Hardian pun menyusul masuk, menyimpan helm di atas meja, kemudian melenggang ke dapur untuk sekadar mengambil minum. Dirasa kerongkongannya sudah tak lagi kering, Hardian berniat untuk menyusul Airin ke kamar, tetapi saat ia memutar kenop pintu malah dikunci.
“Lho, Neng, kok dikunci?” seru Hardian sembari mengetuk pintu.
“Biarin! Itu balasan buat suami yang gak pernah peka!” seru Airin dari dalam.
“Peka gimana, Neng? Aa' salah apa lagi?” tanya Hardian bingung. Niat hati ingin menghabiskan waktu berdua tak ingin sia-sia karena sudah terlanjur izin kepada Arfan untuk tak masuk kerja, malah dapat hal tak menyenangkan lagi dari Airin.
“Kamu pikir aja sendiri!”
Hardian menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Malah disuruh mikir, gimana sih? Batinnya.
“Aa’ gak ngerti, Neng. Memangnya Neng Airin mau apa? Bilang aja! Aa' gak ngerti kode-kodean, Neng.” Hardian to the point.
Terdengar derap langkah mendekat, kemudian kenop pintu terlihat berputar. Kepala Airin menyembul dari balik pintu.
“Dasar gak peka! Tadi kita ngobrolin apa di jalan?” tanyanya dengan raut wajah kesal.
Hardian terdiam. Berpikir keras.
“Oooh ... jadi Neng Airin mau sate?” tanya Hardian dengan wajah senang seolah-olah mendapatkan jawaban dari teka-teki silang.
“Dari tadi, kek!” Airin malah menutup pintu kembali.
“Malah ditutup lagi. Ya udah, Aa' beliin sekarang, ya. Tapi janji nanti gak bakal ngambek lagi.”
“Terserah!” seru Airin dengan sedikit berteriak.
Hardian menghela napas lega. Perempuan, begitu sulitnya ia harus berpikir hanya karena ingin sate saja.
“Neng ... Neng, apa susahnya minta, ngomong atuh kalau mau sate,” gumam Hardian sembari menggeleng heran.
“Ya udah, Aa' balik lagi, ya, beli sate buat kamu.”
“Terserah!” Lagi-lagi Airin menimpali dengan ketus.
Hardian segera berlalu, tak ingin membuang-buang waktu dan menambah kekesalan Airin. Ia pun bergegas menarik gas menuju warung sate yang dimaksud Airin.
*
Hardian celingukan, kemudian ia masuk ke warung sate tersebut. Pengunjungnya memang cukup ramai, pantas Airin tergiur untuk mencicipinya.
Baru saja duduk, seorang pelayan datang menghampiri.
“Mau berapa tusuk, A'?” tanya Si Pelayan to the point.
“Ng ... dua puluh tusuk aja,” jawab Hardian.
“Oke.” Pelayan itu hendak berbalik pergi.
“Eh, dibungkus, ya,” pinta Hardian.
Pelayan itu kembali menoleh, tak menjawab, ia hanya mengulas senyum sembari membentuk huruf ‘o’ dengan menempelkan ujung ibu jari dan telunjuknya.
Hardian merisik saku, sisa lembar biru satu-satunya. Semoga cukup, batinnya. Ia jadi berpikir, bagaimana nantinya jika Airin terus mengidam hal-hal yang berharga atau makanan yang mahal, sanggupkah memenuhinya? Ah, mengingat itu ia jadi sedih karena belum bisa jadi suami yang bisa menyejahterakan istri dengan baik.
Cukup lama menunggu, pesanan pun datang. Dari bungkusnya saja bisa dilihat tak seperti bungkus sate pinggir jalan yang hanya menggunakan kertas nasi lalu dibungkus plastik, Hardian sudah cemas, takut kalau uangnya tidak cukup.
Aroma khas sate menguar, membuat perutnya jadi lapar.
“Ini, A'!” Si Pelayan tadi menyerahkan bungkusan tersebut.
