Pov SifaBetapa beruntungnya aku, setelah pahitnya kehidupan selama tujuh tahun menikah dengan Mas Sulhan, aku mendapatkan sebuah kebahagiaan yang begitu besar. Menjadi istri dari seorang teman sejak kecil ternyata cukup menyenangkan. Kak Fadil selalu perhatian padaku meski usia pernikahan kami sudah menginjak lima tahun. Risa juga merasakan sosok ayah yang selama ini dirindukan kehadirannya.“Ibu, Risa lapar!” Sahut Risa sepulang sekolah. Aku menatap jilbab putih yang dikenakannya diletakkan begitu saja di sandaran kursi. Aku melihat Kak Fadil tersenyum ke arah Risa kemudian menasehatinya. Ternyata nasehat Kak Fadil berhasil membuat Risa paham arti jilbab sesungguhnya. Risa begitu penurut dengan ayah sambungnya meski mulai menginjak remaja, Kak Fadil memberikan aturan-aturan yang harus Risa patuhi. Aku sadar, aturan yang diberikan pada Risa adalah bentuk kasih sayang pada seorang anak perempuan.“Ibu, Ayah. Minggu depan Risa ada seleksi pertandingan karate. Doakan Risa agar lancar m
Pagi ini, Sifa sudah bersiap untuk ke rumah Ibu mertuanya. Di rumah Ibu mertuanya ada acara pengajian empat puluh harinya kematian ayah mertuanya sehingga Sifa mendapat tugas memasak untuk persiapan. “Bu, nanti kalau di rumah Emak ada daging rendang, bawakan sepotong untuk Risa ya, Bu? Risa ingin sekali makan daging rendang!” Emak, sapaan untuk seorang nenek dari Ayahnya yang bernama Sulhan. Sudah lama sekali Sulhan tidak pulang dari merantau. “Baik, Sayang!” Ucap Sifa sambil mencium pipi anak perempuannya dari pernikahannya dengan Sulhan.Sifa pun pergi menuju ke rumah Marni yang terbilang cukup besar di desanya. Terlihat dua mobil kakak iparnya sudah berjajar rapi di halaman rumah. Baru juga kaki Sifa hendak melangkah memasuki tangga rumah, sosok yang paling dibenci Sifa sudah berkacak pinggang di depan mata.“Heh, Sifa! Lewat belakang!” Tanpa banyak protes, Sifa gegas lewat belakang. Lebih tepatnya lewat pintu dapur. Sesampai di dapur, Sifa sudah disambut dengan beberapa bahan m
“Jaga ucapanmu, Endang! Sifa memang tidak mau bergaul dengan kita dan memilih di dapur!” Jari telunjuk Marni mengarah ke wajah Bu Endang, bahkan kedua mata Marni menatap nyalang ke arah Bu Endang. Bu Endang terlihat santai akan kemarahan Marni kepadanya. Suasana pengajian berubah menjadi kegaduhan karena Bu Endang.“Benarkah? Bukankah sedari subuh Sifa sudah berkutat dengan pembantumu di dapur sedangkan kamu dan kedua menantumu malah sibuk bercanda di luar rumah?” Mulut Marni serasa terkunci. Dirinya baru menyadari jika seharian ini menjadi topik warga yang lewat di depan rumahnya.“Jangan fitnah seperti itu! Aku bukan mertua yang kejam seperti yang kau sebarkan!” Marni tetap mengelak.“Halah, kamu itu pura-pura baik saja kepada Sifa jika sedang butuh apa-apa dengannya, coba kalau tidak butuh, menyapa pun tidak! Nih, Ibu-ibu. Aku perlihatkan sikap dia pada Sifa!” Ibu-ibu yang lain mulai mengerubungi ponsel Bu Endang. Disana terdapat rekaman Marni tengah mengejek Sifa saat tidak ada or
