“Saya terima nikah dan kawinnya Sahira Palesa binti Argani dengan maskawin tersebut, tunai!”
Sahira tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, seharusnya di hari pernikahan yang menjadi kebahagiaan justru berbanding sebaliknya. Asha yang selalu setia berada di samping Sahira sebelum dan sesudah akad hanya bisa diam memasang senyum penuh kepalsuan.
“Sahira, terima kasih sudah mau menyetujui menjadi istri kedua Mas Cakra,” kata Asha, memeluk Sahira, namun tidak mendapat balasan.
“Apa ini makna sebuah persahabatan yang sesungguhnya, Asha?” tanya Sahira sorot matanya masih kecewa.
“Sudah berulang kali aku berkata, Sahira, bahwa aku tidak ingin dimadu, tapi keadaan membuatku mengambil keputusan ini. Ayo kita ke depan para tamu yang datang sudah menunggu.”’
Asha membantu Sahira berdiri, kaki teramat berat untuk melangkah seperti ada beban ganda di pundak Sahira. Ketika Sahira muncul semua pasang mata menatap kearah pengantin wanita kecuali Cakra.
Vanita sejak tadi tidak berhenti tersenyum, kehidupannya akan berubah drastis karena maskawin yang diberikan Cakra tidak main-main berupa; emas, uang, dan juga tanah beserta sertifikat atas nama Sahira.
Asha sendiri yang mengantarkan Sahira untuk duduk di dekat Cakra, bersamaan dengan itu Asha harus menahan rasa hatinya seperti teriris. Asha berusaha untuk kuat karena demi kebaikan.
“Sayang.” Cakra menatap Asha penuh luka, kedua mata lelaki itu merah menahan tangis.
Asha langsung memalingkan wajahnya dan berlalu pergi.
Asha tidak kuat lagi membendung air matanya, ia pergi ke belakang karena tidak ada orang untuk menumpahkan air matanya.
“Ya Allah, sungguh ini sakit sekali. Tidak pernah ada di dalam pikiranku menyaksikan suami hamba menikah lagi. Ya Allah, maafkan lah aku karena aku sudah membawa Sahira masuk ke dalam masalah ini. Semoga keputusan yang aku ambil menjadi jalan terbaik untuk keluar dari masalah keturunan,” kata Asha, air matanya mengalir deras.
“Kenapa kamu ada di sini? Semua orang menanyakan kamu, jangan buat malu Mama,” ujar Suma, yang tiba-tiba saja muncul.
Buru-buru Asha menghapus air matanya supaya tidak ketahuan hatinya sedang rapuh.
“Asha nggak papa kok, Mah, tadi abis dari kamar mandi,” jawab Asha.
“Keputusan yang kamu ambil sangat tepat, Asha, jadi Mama harap tidak ada drama air mata lagi untuk kedepannya. Mama yakin Sahira bisa memberikan keturunan untuk keluarga ini dan Mama harap juga kamu tidak marah ketika nanti Cakra dan Sahira pergi bulan madu.”
Asha tersenyum tipis. “Asha berharap keputusan ini menjadi yang terbaik. Untuk masalah iri, Insya Allah tidak akan terjadi karena Asha tahu bagaimana Mas Cakra akan berlaku adil nanti.”
“Sama satu lagi, Sahira akan tinggal terpisah dengan kita, kamu tetap berada di rumah ini untuk menemani Mama dan Papa.”
“Loh, tidak bisa begitu, Mah, Sahira juga harus tetap tinggal di sini bersama kita.” Asha membantah tegas.
“Sudah menjadi keputusan Mama dan Papa, kamu tidak ada hak untuk mencegah. Lagian keputusan kami membelikan rumah untuk Sahira juga baik kok, supaya Sahira cepat hamil.”
“Kenapa Mama sama Papa tidak adil sekali sama Asha? Bukankah dulu Asha dan Mas Cakra sudah berkeinginan untuk punya rumah sendiri? Tapi Mama dan Papa mencegah,” kata Asha.
“Jelas dulu kita mencegah karena kami tidak punya anak lagi selain Cakra. Berhubung sekarang Cakra sudah punya dua istri, jadi kamu lah sebagai istri pertama yang harus menemani Mama dan Papa di sini.”
“Sudah tidak usah banyak drama, bereskan sisa air matamu dan langsung ke depan menemui para tamu.” Kemudian Suma berlalu pergi.
Asha masih berdiri lemas, Asha tidak habis pikir dengan kedua mertuanya yang sepertinya sangat menginginkan dirinya menderita.
