Sahira Palesa, menatap sedih ke arah sahabatnya yang sejak tadi menangis sesegukan di pelukannya.
“Jadi, mertuamu tetap memaksa Cakra menikah lagi?” tanya Sahira setelah mendengar cerita dari sahabatnya yang bernama Asha Nararsya.
Seringkali Sahira mendengar keluhan sahabatnya dengan topik yang sama hampir setiap hari. Sahira iba karena Asha sudah bertahun-tahun menikah, tapi belum diberi momongan.
“Hati istri mana yang rela melihat suaminya menikah lagi, Sa? Tapi aku juga tidak punya pilihan lain selain memberi jalan Mas Cakra untuk menikah lagi karena aku sendiri tidak bisa memberi dia keturunan.”
“Kamu bisa memberi Cakra keturunan, rahim kamu sehat dan bersih, kalian berdua hanya butuh waktu lagi untuk berusaha.”
“Sampai kapan? Aku capek, Sa.” Sorot mata Asha terlihat sayu.
“Aku setuju dimadu, asalkan aku yang mencari sendiri perempuan itu,” kata Asha, tetap pada keputusannya.
“Kamu sudah punya calonnya?” tanya Sahira, sangat hati-hati.
Asha mengangguk penuh keyakinan. “Ya, aku sudah menemukan perempuan itu dan aku sangat kenal dekat dengannya. Perempuan yang aku maksud itu kamu, Sahira, aku ingin kamu yang akan menjadi maduku nanti.”
Mata Sahira langsung melotot. “Gila kamu, Asha! Aku tidak mungkin mau menikah dengan Cakra karena sama saja aku melukai hati kamu secara perlahan.”
Sahira tidak habis pikir dengan rencana Asha yang jelas-jelas akan merugikan semua pihak.
“Aku memilih kamu untuk jadi maduku karena aku percaya kamu tidak akan pernah mengkhianati aku. Kamu tidak akan cinta sama Mas Cakra, Sa. Aku mohon, untuk kali ini bantu aku mempertahankan rumah tanggaku.”
“Dengan menikah dengan Cakra? Tidak Asha! Aku tidak segila itu masuk ke dalam rumah tangga sahabatku sendiri.”
“Aku percaya padamu.” Asha tetap yakin pada keputusannya.
“Aku tidak peduli dengan rasa percayamu itu. Aku tidak mau dicap sebagai perempuan gatal yang mau menikah dengan suami sahabat sendiri.” Sahira menolak dengan tegas ide gila Asha.
“Aku pulang dulu, sepertinya kamu butuh banyak waktu untuk istirahat.”
Sahira pergi bersama rasa kecewa karena ia tidak habis pikir Asha memilihnya untuk menjadi istri kedua Cakra.
Sahira Palesa, seorang gadis berusia 33 tahun. Sejak kecil ekonomi keluarganya memang naik turun sehingga membuat Sahira terbiasa hidup sederhana. Sahira berhasil lulus kuliah karena jerih payahnya sendiri kerja part time di salah satu kafe. Setelah lulus kuliah, Sahira berharap bisa mengubah perekonomian keluarga menjadi jauh lebih baik, namun nyatanya Sahira masih pusing mencari pekerjaan.
Suara ketukan pintu kamar membuat Sahira bergegas melipat sajadah dan mukenanya selepas shalat isya.
“Papa, tumben datang ke kamar Sahira?”
“Papa boleh masuk ke kamar kamu? Ada hal penting yang harus Papa sampaikan.”
“Masuk saja, Pah.”
Argani duduk di kursi belajar milik putrinya. Terdengar helaan napas cukup berat membuat Sahira bertanya-tanya.
“Papa sedang ada masalah?”
Argani tersenyum. “Tidak ada. bagaimana hari ini?”
Sahira menghela napas berat. “Seperti hari kemarin, Pah, tidak menghasilkan apapun.”