Langkahnya yang cukup cepat membawanya ke sebuah warung yang cukup ramai. Warung kopi yang biasanya digunakan Ibu-ibu untuk nongkrong menunggu anaknya pulang sekolah.“Mbak Irma!” Ibu-ibu menoleh ke pemilik sumber suara yang tak lain adalah Sifa. Wajah Sifa sudah terlihat merah padam dengan kedua tangan mengepal kuat.“Eh, si miskin!” Irma melihat kedatangan Sifa dengan tatapan meremehkan.“Kamu bilang apa sama Risa?”“Oh, aku cuma bilang jika Risa tidak punya ayah! Upsss!” Tawa Irma membuat Sifa semakin marah. Sifa melangkah hingga keduanya saling berhadapan.“Oh, jadi begini sikapmu pada keponakanmu sendiri?”“Keponakan? Mana mau aku punya keponakan seperti sampah!” Dada Sifa terasa sesak ketika anak kandungnya disamakan drngan sampah.Plak plakDua tamparan mendarat manis di pipi kanan dan kiri Irma. Bibir Irma bergetar hebat usai merasakan tamparan dari adik iparnya yang selalu dianggapnya tidak berdaya.“Kamu berani menamparku?” Kedua mata Irma terlihat sudah berkaca-kaca, ditamb
Kedua matanya berkaca-kaca kala teringat beberapa tahun yang lalu terpaksa meninggalkan istri dan anak perempuannya yang masih berusia 2 tahun. Ya, lima tahun sudah Sulhan meninggalkan anak dan istrinya usai mendapat perintah dari Ibunya untuk menikahi salah satu anak dari rekannya di kota. Sulhan terpaksa melakukan supaya tetap bisa menikmati fasilitas dan mendapatkan warisan dari Bapaknya. Sehingga menggunakan alasan merantau untuk mendapatkan izin dari Sifa.“Sifa, Mas rindu!” Butiran bening akhirnya keluar dari pelupuk matanya.“Sifa, Abang ingin bertemu kamu dan Risa!” Kaki ingin melangkah namun terasa sangat berat. Kaki seakan terkunci ditambah lagi rasa takut untuk bertemu Sifa karena kesalahan yang telah diperbuat.Drrt drrtPonselnya berdering, Sulhan gegas menerima panggilan dari istrinya. “Halo, Marisa!” “.....”“Baik, aku akan pulang!” Sulhan memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Ada rasa tidak ingin pulang ke rumah saat melihat Sifa membuka pintu dan melihatnya
Setelah memastikan Putri tidur, Sulhan menggunakan motornya pergi sekedar berkeliling kampung untuk mengusir rasa jenuh. Sulhan sedang tidak ingin bicara dengan siapapun saat ini termasuk Marisa.“Adik kamu mau kemana, Toni?” Toni yang kebetulan sedang memperbaiki mesin mobil di depan tidak tahu adik bungsunya mau kemana.“Mana aku tahu, Bu!” Toni kembali melanjutkan kegiatannya. Sedangkan Irma, sedang asyik berjoget di depan kamera ponselnya tanpa malu jika ada Marni yang memperhatikan kelakuannya.“Irma, kamu ngapain joget disitu?” Irma memutar kedua bola matanya dengan malas.“Lagi eksis di tik tok, Bu. Dari sini Irma bisa terkenal dan bisa dapet duit. Ibu mana tahu soal beginian!” Irma kembali melanjutkan jogetnya di depan kamera tanpa teguran dari suaminya.“Toni, istrimu itu–“Sudahlah, Bu. Jangan kuno begitu mikirnya. Benar yang dikatakan Irma, jaman sekarang harus bisa memanfaatkan media internet untuk mendapatkan uang. Uang, Bu. Uang!” Jari telunjuk dan Ibu jarinya digesek-ge
Risa kembali berjalan ke mushola dengan derai air mata yang akhirnya lolos juga. Rindu untuk ayah ternyata harus pupus karena keluarga ayahnya sendiri. Risa gegas mengusap air matanya dengan kasar ketika sudah memasuki pagar mushola.“Tidak apa tanpa ayah! Asalkan ada Ibu!” Risa menyemangati dirinya sendiri. Risa berkumpul dengan teman sebayanya saat sudah sampai di mushola. Tawa Risa pecah ketika sudah bercanda dengan teman-temannya. Sulhan mengemas semua barang miliknya ke dalam koper tanpa berkomentar apapun meski ada Marisa di sampingnya.“Mas, kamu mau pulang sekarang? Kenapa tidak besok saja, ini sudah sore!” Marisa yang sedang mengompres Putri terkejut melihat yang Sulhan lakukan.“Hmm. Tetaplah disini, aku akan jemput kamu satu minggu lagi!” Tidak ada yang bisa Marisa ucapkan kecuali hanya diam. Sulhan terlihat muram dan benar-benar tidak bisa diganggu. Marisa terpaksa mengiyakan ucapan Sulhan karena tidak mungkin juga harus kembali ke kota dengan keadaan Putri yang masih sak
