“Kamu kenapa sih? Kok malah ngelamun? Bukannya bikinin aku teh panas misalnya.” Sindir Airin.
Hardian tersenyum samar, sebagai seorang suami ia memang belum se-peka yang diinginkan Airin.
“Sebentar, ya, Sayang. ‘Aa bikin dulu,” ujar Hardian kemudian bangkit berdiri dan keluar menuju dapur.
Tak lama lelaki itu kembali, membawa secangkir teh panas dengan asap yang masih mengepul.
“Pelan-pelan minumnya, masih panas,” ucap Hardian sembari memberikannya pada Airin.
Perempuan itu menerimanya dengan perlahan, berniat untuk menghirup aroma teh yang begitu khas tetapi ia mendadak mual.
“Ih, kok bau melati,” ujar Airin cepat memberikannya kembali pada Hardian, hingga sedikit air teh tersebut tumpah.
“Lho, iya. Ini kan teh kesukaan kamu yang ada aroma melatinya.” Hardian bingung.
“Pokoknya aku nggak suka. Aku mau ganti yang biasa aja,” pinta Airin.
“Enggak ada, Neng. Harus beli dulu.”
“Ya beli dulu dong. Gimana sih?” Airin begitu tampak kesal.
Hardian hanya menghela napas panjang, menetralkan debar amarah yang mulai merambat. Lelaki itu menyesap teh buatannya, sayang kalau dibuang, pikirnya.
“Lho, kok kamu malah minum teh-nya?”
“Sayang, Neng kalau dibuang.”
“Siapa yang nyuruh dibuang?”
Hardian terdiam, menatap istrinya bingung.
“Aku mau kamu buru-buru ke warung, beli teh yang biasa.” Kali ini ucapan Airin diakhiri suara decak dari mulutnya.
Hardian tak meneruskan dan memilih untuk buru-buru pergi sebelum semuanya menjadi rumit. Ia segera mengganti sarung dan bergegas ke warung Bu Anis.
Beberapa kali Hardian mengucap salam, barulah wanita itu keluar.
“Beli apa, Har?” tanyanya ramah.
“Teh sachet-an,” pinta Hardian.
Bu Anis bergegas mengambil teh sachet dan memberikannya.
“Ini, 'kan?”
“Oh, bukan, Teh. Yang biasa aja, jangan ada aroma melatinya.”
“Biasanya Airin beli yang ini.” Bu Anis mengerutkan dahi.
“Tadi juga saya bikin yang itu, Teh. Tapi dia malah mau muntah, katanya nggak mau, mau yang biasa aja,” jelas Hardian.
“Muntah? Airin sakit?” Bu Anis memastikan.
“Kayanya iya, Teh. Saya ajak ke puskesmas dia nggak mau.” Raut wajah Hardian berubah bingung.
Sejenak Bu Anis terdiam, terlihat sedang berpikir.
“Jangan-jangan istrimu hamil, Har!” seru Bu Anis antusias.
Hardian terkesiap, kenapa ia tidak sampai berpikir ke sana? Sikap Airin yang berubah-ubah, dan pagi ini dia seperti orang yang masuk angin.
Setelah berkata demikian Bu Anis kembali mengambil teh sachet biasa dan memberikannya sembari berkata, “Segera periksa saja, Har. Siapa tahu memang hamil.”
“Iya, Teh. Ini uangnya.” Hardian menyodorkan selembar uang lima ribu.
“Enggak usah, Har.” Bu Anis menolak.
“Kenapa, Teh? Ini, Hardian beli kok.” Hardian merasa tak enak.
“Enggak usah, Har. Cuma teh, kok. Dulu, Kang Yajid sering banget bantuin Teteh saat lagi susah, Teteh nggak bisa bantu banyak, jadi enggak usah bayar, ya.”
Hardian menatap Bu Anis, mencari ketulusan di sana.
“Makasih, ya, Teh.”Bu Anis mengangguk. “Iya. Udah sana, buruan, istrimu udah nungguin.”
Hardian lalu pamit dan bergegas pulang dengan wajah yang semringah. Berharap ucapan Bu Anis memang benar. Sepertinya ia juga harus sedikit memaksa Airin agar mau ke puskesmas.