“Terima kasih, jadi berapa?” tanya Hardian ragu.
“Enam puluh ribu, A',” jawab Si Pelayan mantap.
Benar saja. Uangnya kurang, bagaimana ini?
“Aduh, gimana, ya?” Hardian bingung.
“Gimana apanya, A'?”
“Uangnya kurang, sa–saya boleh pulang dulu gak sebentar?”
“Gimana sih, A'? Kalau gak bisa bayar ya gak usah beli, saya ini masih banyak kerjaan, bukan cuma ngurusin satu orang doang, gimana saya bilangnya sama Pak Bos?” Si Pelayan nyerocos kesal.
Hardian menggaruk tengkuknya tak gatal. Wajahnya pasti sudah terlihat memerah di mata para pengunjung yang menoleh karena mendengar kegaduhan.
“Saya mohon, Teh. Istri saya lagi ngidam, saya ambil dulu kurangnya ke rumah, nanti saya balik lagi, tapi satenya saya bawa sekarang, ya.” Hardian memohon.
“Apalagi kaya gitu? Mana ada hari gini orang yang jujur, A'? Mau modus ya?” tuduhnya.
Hardian menggeleng, nasib jadi orang tak punya, sakit hati yang didapat.
“Ada apa ini?” ujar seseorang tiba-tiba.
Refleks Hardian dan Si Pelayan menoleh.
“Arfan?” gumam Hardian pelan.
“Ini, Pak. Mau sate tapi gak punya uang, malah alasan istri ngidam dan mau pulang dulu ngambil uang, dia pasti mau modus, Pak,” terang Si Pelayan.
“Gak, Fan. Bukan begitu,” sangkal Hardian.
“Udah, udah. Kamu balik ke dapur, atau layani pengunjung lain!”
“Tapi, Pak—“
“Udah, biar orang ini saya tangani!” tegas Arfan.
Si Pelayan sempat melirik Hardian tak suka, kemudian berlalu pergi.
Arfan mengusap wajahnya kasar, miris rasanya melihat nasib Hardian, sahabatnya seperti ini.
“Ya udah, Fan. Sebaiknya aku pulang aja,” ucap Hardian sembari meraih jaket jeans belelnya hendak berlalu.
“Tunggu, Har!” cegah Arfan.
Lelaki itu berhenti, keduanya saling berserobok.
“Ini, bawa aja! Gak usah bayar,” ujar Arfan sembari menyodorkan bungkusan.
Hardian menggeleng. “Gak, Fan. Aku malu sama kamu. Aku masih bisa bayar, aku ambil uang dulu sebentar,” balas Hardian sembari menepis lengan Arfan pelan. Lelaki itu memilih untuk pulang lebih dulu. Hari ini, ia merasa harga dirinya semakin menciut saja, terlebih saat tahu, warung sate tersebut lagi-lagi milik Arfan.
Arfan hanya diam, menatap kepergian Hardian sampai hilang. “Kamu egois, Har! Gengsi kamu tinggi, kasihan istrimu,” gumamnya pelan.
Tampak Airin duduk di kursi luar, perempuan itu sepertinya niat sekali menunggu kedatangan suaminya, rasa sate yang begitu nikmat seolah-olah sudah terasa sekali di lidahnya.
Hardian memarkirkan motornya, melepas helm dan langsung masuk rumah tanpa menyapa Airin.
“Lho, A' satenya mana?” tanya Airin sembari mengikuti langkah Hardian.
Lelaki itu tetap diam, sembari membuka lemari dan mengambil kotak tua di dalamnya. Ia duduk di tepi ranjang dan membukanya.
Beberapa lembar uang berwarna merah terdapat di dalamnya, ia mengambil satu dengan raut wajah masam.
“A’ kamu kenapa, sih?” tanya Airin lagi.
Hardian tetap diam, lelaki itu bahkan menjatuhkan beberapa pakaian saat menyimpan tabungannya dengan kasar.
“Kamu kenapa sih? Datang-datang kok mukanya ditekuk? Marah-marah gak jelas,” ujar Airin mulai kesal.