Irma dan Rana saling bertatapan, belum ada keputusan berani atau tidak mengusir Sifa di saksikan warga.“Sama saja dengan mencari gara-gara, Mbak Irma!” Bisik Rana kepada Irma. “Iya, bisa berabe kalau begini!” Sahut Irma. Dari jauh terlihat Bu Endang dan Fadil tengah memperhatikan mereka bertiga. Bu Endang hanya tersenyum simpul melihat Irma dan Rana mati kutu karena syarat dari Sifa.Tanpa menjawab sepatah kata, Irma dan Rana segera meninggalkan Sifa. Keduanya mulai mencari cara untuk mengusir Sifa dari kampungnya. Ketika sampai di rumah, Sifa terkejut dengan kehadiran sosok Marisa yang berdiri di depan pintu rumahnya. Ada rasa malas untuk menemuinya salah satu dari anggota keluarga Marni, namun tidak pantas jika Sifa membiarkannya menunggu.“Assalamu alaikum!” Marisa berbalik dan mendapati Sifa berada di belakangnya dengan membawa keranjang jualannya yang sudah kosong.“Waalaikum salam!” Jawab Marisa. Sifa membuka pintu dan mempersilahkan Marisa masuk.Marisa duduk di sebuah kursi
Pov SifaBetapa beruntungnya aku, setelah pahitnya kehidupan selama tujuh tahun menikah dengan Mas Sulhan, aku mendapatkan sebuah kebahagiaan yang begitu besar. Menjadi istri dari seorang teman sejak kecil ternyata cukup menyenangkan. Kak Fadil selalu perhatian padaku meski usia pernikahan kami sudah menginjak lima tahun. Risa juga merasakan sosok ayah yang selama ini dirindukan kehadirannya.“Ibu, Risa lapar!” Sahut Risa sepulang sekolah. Aku menatap jilbab putih yang dikenakannya diletakkan begitu saja di sandaran kursi. Aku melihat Kak Fadil tersenyum ke arah Risa kemudian menasehatinya. Ternyata nasehat Kak Fadil berhasil membuat Risa paham arti jilbab sesungguhnya. Risa begitu penurut dengan ayah sambungnya meski mulai menginjak remaja, Kak Fadil memberikan aturan-aturan yang harus Risa patuhi. Aku sadar, aturan yang diberikan pada Risa adalah bentuk kasih sayang pada seorang anak perempuan.“Ibu, Ayah. Minggu depan Risa ada seleksi pertandingan karate. Doakan Risa agar lancar m
Waktu terus berlalu, Marisa gagal melancarkan aksinya membakar rumah Sifa di salah satu komplek. Anak buahnya berhasil digagalkan oleh warga setempat dan pelaku dibawa ke kantor polisi. Marisa yang mengetahuinya, lantas memilih kabur sehingga statusnya masuk dalam daftar pencarian orang. Marisa dibantu keluarganya, terpaksa kabur ke luar negri.Singkat cerita, lima tahun berlalu dan hari ini Marni dan juga Irma dinyatakan bebas. Sesuai rencana, mereka berdua pulang ke kampung dengan berbekal seadanya. Rumah terlihat sangat kotor karena sudah lima tahun tidak dibersihkan dan tidak ada tanda-tanda seseorang pulang ke rumah sekedar membersihkannya.“Marni, sudah bebas kamu?” Mona yang kebetulan lewat depan rumah Marni menjumpai teman lamanya itu. Akan tetapi wajah Marni tidak menunjukkan rasa senang saat disapa temannya. Malah menunjukkan tatapan angkuh.“Kamu nggak suka aku bebas, Mona?” Mona yang tadinya berharap perangai Marni berubah ternyata nihil. Perangainya masih tetap sama, bah