*
“Enak?” tanya Hardian saat Airin usai menyesap teh manis buatannya.
“Ya, manis. Namanya juga teh manis,” jawab Airin datar seraya menyerahkan gelas pada Hardian.
“Kita periksa, yuk!”
“Males, ah, gimana kalau hasilnya negatif lagi?” Airin berpaling, nada bicaranya terdengar putus asa.
“Ya dicoba aja, dulu. Yuk! Mau, ya.”
Airin beralih menatap suaminya itu, ia mendapati sorot mata Hardian yang penuh harap. Ia pun berharap, semoga kali ini hasilnya memang positif.
*
Tak mau antre, Airin meminta untuk periksa di Bidan Delima langganannya saja ketika ia sakit atau pun memeriksa keadaan rahimnya. Bukan tak ingin ke rumah sakit, tapi tahu sendiri keuangannya tidak mencukupi.
Bu Bidan berkacamata dengan usia kira-kira setengah abad itu terlihat kalem dan menyodorkan pispot kepada Airin untuk menampung air seninya.
Meski bukan dokter mahal, tapi Airin merasa nyaman, bahkan kalau perempuan itu kebablasan bercerita, maka dengan senang hati Bu Bidan itu mendengar keluh kesahnya, tak lupa memberi wejangan, maka dari itu Airin langsung ke pikiran untuk periksa ke sini.
Usai menampungnya di pispot, Airin bergegas memberikannya pada Bu Bidan yang sudah siap dengan test pack di tangannya.
“Sebentar, ya, Teh,” ucapnya lembut.
“Iya, Bu,” balas Airin sembari mengangguk.
Airin kemudian kembali duduk di samping Hardian. Suaminya itu langsung meraih tangannya dan mendaratkan kecupan lembut.
“Gimana hasilnya?” tanyanya tak sabar.
“Belum, A'.”
“Oh, kirain udah.” Hardian terkekeh.
Airin mencebik kesal, menepis tangan Hardian sedikit kasar. Suaminya itu hanya menghela napas pelan, Airin memang begitu, sering marah tak beralasan.
Netra Airin menjelajah, timbangan bayi, beberapa tips melancarkan ASI, serta gambar-gambar ibu dan bayi yang begitu lucu dan menggemaskan mengusik hatinya. Mungkinkah naluri keibuannya mulai hadir karena ia memang hamil?
“Teh, maaf nunggu lama,” ujar Bu Bidan tiba-tiba dan berhasil membuat Airin dan Hardian menoleh.
“Nggak apa-apa kok, Bu.” Airin mengulas senyum, kemudian perempuan itu duduk berhadapan dengan Bu Bidan, sedangkan Hardian tetap di tempatnya sembari menunggu hasilnya dengan harap-harap cemas.
“Alhamdulillah, Teh. Garis dua, hasilnya positif,” jelas Bu Bidan.
“Alhamdulillah,” timpal Hardian senang, matanya terlihat berbinar-binar.
Airin hanya terdiam. Antara bahagia dan ... rasa lainnya, ia sedikit merasa aneh.
“Terakhir haid tanggal berapa, Teh?”
“Ng ... kalau enggak salah ... 24 Mei, Bu.” Airin mencoba mengingat kapan terakhir kali ia terlambat datang bulan.
Bu Bidan itu terlihat mencoret-coret sesuatu di atas kertas. Sesekali terlihat berpikir, kemudian ia tersenyum seperti menemukan hasil.
“Jadi perkiraannya udah lima minggu, Teh. Hari perkiraan lahirnya 3 Maret,” terangnya.
Airin hanya mangut-mangut. Sementara Hardian tak henti menatap istrinya penuh cinta.
Bu Bidan mengambil buku KIA dan mulai mengisi biodata lengkap calon ibu. Tak lupa mengukur tinggi badan Airin, berat badan serta lingkar lengannya.
Sebelum pulang Bu Bidan berpesan agar Airin tidak terlalu banyak pikiran, karena Bidan tersebut tahu, Airin sering berkeluh kesah padanya.
Keduanya pulang dengan perasaan bahagia, terlebih dengan Hardian. Lelaki itu mengendarai sepeda motor dengan senyuman yang terus terukir dari bibirnya.
