“Duduk Cakra!” perintah Widyatma Prasista kepada menantunya. Lelaki paruh baya itu tersenyum ketika Cakra sudah duduk di depannya. Sambil memakai kembali kaca matanya, lelaki paruh baya itu mencari posisi nyaman untuk ngobrol bersama Cakra.“Nampaknya akhir-akhir ini kamu sangat sibuk sekali sehingga tidak sempat main ke rumah Mama dan Papa. Asha tadi sudah bercerita banyak tentang kamu.”Wajah Cakra langsung pucat, apa yang diceritakan Asha tentang dirinya kepada orang tuanya? begitulah hati Cakra bertanya-tanya.“Kenapa wajah kamu pucat? Kamu lagi sakit, Cakra?” Widyatma terlihat khawatir pada saat melihat wajah menantunya pucat.Cakra tersenyum lalu menggeleng dan kemudian berkata dengan suara yang dibuat setenang mungkin. “Tidak, Pah, mungkin karena terlalu lelah.”Widyatma menganggukkan kepalanya paham. “Kamu itu jangan terlalu sibuk, Papa tahu kok seperti apa pekerjaan kantor itu.”“Cakra juga sedang mengatur jadwal supaya lebih teratur lagi kok, Pah.”“Tadi Asha cerita ke Papa
Kegiatan Cakra kembali berjalan normal, hanya saja kehidupan Cakra bertambah rumit karena harus bergantian menemani Asha dan Sahira yang berbeda tempat tinggal. Seperti sore ini setelah pulang dari kerja giliran Cakra menemani Sahira yang merupakan istri keduanya. Sejauh ini Sahira tidak pernah rewel meskipun Cakra tidak selalu ada untuknya, malah Asha yang sering menuntut agar Cakra bisa lebih banyak meluangkan waktu untuknya.Sekarang Cakra baru saja sampai di rumah yang sudah dia belikan untuk Sahira. Baru saja duduk Cakra sudah disuguhkan segelas teh hangat.“Kelihatannya sangat lelah sekali, dikantor lagi banyak pekerjaan ya?” Sahira datang membawa nampan berisi teh hangat.“Terima kasih, Sahira.” Cakra memberikan senyum lelahnya.“Lumayan banyak sekali kendala. Akhir-akhir ini pekerjaanku berantakan sampai membuat beberapa klien yang membatalkan kerja sama,” kata Cakra, sambil memijat pelipisnya yang terasa pusing akibat terlalu keras memikirkan pekerjaan yang sedang berantakan.
Sahira Palesa, menatap sedih ke arah sahabatnya yang sejak tadi menangis sesegukan di pelukannya. “Jadi, mertuamu tetap memaksa Cakra menikah lagi?” tanya Sahira setelah mendengar cerita dari sahabatnya yang bernama Asha Nararsya. Seringkali Sahira mendengar keluhan sahabatnya dengan topik yang sama hampir setiap hari. Sahira iba karena Asha sudah bertahun-tahun menikah, tapi belum diberi momongan. “Hati istri mana yang rela melihat suaminya menikah lagi, Sa? Tapi aku juga tidak punya pilihan lain selain memberi jalan Mas Cakra untuk menikah lagi karena aku sendiri tidak bisa memberi dia keturunan.”“Kamu bisa memberi Cakra keturunan, rahim kamu sehat dan bersih, kalian berdua hanya butuh waktu lagi untuk berusaha.” “Sampai kapan? Aku capek, Sa.” Sorot mata Asha terlihat sayu. “Aku setuju dimadu, asalkan aku yang mencari sendiri perempuan itu,” kata Asha, tetap pada keputusannya. “Kamu sudah punya calonnya?” tanya Sahira, sangat hati-hati. Asha mengangguk penuh keyakinan. “Ya,
Suara ketukan pintu terdengar sampai kamar Sahira yang cukup mengganggu membuat gadis itu bergegas ke depan untuk melihat siapa yang datang. “Maaf, cari siapa ya?” tanya Sahira sopan kepada beberapa lelaki bertubuh kekar dengan baju dan celana serba hitam. “Kami mencari Vanita,” jawab salah satu diantara mereka. “Ada perlu apa mencari Mama saya?” raut wajah Sahira langsung berubah serius. “Sudah panggil saja dia ke sini atau kami yang mencarinya sendiri.” Lelaki itu mencoba untuk masuk rumah, namun langsung dihadang oleh Sahira. “Tunggu dulu di sini.” Sahira kembali menutup pintu rumahnya, bukan untuk kabur, melainkan untuk memanggil sang mama. “Siapa yang datang? Tidak sopan sekali membuat keributan di rumah orang,” kata Vanita, pada saat Sahira menghampirinya. “Sahira juga tidak tahu, Mah, semuanya laki-laki bertubuh kekar dan pakaiannya serba hitam,” jelas Sahira. Vanita yang penasaran langsung ke depan untuk melihat sendiri siapa yang datang. Pada saat membuka pintu utama