“Kamu itu harus banyak senyum, Sa, supaya dilihatnya itu enak. Apa sih yang kamu tangisi? Setelah menikah dengan Cakra kehidupan kita akan berubah drastis. Nikmati semua fasilitasnya, jangan berlagak tidak butuh kamu,” ujar Vanita kepada Sahira yang sekarang sedang duduk bersama.
“Bagaimana Sahira bisa bahagia di atas penderitaan Asha, Ma?”
“Halah, kenapa kamu memikirkan perasaan Asha? Bukankah Asha sendiri yang meminta kamu untuk menjadi madunya? Bukan salah kamu, jadi kamu tidak perlu menangis seperti ini. Kalau tidak ada Asha sudah pasti kemarin para preman membawamu pergi. Sekarang hidup kita sudah enak dan terjamin.”
“Kenapa Mama selalu mementingkan harta dan kekayaan? Mama tidak pernah memikirkan perasaan Sahira.”
“Diam kamu! Jangan sampai membuat emosi Mama pecah di sini. Malu dilihat besan dan para tamu undangan. Sudah Mama bilang bersikaplah manis, terlebih lagi pada mertua perempuan kamu. Sepertinya dia bisa dimanfaatkan.”
Sahira hanya bisa pasrah karena ia tidak punya kuasa untuk memberontak.
***
Acara pernikahan yang berlangsung sangat sederhana sudah selesai. Sekarang jam menunjukkan pukul 22.00 WIB Sahira sedang membersihkan sisa make-up di wajahnya.
“Sahira.”
Asha masuk ke kamar Sahira, sudah berkali-kali mengetuk pintunya namun tidak ada sahutan.
“Ah, iya, kenapa?” Sahira meletakkan kapas yang ia gunakan untuk membersihkan sisa make-up di wajahnya.
Pertama kalinya Sahira dan Asha di satu ruangan yang sama, tapi terasa sangat canggung.
“Aku hanya mau bilang terima kasih sama kamu karena sudah mau menikah dengan Mas Cakra. Sahira, aku tahu kamu kecewa sama aku, aku minta maaf karena sudah membawa kamu ke dalam masalah ini,” kata Asha, menunduk penuh kesedihan.
“Ya, aku memang sangat kecewa padamu, Asha, aku tidak menyangka sahabat yang sudah aku anggap seperti saudara justru membuatku sengsara.”
Asha menggenggam kedua tangan Sahira. “Aku mohon padamu, Sahira, jangan mencintai Mas Cakra karena Mas Cakra hanya punya aku seorang. Di sini kita berdua hanya meminjam rahimmu sebentar untuk mendapatkan keturunan.”
“Justru itu yang aku takutkan, Asha, tidak ada yang bisa menebak hati. Mungkin hari ini aku bisa bilang tidak akan pernah mencintai Cakra, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi di hari esok,” kata Sahira.
“Kau sahabatku, Sahira!” Asha meninggikan suaranya mulai tersulut emosi.
“Itu kamu tahu, tapi kenapa tega menjebakku masuk ke dalam masalahmu?”
Sahira menghela napas kasar. “Kamu tidak perlu khawatir, Asha, jika suatu saat nanti aku mencintai Mas Cakra ataupun sebaliknya, aku sendiri yang memilih mundur.”
“Aku tahu kamu tidak akan merebut kebahagiaan sahabat sendiri,” kata Asha.
“Terima kasih, Sahira.” Asha memeluk Sahira, namun tidak mendapatkan balasan.
“Aku tinggal dulu ya, pasti kamu membutuhkan waktu untuk istirahat,” kata Asha, kemudian berlalu.
Sahira kembali membersihkan sisa make-up yang belum terangkat, tiba-tiba Cakra datang dengan wajah datar.
Cakra melemparkan sebuah map coklat. “Baca dan tandatangani perjanjian ini. Besok aku mau berkas ini sudah ada di atas meja kerja.”
“Apa ini?” tanya Sahira bingung.
“Semuanya tidak terjadi begitu saja, Sa. Di dalam berkas ini apa saja yang boleh atau tidak boleh kamu lakukan, serta keuntungan yang kamu dapat.”