“Sahira, sebelumnya Papa mau minta maaf sama kamu karena tidak seharusnya kamu memikirkan ekonomi keluarga. Sejak dulu kamu sudah mengorbankan masa remaja untuk membantu Papa berjualan. Sekarang waktunya kamu memikirkan diri sendiri untuk bahagia.”
“Pah.” Sahira menyentuh punggung tangan sang papa dengan penuh kelembutan. “Semua yang Sahira lakukan atas kemauan Sahira sendiri. Sahira ingin membahagiakan Mama dan Papa.”
“Lalu, kapan kamu mau menikah? Usiamu sudah 33 tahun, sudah banyak teman sebayamu menikah dan punya anak. Apa kamu tidak mau seperti mereka?”
Sahira langsung menjauhkan tangannya. “Entah kenapa Sahira tidak ada kepikiran untuk menikah, Pah.”
“Tidak usah kamu memikirkan ekonomi Mama dan Papa. Sudah waktunya kamu bahagia bersama pasangan kamu.”
Kedua mata Argani mulai berkaca-kaca karena merasa gagal menjadi seorang ayah. Argani ingin melihat putri semata wayangnya punya keluarga kecil yang bahagia.
“Bagaimana caranya Sahira tidak memikirkan hal sepenting itu, Pah? Papa dan Mama hanya punya Sahira.”
“Jangan kamu korbankan masa depanmu untuk memikirkan nasib orang tuamu. Sudah waktunya kamu bahagia, Nak. Sudah cukup cari kerjanya, sekarang fokus saja mencari calon suami.”
Sahira hanya diam.
“Ya sudah, Papa pamit keluar dulu kamu pasti sangat lelah dan ingin istirahat lebih awal.” Argani berdiri lalu keluar dari kamar Sahira dan tidak lupa lelaki itu menutup pintu kamar.
Dengan langkah lunglai Sahira mengunci pintu kamarnya hanya hitungan dua menit air matanya pun luruh membasahi pipinya. Sahira benar-benar rapuh kali ini.
“Maafkan Sahira yang belum bisa menjadi apa-apa untuk kalian.”
***
Cakra Prastowo Kencana, lelaki berusia 35 tahun menghampiri Asha yang sedang duduk melamun di atas kasur.
“Seharian penuh kemana saja kamu tidak ada kabar sama kali? Kamu pikir aku di sini tidak khawatir?” raut wajah Cakra terlihat marah sungguhan. Seharian penuh tidak mendapat kabar Asha sedang pergi kemana bersama siapa.
“Mas, sekarang Asha sudah tahu siapa perempuan yang akan menjadi madu Asha.”
“Asha, Mas sedang tidak mau membahas soal itu. Mas ingin kita kembali harmonis, selama beberapa hari ini kita seperti orang asing.”
“Asha yakin perempuan ini bisa memberi Mas Cakra keturunan dan bisa membuat Mama sama Papa bahagia.”
“Asha, cukup! Tidak akan ada pernikahan lagi, cukup kamu istri Mas satu-satunya.”
“Mas, semua yang Asha lakukan untuk kebahagiaan orang tua kamu.”
“Lalu kamu tidak memikirkan kebahagiaan diri sendiri? Bagaimana jika kedua orang tua kamu tahu soal ini? Aku yang malu, Sha, karena tidak bisa memegang janji yang sudah aku ucapkan saat pertama kali datang ke rumahmu.”
“Asha sudah memikirkan semua ini matang-matang, termasuk memilih perempuan untuk menjadi maduku nanti.”
“Aku sampai tidak bisa berkata-kata dengan jalan pikiran kamu. Kita ini masih bisa berjuang sama-sama, dokter bilang juga rahim kamu sehat dan aku pun juga sehat. Kita bisa punya keturunan, tapi harus sabar dan usaha dulu.”
