” Hardian tergesa-gesa menuju tempat membersihkan diri.“Lho, ada apa, Har? Cerita sama aku,” ujar Imam menangkap keanehan.Tak membalas, setelah mencuci tangan dan kakinya ia bergegas pergi, meninggalkan Imam yang masih dilanda penasaran.“Har ... Har, hobi banget kamu bikin orang penasaran,” gumam Imam sembari menggeleng menatap kepergian temannya itu.*Airin melangkah mantap saat mendengar teriakkan khas Mang Asep, ia
Airin berhenti bersenandung saat terdengar salam dari depan. Ia segera mematikan kompor kemudian bergegas untuk membukakan pintu.Belum sempat memutar kenop, pintu sudah terbuka. Hardian masuk dengan wajah masam. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke sofa tua kemudian bersandar sembari memejamkan mata.“Ada apa lagi?” tanya Airin mencoba mencairkan suasana.Terdengar hela napas berat suaminya itu. Hardian mengubah posisi, menegakkan tubuh sembari mengusap wajahnya kasar.“Neng masak apa? Aa' lapar,” ujarnya berdusta. Padahal, dalam hati ia sangat ingin mengatakan yang sebenarnya.Ajaib, Airin tersenyum padanya. Hardian pikir akan seperti semalam atau pagi sebelum ia berangkat. Setidaknya hal itu membuat rasa kesal di hati Hardian sedikit berkurang.“Kok malah senyum? Neng masak enak, ya? Aa’ jadi makin lapar, gak sabar pengen cepet-cepet makan.” Lagi, Hardian menebak.“Ada deh, ya udah, y
“Hardi?” Si pemilik nama refleks menoleh, lantas bergegas bangkit dan mencium takzim punggung tangan sang mertua. “Bapak, sehat?” tanya Hardian kemudian. “Sehat. Duduk!” titahnya. Hening sesaat merajai. Jujur, Hardian bingung harus memulai percakapan dari mana. “Ada apa?” tanya lelaki tua itu datar dan terkesan menghindari basa-basi. “Saya mau pinjam uang, Pak,” ucap Hardian seraya menunduk. Lagi-lagi hening. “Untuk apa?” tanyanya memastikan. “Untuk modal jualan, Pak.” “Untuk modal aja kamu sampai gak punya tabungan, Har.” Kepala Hardian terangkat, ia memberanikan diri menatap ayah mertuanya. “Ada, Pak. Tapi ... Airin bilang itu tabungan untuk lahiran nanti.” “Lahiran?” Hardian mengangguk. Ah, ia sampai lupa kalau ayah mertuanya itu belum tahu soal kehamilan Airin. “Airin hamil?” tanyanya terdengar antusias. “Alhamdulillah, Pak.” Hardian mengulas senyum. Me
“Naik, Neng!” titah Hardian setelah bersisian dengan Airin yang berjalan dengan cepat sembari sesekali mengusap air matanya.“Ayo, Neng!” bujuk Hardian lagi. Ia melajukan kuda besinya pelan, kaki kanannya sesekali turun untuk menahan keseimbangan.“Pulang aja sendiri, aku pengen jalan kaki,” balas Airin ketus.“Ya udah, Aa' temenin.”“Gak usah, A'. Kamu denger gak aku ngomong apa?” Langkah Airin terhenti seiring nada bicaranya yang meninggi.Hardian pun menghentikan laju motornya, lalu menatap Airin dengan sendu.“Aa’ minta maaf,” ujarnya terdengar berat.Airin berpaling. Jalanan yang tidak terlalu ramai menjadi titik pusat perhatiannya. Perempuan itu tampak menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.“Aku gak mau kamu ngemis-ngemis lagi sama ayah,” ucap Airin kemudian tanpa menatap Hardian.“Aa’ gak ngemis, Nen
“Alhamdulillah, Yah. Do'ain aja semoga janinnya sehat-sehat sampai lahiran nanti,” jawab Airin.“Kamu anak satu-satunya Ayah, Rin. Sebenarnya Ayah gak tega melihat kamu susah kayak gini,” tutur Pak Amar terdengar sendu.Airin mengembuskan napas pelan lalu berkata, “Ayah gak perlu pura-pura sedih, kalau ingin tertawa silahkan saja.”Pak Amar menatap Airin dengan ekspresi kecewa.“Kenapa kamu gak pernah mengunjungi Ayah?”“Ini udah keputusan Airin, Yah.” Perempuan itu berpaling, menyembunyikan netranya yang mulai berembun.“Sedalam itukah kamu benci sama Ayah, Rin? Sampai-sampai disaat kesusahan pun kamu gak mau membaginya dengan ayahmu ini?” tanya Pak Amar lirih.Airin terdiam, jemarinya bergerak cepat mengusap air mata yang mulai menitik. Hatinya berbisik rindu, tetapi egonya lebih kuat hingga perempuan itu tetap terdiam di tempat.Pak Amar merisik saku dan