Hardian menoleh, menatap Airin tajam. Kemudian lelaki itu mendekat, mendekatkan wajahnya dengan Airin, membuat perempuan itu sedikit merasa takut karena sikap Hardian yang tak seperti biasanya.
“Aku lakukan semua ini untuk kamu, Neng. Jadi tolong, sedikit saja hargai aku!” ujarnya tegas dan berat.
Airin tak sempat membalas, karena suaminya itu bergegas keluar dan kembali pergi. Perempuan itu hanya bisa menatap Hardian sampai menjauh, entah kenapa ia jadi sedih hingga tak terasa lelehan bening mulai luruh dari kelopak matanya.
Ia takut, Hardian lelah lalu berubah karena sikapnya yang terus begitu. Namun, untuk bersikap lembut pun ia merasa enggan, entahlah ... Airin merasa serba salah.
Hardian memacu kuda besinya dengan cepat. Sesampainya di sana, ia langsung masuk. Ternyata Arfan masih duduk di meja tempatnya duduk tadi.
“Terima kasih, Fan udah mau nunggu. Ini uangnya, aku beli.” Hardian menyodorkan selembar uang berwarna merah. Arfan mendongak kemudian bangkit berdiri. “Jangan gengsi, Har. Aku ikhlas membantu,” ujarnya. “Jangan pura-pura, aku tahu kamu iba kan sama aku? Aku gak mau dikasihani, Fan!” Hardian meraih bungkusan yang tergeletak di meja dengan kasar. Kemudian berlalu pergi tanpa sepatah kata pun. Arfan meremas uang yang diberikan Hardian. Baginya uang selembar ini tak ada apa-apanya dibanding sikap Hardian yang menurutnya sombong meskipun miskin. Ia tak terima, dan akan membalasnya. “Awas kamu, Har!” batinnya murka. * Airin bergegas membukakan pintu. Hardian masuk dengan wajah tak bersahabat. “Ini, makan sepuasnya, aku beli ini dengan harga diri,” ucap Hardian sembari menaruh bungkusan di atas meja dengan sedikit kasar. “Gak mau,” balas Airin cepat. Hardian berbalik, menatap Airin tajam. Sedari tadi ia menaha
'Mulai hari ini, kamu saya pecat, Hardian!’Bagai disambar petir di siang bolong, Hardian terenyak, tak percaya dengan tulisan tangan tersebut. Uang ini? Ia jadi teringat kejadian kemarin, sikapnya mungkin saja membuat Arfan merasa sakit hati. Ah, ia tak berpikir sejauh itu, dan tak berniat untuk sombong atau menyakiti hati orang lain.“Kenapa, Har?” tanya Imam saat melihat perubahan raut wajah Hardian.“Enggak, Mam. Aku ada urusan sebentar, aku harus pergi!” Hardian tergesa-gesa menuju tempat membersihkan diri.“Lho, ada apa, Har? Cerita sama aku,” ujar Imam menangkap keanehan.Tak membalas, setelah mencuci tangan dan kakinya ia bergegas pergi, meninggalkan Imam yang masih dilanda penasaran.“Har ... Har, hobi banget kamu bikin orang penasaran,” gumam Imam sembari menggeleng menatap kepergian temannya itu.*Airin melangkah mantap saat mendengar teriakkan khas Mang Asep, ia
Airin berhenti bersenandung saat terdengar salam dari depan. Ia segera mematikan kompor kemudian bergegas untuk membukakan pintu.Belum sempat memutar kenop, pintu sudah terbuka. Hardian masuk dengan wajah masam. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke sofa tua kemudian bersandar sembari memejamkan mata.“Ada apa lagi?” tanya Airin mencoba mencairkan suasana.Terdengar hela napas berat suaminya itu. Hardian mengubah posisi, menegakkan tubuh sembari mengusap wajahnya kasar.“Neng masak apa? Aa' lapar,” ujarnya berdusta. Padahal, dalam hati ia sangat ingin mengatakan yang sebenarnya.Ajaib, Airin tersenyum padanya. Hardian pikir akan seperti semalam atau pagi sebelum ia berangkat. Setidaknya hal itu membuat rasa kesal di hati Hardian sedikit berkurang.“Kok malah senyum? Neng masak enak, ya? Aa’ jadi makin lapar, gak sabar pengen cepet-cepet makan.” Lagi, Hardian menebak.“Ada deh, ya udah, y