“A’?” panggil Airin agak sedikit keras.
“Apa, Sayang?” jawab Hardian lembut.
“Warung sate yang baru itu ramai ya, pengunjungnya,” ucap Airin sembari mengeratkan pelukan pada pinggang Hardian, dagunya juga tertambat di pundak suaminya itu.
Tak ada mobil mewah, melainkan hanya sepeda motor yang kadang sering mogok yang bisa membuat hubungan keduanya jadi romantis.
“Ya pasti ramai, Neng. Kan baru,” balas Hardian sembari sebelah tangannya mengusap lutut Airin sekilas.
“Pasti enak, ya,” ucap Airin lagi.“Kalau pengunjungnya banyak, bisa dipastikan enak, Neng.”
Airin terdiam. Sudah cukup jauh keduanya melewati warung sate tersebut.
“Terima kasih ya, Neng. Akhirnya kamu hamil juga,” ucap Hardian senang.
Airin tetap diam. Entah mengapa ia tiba-tiba merasa sedih dan lagi-lagi kesal terhadap Hardian. Baginya, lelaki sulit sekali untuk bisa mengerti perasaan dan apa maunya.
Rumah mungil itu sudah terlihat.
“Alhamdulillah,” ucap Hardian sesampainya di halaman. Sedangkan Airin bergegas turun dan langsung masuk ke rumah dengan wajah yang ditekuk.
“Apa lagi?” batin Hardian bertanya. Baru tadi di jalan sikap Airin bersahabat dan mau mengajaknya mengobrol, sekarang sudah beda lagi. Nasib. Namun, meskipun begitu, Hardian tetap bahagia, karena impiannya menjadi ayah akan segera terwujud.
Hardian pun menyusul masuk, menyimpan helm di atas meja, kemudian melenggang ke dapur untuk sekadar mengambil minum. Dirasa kerongkongannya sudah tak lagi kering, Hardian berniat untuk menyusul Airin ke kamar, tetapi saat ia memutar kenop pintu malah dikunci. “Lho, Neng, kok dikunci?” seru Hardian sembari mengetuk pintu. “Biarin! Itu balasan buat suami yang gak pernah peka!” seru Airin dari dalam. “Peka gimana, Neng? Aa' salah apa lagi?” tanya Hardian bingung. Niat hati ingin menghabiskan waktu berdua tak ingin sia-sia karena sudah terlanjur izin kepada Arfan untuk tak masuk kerja, malah dapat hal tak menyenangkan lagi dari Airin. “Kamu pikir aja sendiri!” Hardian menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Malah disuruh mikir, gimana sih? Batinnya. “Aa’ gak ngerti, Neng. Memangnya Neng Airin mau apa? Bilang aja! Aa' gak ngerti kode-kodean, Neng.” Hardian to the point. Terdengar derap langkah mendekat, kemudian kenop pintu terlihat be
“Terima kasih, Fan udah mau nunggu. Ini uangnya, aku beli.” Hardian menyodorkan selembar uang berwarna merah. Arfan mendongak kemudian bangkit berdiri. “Jangan gengsi, Har. Aku ikhlas membantu,” ujarnya. “Jangan pura-pura, aku tahu kamu iba kan sama aku? Aku gak mau dikasihani, Fan!” Hardian meraih bungkusan yang tergeletak di meja dengan kasar. Kemudian berlalu pergi tanpa sepatah kata pun. Arfan meremas uang yang diberikan Hardian. Baginya uang selembar ini tak ada apa-apanya dibanding sikap Hardian yang menurutnya sombong meskipun miskin. Ia tak terima, dan akan membalasnya. “Awas kamu, Har!” batinnya murka. * Airin bergegas membukakan pintu. Hardian masuk dengan wajah tak bersahabat. “Ini, makan sepuasnya, aku beli ini dengan harga diri,” ucap Hardian sembari menaruh bungkusan di atas meja dengan sedikit kasar. “Gak mau,” balas Airin cepat. Hardian berbalik, menatap Airin tajam. Sedari tadi ia menaha