Sahira tanpa ragu mengetuk pintu ruang kerja Cakra yang berada tidak jauh dari kamarnya. Sesuai perintah Cakra semalam, Sahira sudah menandatangani tanpa ingin mengubah isi yang ada di dalamnya. “Masuk!” perintah Cakra, dari dalam. Setelah mendapat persetujuan dari si pemilik ruangan, Sahira pun masuk. “Sudah Sahira tandatangani.” Sahira meletakkan map berwarna coklat itu di atas meja kerja Cakra. “Tidak ada yang ingin diubah?” tanya Cakra memastikan. “Tidak ada,” ujar Sahira, tanpa ragu. “Kamu masih boleh mengubah isinya jika ada yang kurang.”“Tidak ada.” Cakra menganggukkan kepalanya paham. “Baiklah. Saya anggap perjanjian ini sudah kita setujui bersama.”“Kalau begitu aku keluar dulu.” “Tunggu!” cegah Cakra. Tangan Sahira yang sudah memegang handle pintu pun terlepas. “Apa lagi?” tanya Sahira. “Bereskan barang-barangmu, hari ini kamu akan pindah ke rumah baru,” jelas Cakra. “Pindah ke rumah baru, untuk apa?” “Kedua orang tuaku yang memintanya.”“Lalu Asha?”“Dia akan
Cakra dan Sahira sudah sampai di rumah baru. Rumah yang awalnya ingin menjadi tempat tinggal Cakra dan Asha, namun kali ini sudah berpindah tangan menjadi milik Sahira.“Di samping kanan dan kiri sudah ada tetangga, ada Pak RT juga jadi kalau ada apa-apa tengah malam jangan telepon aku, minta tolong saja pada tetangga,” kata Cakra, datar.“Memangnya siapa juga mau menelepon kamu,” ujar Sahira, ketus. Sahira memasuki rumah sambil membawa koper yang berisi baju-bajunya.“Semua perlengkapan masak sudah tersedia, jadi kamu bisa masak kapan pun yang kamu mau kalau tidak mau masak beli saja di depan banyak yang jual makanan,” kata Cakra.“Aku tahu.”“Kalau begitu aku pergi dulu ada pekerjaan kantor.” Lalu Cakra keluar dari rumah kembali mengendarai mobilnya menuju kantor.Sepeninggal Cakra, Sahira langsung menuju kamar utama yang ada di lantai dua. Rumah yang sangat besar untuk ditempati satu orang.Sahira duduk di tepi ranjang, menikmati kasur yang empuk dan sprei yang halus. Pada saat Sah
Sahira begitu menikmati rumah barunya bahkan Sahira sudah menata isi di dalamnya dengan begitu rapih. seperti sekarang, gadis itu sedang menikmati hari luang di dapur membuat cemilan kesukaannya. Pada saat Sahira sedang sibuk dengan kegiatannya, ia dikejutkan dengan suara bell.“Aduh, siapa sih, ganggu aja lagi bikin cemilan,” gumam Sahira, kesal.Sahira pun kedepan untuk melihat siapa yang datang.“Halo, sayang.” Suma begitu gembira ketika Sahira membuka pintu untuknya. Sahira pun memeluk menantu keduanya tidak lupa mencium pipi kanan dan kiri.“Mama kesini sama siapa?” tanya Sahira sambil melihat ke sekeliling, namun yang ia temui hanya sang mertua.“Tadi sama supir, terus Mama suruh ke minimarket dulu tadi,” jelas Suma.“Ya sudah, masuk ke dalam yuk, Mah.”Dengan senang hati Suma masuk ke rumah baru milik menantunya.“Kamu lagi buat apa sih? Kok harum banget?” Suma menatap Sahira dengan penuh rasa penasaran. Tidak segan wanita paruh baya itu masuk ke dapur untuk melihat apa yang se
Tengah malam Sahira dikejutkan dengan suara mobil yang memasuki garasi mobil. Buru-buru Sahira membukakan pintu karena ia tahu yang datang adalah Cakra, sebelumnya memang Sahira sudah tahu kalau Cakra mau datang ke rumah hanya saja entah kemana mampir kemana sehingga lelaki itu datang tengah malam.“Kenapa nggak sekalian pagi aja sih datangnya? Aku tadi sudah tidur tahu,” omel Sahira kesal karena tidurnya terganggu.Cakra yang baru saja keluar dari dalam mobil tidak menggubris ocehan Sahira. Lelaki itu berjalan ke arah Sahira dengan tatapan yang membuat Sahira bingung. Tatapan yang terkesan aneh dan sedikit bergairah?“Eh, kamu mau apa?” Sahira berjalan mundur berusaha menjauh.Senyum miring Cakra sanggup membuat semua bulu kuduk Sahira berdiri. Sahira yang masih berusaha menjauh dengan berjalan mundur, namun tubuhnya seperti tertahan sesuatu ternyata di belakangnya ada sebuah meja.“Mau kemana?” tanya Cakra dengan suara yang serak-serak basah.“Kamu mau apa?” Sahira berbicara dengan