“Saya terima nikah dan kawinnya Sahira Palesa binti Argani dengan maskawin tersebut, tunai!” Sahira tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, seharusnya di hari pernikahan yang menjadi kebahagiaan justru berbanding sebaliknya. Asha yang selalu setia berada di samping Sahira sebelum dan sesudah akad hanya bisa diam memasang senyum penuh kepalsuan. “Sahira, terima kasih sudah mau menyetujui menjadi istri kedua Mas Cakra,” kata Asha, memeluk Sahira, namun tidak mendapat balasan. “Apa ini makna sebuah persahabatan yang sesungguhnya, Asha?” tanya Sahira sorot matanya masih kecewa. “Sudah berulang kali aku berkata, Sahira, bahwa aku tidak ingin dimadu, tapi keadaan membuatku mengambil keputusan ini. Ayo kita ke depan para tamu yang datang sudah menunggu.”’Asha membantu Sahira berdiri, kaki teramat berat untuk melangkah seperti ada beban ganda di pundak Sahira. Ketika Sahira muncul semua pasang mata menatap kearah pengantin wanita kecuali Cakra. Vanita sejak tadi tidak berhenti tersenyum
Sahira tanpa ragu mengetuk pintu ruang kerja Cakra yang berada tidak jauh dari kamarnya. Sesuai perintah Cakra semalam, Sahira sudah menandatangani tanpa ingin mengubah isi yang ada di dalamnya. “Masuk!” perintah Cakra, dari dalam. Setelah mendapat persetujuan dari si pemilik ruangan, Sahira pun masuk. “Sudah Sahira tandatangani.” Sahira meletakkan map berwarna coklat itu di atas meja kerja Cakra. “Tidak ada yang ingin diubah?” tanya Cakra memastikan. “Tidak ada,” ujar Sahira, tanpa ragu. “Kamu masih boleh mengubah isinya jika ada yang kurang.”“Tidak ada.” Cakra menganggukkan kepalanya paham. “Baiklah. Saya anggap perjanjian ini sudah kita setujui bersama.”“Kalau begitu aku keluar dulu.” “Tunggu!” cegah Cakra. Tangan Sahira yang sudah memegang handle pintu pun terlepas. “Apa lagi?” tanya Sahira. “Bereskan barang-barangmu, hari ini kamu akan pindah ke rumah baru,” jelas Cakra. “Pindah ke rumah baru, untuk apa?” “Kedua orang tuaku yang memintanya.”“Lalu Asha?”“Dia akan
Cakra dan Sahira sudah sampai di rumah baru. Rumah yang awalnya ingin menjadi tempat tinggal Cakra dan Asha, namun kali ini sudah berpindah tangan menjadi milik Sahira.“Di samping kanan dan kiri sudah ada tetangga, ada Pak RT juga jadi kalau ada apa-apa tengah malam jangan telepon aku, minta tolong saja pada tetangga,” kata Cakra, datar.“Memangnya siapa juga mau menelepon kamu,” ujar Sahira, ketus. Sahira memasuki rumah sambil membawa koper yang berisi baju-bajunya.“Semua perlengkapan masak sudah tersedia, jadi kamu bisa masak kapan pun yang kamu mau kalau tidak mau masak beli saja di depan banyak yang jual makanan,” kata Cakra.“Aku tahu.”“Kalau begitu aku pergi dulu ada pekerjaan kantor.” Lalu Cakra keluar dari rumah kembali mengendarai mobilnya menuju kantor.Sepeninggal Cakra, Sahira langsung menuju kamar utama yang ada di lantai dua. Rumah yang sangat besar untuk ditempati satu orang.Sahira duduk di tepi ranjang, menikmati kasur yang empuk dan sprei yang halus. Pada saat Sah
Sahira begitu menikmati rumah barunya bahkan Sahira sudah menata isi di dalamnya dengan begitu rapih. seperti sekarang, gadis itu sedang menikmati hari luang di dapur membuat cemilan kesukaannya. Pada saat Sahira sedang sibuk dengan kegiatannya, ia dikejutkan dengan suara bell.“Aduh, siapa sih, ganggu aja lagi bikin cemilan,” gumam Sahira, kesal.Sahira pun kedepan untuk melihat siapa yang datang.“Halo, sayang.” Suma begitu gembira ketika Sahira membuka pintu untuknya. Sahira pun memeluk menantu keduanya tidak lupa mencium pipi kanan dan kiri.“Mama kesini sama siapa?” tanya Sahira sambil melihat ke sekeliling, namun yang ia temui hanya sang mertua.“Tadi sama supir, terus Mama suruh ke minimarket dulu tadi,” jelas Suma.“Ya sudah, masuk ke dalam yuk, Mah.”Dengan senang hati Suma masuk ke rumah baru milik menantunya.“Kamu lagi buat apa sih? Kok harum banget?” Suma menatap Sahira dengan penuh rasa penasaran. Tidak segan wanita paruh baya itu masuk ke dapur untuk melihat apa yang se