“Aku capek, Mas, rasanya aku ingin menyerah sama keadaan. Belum lagi sindiran yang diucapkan orang tua kamu buat aku di depan teman-temannya, sakit hatiku Mas. Asha mohon, Mas, untuk kali ini turuti keinginan Asha.”
“Memangnya siapa perempuan yang kamu pilih untuk menjadi istri keduaku? Kenapa kamu sangat yakin dengan perempuan itu?”
“Sahira. Aku memilih dia sebagai maduku karena aku yakin dia tidak akan merebut Mas Cakra dari Asha.”
Cakra menggelengkan kepalanya semakin tidak paham dengan jalan pikiran Asha. “Kamu semakin gila, Asha. Kemana kamu yang dulu? Kamu yang selalu memberikan dukungan positif untuk Mas. Sekarang Asha yang Mas kenal sudah tidak ada, sebenarnya kamu ini kenapa?”
“Karena aku capek, Mas, lelah dengan semua ini. Jika Mas tidak menyetujui rencana Asha, jangan bicara lagi sama Asha.”
Cakra mengusap wajahnya frustasi. “Astaghfirullah, semua ini bisa dibicarakan baik-baik tanpa Mas harus menikah lagi.”
“Sayang.” Cakra memanggil dengan suara lembuh dan penuh cinta.
“Apa lagi yang harus dibicarakan baik-baik sih, Mas? Asha sudah terlalu lelah.”
“Seharusnya kamu juga paham bagaimana berada di posisiku saat ini. Bukan cuma kamu yang lelah dan menderita, tapi Mas juga. Ditambah lagi kamu sudah merencanakan mencari perempuan baru untukku, itu sangat sakit Asha. Perjuangan Mas untuk mendapatkan kamu dulu tidak mudah.”
“Mas Cakra hanya ada dua pilihan; menikah dengan Sahira atau tidak usah bicara lagi sama Asha sampai kapan pun!”
Suara ketukan pintu terdengar sampai kamar Sahira yang cukup mengganggu membuat gadis itu bergegas ke depan untuk melihat siapa yang datang. “Maaf, cari siapa ya?” tanya Sahira sopan kepada beberapa lelaki bertubuh kekar dengan baju dan celana serba hitam. “Kami mencari Vanita,” jawab salah satu diantara mereka. “Ada perlu apa mencari Mama saya?” raut wajah Sahira langsung berubah serius. “Sudah panggil saja dia ke sini atau kami yang mencarinya sendiri.” Lelaki itu mencoba untuk masuk rumah, namun langsung dihadang oleh Sahira. “Tunggu dulu di sini.” Sahira kembali menutup pintu rumahnya, bukan untuk kabur, melainkan untuk memanggil sang mama. “Siapa yang datang? Tidak sopan sekali membuat keributan di rumah orang,” kata Vanita, pada saat Sahira menghampirinya. “Sahira juga tidak tahu, Mah, semuanya laki-laki bertubuh kekar dan pakaiannya serba hitam,” jelas Sahira. Vanita yang penasaran langsung ke depan untuk melihat sendiri siapa yang datang. Pada saat membuka pintu utama
“Saya terima nikah dan kawinnya Sahira Palesa binti Argani dengan maskawin tersebut, tunai!” Sahira tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, seharusnya di hari pernikahan yang menjadi kebahagiaan justru berbanding sebaliknya. Asha yang selalu setia berada di samping Sahira sebelum dan sesudah akad hanya bisa diam memasang senyum penuh kepalsuan. “Sahira, terima kasih sudah mau menyetujui menjadi istri kedua Mas Cakra,” kata Asha, memeluk Sahira, namun tidak mendapat balasan. “Apa ini makna sebuah persahabatan yang sesungguhnya, Asha?” tanya Sahira sorot matanya masih kecewa. “Sudah berulang kali aku berkata, Sahira, bahwa aku tidak ingin dimadu, tapi keadaan membuatku mengambil keputusan ini. Ayo kita ke depan para tamu yang datang sudah menunggu.”’Asha membantu Sahira berdiri, kaki teramat berat untuk melangkah seperti ada beban ganda di pundak Sahira. Ketika Sahira muncul semua pasang mata menatap kearah pengantin wanita kecuali Cakra. Vanita sejak tadi tidak berhenti tersenyum