'Mulai hari ini, kamu saya pecat, Hardian!’Bagai disambar petir di siang bolong, Hardian terenyak, tak percaya dengan tulisan tangan tersebut. Uang ini? Ia jadi teringat kejadian kemarin, sikapnya mungkin saja membuat Arfan merasa sakit hati. Ah, ia tak berpikir sejauh itu, dan tak berniat untuk sombong atau menyakiti hati orang lain.“Kenapa, Har?” tanya Imam saat melihat perubahan raut wajah Hardian.“Enggak, Mam. Aku ada urusan sebentar, aku harus pergi!” Hardian tergesa-gesa menuju tempat membersihkan diri.“Lho, ada apa, Har? Cerita sama aku,” ujar Imam menangkap keanehan.Tak membalas, setelah mencuci tangan dan kakinya ia bergegas pergi, meninggalkan Imam yang masih dilanda penasaran.“Har ... Har, hobi banget kamu bikin orang penasaran,” gumam Imam sembari menggeleng menatap kepergian temannya itu.*Airin melangkah mantap saat mendengar teriakkan khas Mang Asep, ia
Airin berhenti bersenandung saat terdengar salam dari depan. Ia segera mematikan kompor kemudian bergegas untuk membukakan pintu.Belum sempat memutar kenop, pintu sudah terbuka. Hardian masuk dengan wajah masam. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke sofa tua kemudian bersandar sembari memejamkan mata.“Ada apa lagi?” tanya Airin mencoba mencairkan suasana.Terdengar hela napas berat suaminya itu. Hardian mengubah posisi, menegakkan tubuh sembari mengusap wajahnya kasar.“Neng masak apa? Aa' lapar,” ujarnya berdusta. Padahal, dalam hati ia sangat ingin mengatakan yang sebenarnya.Ajaib, Airin tersenyum padanya. Hardian pikir akan seperti semalam atau pagi sebelum ia berangkat. Setidaknya hal itu membuat rasa kesal di hati Hardian sedikit berkurang.“Kok malah senyum? Neng masak enak, ya? Aa’ jadi makin lapar, gak sabar pengen cepet-cepet makan.” Lagi, Hardian menebak.“Ada deh, ya udah, y
“Hardi?” Si pemilik nama refleks menoleh, lantas bergegas bangkit dan mencium takzim punggung tangan sang mertua. “Bapak, sehat?” tanya Hardian kemudian. “Sehat. Duduk!” titahnya. Hening sesaat merajai. Jujur, Hardian bingung harus memulai percakapan dari mana. “Ada apa?” tanya lelaki tua itu datar dan terkesan menghindari basa-basi. “Saya mau pinjam uang, Pak,” ucap Hardian seraya menunduk. Lagi-lagi hening. “Untuk apa?” tanyanya memastikan. “Untuk modal jualan, Pak.” “Untuk modal aja kamu sampai gak punya tabungan, Har.” Kepala Hardian terangkat, ia memberanikan diri menatap ayah mertuanya. “Ada, Pak. Tapi ... Airin bilang itu tabungan untuk lahiran nanti.” “Lahiran?” Hardian mengangguk. Ah, ia sampai lupa kalau ayah mertuanya itu belum tahu soal kehamilan Airin. “Airin hamil?” tanyanya terdengar antusias. “Alhamdulillah, Pak.” Hardian mengulas senyum. Me
“Naik, Neng!” titah Hardian setelah bersisian dengan Airin yang berjalan dengan cepat sembari sesekali mengusap air matanya.“Ayo, Neng!” bujuk Hardian lagi. Ia melajukan kuda besinya pelan, kaki kanannya sesekali turun untuk menahan keseimbangan.“Pulang aja sendiri, aku pengen jalan kaki,” balas Airin ketus.“Ya udah, Aa' temenin.”“Gak usah, A'. Kamu denger gak aku ngomong apa?” Langkah Airin terhenti seiring nada bicaranya yang meninggi.Hardian pun menghentikan laju motornya, lalu menatap Airin dengan sendu.“Aa’ minta maaf,” ujarnya terdengar berat.Airin berpaling. Jalanan yang tidak terlalu ramai menjadi titik pusat perhatiannya. Perempuan itu tampak menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.“Aku gak mau kamu ngemis-ngemis lagi sama ayah,” ucap Airin kemudian tanpa menatap Hardian.“Aa’ gak ngemis, Nen
