Arfan mencoba bersikap biasa saja, ia tersenyum saat Hardian dan Airin menghampirinya dengan membawa makanan.
“Makan siang dulu, Fan. Tapi seadanya, ya.” Hardian menaruh tumis kangkung dan ikan asin di atas meja.
Sisi lain hati Arfan diam-diam tersentuh, semacam merindukan kehangatan yang sama, tetapi semua itu seperti mustahil.
Sangat, sangat sederhana di mata Arfan. Namun, mau sesederhana apa pun makanan itu, akan terasa nikmat jika disantap berdua dengan orang terkasih. Seperti yang dilakukan Airin dan Hardian saat ini.
Perempuan itu kembali ke dapur dan mengambil tiga buah piring beserta sendok. Kemudian ia mengambilkan nasi untuk suaminya.
“Makasih, Neng,” ucap Hardian sembari tersenyum. Airin pun hanya tersenyum sebagai balasan.
Setelah itu ia menyodorkan piring ke arah Arfan yang termenung, lelaki itu awalnya berharap Airin akan mengambilkan nasi untuknya juga.
“Eh, iya.” Arfan gelagapan. Ia menyendok nasi sedikit, takut tidak habis, pikirnya.
Airin dan Hardian saling pandang, merasa tak enak. Mereka menduga, mungkin Arfan mengambil nasi sedikit karena sebenarnya tak ingin makan dan hanya menghormati dirinya saja.
Ah, sudahlah. Airin tak ingin ambil pusing, ia pun menyendok nasi lalu mengambil tempe yang sudah bercampur dengan sambal dan mengambilkannya juga untuk Hardian.
Setelah Airin, Arfan pun tergiur untuk mencoba, ia mengambil tumis kangkung yang terlihat enak.
Suasana jadi sedikit canggung, Arfan sekilas melihat Airin dan Hardian yang makan hanya menggunakan tangan. Bukannya tak ingin, karena belum terbiasa, ia memutuskan untuk pakai sendok saja.
Suapan pertama, Arfan berhenti mengunyah. Rasa pedas dan gurih mendominasi lidahnya. Ini adalah tempe dan tumis kangkung terenak yang pernah ia rasakan.
Arfan kembali memutar giginya berirama. Awalnya ia meragukan makanan itu, tetapi rasanya membuat ia ketagihan.
Nasi yang diambilnya hanya sedikit, tentu saja cepat habis. Ragu, ia kembali menyendok nasi dan melakukan hal yang sama yaitu mengambil tempe dan tumis kangkung. Alhasil lauk yang sedikit itu tersisa semakin sedikit.
Hardian sampai keheranan, Arfan doyan atau memang lapar? Batinnya.
“Enak,” ucap Arfan dengan mulut penuh.
“Terima kasih,” jawab Airin sembari mengulas senyum.
“Hardi, masakan istrimu sangat enak, kenapa kalian nggak bikin rumah makan aja,” ujar Arfan kemudian.
Hardian tertawa kecil dan menyudahi makannya, ia beranjak menuju dapur untuk mencuci tangan. Tak lama ia segera kembali.
“Kamu ini, Fan. Ada-ada aja, modal dari mana aku bikin rumah makan?” Hardian menyayangkan keuangannya yang tak memungkinkan.
“Bagaimana kalau pinjam sama aku?” Tawar Arfan setelah meneguk habis air.
Airin hanya terdiam. Setelah selesai ia membereskan semuanya ke dapur.
“Bayar dari mana?”
“Nyicil, Har.” Arfan meyakinkan.
“Fan ... Fan ... kamu ini, bercandanya kebangetan.” Hardian menggeleng.
“Aku serius, Hardi.” Arfan menatap Hardian memastikan.
Hening. Airin kemudian duduk di samping Hardian.
“Apa pendapat kamu?” tanya Hardian sembari meraih lengan Airin dan menggenggamnya.
“Terserah kamu aja, A'.” Airin bingung.
Hardian tampak ragu, sedangkan Arfan terlihat sangat serius.
“Aku pikir-pikir dulu, Fan.” Akhirnya jawaban itu yang Hardian lontarkan.
