Bukannya merasa terhibur, kesedihanku seolah langsung disumbat. Yup! He just ruined the mood!
Berkat Lucas, cairan bening yang sudah bersiap di ujung mataku mendadak batal meluncur. Well, I guess it’s a good thing.
Segera, aku mendongakkan kepala, memaksa air mataku yang hampir lolos keluar dari ujung mata, kembali masuk. Setelah aku yakin tidak akan ada air mata yang akan jatuh, aku menoleh menatapnya. Namun, sebelum aku mengatakan apapun, Lucas mendahuluiku.
“Rere juga sering gitu, kok, Kak. Jadi, nggak usah malu. Itu normal,” celotehnya dengan fokus mata masih menatap jalan.
Dahiku berkerut tidak percaya. Lu
Gamon = Gagal Move On
Spontan, aku menatap Lucas tidak terima.“Serius deh, Kak. Cukup satu orang aja yang gamon-nya nggak masuk akal seperti Rere. Kak Eka jangan ikutan begitu juga,” katanya dengan ekspresi lelah.“Luke, please.” Aku memutar mata malas. “Aku bukan Rere. Aku juga nggak tahu apa yang sudah Rere alami sampai perasaannya sedalam itu ke mantannya."Aku memberikan jeda sesaat. "Tapi, aku cukup yakin kalau aku nggak akan begitu karena Rian.”Berikutnya, aku menarik napas panjang. Dalam diam, aku berusaha memantapkan hati sambil mengulang kalimat terakhir di dalam benakku seperti merapalkan mantra.Ak
Kalau biasanya ada banyak pemberitahuan dari aplikasi belanja online tentang barang yang masih ada di keranjang belanjaan, kali ini sosial media-ku yang kebanjiran notifikasi.Mayoritas adalah pemberitahuan bahwa ada komentar baru untuk postingan yang menautkan akunku. Sebenarnya aku cukup penasaran dengan kontennya, tetapi aku tidak terlalu ambil pusing karena ada yang harus kulakukan lebih dulu.Sayangnya, aplikasi chatting yang kupakai pun mendapat banyak pesan. Bahkan, ada beberapa orang yang menelponku, tetapi tidak kuangkat. Mungkin karena gawaiku yang entah sejak kapan sudah dalam mode hening. Jadi, benda itu tetap tenang di dalam tasku sepanjang perjalanan tadi.
Selama beberapa menit, aku masih terdiam di tempat. Mataku masih menatap nanar layar gawaiku. LCD seluas 5 inch di tanganku itu masih menampilkan caption feed sosial media yang baru selesai kubaca beberapa saat yang lalu. Aku memang agak terkejut karena pemilihan kata dan penggunaan bahasanya sudah mirip dengan artikel tabloid yang biasanya memuat gosip artis-artis terkini. Namun, yang membuatku tercenung agak lama adalah kesan yang aku terima setelah membaca keterangan dari kiriman itu. Bahkan, aku membacanya sampai tiga kali karena masih tidak percaya. Aku juga membacanya dengan lebih lambat dan hati-hati pada kali kedua dan ketiga. Hatiku memang sakit, tetapi aku berusaha untuk tidak membuat emosiku terlibat terlalu jauh saat aku mengambil pesan yang aku terima.&nb
Meskipun sudah sering melihatnya dalam tujuh tahun terakhir, tetapi aku masih belum bisa sepenuhnya kebal dengan tatapan penuh perhatian dari Zean. Terutama, pada saat hatiku sedang lemah seperti sekarang.Seringnya, aku lebih suka menyembuhkan lukaku seorang diri. Walau harus menempuh jalan yang rumit dan waktu yang panjang, aku tidak keberatan. Karena setelah berbagai macam trial and error, akhirnya aku tahu dimana letak kesalahanku.Hampir bisa dipastikan bahwa akar dari ini semua berawal dari aku yang menaruh harapan pada orang lain. Secara tidak langsung, aku jadi menuntut mereka untuk memenuhi ekspektasiku. Sayangnya, kenyataan juga tidak berjalan seperti yang aku harapkan. Oleh karena itu, aku berakhir kecewa. Jadi,