“Alhamdulillah, Yah. Do'ain aja semoga janinnya sehat-sehat sampai lahiran nanti,” jawab Airin.“Kamu anak satu-satunya Ayah, Rin. Sebenarnya Ayah gak tega melihat kamu susah kayak gini,” tutur Pak Amar terdengar sendu.Airin mengembuskan napas pelan lalu berkata, “Ayah gak perlu pura-pura sedih, kalau ingin tertawa silahkan saja.”Pak Amar menatap Airin dengan ekspresi kecewa.“Kenapa kamu gak pernah mengunjungi Ayah?”“Ini udah keputusan Airin, Yah.” Perempuan itu berpaling, menyembunyikan netranya yang mulai berembun.“Sedalam itukah kamu benci sama Ayah, Rin? Sampai-sampai disaat kesusahan pun kamu gak mau membaginya dengan ayahmu ini?” tanya Pak Amar lirih.Airin terdiam, jemarinya bergerak cepat mengusap air mata yang mulai menitik. Hatinya berbisik rindu, tetapi egonya lebih kuat hingga perempuan itu tetap terdiam di tempat.Pak Amar merisik saku dan
Hardian dan Pak Amar duduk terdiam sedangkan Arfan mondar-mandir, raut wajahnya menyiratkan kegelisahan. Tentu saja hal itu memancing rasa penasaran di benak Pak Amar, tetapi mertua Hardian itu memilih untuk diam.Derit pintu terdengar kala dibuka, Arfan gegas menghampiri lantas bertanya, “Gimana istri saya, Dok?” Dengan nada cemas.Pak Amar dan Hardian refleks menoleh bersamaan. Keduanya begitu tak habis pikir kenapa Arfan sedari tadi tidak mengungkapkan kalau perempuan tersebut adalah istrinya.“Terlambat sedikit saja, janinnya mungkin tidak bisa diselamatkan.”Arfan menghela napas lega. Antara bahagia dan entah, ia sendiri bingung memaknai perasaannya kini. Setelah dokter itu pergi, Arfan bergegas masuk.Didapatinya Elsa sedang bersandar dengan tatapan yang sulit diartikan kala empat mata itu saling bertemu.“Apa yang udah kamu lakukan?” tanya Arfan dingin.Elsa berpaling, merasa hilang akal akan
Ketukan keras di pintu menghentikan aktivitas Airin yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk.“Biar Aa' yang buka,” ucap Hardian kala menyadari istrinya itu belum siap untuk menerima tamu.Airin hanya mengulas senyum. Sepertinya pengaduan kasih yang usai terjadi setengah jam yang lalu membuat Hardian tampak bersemangat dengan wajah berseri-seri dan terlihat lebih fresh dari sebelumnya.Suami Airin itu bergegas membukakan pintu, lantas keningnya berkerut menyadari seorang perempuan yang di matanya tak asing tetapi ia lupa-lupa ingat.“Saya pelayan yang kerja di tempatnya Pak Amar.” Seolah-olah paham, gadis itu langsung menjelaskan tanpa ditanya.“Ayo masuk!” ajak Hardian.“Nggak, A'. Saya buru-buru, saya cuma mau bilang kalau Pak Amar masuk rumah sakit,” jelasnya.“Ayah masuk rumah sakit?” timpal Airin dengan langkah terhenti.Hardian menoleh, ia kira istrinya itu masih di kamar. “Neng,” gumamnya dengan nada cemas, takut Airin syok dan malah mengganggu kehamilannya.“Teh Airin, ya