“Hardi?” Si pemilik nama refleks menoleh, lantas bergegas bangkit dan mencium takzim punggung tangan sang mertua. “Bapak, sehat?” tanya Hardian kemudian. “Sehat. Duduk!” titahnya. Hening sesaat merajai. Jujur, Hardian bingung harus memulai percakapan dari mana. “Ada apa?” tanya lelaki tua itu datar dan terkesan menghindari basa-basi. “Saya mau pinjam uang, Pak,” ucap Hardian seraya menunduk. Lagi-lagi hening. “Untuk apa?” tanyanya memastikan. “Untuk modal jualan, Pak.” “Untuk modal aja kamu sampai gak punya tabungan, Har.” Kepala Hardian terangkat, ia memberanikan diri menatap ayah mertuanya. “Ada, Pak. Tapi ... Airin bilang itu tabungan untuk lahiran nanti.” “Lahiran?” Hardian mengangguk. Ah, ia sampai lupa kalau ayah mertuanya itu belum tahu soal kehamilan Airin. “Airin hamil?” tanyanya terdengar antusias. “Alhamdulillah, Pak.” Hardian mengulas senyum. Me
“Naik, Neng!” titah Hardian setelah bersisian dengan Airin yang berjalan dengan cepat sembari sesekali mengusap air matanya.“Ayo, Neng!” bujuk Hardian lagi. Ia melajukan kuda besinya pelan, kaki kanannya sesekali turun untuk menahan keseimbangan.“Pulang aja sendiri, aku pengen jalan kaki,” balas Airin ketus.“Ya udah, Aa' temenin.”“Gak usah, A'. Kamu denger gak aku ngomong apa?” Langkah Airin terhenti seiring nada bicaranya yang meninggi.Hardian pun menghentikan laju motornya, lalu menatap Airin dengan sendu.“Aa’ minta maaf,” ujarnya terdengar berat.Airin berpaling. Jalanan yang tidak terlalu ramai menjadi titik pusat perhatiannya. Perempuan itu tampak menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.“Aku gak mau kamu ngemis-ngemis lagi sama ayah,” ucap Airin kemudian tanpa menatap Hardian.“Aa’ gak ngemis, Nen
“Alhamdulillah, Yah. Do'ain aja semoga janinnya sehat-sehat sampai lahiran nanti,” jawab Airin.“Kamu anak satu-satunya Ayah, Rin. Sebenarnya Ayah gak tega melihat kamu susah kayak gini,” tutur Pak Amar terdengar sendu.Airin mengembuskan napas pelan lalu berkata, “Ayah gak perlu pura-pura sedih, kalau ingin tertawa silahkan saja.”Pak Amar menatap Airin dengan ekspresi kecewa.“Kenapa kamu gak pernah mengunjungi Ayah?”“Ini udah keputusan Airin, Yah.” Perempuan itu berpaling, menyembunyikan netranya yang mulai berembun.“Sedalam itukah kamu benci sama Ayah, Rin? Sampai-sampai disaat kesusahan pun kamu gak mau membaginya dengan ayahmu ini?” tanya Pak Amar lirih.Airin terdiam, jemarinya bergerak cepat mengusap air mata yang mulai menitik. Hatinya berbisik rindu, tetapi egonya lebih kuat hingga perempuan itu tetap terdiam di tempat.Pak Amar merisik saku dan
