Dinara merutuki mulutnya sendiri. Ini pertama kalinya dia merasa begitu ceroboh. Selama ini, dia selalu berhati-hati dalam berbicara, tetapi kali ini dia malah tidak bisa mengendalikan ucapannya di depan Jeremy. Seharusnya, dia bisa lebih menahan diri agar tidak terbawa emosi dan terlanjur mengatakan apa yang seharusnya tidak dikatakan. Akan tetapi, tidak ada gunanya menyesali. Pun kata-kata yang sudah terucap, tidak dapat ditarik kembali. Pada akhirnya, tidak ada pilihan lain, selain bersikap tenang dan memikirkan apa yang harus dikatakan selanjutnya. "Apa maksud ucapanmu tadi?" Suara Jeremy kembali terdengar. Dingin dan tajam. Dinara meliriknya perlahan. Raut wajah yang begitu keruh bercampur dengan tatapan tajam yang mengintimidasi, membuatnya ingin segera mengalihkan pandangan. Dinara tahu, tidak ada gunanya mengelak. Jeremy bukan orang yang mudah dibodohi. Jadi, dia mengatur suaranya dan berkata dengan acuh tak acuh, "Aku hanya mengatakan apa yang aku tahu.""Memangnya apa y
“Kamu pikir aku takut?” Dinara tersenyum meremehkan. Ucapan Jeremy sama sekali tidak membuatnya merasa terancam. Dia sudah punya cukup banyak pengalaman dalam menangani kasus semacam ini. Meski kali ini lawannya adalah mantan suaminya sendiri, dia tidak merasa gentar sama sekali. Menyadari rasa percaya dirinya yang tinggi, Jeremy bersedekap dan bertanya dengan sinis, “Jadi, kamu nggak takut reputasimu hancur karena gagal memenangkan kasus ini?” “Aku nggak akan gagal,” sahut Dinara tanpa ragu. “Aku akan mempertahankan reputasiku, tanpa harus mundur dari kasus ini.”Jeremy mendecih dan tersenyum masam. Kepercayaan diri Dinara memang tidak pernah berubah sedari dulu, tetapi dia terlihat agak sombong sekarang. “Lagipula, sebenarnya kamu nggak perlu bicara terlalu jauh tentang reputasiku.” Dinara kembali bersuara. “Bukankah selama ini, kamu nggak pernah peduli?”Pertanyaan itu seketika membuat Jeremy merasa tertohok. Dia tahu, perempuan itu sedang menyindirnya. Selama sekian tahun mere
Pintu mobil terbuka, tepat setelah Nauna mengakhiri pembicaraannya dengan Dinara. Dean muncul dengan raut wajah yang sama sekali tidak baik. Lelaki itu masuk ke dalam mobil, lantas menutup pintu dengan kencang. Nauna menatapnya dan bertanya dengan cemas, "Bagaimana, Mas?""Mas Yoga sudah resign," sahut Dean dengan nada kesal. "Nggak ada satupun rekan kerjanya yang tahu dia di mana sekarang. Mereka juga kaget saat tahu Mas Yoga mengundurkan diri secara tiba-tiba tadi pagi."Mendengar ini, Nauna menghela napas panjang. Sejak Dean mengajaknya pergi ke kantor tempat Yoga bekerja untuk memastikan keberadaan lelaki itu, dia sudah menduga akan seperti ini. Sama seperti saat mereka pergi ke kantor tempat Rudy bekerja. Lelaki itu juga sudah mengundurkan diri dan pergi entah ke mana. Sebelumnya, mereka juga sudah pergi ke toko milik Daniel dan Tika. Sesuai dugaan, pasangan itu tidak ada di sana. Bahkan, tokonya sudah tutup sejak pagi. Pemilik toko sebelah mengatakan, Daniel sempat datang ta
Informasi dari petugas itu sudah cukup untuk membuat Dean, Nauna dan Rey berhenti mencari. Mereka duduk berjajar di bangku bandara dengan wajah lelah dan juga pasrah. Hanya terlambat beberapa menit, Rudy dan Lusi sudah berhasil melarikan diri ke luar kota dengan membawa serta Citra bersama mereka. Dean dan Nauna merasa sangat marah, begitu pula dengan Rey, tetapi anak itu lebih mampu menyembunyikan emosi. "Kenapa mereka melarikan diri ke Pontianak?" Nauna bergumam bingung. Dia lalu menatap Rey dan bertanya, "Apa kalian punya saudara di sana?" Rey menggeleng. Sepanjang yang dia tahu, keluarganya tidak memiliki sanak saudara di Pontianak, baik dari pihak Rudy maupun Lusi. Dia juga tidak mengerti mengapa ayah dan ibunya kabur ke kota itu. "Aku rasa, mereka memilih kabur ke Pontianak justru karena nggak ada sanak saudara di sana. Dengan begitu, kita nggak akan terpikir untuk mencari mereka ke sana." Dean menyampaikan pemikirannya. "Benar juga." Nauna mengangguk pelan. Pemikiran Dean t