Keesokan harinya Hardian tak diperbolehkan Airin untuk berjualan. Meski kesal, perempuan itu sepertinya tak sampai hati melihat suaminya berjualan dengan kondisi wajah yang babak belur.Tak ingin lama-lama berdiam diri di rumah, di hari ketiga Hardian kembali membeli bahan-bahan untuk membuat cilok. Lelaki itu juga tampak bersemangat tatkala Airin duduk mendekat kemudian membantu.Airin juga lebih memilih diam ketimbang berbicara yang berujung kesal seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin, ia iba pada Hardian.“Aa’ berangkat, ya.” Hardian melirik Airin yang bersandar di ambang pintu.“Hati-hati,” balas Airin setelah beberapa detik terlewatkan hanya dengan menatap lekat netra suaminya tersebut.Senyum Hardian terukir seiring berlalu dengan harapan yang melambung, semoga banyak pembeli dan pulang dengan hasil yang memuaskan. Namun, berlainan dengan hati Airin. Perempuan itu merasa Hardian begitu tampak menyedihkan di matanya
“Alhamdulillah.” Hardian mengucap syukur.“Terus gimana jualan Aa'?” tanya Airin antusias.Senyum Hardian yang memudar seketika menimbulkan rasa curiga di hati Airin.“Abis, kan?” Airin memastikan.Hardian bungkam. Bingung. Tanpa berpikir panjang, Airin bangkit dan mengayun kakinya keluar.Bunyi kelontang panci menandakan bahwa Airin telah mengetahui semuanya. Hardian berdiri mematung memperhatikan ekspresi Airin yang tampak menahan amarah.“Kenapa masih nyisa banyak?” Airin beralih menatap Hardian dengan penuh tanda tanya.“Tadi ... tadi Aa' ngebantuin orang terus lupa matiin kompor dan—““Airnya habis lalu gosong, gitu?” Airin memotong penjelasan suaminya itu.Hardian kembali terdiam. Membalas kemarahan Airin dengan ucapan hanya akan menimbulkan pertengkaran, ia tak menginginkan hal itu, terlebih kini istrinya itu tengah mengandung buah hatin
Hardian dan Pak Amar duduk terdiam sedangkan Arfan mondar-mandir, raut wajahnya menyiratkan kegelisahan. Tentu saja hal itu memancing rasa penasaran di benak Pak Amar, tetapi mertua Hardian itu memilih untuk diam.Derit pintu terdengar kala dibuka, Arfan gegas menghampiri lantas bertanya, “Gimana istri saya, Dok?” Dengan nada cemas.Pak Amar dan Hardian refleks menoleh bersamaan. Keduanya begitu tak habis pikir kenapa Arfan sedari tadi tidak mengungkapkan kalau perempuan tersebut adalah istrinya.“Terlambat sedikit saja, janinnya mungkin tidak bisa diselamatkan.”Arfan menghela napas lega. Antara bahagia dan entah, ia sendiri bingung memaknai perasaannya kini. Setelah dokter itu pergi, Arfan bergegas masuk.Didapatinya Elsa sedang bersandar dengan tatapan yang sulit diartikan kala empat mata itu saling bertemu.“Apa yang udah kamu lakukan?” tanya Arfan dingin.Elsa berpaling, merasa hilang akal akan
“Alhamdulillah, Yah. Do'ain aja semoga janinnya sehat-sehat sampai lahiran nanti,” jawab Airin.“Kamu anak satu-satunya Ayah, Rin. Sebenarnya Ayah gak tega melihat kamu susah kayak gini,” tutur Pak Amar terdengar sendu.Airin mengembuskan napas pelan lalu berkata, “Ayah gak perlu pura-pura sedih, kalau ingin tertawa silahkan saja.”Pak Amar menatap Airin dengan ekspresi kecewa.“Kenapa kamu gak pernah mengunjungi Ayah?”“Ini udah keputusan Airin, Yah.” Perempuan itu berpaling, menyembunyikan netranya yang mulai berembun.“Sedalam itukah kamu benci sama Ayah, Rin? Sampai-sampai disaat kesusahan pun kamu gak mau membaginya dengan ayahmu ini?” tanya Pak Amar lirih.Airin terdiam, jemarinya bergerak cepat mengusap air mata yang mulai menitik. Hatinya berbisik rindu, tetapi egonya lebih kuat hingga perempuan itu tetap terdiam di tempat.Pak Amar merisik saku dan