“Oke, kalian nggak usah buru-buru, kalian boleh berunding dulu, kalau mau, kamu hubungi aku.” Arfan menatap Hardian.
Setelah memberikan kartu nama dan b**a-basi, Arfan memutuskan untuk pulang.
Airin dan Hardian mengantar sampai ke depan. Arfan terlihat melambaikan tangan dari dalam mobil, sebelum akhirnya benar-benar pergi.
Airin dan Hardian beriringan masuk. Setelah duduk santai, ia merogoh saku dan memberikan amplop coklat itu ke tangan istrinya.
“Gajian bulan ini, alhamdulillah ada lebih,” ujar Hardian sembari tersenyum.
Airin menerimanya, melihat isi amplop tersebut cukup lama.
“A’, bagaimana kalau kita periksa ke dokter?” saran Airin.
Hardian terdiam, mengingat biaya untuk cek ke dokter itu tidaklah sedikit.
“Nanti aja, kalau Aa' punya uang lebih.” Akhirnya jawaban itu dilontarkannya.
Airin membuang napas kasar, sedih karena sudah berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mendapatkan momongan, tetapi belum juga membuahkan hasil.
“Kapan, A? Aku cape mendengar kata 'nanti' dari kamu.” Lagi, Airin mulai menunjukkan wajah kesal.
Hardian menatap istrinya lekat, akhir-akhir ini istrinya itu mudah sekali marah, entah apa alasannya? Mungkinkah lelah menjalani hidup seperti ini?
“Sabar, Neng!” Hanya itu, Hardian tak tahu harus mengatakan apa lagi.
“Sabar sampai kapan, A?” Airin bangkit berdiri.
“Percaya sama Allah,” ucap Hardian sembari mendongak.
“Cape, A'. Aku cape!” pekik Airin sembari melemparkan amplop berisi uang itu ke pangkuan Hardian.
Rahang Hardian mengeras. Baru beberapa menit yang lalu sikap Airin bersahabat, tetapi kini sudah berubah lagi.
“Sebenarnya kamu kenapa sih?” tanya Hardian penasaran.
“Aku malu, A'. Malu digosipkan terus sama tetangga, katanya aku sulit hamil karena makanan yang aku konsumsi itu kurang bergizi,” ungkap Airin akhirnya. Perempuan itu tak kuasa membendung air matanya.
“Astagfirullah ... Neng, Neng, jadi itu penyebabnya.” Hardian mengusap wajah kasar.
“Pokoknya kamu harus kerja lebih keras lagi, biar kita bisa cek ke dokter. Titik!” Airin menekan kata 'titik' lalu berlalu ke kamar sambil terisak.
Hardian hanya menggeleng tak percaya, melihat tingkah kekanak-kanakan Airin akhir-akhir ini.
Ia melirik jam yang menempel di dinding. Teringat belum menunaikan kewajibannya, ia bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah itu akan berangkat kerja lagi dan pulang sore hari.
*“Nikahi gadis itu, Hardi! Kasihan dia, keluarganya hancur gara-gara bapakmu.”
“Tapi, Bu.”
“Justru Ibu merasa sangat bersalah kalau kamu tidak menikahinya.”
“Tapi, Bu.”
“Ibu mohon, Hardi. Ibu mohon, itu pesan bapakmu.”
Ucapan ibunya dua tahun lalu mengganggu konsentrasinya. Kerja sedikit pun jadi terasa melelahkan. Hardian memilih untuk berteduh sejenak, ia melepas topi yang dikenakan dan mengibaskannya seperti kipas. Gerah rasanya, meski sudah hampir sore, tetapi cuaca masih terasa menyengat.
Airin ... gadis manis yang sudah tak memiliki ibu. Ia tak tahu apa maksud dari ucapan ibunya kalau keluarga Airin hancur karena ulah bapaknya.
Sebelum Hardian bisa mendapatkan jawaban itu, ibunya lebih dulu kembali ke haribaan-Nya.
Semua itu masih menjadi teka-teki. Yang pasti, kini ia hanya menjalani wasiat itu.