Hardian dan Pak Amar duduk terdiam sedangkan Arfan mondar-mandir, raut wajahnya menyiratkan kegelisahan. Tentu saja hal itu memancing rasa penasaran di benak Pak Amar, tetapi mertua Hardian itu memilih untuk diam.Derit pintu terdengar kala dibuka, Arfan gegas menghampiri lantas bertanya, “Gimana istri saya, Dok?” Dengan nada cemas.Pak Amar dan Hardian refleks menoleh bersamaan. Keduanya begitu tak habis pikir kenapa Arfan sedari tadi tidak mengungkapkan kalau perempuan tersebut adalah istrinya.“Terlambat sedikit saja, janinnya mungkin tidak bisa diselamatkan.”Arfan menghela napas lega. Antara bahagia dan entah, ia sendiri bingung memaknai perasaannya kini. Setelah dokter itu pergi, Arfan bergegas masuk.Didapatinya Elsa sedang bersandar dengan tatapan yang sulit diartikan kala empat mata itu saling bertemu.“Apa yang udah kamu lakukan?” tanya Arfan dingin.Elsa berpaling, merasa hilang akal akan
“Alhamdulillah.” Hardian mengucap syukur.“Terus gimana jualan Aa'?” tanya Airin antusias.Senyum Hardian yang memudar seketika menimbulkan rasa curiga di hati Airin.“Abis, kan?” Airin memastikan.Hardian bungkam. Bingung. Tanpa berpikir panjang, Airin bangkit dan mengayun kakinya keluar.Bunyi kelontang panci menandakan bahwa Airin telah mengetahui semuanya. Hardian berdiri mematung memperhatikan ekspresi Airin yang tampak menahan amarah.“Kenapa masih nyisa banyak?” Airin beralih menatap Hardian dengan penuh tanda tanya.“Tadi ... tadi Aa' ngebantuin orang terus lupa matiin kompor dan—““Airnya habis lalu gosong, gitu?” Airin memotong penjelasan suaminya itu.Hardian kembali terdiam. Membalas kemarahan Airin dengan ucapan hanya akan menimbulkan pertengkaran, ia tak menginginkan hal itu, terlebih kini istrinya itu tengah mengandung buah hatin
Ketukan keras di pintu menghentikan aktivitas Airin yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk.“Biar Aa' yang buka,” ucap Hardian kala menyadari istrinya itu belum siap untuk menerima tamu.Airin hanya mengulas senyum. Sepertinya pengaduan kasih yang usai terjadi setengah jam yang lalu membuat Hardian tampak bersemangat dengan wajah berseri-seri dan terlihat lebih fresh dari sebelumnya.Suami Airin itu bergegas membukakan pintu, lantas keningnya berkerut menyadari seorang perempuan yang di matanya tak asing tetapi ia lupa-lupa ingat.“Saya pelayan yang kerja di tempatnya Pak Amar.” Seolah-olah paham, gadis itu langsung menjelaskan tanpa ditanya.“Ayo masuk!” ajak Hardian.“Nggak, A'. Saya buru-buru, saya cuma mau bilang kalau Pak Amar masuk rumah sakit,” jelasnya.“Ayah masuk rumah sakit?” timpal Airin dengan langkah terhenti.Hardian menoleh, ia kira istrinya itu masih di kamar. “Neng,” gumamnya dengan nada cemas, takut Airin syok dan malah mengganggu kehamilannya.“Teh Airin, ya
Keesokan harinya Hardian tak diperbolehkan Airin untuk berjualan. Meski kesal, perempuan itu sepertinya tak sampai hati melihat suaminya berjualan dengan kondisi wajah yang babak belur.Tak ingin lama-lama berdiam diri di rumah, di hari ketiga Hardian kembali membeli bahan-bahan untuk membuat cilok. Lelaki itu juga tampak bersemangat tatkala Airin duduk mendekat kemudian membantu.Airin juga lebih memilih diam ketimbang berbicara yang berujung kesal seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin, ia iba pada Hardian.“Aa’ berangkat, ya.” Hardian melirik Airin yang bersandar di ambang pintu.“Hati-hati,” balas Airin setelah beberapa detik terlewatkan hanya dengan menatap lekat netra suaminya tersebut.Senyum Hardian terukir seiring berlalu dengan harapan yang melambung, semoga banyak pembeli dan pulang dengan hasil yang memuaskan. Namun, berlainan dengan hati Airin. Perempuan itu merasa Hardian begitu tampak menyedihkan di matanya