Keesokan paginya, Dean dan Nauna datang ke kantor polisi untuk membuat laporan. Dinara ikut serta untuk mendampingi mereka. Berbekal bukti yang sudah dikumpulkan, mereka resmi melaporkan Rudy dan kawan-kawan atas tuduhan penipuan dan penganiayaan. Jeremy juga turut dilaporkan atas keterlibatannya dalam rencana Rudy dan yang lainnya, tetapi karena tidak cukup bukti, laporan atas namanya tidak bisa segera diproses. Meski begitu, polisi tetap akan menyelidikinya dan mengirimkan surat panggilan padanya untuk menjalani pemeriksaan. Setelah mendapatkan surat bukti laporan, Dean, Nauna dan Dinara dipersilahkan pulang. Mereka akan segera dikabari mengenai perkembangan kasus ini. Dean menghela napas panjang saat berjalan menuju mobilnya yang terparkir di depan. Perasaannya benar-benar sedang berkecamuk. Di satu sisi, dia merasa lega, tapi di sisi lainnya, dia merasa sedih. Bagaimanapun, tidak mudah baginya melaporkan saudara kandungnya sendiri ke polisi. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain.
Siang itu, surat panggilan resmi dari kepolisian sampai ke kantor Jeremy. Sekretarisnya menyerahkan surat itu pada yang bersangkutan dengan wajah bingung dan juga penasaran. David menerima surat tersebut dan berpesan agar Sekretaris Jeremy tutup mulut. Tidak boleh ada yang tahu soal surat panggilan itu atau dia akan kehilangan pekerjaannya. Sekretaris Jeremy tidak berani membantah dan mengangguk dengan patuh. Dia masih membutuhkan pekerjaan, jadi tidak ada pilihan lain selain tutup mulut. Jeremy sama sekali tidak panik saat selembar surat itu sampai ke tangannya. Dia membaca dan menelitinya dengan baik selama beberapa saat, lalu melipatnya kembali dan memasukkannya ke dalam amplop dengan tenang. "Kamu sudah dapat pengacara seperti yang saya inginkan?" Jeremy bertanya pada David sembari meletakkan surat panggilan itu di atas meja. David mengangguk dengan sigap dan berkata, "Sudah, Pak. Sesuai keinginan anda, beliau adalah pengacara kondang dengan reputasi yang baik dan sudah memen
Sudah hampir sepuluh menit berlalu, polisi belum juga tiba di lokasi. Dean dan Nauna mulai merasa cemas. Mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi, sebab Daniel bisa pergi kapan saja. Setelah mempertimbangkan berbagai resiko, Dean meminta Nauna menunggu di dekat mobil, sementara dia sendiri pergi ke seberang jalan untuk menghalangi Daniel, kalau-kalau kakaknya itu keluar dari minimarket sebelum polisi datang."Hati-hati, Mas!" Nauna berpesan sebelum Dean benar-benar pergi menyebrangi jalan. Sesuai dugaan, tepat saat Dean sampai di depan minimarket, Daniel melangkah keluar. Lelaki itu seketika terpaku. Langkahnya yang lebar sontak tertahan di dekat pintu. "Mas Daniel." Dean pura-pura menyapa, seolah mereka tidak sedang bermasalah. Dia berharap, Daniel juga bersikap biasa, tetapi lelaki itu malah berlari ke arah motornya. Dean buru-buru mengejar dan berhasil mencegat sebelum kakaknya itu menyalakan mesin motor. "Kenapa lari?" Dean bertanya sembari mencabut kunci motor Daniel dan m
Selama proses interogasi, Daniel menolak semua tuduhan dan menyangkal semua bukti yang ada. Dia juga bersikeras mengatakan, bahwa dirinya tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa mengenai kasus penipuan yang menimpa Dean. Pada akhirnya, polisi memutuskan untuk melakukan penahanan terhadapnya selama proses penyelidikan berlangsung. Daniel merasa sangat marah, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah menunggu selama lebih dari satu jam, Dean dan Nauna diperbolehkan bertemu dan bicara dengan Daniel. Mereka duduk berhadapan, dibawah pengawasan dua orang petugas. "Aku nggak nyangka kamu benar-benar melaporkanku." Daniel berkata dengan dingin. Raut wajahnya begitu suram dan tatapan matanya begitu tajam. Terlihat jelas kebencian di kedua bola matanya. Dean menghela napas dan berkata dengan tenang, "Ini sudah konsekuensinya.""Konsekuensi apa?!" Daniel berteriak marah. Dia sudah mengambil ancang-ancang untuk menggebrak meja, tetapi tangannya hanya bisa menggantung di udara saat menyadari
Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Apa yang dilakukan perempuan itu di sini tadi? Dia menemuimu?” Alvaro bertanya dengan tajam. Tatapannya mengarah lurus pada Jeremy yang duduk diam di hadapannya. Tidak ada jawaban. Jeremy tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat pandangan yang semula terpaku pada permukaan meja, lalu menatap Alvaro dengan tatapan dingin. Aura suram menguar dari keseluruhan dia pada saat ini. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada saat dia berhadapan dengan Dinara. Alvaro berdecak kesal, tidak suka dengan reaksi Jeremy yang seperti ini. Dia menginginkan jawaban atas pertanyaannya, bukan sorot mata dingin dan mengintimidasi. “Nggak salah lagi, dia pasti datang untuk menemuimu dan kamu pasti bersedia bertemu dengannya.” Alvaro menyimpulkan sendiri, sebab tak kunjung mendapat jawaban. Jeremy masih belum menanggapi, alih-alih membiarkan Alvaro kembali berkata-kata, “Seharusnya, kamu menolak bertemu dengannya, Kak. Dia pasti datang untuk menertawakanmu, kan? Dia pasti senang melihatmu seperti
Hampir tiga puluh menit berlalu sejak tiba di kantor polisi, Dinara masih saja berdiam diri di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya perlu waktu sedikit lebih lama, untuk menyiapkan hati dan meyakinkan diri, sebelum benar-benar pergi menemui Jeremy. Sebab, bukan hal mudah untuk berhadapan dengan Jeremy di ketika ini. Jika kemarin siang saja laki-laki itu bisa menunjukkan kemarahan yang begitu menggebu-gebu terhadap dirinya, lantas bagaimana dengan hari ini? Biar bagaimanapun, ditahannya Jeremy, tidak terlepas dari upaya Dinara yang diam-diam merekam pembicaraan mereka kemarin lalu. Jadi, bukan tidak mungkin dia akan meluapkan kemarahan, jika mereka bertemu nanti. Pemikiran itulah yang membuat Dinara merasa was-was. Namun demikian, dia tidak bisa mundur begitu saja. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertemu dan bicara dengan Jeremy. Bukan sekedar untuk memenuhi permintaan Viola, melainkan juga untuk menuruti kata hatinya sendiri. Pada akhirnya, setelah memeriksa w
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dinara, rekaman suara itu benar-benar bisa menjadi barang bukti yang kuat. Beberapa jam setelah Dean menyerahkannya pada polisi, Jeremy akhirnya resmi di tahan. Rasa kaget dan tak percaya tentu saja menyeruak dalam diri Jeremy, saat polisi menunjukkan surat perintah penahanan terhadap dirinya. Mereka mengatakan, sudah ada bukti yang menguatkan dugaan, bahwa dirinya terlibat dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Rudy. Hal yang membuat Jeremy merasa semakin kalut adalah, polisi menahannya ketika dia sedang memimpin rapat di kantor. Akibatnya, bukan hanya orang-orang yang berada di ruang rapat, tapi hampir semua orang yang ada di kantor melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana dia dibawa pergi oleh polisi. Desas-desus tentang sang CEO yang ditangkap oleh polisi seketika menyebar dengan cepat. Berbagai spekulasi bermunculan. Dalam sekejap, Jeremy telah menjadi perbincangan hangat semua orang di perusahaannya, dan reputasinya benar-benar te
Jeremy menyorot Dinara dengan bias kemarahan di kedua matanya. Aura suram dan mengintimidasi yang menyeruak dari kesuluruhan dia, berhasil membuat mantan istrinya itu menahan napas selama sepersekian detik. “Apa yang sudah kamu katakan pada ibuku?” Sekali lagi, Jeremy mengulang pertanyaan yang sama, namun dengan nada yang lebih ditekan-tekankan dari sebelumnya. Dinara tidak segera menjawab, alih-alih menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dalam diam, dia tengah mengatur debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang, begitu pula dengan ritme pernapasan yang sempat tertahan hingga akhirnya menjadi berantakan. Dinara sepenuhnya mengerti, cara terbaik menghadapi seseorang yang sedang diselimuti emosi seperti Jeremy di ketika ini, adalah dengan bersikap tenang dan hati-hati. Karena itu, Dinara sebisa mungkin menciptakan aura tenang di keseluruhan dirinya, alih-alih menunjukkan ketakutan dan rasa terintimidasi yang kentara. “Kamu bilang padanya tentang kasus pen