“Naik, Neng!” titah Hardian setelah bersisian dengan Airin yang berjalan dengan cepat sembari sesekali mengusap air matanya.“Ayo, Neng!” bujuk Hardian lagi. Ia melajukan kuda besinya pelan, kaki kanannya sesekali turun untuk menahan keseimbangan.“Pulang aja sendiri, aku pengen jalan kaki,” balas Airin ketus.“Ya udah, Aa' temenin.”“Gak usah, A'. Kamu denger gak aku ngomong apa?” Langkah Airin terhenti seiring nada bicaranya yang meninggi.Hardian pun menghentikan laju motornya, lalu menatap Airin dengan sendu.“Aa’ minta maaf,” ujarnya terdengar berat.Airin berpaling. Jalanan yang tidak terlalu ramai menjadi titik pusat perhatiannya. Perempuan itu tampak menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.“Aku gak mau kamu ngemis-ngemis lagi sama ayah,” ucap Airin kemudian tanpa menatap Hardian.“Aa’ gak ngemis, Nen
“Hardi?” Si pemilik nama refleks menoleh, lantas bergegas bangkit dan mencium takzim punggung tangan sang mertua. “Bapak, sehat?” tanya Hardian kemudian. “Sehat. Duduk!” titahnya. Hening sesaat merajai. Jujur, Hardian bingung harus memulai percakapan dari mana. “Ada apa?” tanya lelaki tua itu datar dan terkesan menghindari basa-basi. “Saya mau pinjam uang, Pak,” ucap Hardian seraya menunduk. Lagi-lagi hening. “Untuk apa?” tanyanya memastikan. “Untuk modal jualan, Pak.” “Untuk modal aja kamu sampai gak punya tabungan, Har.” Kepala Hardian terangkat, ia memberanikan diri menatap ayah mertuanya. “Ada, Pak. Tapi ... Airin bilang itu tabungan untuk lahiran nanti.” “Lahiran?” Hardian mengangguk. Ah, ia sampai lupa kalau ayah mertuanya itu belum tahu soal kehamilan Airin. “Airin hamil?” tanyanya terdengar antusias. “Alhamdulillah, Pak.” Hardian mengulas senyum. Me
Airin berhenti bersenandung saat terdengar salam dari depan. Ia segera mematikan kompor kemudian bergegas untuk membukakan pintu.Belum sempat memutar kenop, pintu sudah terbuka. Hardian masuk dengan wajah masam. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke sofa tua kemudian bersandar sembari memejamkan mata.“Ada apa lagi?” tanya Airin mencoba mencairkan suasana.Terdengar hela napas berat suaminya itu. Hardian mengubah posisi, menegakkan tubuh sembari mengusap wajahnya kasar.“Neng masak apa? Aa' lapar,” ujarnya berdusta. Padahal, dalam hati ia sangat ingin mengatakan yang sebenarnya.Ajaib, Airin tersenyum padanya. Hardian pikir akan seperti semalam atau pagi sebelum ia berangkat. Setidaknya hal itu membuat rasa kesal di hati Hardian sedikit berkurang.“Kok malah senyum? Neng masak enak, ya? Aa’ jadi makin lapar, gak sabar pengen cepet-cepet makan.” Lagi, Hardian menebak.“Ada deh, ya udah, y
'Mulai hari ini, kamu saya pecat, Hardian!’Bagai disambar petir di siang bolong, Hardian terenyak, tak percaya dengan tulisan tangan tersebut. Uang ini? Ia jadi teringat kejadian kemarin, sikapnya mungkin saja membuat Arfan merasa sakit hati. Ah, ia tak berpikir sejauh itu, dan tak berniat untuk sombong atau menyakiti hati orang lain.“Kenapa, Har?” tanya Imam saat melihat perubahan raut wajah Hardian.“Enggak, Mam. Aku ada urusan sebentar, aku harus pergi!” Hardian tergesa-gesa menuju tempat membersihkan diri.“Lho, ada apa, Har? Cerita sama aku,” ujar Imam menangkap keanehan.Tak membalas, setelah mencuci tangan dan kakinya ia bergegas pergi, meninggalkan Imam yang masih dilanda penasaran.“Har ... Har, hobi banget kamu bikin orang penasaran,” gumam Imam sembari menggeleng menatap kepergian temannya itu.*Airin melangkah mantap saat mendengar teriakkan khas Mang Asep, ia