Hardian tak memiliki sanak saudara, kehidupannya sedari dulu memang menyedihkan.
Malam itu ....
Hardian sedang berjalan seorang diri setelah membeli obat untuk ibunya. Namun, dari gang buntu terdengar teriakan seseorang yang meminta tolong. Ia bergegas mencari asal suara.
Dua orang preman sedang mencoba untuk melakukan tindakan asusila. Hardian geram, kemampuan silat yang dimilikinya ternyata tak sia-sia, ia mampu menghajar dua preman sampai tunggang langgang.
Meski tangannya sempat terluka karena seorang dari mereka membawa sebilah pisau.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya gadis itu terdengar cemas.
Hardian menoleh, dan betapa terkejutnya ia mendapati seorang gadis yang ternyata pernah ditunjukkan ibunya dalam sebuah foto. Sebenarnya sebelum pindah dulu, beberapa kali ia pernah berpapasan dengan Airin. Hardian mengingatnya, tetapi sepertinya tidak dengan gadis itu.
“Namanya Airin. Gadis itu sangat terpukul karena mamanya meninggal. Bahagiakan dia Hardian, tebus semua dosa bapakmu.”
“Hei!” Gadis itu menyadarkan Hardian.
“Aku nggak apa-apa, kok.” Hardian mencoba bangkit berdiri.
Namun, keseimbangan belum sempurna, ia pun oleng, tetapi sekuat tenaga gadis itu menahannya.
Pertemuan itu membuat peluang Hardian semakin dekat dan mudah. Airin yang selalu murung, perlahan semangatnya kembali semenjak bertemu dengan dirinya. Keduanya sama-sama saling membutuhkan, hingga akhirnya memutuskan untuk menikah.Airin tak peduli dengan keadaan Hardian, yang ia tahu, Hardian adalah teman, sekaligus orang yang berhasil membuatnya kembali bangkit untuk menjalani hidup.Tentu saja ayah Airin menentang. Jelas, karena mereka beda kasta serta sebuah rahasia yang masih ia simpan rapat.“Kenapa, Yah?” tanya Airin waktu itu.“Pokoknya kamu nggak boleh nikah sama dia.” Ayah Airin kekeh.“Nggak bisa, Pa. Aku cinta sama dia.”“Makan itu cinta. Memangnya kamu hidup kenyang cuma makan cinta.”Sikap keras kepala Airin tak jauh beda dengan ayahnya. Keduanya tetap menikah dengan wali hakim.Sepertinya, perempuan itu akhir-akhir ini menyesali keputusannya. Semenjak menikah pun ia
“Kamu kenapa sih? Kok malah ngelamun? Bukannya bikinin aku teh panas misalnya.” Sindir Airin.Hardian tersenyum samar, sebagai seorang suami ia memang belum se-peka yang diinginkan Airin.“Sebentar, ya, Sayang. ‘Aa bikin dulu,” ujar Hardian kemudian bangkit berdiri dan keluar menuju dapur.Tak lama lelaki itu kembali, membawa secangkir teh panas dengan asap yang masih mengepul.“Pelan-pelan minumnya, masih panas,” ucap Hardian sembari memberikannya pada Airin.Perempuan itu menerimanya dengan perlahan, berniat untuk menghirup aroma teh yang begitu khas tetapi ia mendadak mual.“Ih, kok bau melati,” ujar Airin cepat memberikannya kembali pada Hardian, hingga sedikit air teh tersebut tumpah.“Lho, iya. Ini kan teh kesukaan kamu yang ada aroma melatinya.” Hardian bingung.“Pokoknya aku nggak suka. Aku mau ganti yang biasa aja,” pinta Airin.