Ketukan keras di pintu menghentikan aktivitas Airin yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk.“Biar Aa' yang buka,” ucap Hardian kala menyadari istrinya itu belum siap untuk menerima tamu.Airin hanya mengulas senyum. Sepertinya pengaduan kasih yang usai terjadi setengah jam yang lalu membuat Hardian tampak bersemangat dengan wajah berseri-seri dan terlihat lebih fresh dari sebelumnya.Suami Airin itu bergegas membukakan pintu, lantas keningnya berkerut menyadari seorang perempuan yang di matanya tak asing tetapi ia lupa-lupa ingat.“Saya pelayan yang kerja di tempatnya Pak Amar.” Seolah-olah paham, gadis itu langsung menjelaskan tanpa ditanya.“Ayo masuk!” ajak Hardian.“Nggak, A'. Saya buru-buru, saya cuma mau bilang kalau Pak Amar masuk rumah sakit,” jelasnya.“Ayah masuk rumah sakit?” timpal Airin dengan langkah terhenti.Hardian menoleh, ia kira istrinya itu masih di kamar. “Neng,” gumamnya dengan nada cemas, takut Airin syok dan malah mengganggu kehamilannya.“Teh Airin, ya
Keesokan harinya Hardian tak diperbolehkan Airin untuk berjualan. Meski kesal, perempuan itu sepertinya tak sampai hati melihat suaminya berjualan dengan kondisi wajah yang babak belur.Tak ingin lama-lama berdiam diri di rumah, di hari ketiga Hardian kembali membeli bahan-bahan untuk membuat cilok. Lelaki itu juga tampak bersemangat tatkala Airin duduk mendekat kemudian membantu.Airin juga lebih memilih diam ketimbang berbicara yang berujung kesal seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin, ia iba pada Hardian.“Aa’ berangkat, ya.” Hardian melirik Airin yang bersandar di ambang pintu.“Hati-hati,” balas Airin setelah beberapa detik terlewatkan hanya dengan menatap lekat netra suaminya tersebut.Senyum Hardian terukir seiring berlalu dengan harapan yang melambung, semoga banyak pembeli dan pulang dengan hasil yang memuaskan. Namun, berlainan dengan hati Airin. Perempuan itu merasa Hardian begitu tampak menyedihkan di matanya
“Alhamdulillah.” Hardian mengucap syukur.“Terus gimana jualan Aa'?” tanya Airin antusias.Senyum Hardian yang memudar seketika menimbulkan rasa curiga di hati Airin.“Abis, kan?” Airin memastikan.Hardian bungkam. Bingung. Tanpa berpikir panjang, Airin bangkit dan mengayun kakinya keluar.Bunyi kelontang panci menandakan bahwa Airin telah mengetahui semuanya. Hardian berdiri mematung memperhatikan ekspresi Airin yang tampak menahan amarah.“Kenapa masih nyisa banyak?” Airin beralih menatap Hardian dengan penuh tanda tanya.“Tadi ... tadi Aa' ngebantuin orang terus lupa matiin kompor dan—““Airnya habis lalu gosong, gitu?” Airin memotong penjelasan suaminya itu.Hardian kembali terdiam. Membalas kemarahan Airin dengan ucapan hanya akan menimbulkan pertengkaran, ia tak menginginkan hal itu, terlebih kini istrinya itu tengah mengandung buah hatin
Hardian dan Pak Amar duduk terdiam sedangkan Arfan mondar-mandir, raut wajahnya menyiratkan kegelisahan. Tentu saja hal itu memancing rasa penasaran di benak Pak Amar, tetapi mertua Hardian itu memilih untuk diam.Derit pintu terdengar kala dibuka, Arfan gegas menghampiri lantas bertanya, “Gimana istri saya, Dok?” Dengan nada cemas.Pak Amar dan Hardian refleks menoleh bersamaan. Keduanya begitu tak habis pikir kenapa Arfan sedari tadi tidak mengungkapkan kalau perempuan tersebut adalah istrinya.“Terlambat sedikit saja, janinnya mungkin tidak bisa diselamatkan.”Arfan menghela napas lega. Antara bahagia dan entah, ia sendiri bingung memaknai perasaannya kini. Setelah dokter itu pergi, Arfan bergegas masuk.Didapatinya Elsa sedang bersandar dengan tatapan yang sulit diartikan kala empat mata itu saling bertemu.“Apa yang udah kamu lakukan?” tanya Arfan dingin.Elsa berpaling, merasa hilang akal akan