"Mas?" Nauna menahan langkah saat dia dan Dean baru saja keluar dari ruangan tempat bertemu dengan Lusi. Ketika laki-laki itu menoleh dan mengunci tatap padanya, dia segera bertanya dengan hati-hati, "Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Mbak Lusi?"Dean tidak langsung menjawab. Sesaat, dia menatap Nauna dalam-dalam. Sekian detik kemudian, barulah dia buka suara, tapi bukan untuk memberikan jawaban, alih-alih balik bertanya, "Apa aku terlihat nggak bersungguh-sungguh, Nau?""Bukan begitu, Mas." Nauna segera menyangkal. "Aku hanya ingin memastikan. Maksudku... Mbak Lusi sudah melakukan hal yang sangat merugikanmu. Apakah semudah itu dia mendapatkan maaf darimu?"Dean lagi-lagi tidak segera menjawab, alih-alih mengajak Nauna duduk di kursi yang berada tak jauh dari mereka. Setelah duduk, Dean mulai berkata-kata, "Sebenarnya, nggak semudah itu, Nau. Jujur, aku juga merasa berat, tapi..." Dean menggantung sebentar kalimatnya. Setelah menghela napas berat, barulah dia genapkan, "Bagaimanap
"Nau, cepat ganti baju, kita ke kantor polisi sekarang!"Nauna baru saja keluar dari kamar mandi, ketika Dean tiba-tiba berkata dengan nada terburu-buru. "Ada apa, Mas?" Menanyakan itu, Nauna sambil beranjak menuju lemari, kemudian mengambil sehelai baju ganti dari dalamnya. "Mas Rudy dan Mbak Lusi sudah tiba di kantor pusat. Citra juga ada di sana, kita jemput dia sekarang," sahut Dean sebagaimana adanya. Mendengar ucapannya, sepasang mata Nauna terbuka lebar-lebar. Dia sudah menunggu kabar ini sejak tiga hari yang lalu, tepatnya sejak dia dan Dean pertama kali mendapatkan kabar tentang Rudy dan Lusi yang sudah ditangkap oleh polisi. Tanpa bertanya apa-apa lagi, Nauna bergegas berganti pakaian, kemudian mengambil kerudung dan mengenakannya dengan cepat. "Ayo, Mas!" ajak Nauna sembari menyambar tas dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Dean mengangguk. Setelah meraih kunci mobil di atas nakas, dia dan Nauna segera keluar dari kamar dengan langkah tergesa-gesa. "Sudah sejak kapan me
"Ibu, tenanglah!" Viola berkata sembari menyentuh bahu sang ibu sebagai upaya menenangkannya. Meski Viola juga terkejut dengan semua yang dikatakan Dinara, dia masih bisa berpikir dengan jernih. Alih-alih mengusir mantan iparnya itu seperti apa yang dilakukan Jihan, dia justru ingin mendengar penjelasannya lebih banyak lagi. Akan tetapi, Jihan yang begitu emosional, tampaknya tidak mau mendengar apapun lagi. Sepasang matanya menyorot Dinara dengan tajam, kemudian berkata, "Pergilah, Dinara! Jangan katakan omong kosong apapun lagi tentang Jeremy!"Dinara tahu Jihan sedang kalut, karena itu dia sama sekali tidak ambil hati atas sikap dan ucapan wanita itu. Alih-alih angkat kaki seperti apa yang diminta, dia justru tetap duduk di tempatnya. "Bu," katanya dengan nada rendah dan terukur. "Ini nggak ada hubungannya dengan urusan pribadiku dan Mas Jeremy. Semua yang aku katakan ini, semata-mata untuk memberitahu Ibu yang sebenarnya, tentang apa yang sudah dilakukan Mas Jeremy demi mendapat
Setelah meninggalkan kediaman Jihan, Dinara segera mengajak Dean dan Nauna bertemu. Kebetulan, pasangan suami istri itu sedang berada di luar rumah, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe, sekalian makan siang bersama. Dinara tiba lebih dulu, sementara Dean dan Nauna datang sekitar sepuluh menit kemudian. Setelah memesan makanan dan minuman masing-masing, mereka tidak berbasa-basi lagi. Dinara segera menceritakan secara detail semua yang dia dengar dari Jihan, tentang persaingan bisnis antara orang tua Dean dan orang tua Jeremy. Mendengar apa yang diceritakan oleh Dinara, Dean dan Nauna tampak terkejut. "Aku sama sekali nggak tahu tentang ini." Dean berkomentar setelah Dinara benar-benar menyelesaikan ceritanya. "Aku nggak pernah mendengar kalau perusahaan Ayah sampai menyebabkan kebangkrutan untuk perusahaan lain. Mungkin karena saat itu aku masih terlalu muda untuk mengetahuinya."Dinara menghela napas. "Sudah kuduga," ucapnya dengan nada rendah nyaris tenggelam. "Ka