Hardian pun menyusul masuk, menyimpan helm di atas meja, kemudian melenggang ke dapur untuk sekadar mengambil minum. Dirasa kerongkongannya sudah tak lagi kering, Hardian berniat untuk menyusul Airin ke kamar, tetapi saat ia memutar kenop pintu malah dikunci. “Lho, Neng, kok dikunci?” seru Hardian sembari mengetuk pintu. “Biarin! Itu balasan buat suami yang gak pernah peka!” seru Airin dari dalam. “Peka gimana, Neng? Aa' salah apa lagi?” tanya Hardian bingung. Niat hati ingin menghabiskan waktu berdua tak ingin sia-sia karena sudah terlanjur izin kepada Arfan untuk tak masuk kerja, malah dapat hal tak menyenangkan lagi dari Airin. “Kamu pikir aja sendiri!” Hardian menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Malah disuruh mikir, gimana sih? Batinnya. “Aa’ gak ngerti, Neng. Memangnya Neng Airin mau apa? Bilang aja! Aa' gak ngerti kode-kodean, Neng.” Hardian to the point. Terdengar derap langkah mendekat, kemudian kenop pintu terlihat be
“Terima kasih, Fan udah mau nunggu. Ini uangnya, aku beli.” Hardian menyodorkan selembar uang berwarna merah. Arfan mendongak kemudian bangkit berdiri. “Jangan gengsi, Har. Aku ikhlas membantu,” ujarnya. “Jangan pura-pura, aku tahu kamu iba kan sama aku? Aku gak mau dikasihani, Fan!” Hardian meraih bungkusan yang tergeletak di meja dengan kasar. Kemudian berlalu pergi tanpa sepatah kata pun. Arfan meremas uang yang diberikan Hardian. Baginya uang selembar ini tak ada apa-apanya dibanding sikap Hardian yang menurutnya sombong meskipun miskin. Ia tak terima, dan akan membalasnya. “Awas kamu, Har!” batinnya murka. * Airin bergegas membukakan pintu. Hardian masuk dengan wajah tak bersahabat. “Ini, makan sepuasnya, aku beli ini dengan harga diri,” ucap Hardian sembari menaruh bungkusan di atas meja dengan sedikit kasar. “Gak mau,” balas Airin cepat. Hardian berbalik, menatap Airin tajam. Sedari tadi ia menaha
'Mulai hari ini, kamu saya pecat, Hardian!’Bagai disambar petir di siang bolong, Hardian terenyak, tak percaya dengan tulisan tangan tersebut. Uang ini? Ia jadi teringat kejadian kemarin, sikapnya mungkin saja membuat Arfan merasa sakit hati. Ah, ia tak berpikir sejauh itu, dan tak berniat untuk sombong atau menyakiti hati orang lain.“Kenapa, Har?” tanya Imam saat melihat perubahan raut wajah Hardian.“Enggak, Mam. Aku ada urusan sebentar, aku harus pergi!” Hardian tergesa-gesa menuju tempat membersihkan diri.“Lho, ada apa, Har? Cerita sama aku,” ujar Imam menangkap keanehan.Tak membalas, setelah mencuci tangan dan kakinya ia bergegas pergi, meninggalkan Imam yang masih dilanda penasaran.“Har ... Har, hobi banget kamu bikin orang penasaran,” gumam Imam sembari menggeleng menatap kepergian temannya itu.*Airin melangkah mantap saat mendengar teriakkan khas Mang Asep, ia
Airin berhenti bersenandung saat terdengar salam dari depan. Ia segera mematikan kompor kemudian bergegas untuk membukakan pintu.Belum sempat memutar kenop, pintu sudah terbuka. Hardian masuk dengan wajah masam. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke sofa tua kemudian bersandar sembari memejamkan mata.“Ada apa lagi?” tanya Airin mencoba mencairkan suasana.Terdengar hela napas berat suaminya itu. Hardian mengubah posisi, menegakkan tubuh sembari mengusap wajahnya kasar.“Neng masak apa? Aa' lapar,” ujarnya berdusta. Padahal, dalam hati ia sangat ingin mengatakan yang sebenarnya.Ajaib, Airin tersenyum padanya. Hardian pikir akan seperti semalam atau pagi sebelum ia berangkat. Setidaknya hal itu membuat rasa kesal di hati Hardian sedikit berkurang.“Kok malah senyum? Neng masak enak, ya? Aa’ jadi makin lapar, gak sabar pengen cepet-cepet makan.” Lagi, Hardian menebak.“Ada deh, ya udah, y