Sahira tanpa ragu mengetuk pintu ruang kerja Cakra yang berada tidak jauh dari kamarnya. Sesuai perintah Cakra semalam, Sahira sudah menandatangani tanpa ingin mengubah isi yang ada di dalamnya. “Masuk!” perintah Cakra, dari dalam. Setelah mendapat persetujuan dari si pemilik ruangan, Sahira pun masuk. “Sudah Sahira tandatangani.” Sahira meletakkan map berwarna coklat itu di atas meja kerja Cakra. “Tidak ada yang ingin diubah?” tanya Cakra memastikan. “Tidak ada,” ujar Sahira, tanpa ragu. “Kamu masih boleh mengubah isinya jika ada yang kurang.”“Tidak ada.” Cakra menganggukkan kepalanya paham. “Baiklah. Saya anggap perjanjian ini sudah kita setujui bersama.”“Kalau begitu aku keluar dulu.” “Tunggu!” cegah Cakra. Tangan Sahira yang sudah memegang handle pintu pun terlepas. “Apa lagi?” tanya Sahira. “Bereskan barang-barangmu, hari ini kamu akan pindah ke rumah baru,” jelas Cakra. “Pindah ke rumah baru, untuk apa?” “Kedua orang tuaku yang memintanya.”“Lalu Asha?”“Dia akan
Cakra dan Sahira sudah sampai di rumah baru. Rumah yang awalnya ingin menjadi tempat tinggal Cakra dan Asha, namun kali ini sudah berpindah tangan menjadi milik Sahira.“Di samping kanan dan kiri sudah ada tetangga, ada Pak RT juga jadi kalau ada apa-apa tengah malam jangan telepon aku, minta tolong saja pada tetangga,” kata Cakra, datar.“Memangnya siapa juga mau menelepon kamu,” ujar Sahira, ketus. Sahira memasuki rumah sambil membawa koper yang berisi baju-bajunya.“Semua perlengkapan masak sudah tersedia, jadi kamu bisa masak kapan pun yang kamu mau kalau tidak mau masak beli saja di depan banyak yang jual makanan,” kata Cakra.“Aku tahu.”“Kalau begitu aku pergi dulu ada pekerjaan kantor.” Lalu Cakra keluar dari rumah kembali mengendarai mobilnya menuju kantor.Sepeninggal Cakra, Sahira langsung menuju kamar utama yang ada di lantai dua. Rumah yang sangat besar untuk ditempati satu orang.Sahira duduk di tepi ranjang, menikmati kasur yang empuk dan sprei yang halus. Pada saat Sah
Sahira begitu menikmati rumah barunya bahkan Sahira sudah menata isi di dalamnya dengan begitu rapih. seperti sekarang, gadis itu sedang menikmati hari luang di dapur membuat cemilan kesukaannya. Pada saat Sahira sedang sibuk dengan kegiatannya, ia dikejutkan dengan suara bell.“Aduh, siapa sih, ganggu aja lagi bikin cemilan,” gumam Sahira, kesal.Sahira pun kedepan untuk melihat siapa yang datang.“Halo, sayang.” Suma begitu gembira ketika Sahira membuka pintu untuknya. Sahira pun memeluk menantu keduanya tidak lupa mencium pipi kanan dan kiri.“Mama kesini sama siapa?” tanya Sahira sambil melihat ke sekeliling, namun yang ia temui hanya sang mertua.“Tadi sama supir, terus Mama suruh ke minimarket dulu tadi,” jelas Suma.“Ya sudah, masuk ke dalam yuk, Mah.”Dengan senang hati Suma masuk ke rumah baru milik menantunya.“Kamu lagi buat apa sih? Kok harum banget?” Suma menatap Sahira dengan penuh rasa penasaran. Tidak segan wanita paruh baya itu masuk ke dapur untuk melihat apa yang se