“Alhamdulillah.” Hardian mengucap syukur.“Terus gimana jualan Aa'?” tanya Airin antusias.Senyum Hardian yang memudar seketika menimbulkan rasa curiga di hati Airin.“Abis, kan?” Airin memastikan.Hardian bungkam. Bingung. Tanpa berpikir panjang, Airin bangkit dan mengayun kakinya keluar.Bunyi kelontang panci menandakan bahwa Airin telah mengetahui semuanya. Hardian berdiri mematung memperhatikan ekspresi Airin yang tampak menahan amarah.“Kenapa masih nyisa banyak?” Airin beralih menatap Hardian dengan penuh tanda tanya.“Tadi ... tadi Aa' ngebantuin orang terus lupa matiin kompor dan—““Airnya habis lalu gosong, gitu?” Airin memotong penjelasan suaminya itu.Hardian kembali terdiam. Membalas kemarahan Airin dengan ucapan hanya akan menimbulkan pertengkaran, ia tak menginginkan hal itu, terlebih kini istrinya itu tengah mengandung buah hatin
Hardian dan Pak Amar duduk terdiam sedangkan Arfan mondar-mandir, raut wajahnya menyiratkan kegelisahan. Tentu saja hal itu memancing rasa penasaran di benak Pak Amar, tetapi mertua Hardian itu memilih untuk diam.Derit pintu terdengar kala dibuka, Arfan gegas menghampiri lantas bertanya, “Gimana istri saya, Dok?” Dengan nada cemas.Pak Amar dan Hardian refleks menoleh bersamaan. Keduanya begitu tak habis pikir kenapa Arfan sedari tadi tidak mengungkapkan kalau perempuan tersebut adalah istrinya.“Terlambat sedikit saja, janinnya mungkin tidak bisa diselamatkan.”Arfan menghela napas lega. Antara bahagia dan entah, ia sendiri bingung memaknai perasaannya kini. Setelah dokter itu pergi, Arfan bergegas masuk.Didapatinya Elsa sedang bersandar dengan tatapan yang sulit diartikan kala empat mata itu saling bertemu.“Apa yang udah kamu lakukan?” tanya Arfan dingin.Elsa berpaling, merasa hilang akal akan
“Alhamdulillah, Yah. Do'ain aja semoga janinnya sehat-sehat sampai lahiran nanti,” jawab Airin.“Kamu anak satu-satunya Ayah, Rin. Sebenarnya Ayah gak tega melihat kamu susah kayak gini,” tutur Pak Amar terdengar sendu.Airin mengembuskan napas pelan lalu berkata, “Ayah gak perlu pura-pura sedih, kalau ingin tertawa silahkan saja.”Pak Amar menatap Airin dengan ekspresi kecewa.“Kenapa kamu gak pernah mengunjungi Ayah?”“Ini udah keputusan Airin, Yah.” Perempuan itu berpaling, menyembunyikan netranya yang mulai berembun.“Sedalam itukah kamu benci sama Ayah, Rin? Sampai-sampai disaat kesusahan pun kamu gak mau membaginya dengan ayahmu ini?” tanya Pak Amar lirih.Airin terdiam, jemarinya bergerak cepat mengusap air mata yang mulai menitik. Hatinya berbisik rindu, tetapi egonya lebih kuat hingga perempuan itu tetap terdiam di tempat.Pak Amar merisik saku dan