“Hardi?” Si pemilik nama refleks menoleh, lantas bergegas bangkit dan mencium takzim punggung tangan sang mertua. “Bapak, sehat?” tanya Hardian kemudian. “Sehat. Duduk!” titahnya. Hening sesaat merajai. Jujur, Hardian bingung harus memulai percakapan dari mana. “Ada apa?” tanya lelaki tua itu datar dan terkesan menghindari basa-basi. “Saya mau pinjam uang, Pak,” ucap Hardian seraya menunduk. Lagi-lagi hening. “Untuk apa?” tanyanya memastikan. “Untuk modal jualan, Pak.” “Untuk modal aja kamu sampai gak punya tabungan, Har.” Kepala Hardian terangkat, ia memberanikan diri menatap ayah mertuanya. “Ada, Pak. Tapi ... Airin bilang itu tabungan untuk lahiran nanti.” “Lahiran?” Hardian mengangguk. Ah, ia sampai lupa kalau ayah mertuanya itu belum tahu soal kehamilan Airin. “Airin hamil?” tanyanya terdengar antusias. “Alhamdulillah, Pak.” Hardian mengulas senyum. Me
“Naik, Neng!” titah Hardian setelah bersisian dengan Airin yang berjalan dengan cepat sembari sesekali mengusap air matanya.“Ayo, Neng!” bujuk Hardian lagi. Ia melajukan kuda besinya pelan, kaki kanannya sesekali turun untuk menahan keseimbangan.“Pulang aja sendiri, aku pengen jalan kaki,” balas Airin ketus.“Ya udah, Aa' temenin.”“Gak usah, A'. Kamu denger gak aku ngomong apa?” Langkah Airin terhenti seiring nada bicaranya yang meninggi.Hardian pun menghentikan laju motornya, lalu menatap Airin dengan sendu.“Aa’ minta maaf,” ujarnya terdengar berat.Airin berpaling. Jalanan yang tidak terlalu ramai menjadi titik pusat perhatiannya. Perempuan itu tampak menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.“Aku gak mau kamu ngemis-ngemis lagi sama ayah,” ucap Airin kemudian tanpa menatap Hardian.“Aa’ gak ngemis, Nen
Ketukan keras di pintu menghentikan aktivitas Airin yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk.“Biar Aa' yang buka,” ucap Hardian kala menyadari istrinya itu belum siap untuk menerima tamu.Airin hanya mengulas senyum. Sepertinya pengaduan kasih yang usai terjadi setengah jam yang lalu membuat Hardian tampak bersemangat dengan wajah berseri-seri dan terlihat lebih fresh dari sebelumnya.Suami Airin itu bergegas membukakan pintu, lantas keningnya berkerut menyadari seorang perempuan yang di matanya tak asing tetapi ia lupa-lupa ingat.“Saya pelayan yang kerja di tempatnya Pak Amar.” Seolah-olah paham, gadis itu langsung menjelaskan tanpa ditanya.“Ayo masuk!” ajak Hardian.“Nggak, A'. Saya buru-buru, saya cuma mau bilang kalau Pak Amar masuk rumah sakit,” jelasnya.“Ayah masuk rumah sakit?” timpal Airin dengan langkah terhenti.Hardian menoleh, ia kira istrinya itu masih di kamar. “Neng,” gumamnya dengan nada cemas, takut Airin syok dan malah mengganggu kehamilannya.“Teh Airin, ya