Sahira sedang sibuk berada di dapur membuat lauk untuk Cakra. Setelah kejadian semalam, membuat Sahira semakin menjaga jarak dengan Cakra. Sementara lelaki itu terlihat biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa.“Kapan kamu akan pulang?” tanya Sahira memecah keheningan yang terjadi.“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Cakra menatap dengan raut wajah bingung. “Apakah keberadaanku di sini sangat mengganggu kenyamananmu?” tanya Cakra.Sahira menggeleng cepat. “Tidak juga.”“Lalu kenapa kamu bertanya seolah mengusirku?”“Tidak ada yang mengusirmu,” sahut Sahira cepat.“Sedang apa kamu di sana? Kelihatannya sangat sibuk sekali.” Cakra menghampiri Sahira yang sedang berada di dapur. Sempat Sahira menghentikan kegiatannya sebentar pada saat Cakra berhenti tepat di belakangnya.“Sebentar lagi akan selesai, sebaiknya kamu kembali saja ke meja makan,” ujar Sahira, raut wajahnya nampak tidak nyaman.“Sudah, biar aku bantu saja.” Cakra mengambil alih spatula yang Sahira gunakan untuk mengaduk maka
“Duduk Cakra!” perintah Widyatma Prasista kepada menantunya. Lelaki paruh baya itu tersenyum ketika Cakra sudah duduk di depannya. Sambil memakai kembali kaca matanya, lelaki paruh baya itu mencari posisi nyaman untuk ngobrol bersama Cakra.“Nampaknya akhir-akhir ini kamu sangat sibuk sekali sehingga tidak sempat main ke rumah Mama dan Papa. Asha tadi sudah bercerita banyak tentang kamu.”Wajah Cakra langsung pucat, apa yang diceritakan Asha tentang dirinya kepada orang tuanya? begitulah hati Cakra bertanya-tanya.“Kenapa wajah kamu pucat? Kamu lagi sakit, Cakra?” Widyatma terlihat khawatir pada saat melihat wajah menantunya pucat.Cakra tersenyum lalu menggeleng dan kemudian berkata dengan suara yang dibuat setenang mungkin. “Tidak, Pah, mungkin karena terlalu lelah.”Widyatma menganggukkan kepalanya paham. “Kamu itu jangan terlalu sibuk, Papa tahu kok seperti apa pekerjaan kantor itu.”“Cakra juga sedang mengatur jadwal supaya lebih teratur lagi kok, Pah.”“Tadi Asha cerita ke Papa
Kegiatan Cakra kembali berjalan normal, hanya saja kehidupan Cakra bertambah rumit karena harus bergantian menemani Asha dan Sahira yang berbeda tempat tinggal. Seperti sore ini setelah pulang dari kerja giliran Cakra menemani Sahira yang merupakan istri keduanya. Sejauh ini Sahira tidak pernah rewel meskipun Cakra tidak selalu ada untuknya, malah Asha yang sering menuntut agar Cakra bisa lebih banyak meluangkan waktu untuknya.Sekarang Cakra baru saja sampai di rumah yang sudah dia belikan untuk Sahira. Baru saja duduk Cakra sudah disuguhkan segelas teh hangat.“Kelihatannya sangat lelah sekali, dikantor lagi banyak pekerjaan ya?” Sahira datang membawa nampan berisi teh hangat.“Terima kasih, Sahira.” Cakra memberikan senyum lelahnya.“Lumayan banyak sekali kendala. Akhir-akhir ini pekerjaanku berantakan sampai membuat beberapa klien yang membatalkan kerja sama,” kata Cakra, sambil memijat pelipisnya yang terasa pusing akibat terlalu keras memikirkan pekerjaan yang sedang berantakan.
Sahira Palesa, menatap sedih ke arah sahabatnya yang sejak tadi menangis sesegukan di pelukannya. “Jadi, mertuamu tetap memaksa Cakra menikah lagi?” tanya Sahira setelah mendengar cerita dari sahabatnya yang bernama Asha Nararsya. Seringkali Sahira mendengar keluhan sahabatnya dengan topik yang sama hampir setiap hari. Sahira iba karena Asha sudah bertahun-tahun menikah, tapi belum diberi momongan. “Hati istri mana yang rela melihat suaminya menikah lagi, Sa? Tapi aku juga tidak punya pilihan lain selain memberi jalan Mas Cakra untuk menikah lagi karena aku sendiri tidak bisa memberi dia keturunan.”“Kamu bisa memberi Cakra keturunan, rahim kamu sehat dan bersih, kalian berdua hanya butuh waktu lagi untuk berusaha.” “Sampai kapan? Aku capek, Sa.” Sorot mata Asha terlihat sayu. “Aku setuju dimadu, asalkan aku yang mencari sendiri perempuan itu,” kata Asha, tetap pada keputusannya. “Kamu sudah punya calonnya?” tanya Sahira, sangat hati-hati. Asha mengangguk penuh keyakinan. “Ya,