Beranda / Pernikahan / Rela Menjadi Madu Sahabatku / Rapuh Yang Sesungguhnya

Share

Rela Menjadi Madu Sahabatku
Rela Menjadi Madu Sahabatku
Penulis: Chokolate_21

Rapuh Yang Sesungguhnya

Sahira Palesa, menatap sedih ke arah sahabatnya yang sejak tadi menangis sesegukan di pelukannya. 

 “Jadi, mertuamu tetap memaksa Cakra menikah lagi?” tanya Sahira setelah mendengar cerita dari sahabatnya yang bernama Asha Nararsya. 

Seringkali Sahira mendengar keluhan sahabatnya dengan topik yang sama hampir setiap hari. Sahira iba karena Asha sudah bertahun-tahun menikah, tapi belum diberi momongan. 

“Hati istri mana yang rela melihat suaminya menikah lagi, Sa? Tapi aku juga tidak punya pilihan lain selain memberi jalan Mas Cakra untuk menikah lagi karena aku sendiri tidak bisa memberi dia keturunan.”

“Kamu bisa memberi Cakra keturunan, rahim kamu sehat dan bersih, kalian berdua hanya butuh waktu lagi untuk berusaha.”

 “Sampai kapan? Aku capek, Sa.” Sorot mata Asha terlihat sayu. 

“Aku setuju dimadu, asalkan aku yang mencari sendiri perempuan itu,” kata Asha, tetap pada keputusannya. 

“Kamu sudah punya calonnya?” tanya Sahira, sangat hati-hati. 

Asha mengangguk penuh keyakinan. “Ya, aku sudah menemukan perempuan itu dan aku sangat kenal dekat dengannya. Perempuan yang aku maksud itu kamu, Sahira, aku ingin kamu yang akan menjadi maduku nanti.”

Mata Sahira langsung melotot. “Gila kamu, Asha! Aku tidak mungkin mau menikah dengan Cakra karena sama saja aku melukai hati kamu secara perlahan.”

Sahira tidak habis pikir dengan rencana Asha yang jelas-jelas akan merugikan semua pihak. 

“Aku memilih kamu untuk jadi maduku karena aku percaya kamu tidak akan pernah mengkhianati aku. Kamu tidak akan cinta sama Mas Cakra, Sa. Aku mohon, untuk kali ini bantu aku mempertahankan rumah tanggaku.”

“Dengan menikah dengan Cakra? Tidak Asha! Aku tidak segila itu masuk ke dalam rumah tangga sahabatku sendiri.” 

“Aku percaya padamu.” Asha tetap yakin pada keputusannya.

“Aku tidak peduli dengan rasa percayamu itu. Aku tidak mau dicap sebagai perempuan gatal yang mau menikah dengan suami sahabat sendiri.” Sahira menolak dengan tegas ide gila Asha. 

“Aku pulang dulu, sepertinya kamu butuh banyak waktu untuk istirahat.” 

Sahira pergi bersama rasa kecewa karena ia tidak habis pikir Asha memilihnya untuk menjadi istri kedua Cakra. 

Sahira Palesa, seorang gadis berusia 33 tahun. Sejak kecil ekonomi keluarganya memang naik turun sehingga membuat Sahira terbiasa hidup sederhana. Sahira berhasil lulus kuliah karena jerih payahnya sendiri kerja part time di salah satu kafe. Setelah lulus kuliah, Sahira berharap bisa mengubah perekonomian keluarga menjadi jauh lebih baik, namun nyatanya Sahira masih pusing mencari pekerjaan. 

Suara ketukan pintu kamar membuat Sahira bergegas melipat sajadah dan mukenanya selepas shalat isya. 

“Papa, tumben datang ke kamar Sahira?” 

“Papa boleh masuk ke kamar kamu? Ada hal penting yang harus Papa sampaikan.” 

“Masuk saja, Pah.”

Argani duduk di kursi belajar milik putrinya. Terdengar helaan napas cukup berat membuat Sahira bertanya-tanya. 

“Papa sedang ada masalah?”

Argani tersenyum. “Tidak ada. bagaimana hari ini?”

Sahira menghela napas berat. “Seperti hari kemarin, Pah, tidak menghasilkan apapun.”

 “Sahira, sebelumnya Papa mau minta maaf sama kamu karena tidak seharusnya kamu memikirkan ekonomi keluarga. Sejak dulu kamu sudah mengorbankan masa remaja untuk membantu Papa berjualan. Sekarang waktunya kamu memikirkan diri sendiri untuk bahagia.” 

“Pah.” Sahira menyentuh punggung tangan sang papa dengan penuh kelembutan. “Semua yang Sahira lakukan atas kemauan Sahira sendiri. Sahira ingin membahagiakan Mama dan Papa.”

“Lalu, kapan kamu mau menikah? Usiamu sudah 33 tahun, sudah banyak teman sebayamu menikah dan punya anak. Apa kamu tidak mau seperti mereka?” 