Uhuk uhukRana terbatuk usai melakukan shalat di sepertiga malamnya. Rana merasa dadanya sakit dan mengeluarkan bercak darah ketika batuk. Rana tidak pernah absen melakukan shalat sunnah.“Sakit!” Rintih Rana sambil memegang dadanya.“Ya Allah, hamba pasrah jika memang waktu hamba sudah dekat!” Gumam Rana sambil membersihkan bercak darah di telapak tangannya.Rana bergegas ke kamar mandi meski tubuhnya terasa lemas. Dengan gontai, Rana berusaha bisa sampai ke kamar mandi.BrukTubuh Rana limbung ke lantai, wajahnya berubah pucat dan saat itu juga Rana tengah menghembuskan nafas terakhirnya. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Rana sempat melafalkan kalimat syahadat.Keesokan harinya, salah satu tahanan menemukan Rana tewas di depan kamar mandi. Polisi segera membawa jenazah Rana ke rumah sakit untuk diotopsi. Toni yang sudah lama menyadari keadaan istrinya hanya bisa pasrah mendengar kabar duka. Toni diantar salah satu rekannya menuju ke rumah sakit untuk melihat wajah sang istri
Hari ini adalah hari pernikahan Sifa dengan Fadil. Satu bulan setelah tertangkapnya mereka bertiga, kehidupan Sifa kembali aman tanpa gangguan dari mantan mertua ataupun mantan ipar. Janur kuning melengkung di depan rumah Sifa menjadi pertanda ada sebuah acara bahagia.Pagi ini, Sifa terlihat sangat cantik dengan balutan kebaya nuansa putih. Begitu pula dengan Fadil yang sudah berada di depan penghulu dengan baju pengantin nuansa senada. Pernikahan digelar secara sederhana dan hanya dihadiri beberapa keluarga terdekat saja.“Sifa, ayo ibu antar!” Eli menggandeng tangan Sifa ke meja penghulu. Kehadiran Sifa membuat kedua mata Fadil tidak bisa berpaling dari kecantikan Sifa.“MasyaAllah calon istriku!” Gumam Fadil. Kecantikan alami yang dimiliki Sifa sejak dulu tidak pernah lekang oleh waktu meski usia bertambah.Ijab qobul segera dimulai, sedari tadi bibir Sifa menyebut nama Allah untuk meredam rasa grogi sebelum akad dilangsungkan.Penghulu dan Fadil mulai berjabat tangan dan mengikra
Marni dan Irma kini hendak dalam perjalanan dari bandara ke lokasi yang dituju dengan menggunakan jasa travel yang sudah dipesan. Namun alangkah terkejutnya ketika mobil travel yang ditumpanginya diberhentikan oleh orang tidak dikenal. Alhasil semua penumpang travel itu turun dan menjalani pemeriksaan. Tiba-tiba kedua tangan Irma dan Marni diborgol.“Loh, kenapa saya diborgol?” Pekik Marni ketika melihat dua tangannya sudah terborgol.Marni merasa cukup malu ketika tatapan semua penumpang tertuju padanya. Irma juga protes namun sebuah mobil polisi akhirnya datang dan membawa mereka berdua.Marni dan Irma kembali dibawa ke Jakarta dengan menggunakan mobil polisi. Kedua mata Irma dan Marni terbelalak melihat Rana sudah berada di kantor yang sama. Marni dan Irma memperhatikan penampilan Rana yang sudah berhijrah dari atas ke bawah.“Ini pasti karena kamu, Rana!” Irma menuduh Rana. “Dasar menantu durhaka!” Pekik Marni membuat gaduh kantor polisi tersebut. “Ibu, Mbak Irma. Semua perbuata
Kedua mata Fadil melihat sosok Marisa dari kejauhan seperti tengah mempersiapkan sesuatu. Marisa kini berada di bagian sudut lain seakan bersiap melakukan sesuatu. Fadil merasa tidak enak, berlanjut mengajak mereka berdua ke arah keramaian.“Om, Jerapahnya tinggi banget lehernya!” Fadil hanya fokus pada Marisa yang terlihat mencurigakan.“Om! Kok melamun sih!” Sifa melihat Fadil seperti memperhatikan sesuatu.“Ada apa, Kak? Apa ada sesuatu?” “Tidak ada apa-ap, Sifa. Kita agak kesana ya!” Fadil berbaur dengan pengunjung lain supaya Marisa tidak bisa menjalankan aksinya.“Istri Sulhan membawa pistol, ini gila!” Gumam Fadil Dor dor dor “Aaaa!” Risa terkejut dengan suara ledakan tidak jauh darinya. Kedua tangannya menutup kedua telinganya.Tiga peluru peluru melesat mengenai tiang besi yang tidak jauh dari Risa berdiri, semua pengunjung panik karena sebuah tembakan menyasar. Tanpa berpikir panjang, Fadil menggendong Risa dan menggenggam tangan Sifa mengajaknya menjauhi area berbahaya t