Tengah malam Sahira dikejutkan dengan suara mobil yang memasuki garasi mobil. Buru-buru Sahira membukakan pintu karena ia tahu yang datang adalah Cakra, sebelumnya memang Sahira sudah tahu kalau Cakra mau datang ke rumah hanya saja entah kemana mampir kemana sehingga lelaki itu datang tengah malam.“Kenapa nggak sekalian pagi aja sih datangnya? Aku tadi sudah tidur tahu,” omel Sahira kesal karena tidurnya terganggu.Cakra yang baru saja keluar dari dalam mobil tidak menggubris ocehan Sahira. Lelaki itu berjalan ke arah Sahira dengan tatapan yang membuat Sahira bingung. Tatapan yang terkesan aneh dan sedikit bergairah?“Eh, kamu mau apa?” Sahira berjalan mundur berusaha menjauh.Senyum miring Cakra sanggup membuat semua bulu kuduk Sahira berdiri. Sahira yang masih berusaha menjauh dengan berjalan mundur, namun tubuhnya seperti tertahan sesuatu ternyata di belakangnya ada sebuah meja.“Mau kemana?” tanya Cakra dengan suara yang serak-serak basah.“Kamu mau apa?” Sahira berbicara dengan
Sahira sedang sibuk berada di dapur membuat lauk untuk Cakra. Setelah kejadian semalam, membuat Sahira semakin menjaga jarak dengan Cakra. Sementara lelaki itu terlihat biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa.“Kapan kamu akan pulang?” tanya Sahira memecah keheningan yang terjadi.“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Cakra menatap dengan raut wajah bingung. “Apakah keberadaanku di sini sangat mengganggu kenyamananmu?” tanya Cakra.Sahira menggeleng cepat. “Tidak juga.”“Lalu kenapa kamu bertanya seolah mengusirku?”“Tidak ada yang mengusirmu,” sahut Sahira cepat.“Sedang apa kamu di sana? Kelihatannya sangat sibuk sekali.” Cakra menghampiri Sahira yang sedang berada di dapur. Sempat Sahira menghentikan kegiatannya sebentar pada saat Cakra berhenti tepat di belakangnya.“Sebentar lagi akan selesai, sebaiknya kamu kembali saja ke meja makan,” ujar Sahira, raut wajahnya nampak tidak nyaman.“Sudah, biar aku bantu saja.” Cakra mengambil alih spatula yang Sahira gunakan untuk mengaduk maka
“Duduk Cakra!” perintah Widyatma Prasista kepada menantunya. Lelaki paruh baya itu tersenyum ketika Cakra sudah duduk di depannya. Sambil memakai kembali kaca matanya, lelaki paruh baya itu mencari posisi nyaman untuk ngobrol bersama Cakra.“Nampaknya akhir-akhir ini kamu sangat sibuk sekali sehingga tidak sempat main ke rumah Mama dan Papa. Asha tadi sudah bercerita banyak tentang kamu.”Wajah Cakra langsung pucat, apa yang diceritakan Asha tentang dirinya kepada orang tuanya? begitulah hati Cakra bertanya-tanya.“Kenapa wajah kamu pucat? Kamu lagi sakit, Cakra?” Widyatma terlihat khawatir pada saat melihat wajah menantunya pucat.Cakra tersenyum lalu menggeleng dan kemudian berkata dengan suara yang dibuat setenang mungkin. “Tidak, Pah, mungkin karena terlalu lelah.”Widyatma menganggukkan kepalanya paham. “Kamu itu jangan terlalu sibuk, Papa tahu kok seperti apa pekerjaan kantor itu.”“Cakra juga sedang mengatur jadwal supaya lebih teratur lagi kok, Pah.”“Tadi Asha cerita ke Papa