“Naik, Neng!” titah Hardian setelah bersisian dengan Airin yang berjalan dengan cepat sembari sesekali mengusap air matanya.“Ayo, Neng!” bujuk Hardian lagi. Ia melajukan kuda besinya pelan, kaki kanannya sesekali turun untuk menahan keseimbangan.“Pulang aja sendiri, aku pengen jalan kaki,” balas Airin ketus.“Ya udah, Aa' temenin.”“Gak usah, A'. Kamu denger gak aku ngomong apa?” Langkah Airin terhenti seiring nada bicaranya yang meninggi.Hardian pun menghentikan laju motornya, lalu menatap Airin dengan sendu.“Aa’ minta maaf,” ujarnya terdengar berat.Airin berpaling. Jalanan yang tidak terlalu ramai menjadi titik pusat perhatiannya. Perempuan itu tampak menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.“Aku gak mau kamu ngemis-ngemis lagi sama ayah,” ucap Airin kemudian tanpa menatap Hardian.“Aa’ gak ngemis, Nen
“Hardi?” Si pemilik nama refleks menoleh, lantas bergegas bangkit dan mencium takzim punggung tangan sang mertua. “Bapak, sehat?” tanya Hardian kemudian. “Sehat. Duduk!” titahnya. Hening sesaat merajai. Jujur, Hardian bingung harus memulai percakapan dari mana. “Ada apa?” tanya lelaki tua itu datar dan terkesan menghindari basa-basi. “Saya mau pinjam uang, Pak,” ucap Hardian seraya menunduk. Lagi-lagi hening. “Untuk apa?” tanyanya memastikan. “Untuk modal jualan, Pak.” “Untuk modal aja kamu sampai gak punya tabungan, Har.” Kepala Hardian terangkat, ia memberanikan diri menatap ayah mertuanya. “Ada, Pak. Tapi ... Airin bilang itu tabungan untuk lahiran nanti.” “Lahiran?” Hardian mengangguk. Ah, ia sampai lupa kalau ayah mertuanya itu belum tahu soal kehamilan Airin. “Airin hamil?” tanyanya terdengar antusias. “Alhamdulillah, Pak.” Hardian mengulas senyum. Me
Airin berhenti bersenandung saat terdengar salam dari depan. Ia segera mematikan kompor kemudian bergegas untuk membukakan pintu.Belum sempat memutar kenop, pintu sudah terbuka. Hardian masuk dengan wajah masam. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke sofa tua kemudian bersandar sembari memejamkan mata.“Ada apa lagi?” tanya Airin mencoba mencairkan suasana.Terdengar hela napas berat suaminya itu. Hardian mengubah posisi, menegakkan tubuh sembari mengusap wajahnya kasar.“Neng masak apa? Aa' lapar,” ujarnya berdusta. Padahal, dalam hati ia sangat ingin mengatakan yang sebenarnya.Ajaib, Airin tersenyum padanya. Hardian pikir akan seperti semalam atau pagi sebelum ia berangkat. Setidaknya hal itu membuat rasa kesal di hati Hardian sedikit berkurang.“Kok malah senyum? Neng masak enak, ya? Aa’ jadi makin lapar, gak sabar pengen cepet-cepet makan.” Lagi, Hardian menebak.“Ada deh, ya udah, y
'Mulai hari ini, kamu saya pecat, Hardian!’Bagai disambar petir di siang bolong, Hardian terenyak, tak percaya dengan tulisan tangan tersebut. Uang ini? Ia jadi teringat kejadian kemarin, sikapnya mungkin saja membuat Arfan merasa sakit hati. Ah, ia tak berpikir sejauh itu, dan tak berniat untuk sombong atau menyakiti hati orang lain.“Kenapa, Har?” tanya Imam saat melihat perubahan raut wajah Hardian.“Enggak, Mam. Aku ada urusan sebentar, aku harus pergi!” Hardian tergesa-gesa menuju tempat membersihkan diri.“Lho, ada apa, Har? Cerita sama aku,” ujar Imam menangkap keanehan.Tak membalas, setelah mencuci tangan dan kakinya ia bergegas pergi, meninggalkan Imam yang masih dilanda penasaran.“Har ... Har, hobi banget kamu bikin orang penasaran,” gumam Imam sembari menggeleng menatap kepergian temannya itu.*Airin melangkah mantap saat mendengar teriakkan khas Mang Asep, ia