Sahira langsung menjauhkan tangannya. “Entah kenapa Sahira tidak ada kepikiran untuk menikah, Pah.”

“Tidak usah kamu memikirkan ekonomi Mama dan Papa. Sudah waktunya kamu bahagia bersama pasangan kamu.” 

Kedua mata Argani  mulai berkaca-kaca karena merasa gagal menjadi seorang ayah. Argani ingin melihat putri semata wayangnya punya keluarga kecil yang bahagia. 

“Bagaimana caranya Sahira tidak memikirkan hal sepenting itu, Pah? Papa dan Mama hanya punya Sahira.”

“Jangan kamu korbankan masa depanmu untuk memikirkan nasib orang tuamu. Sudah waktunya kamu bahagia, Nak. Sudah cukup cari kerjanya, sekarang fokus saja mencari calon suami.”

Sahira hanya diam. 

“Ya sudah, Papa pamit keluar dulu kamu pasti sangat lelah dan ingin istirahat lebih awal.” Argani berdiri lalu keluar dari kamar Sahira dan tidak lupa lelaki itu menutup pintu kamar. 

Dengan langkah lunglai Sahira mengunci pintu kamarnya hanya hitungan dua menit air matanya pun luruh membasahi pipinya. Sahira benar-benar rapuh kali ini. 

“Maafkan Sahira yang belum bisa menjadi apa-apa untuk kalian.”

***

Cakra Prastowo Kencana, lelaki berusia 35 tahun menghampiri Asha yang sedang duduk melamun di atas kasur. 

 “Seharian penuh kemana saja kamu tidak ada kabar sama kali? Kamu pikir aku di sini tidak khawatir?” raut wajah Cakra terlihat marah sungguhan. Seharian penuh tidak mendapat kabar Asha sedang pergi kemana bersama siapa. 

 “Mas, sekarang Asha sudah tahu siapa perempuan yang akan menjadi madu Asha.”

“Asha, Mas sedang tidak mau membahas soal itu. Mas ingin kita kembali harmonis, selama beberapa hari ini kita seperti orang asing.”

“Asha yakin perempuan ini bisa memberi Mas Cakra keturunan dan bisa membuat Mama sama Papa bahagia.”

“Asha, cukup! Tidak akan ada pernikahan lagi, cukup kamu istri Mas satu-satunya.”

“Mas, semua yang Asha lakukan untuk kebahagiaan orang tua kamu.”

“Lalu kamu tidak memikirkan kebahagiaan diri sendiri? Bagaimana jika kedua orang tua kamu tahu soal ini? Aku yang malu, Sha, karena tidak bisa memegang janji yang sudah aku ucapkan saat pertama kali datang ke rumahmu.”

“Asha sudah memikirkan semua ini matang-matang, termasuk memilih perempuan untuk menjadi maduku nanti.”

“Aku sampai tidak bisa berkata-kata dengan jalan pikiran kamu. Kita ini masih bisa berjuang sama-sama, dokter bilang juga rahim kamu sehat dan aku pun juga sehat. Kita bisa punya keturunan, tapi harus sabar dan usaha dulu.”

“Aku capek, Mas, rasanya aku ingin menyerah sama keadaan. Belum lagi sindiran yang diucapkan orang tua kamu buat aku di depan teman-temannya, sakit hatiku Mas. Asha mohon, Mas, untuk kali ini turuti keinginan Asha.” 

“Memangnya siapa perempuan yang kamu pilih untuk menjadi istri keduaku? Kenapa kamu sangat yakin dengan perempuan itu?”

“Sahira. Aku memilih dia sebagai maduku karena aku yakin dia tidak akan merebut Mas Cakra dari Asha.”

Cakra menggelengkan kepalanya semakin tidak paham dengan jalan pikiran Asha. “Kamu semakin gila, Asha. Kemana kamu yang dulu? Kamu yang selalu memberikan dukungan positif untuk Mas. Sekarang Asha yang Mas kenal sudah tidak ada, sebenarnya kamu ini kenapa?”

“Karena aku capek, Mas, lelah dengan semua ini. Jika Mas tidak menyetujui rencana Asha, jangan bicara lagi sama Asha.”

Cakra mengusap wajahnya frustasi. “Astaghfirullah, semua ini bisa dibicarakan baik-baik tanpa Mas harus menikah lagi.”

“Sayang.” Cakra memanggil dengan suara lembuh dan penuh cinta. 

“Apa lagi yang harus dibicarakan baik-baik sih, Mas? Asha sudah terlalu lelah.” 

“Seharusnya kamu juga paham bagaimana berada di posisiku saat ini. Bukan cuma kamu yang lelah dan menderita, tapi Mas juga. Ditambah lagi kamu sudah merencanakan mencari perempuan baru untukku, itu sangat sakit Asha. Perjuangan Mas untuk mendapatkan kamu dulu tidak mudah.”

“Mas Cakra hanya ada dua pilihan; menikah dengan Sahira atau tidak usah bicara lagi sama Asha sampai kapan pun!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Livyana 171
Semangattt thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status