Keesokan harinya Hardian tak diperbolehkan Airin untuk berjualan. Meski kesal, perempuan itu sepertinya tak sampai hati melihat suaminya berjualan dengan kondisi wajah yang babak belur.Tak ingin lama-lama berdiam diri di rumah, di hari ketiga Hardian kembali membeli bahan-bahan untuk membuat cilok. Lelaki itu juga tampak bersemangat tatkala Airin duduk mendekat kemudian membantu.Airin juga lebih memilih diam ketimbang berbicara yang berujung kesal seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin, ia iba pada Hardian.“Aa’ berangkat, ya.” Hardian melirik Airin yang bersandar di ambang pintu.“Hati-hati,” balas Airin setelah beberapa detik terlewatkan hanya dengan menatap lekat netra suaminya tersebut.Senyum Hardian terukir seiring berlalu dengan harapan yang melambung, semoga banyak pembeli dan pulang dengan hasil yang memuaskan. Namun, berlainan dengan hati Airin. Perempuan itu merasa Hardian begitu tampak menyedihkan di matanya
“Alhamdulillah.” Hardian mengucap syukur.“Terus gimana jualan Aa'?” tanya Airin antusias.Senyum Hardian yang memudar seketika menimbulkan rasa curiga di hati Airin.“Abis, kan?” Airin memastikan.Hardian bungkam. Bingung. Tanpa berpikir panjang, Airin bangkit dan mengayun kakinya keluar.Bunyi kelontang panci menandakan bahwa Airin telah mengetahui semuanya. Hardian berdiri mematung memperhatikan ekspresi Airin yang tampak menahan amarah.“Kenapa masih nyisa banyak?” Airin beralih menatap Hardian dengan penuh tanda tanya.“Tadi ... tadi Aa' ngebantuin orang terus lupa matiin kompor dan—““Airnya habis lalu gosong, gitu?” Airin memotong penjelasan suaminya itu.Hardian kembali terdiam. Membalas kemarahan Airin dengan ucapan hanya akan menimbulkan pertengkaran, ia tak menginginkan hal itu, terlebih kini istrinya itu tengah mengandung buah hatin
Hardian dan Pak Amar duduk terdiam sedangkan Arfan mondar-mandir, raut wajahnya menyiratkan kegelisahan. Tentu saja hal itu memancing rasa penasaran di benak Pak Amar, tetapi mertua Hardian itu memilih untuk diam.Derit pintu terdengar kala dibuka, Arfan gegas menghampiri lantas bertanya, “Gimana istri saya, Dok?” Dengan nada cemas.Pak Amar dan Hardian refleks menoleh bersamaan. Keduanya begitu tak habis pikir kenapa Arfan sedari tadi tidak mengungkapkan kalau perempuan tersebut adalah istrinya.“Terlambat sedikit saja, janinnya mungkin tidak bisa diselamatkan.”Arfan menghela napas lega. Antara bahagia dan entah, ia sendiri bingung memaknai perasaannya kini. Setelah dokter itu pergi, Arfan bergegas masuk.Didapatinya Elsa sedang bersandar dengan tatapan yang sulit diartikan kala empat mata itu saling bertemu.“Apa yang udah kamu lakukan?” tanya Arfan dingin.Elsa berpaling, merasa hilang akal akan
“Alhamdulillah, Yah. Do'ain aja semoga janinnya sehat-sehat sampai lahiran nanti,” jawab Airin.“Kamu anak satu-satunya Ayah, Rin. Sebenarnya Ayah gak tega melihat kamu susah kayak gini,” tutur Pak Amar terdengar sendu.Airin mengembuskan napas pelan lalu berkata, “Ayah gak perlu pura-pura sedih, kalau ingin tertawa silahkan saja.”Pak Amar menatap Airin dengan ekspresi kecewa.“Kenapa kamu gak pernah mengunjungi Ayah?”“Ini udah keputusan Airin, Yah.” Perempuan itu berpaling, menyembunyikan netranya yang mulai berembun.“Sedalam itukah kamu benci sama Ayah, Rin? Sampai-sampai disaat kesusahan pun kamu gak mau membaginya dengan ayahmu ini?” tanya Pak Amar lirih.Airin terdiam, jemarinya bergerak cepat mengusap air mata yang mulai menitik. Hatinya berbisik rindu, tetapi egonya lebih kuat hingga perempuan itu tetap terdiam di tempat.Pak Amar merisik saku dan