“Alhamdulillah, Yah. Do'ain aja semoga janinnya sehat-sehat sampai lahiran nanti,” jawab Airin.“Kamu anak satu-satunya Ayah, Rin. Sebenarnya Ayah gak tega melihat kamu susah kayak gini,” tutur Pak Amar terdengar sendu.Airin mengembuskan napas pelan lalu berkata, “Ayah gak perlu pura-pura sedih, kalau ingin tertawa silahkan saja.”Pak Amar menatap Airin dengan ekspresi kecewa.“Kenapa kamu gak pernah mengunjungi Ayah?”“Ini udah keputusan Airin, Yah.” Perempuan itu berpaling, menyembunyikan netranya yang mulai berembun.“Sedalam itukah kamu benci sama Ayah, Rin? Sampai-sampai disaat kesusahan pun kamu gak mau membaginya dengan ayahmu ini?” tanya Pak Amar lirih.Airin terdiam, jemarinya bergerak cepat mengusap air mata yang mulai menitik. Hatinya berbisik rindu, tetapi egonya lebih kuat hingga perempuan itu tetap terdiam di tempat.Pak Amar merisik saku dan
“Naik, Neng!” titah Hardian setelah bersisian dengan Airin yang berjalan dengan cepat sembari sesekali mengusap air matanya.“Ayo, Neng!” bujuk Hardian lagi. Ia melajukan kuda besinya pelan, kaki kanannya sesekali turun untuk menahan keseimbangan.“Pulang aja sendiri, aku pengen jalan kaki,” balas Airin ketus.“Ya udah, Aa' temenin.”“Gak usah, A'. Kamu denger gak aku ngomong apa?” Langkah Airin terhenti seiring nada bicaranya yang meninggi.Hardian pun menghentikan laju motornya, lalu menatap Airin dengan sendu.“Aa’ minta maaf,” ujarnya terdengar berat.Airin berpaling. Jalanan yang tidak terlalu ramai menjadi titik pusat perhatiannya. Perempuan itu tampak menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.“Aku gak mau kamu ngemis-ngemis lagi sama ayah,” ucap Airin kemudian tanpa menatap Hardian.“Aa’ gak ngemis, Nen
“Hardi?” Si pemilik nama refleks menoleh, lantas bergegas bangkit dan mencium takzim punggung tangan sang mertua. “Bapak, sehat?” tanya Hardian kemudian. “Sehat. Duduk!” titahnya. Hening sesaat merajai. Jujur, Hardian bingung harus memulai percakapan dari mana. “Ada apa?” tanya lelaki tua itu datar dan terkesan menghindari basa-basi. “Saya mau pinjam uang, Pak,” ucap Hardian seraya menunduk. Lagi-lagi hening. “Untuk apa?” tanyanya memastikan. “Untuk modal jualan, Pak.” “Untuk modal aja kamu sampai gak punya tabungan, Har.” Kepala Hardian terangkat, ia memberanikan diri menatap ayah mertuanya. “Ada, Pak. Tapi ... Airin bilang itu tabungan untuk lahiran nanti.” “Lahiran?” Hardian mengangguk. Ah, ia sampai lupa kalau ayah mertuanya itu belum tahu soal kehamilan Airin. “Airin hamil?” tanyanya terdengar antusias. “Alhamdulillah, Pak.” Hardian mengulas senyum. Me
Airin berhenti bersenandung saat terdengar salam dari depan. Ia segera mematikan kompor kemudian bergegas untuk membukakan pintu.Belum sempat memutar kenop, pintu sudah terbuka. Hardian masuk dengan wajah masam. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke sofa tua kemudian bersandar sembari memejamkan mata.“Ada apa lagi?” tanya Airin mencoba mencairkan suasana.Terdengar hela napas berat suaminya itu. Hardian mengubah posisi, menegakkan tubuh sembari mengusap wajahnya kasar.“Neng masak apa? Aa' lapar,” ujarnya berdusta. Padahal, dalam hati ia sangat ingin mengatakan yang sebenarnya.Ajaib, Airin tersenyum padanya. Hardian pikir akan seperti semalam atau pagi sebelum ia berangkat. Setidaknya hal itu membuat rasa kesal di hati Hardian sedikit berkurang.“Kok malah senyum? Neng masak enak, ya? Aa’ jadi makin lapar, gak sabar pengen cepet-cepet makan.” Lagi, Hardian menebak.“Ada deh, ya udah, y
'Mulai hari ini, kamu saya pecat, Hardian!’Bagai disambar petir di siang bolong, Hardian terenyak, tak percaya dengan tulisan tangan tersebut. Uang ini? Ia jadi teringat kejadian kemarin, sikapnya mungkin saja membuat Arfan merasa sakit hati. Ah, ia tak berpikir sejauh itu, dan tak berniat untuk sombong atau menyakiti hati orang lain.“Kenapa, Har?” tanya Imam saat melihat perubahan raut wajah Hardian.“Enggak, Mam. Aku ada urusan sebentar, aku harus pergi!” Hardian tergesa-gesa menuju tempat membersihkan diri.“Lho, ada apa, Har? Cerita sama aku,” ujar Imam menangkap keanehan.Tak membalas, setelah mencuci tangan dan kakinya ia bergegas pergi, meninggalkan Imam yang masih dilanda penasaran.“Har ... Har, hobi banget kamu bikin orang penasaran,” gumam Imam sembari menggeleng menatap kepergian temannya itu.*Airin melangkah mantap saat mendengar teriakkan khas Mang Asep, ia