Marni gelisah menatap kedua menantunya yang tengah bersitegang. Niat hati ingin melerai mereka, khawatir menjadi sasaran amukan Marisa. “Dasar wanita sombong!” Pekik Irma pada Marisa di depannya.“Setidaknya masih ada yang bisa aku sombongkan daripada kamu, tukang ghibah!” Kedua mata Marisa juga melirik ke arah Marni. Marni seketika terdiam karena lirikan tajam dari Marisa.“Su-sudah! Jangan bertengkar lagi! Harusnya kita selesaikan semua rencana yang gagal ini!” Marni mengumpulkan keberanian untuk melerai mereka. Marni sendiri khawatir jika ada tetangga atau siapapun mendengar perdebatan mereka.“Ibu dan Irma saja yang pikirkan, aku ingin semua beres!” Marisa dengan santainya meminta semua beres. Irma yang tadinya duduk di sampingnya kembali berdiri menatap nyalang ke arah Marisa.“Kamu mau cuci tangan atas kejahatan yang kau rancang?” Irma bahkan menunjuk wajah Marisa yang tengah memperlihatkan kuku cantiknya.“Aku sudah membayar mahal kalian!” Marisa tetap tidak mau mengalah.“Irm
Sifa diam sejenak, ditatapnya wajah Risa seakan sangat menginginkan Fadil menjadi seorang ayah untuknya. Sifa tidak menyalahkan keinginan Risa, anak sekecil itu memang membutuhkan seorang ayah.“Aku tidak pernah salah pilih, bahkan aku rela menunggu sampai kamu menerima cintaku! Pencapaianku tidak ada artinya kecuali ada kamu disampingku!” Kedua mata mereka saling bertatapan. Eli sudah sangat berharap jika Sifa memberikan jawaban.“Sifa, mungkin keputusan ini cukup berat untukmu. Tetapi, Ibu sangat berharap jika kamu bisa menerima cinta Fadil! Ibu yakin jika Fadil akan membahagiakan dan menjaga kalian berdua. Kalian berdua hidup sendiri sudah membuat Ibu kepikiran.” Eli memegang kedua tangan Sifa seolah memohon kepadanya.“Bu Eli memang wanita yang sangat baik seperti Bu Imah. Apakah Bu Eli tidak ingin memiliki menantu yang lebih baik dari Sifa?” “Jika di depan Ibu sudah ada kamu, maka tidak ada keinginan memiliki menantu lain selain kamu, Sifa!” Eli menunduk pasrah jika nanti Sifa m
Marni dan juga Irma sangat terkejut usai membaca pesan bernada emosi dari Marisa yang mengatakan jika Sifa dan Risa masih hidup.“Ba-bagaimana bisa mereka berdua masih hidup?” Marni jatuh terduduk usai menerima pesan berisi foto Sifa dan Risa. Wajah Marni yang biasanya terlihat angkuh dan sombong, kini berubah pucat.“Penampilan Sifa berubah seperti orang kaya!” Irma kembali menelisik foto Sifa dan Risa. Penampilan yang dulunya sering dia bilang dekil dan udik sekarang berubah menjadi wanita yang anggun dan cantik. Ada rasa iri melihat kecantikan yang dimiliki Sifa. Kecantikan yang baru terlihat ketika sudah membuangnya bahkan hampir melenyapkannya.“Bagaimana jika Sifa akan melaporkan kita kepada polisi?” Pandangan Irma sudah terlalu jauh, bahkan takut jika harus mendekam di balik jeruji.“Kita seret juga Marisa bersama kita. Dia menjadi dalang di balik pembakaran rumah Sifa!” sahut Marni seolah tidak terima jika Marisa nantinya tidak ikut terseret dalam proses hukum.“Semoga Sifa t