“Naik, Neng!” titah Hardian setelah bersisian dengan Airin yang berjalan dengan cepat sembari sesekali mengusap air matanya.“Ayo, Neng!” bujuk Hardian lagi. Ia melajukan kuda besinya pelan, kaki kanannya sesekali turun untuk menahan keseimbangan.“Pulang aja sendiri, aku pengen jalan kaki,” balas Airin ketus.“Ya udah, Aa' temenin.”“Gak usah, A'. Kamu denger gak aku ngomong apa?” Langkah Airin terhenti seiring nada bicaranya yang meninggi.Hardian pun menghentikan laju motornya, lalu menatap Airin dengan sendu.“Aa’ minta maaf,” ujarnya terdengar berat.Airin berpaling. Jalanan yang tidak terlalu ramai menjadi titik pusat perhatiannya. Perempuan itu tampak menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.“Aku gak mau kamu ngemis-ngemis lagi sama ayah,” ucap Airin kemudian tanpa menatap Hardian.“Aa’ gak ngemis, Nen
“Hardi?” Si pemilik nama refleks menoleh, lantas bergegas bangkit dan mencium takzim punggung tangan sang mertua. “Bapak, sehat?” tanya Hardian kemudian. “Sehat. Duduk!” titahnya. Hening sesaat merajai. Jujur, Hardian bingung harus memulai percakapan dari mana. “Ada apa?” tanya lelaki tua itu datar dan terkesan menghindari basa-basi. “Saya mau pinjam uang, Pak,” ucap Hardian seraya menunduk. Lagi-lagi hening. “Untuk apa?” tanyanya memastikan. “Untuk modal jualan, Pak.” “Untuk modal aja kamu sampai gak punya tabungan, Har.” Kepala Hardian terangkat, ia memberanikan diri menatap ayah mertuanya. “Ada, Pak. Tapi ... Airin bilang itu tabungan untuk lahiran nanti.” “Lahiran?” Hardian mengangguk. Ah, ia sampai lupa kalau ayah mertuanya itu belum tahu soal kehamilan Airin. “Airin hamil?” tanyanya terdengar antusias. “Alhamdulillah, Pak.” Hardian mengulas senyum. Me
Airin berhenti bersenandung saat terdengar salam dari depan. Ia segera mematikan kompor kemudian bergegas untuk membukakan pintu.Belum sempat memutar kenop, pintu sudah terbuka. Hardian masuk dengan wajah masam. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya ke sofa tua kemudian bersandar sembari memejamkan mata.“Ada apa lagi?” tanya Airin mencoba mencairkan suasana.Terdengar hela napas berat suaminya itu. Hardian mengubah posisi, menegakkan tubuh sembari mengusap wajahnya kasar.“Neng masak apa? Aa' lapar,” ujarnya berdusta. Padahal, dalam hati ia sangat ingin mengatakan yang sebenarnya.Ajaib, Airin tersenyum padanya. Hardian pikir akan seperti semalam atau pagi sebelum ia berangkat. Setidaknya hal itu membuat rasa kesal di hati Hardian sedikit berkurang.“Kok malah senyum? Neng masak enak, ya? Aa’ jadi makin lapar, gak sabar pengen cepet-cepet makan.” Lagi, Hardian menebak.“Ada deh, ya udah, y
'Mulai hari ini, kamu saya pecat, Hardian!’Bagai disambar petir di siang bolong, Hardian terenyak, tak percaya dengan tulisan tangan tersebut. Uang ini? Ia jadi teringat kejadian kemarin, sikapnya mungkin saja membuat Arfan merasa sakit hati. Ah, ia tak berpikir sejauh itu, dan tak berniat untuk sombong atau menyakiti hati orang lain.“Kenapa, Har?” tanya Imam saat melihat perubahan raut wajah Hardian.“Enggak, Mam. Aku ada urusan sebentar, aku harus pergi!” Hardian tergesa-gesa menuju tempat membersihkan diri.“Lho, ada apa, Har? Cerita sama aku,” ujar Imam menangkap keanehan.Tak membalas, setelah mencuci tangan dan kakinya ia bergegas pergi, meninggalkan Imam yang masih dilanda penasaran.“Har ... Har, hobi banget kamu bikin orang penasaran,” gumam Imam sembari menggeleng menatap kepergian temannya itu.*Airin melangkah mantap saat mendengar teriakkan khas Mang Asep, ia