"Lho? Makanannya sudah habis, Kak? Lapar atau doyan, nih?" tanya Lucas yang baru saja tiba. Aku terjingkat sesaat, lalu memelototi Lucas sebagai ganti protes karena mulutku sedang sibuk mengunyah. Salahkan suara bass-nya yang agak lantang. Karenanya, lamunanku seketika buyar. Iya, gara-gara Zean keceplosan nama panjang Lucas, pikiranku jadi tidak tenang. Bukannya melebih-lebihkan, tetapi menurutku, situasinya memang cukup mencurigakan. Zean memang sudah menjelaskan, kalau ia dan Lucas sempat berpapasan beberapa kali saat hendak atau pulang dari apartemenku. Jadi, pada kesempatan terakhir, mereka sempat berkenalan. Sayangnya, ada satu hal yang sepertinya belum Zean ketahui. Yaitu, kebiasaan Lucas yang hanya akan mengenalkan diri dengan nama len
Setelah menghela napas panjang, aku menatap Lucas datar. Dalam hati, aku sangat berharap kalau cara terakhirku ini akan berhasil. Yah, setidaknya, ini selalu berhasil kalau lawannya adalah si Bungsu Chris. Semoga saja bisa berhasil pada Lucas juga. Aku menghela napas panjang lagi. Sengaja, aku juga memperlihatkan ekspresi seolah aku akan mengalah pada usul Lucas. "Kalau begitu, tolong ambilkan pembalut di mobil, ya. Warna bungkusnya oranye terang. Terakhir aku simpan di kantong plastik bening di dek⏤" “Bilang dong kalau mau ambil begituan!” omel Lucas tiba-tiba. "Kakak ambil sendiri aja, deh! Nih kuncinya!" sambung pemuda itu seraya menyodorkan kunci mobil ke arahku. Wajahnya tampak enggan.
“Tunggu dulu!” batinku tiba-tiba berteriak.“Sebesar apapun rasa penasaranmu, ini bukan hal yang sopan, Echana. Memangnya kamu mau orang lain geledahin isi gawai-mu tanpa izin?” omelnya kemudian.Aku pun terdiam sesaat. Kemudian, dengan hati agak enggan, aku pun kembali mengunci layar gawai itu dan memasukkannya ke dalam saku.Ya. Aku tidak mau orang lain menggeledah milikku tanpa izin. Jadi, aku tidak akan melakukannya terhadap orang lain. At least, I will get his permission first.*****“Luke.”“Hm?” sahut pemuda
Ini aneh. Sebelum ke ruang BEM tadi, aku cukup yakin kalau ada nama kontak "Mr. Boss" dari gadget Lucas. Akan tetapi, kenapa sekarang aku tidak bisa menemukannya? Padahal, aku sudah menggeledah kontak, riwayat panggilan, hingga kotak masuk pesan singkatnya. Jangan-jangan Lucas punya dua smartphone?! Oleh karena rasa penasaran yang tidak terbendung, aku pun mencoba mengetik namaku di pencarian kontaknya. Hanya memastikan apakah pemuda itu menyimpan nomor teleponku di gawainya. Ternyata ada! Namun, saat aku membaca nama yang tertera di sana, aku tak kuasa menahan tawa. Seperti halnya aku yang menyimpan kontak Lucas dengan nama “Lucas Abalabal”, rupanya pemuda itu pun menamai kontakku sama uniknya. “Kak Eka balabala”. Entah apa maksudnya. “Jangan-jangan Lucas sudah mengganti nama kontaknya?” batinku bermonolog. Berdasarkan pemikiran itu pula, aku pun mencoba peruntungan untuk mengetik nomor telepon Zean. Sayangnya, hasilnya nihil. Lucas tidak menyimpan kontak Zean. “Atau mung
Netra biru itu melebar sekilas. Ia menatapku tidak percaya. Lebih tepatnya, ia terlihat seperti tidak menyangka kalau aku akan mengaku secepat ini. Tepat ketika Zean mengalihkan pandangan sambil menghela napas panjang, aku sudah mulai menyiapkan hati untuk omelan yang lebih panjang. "HAHAHAHA!" Bukannya omelan, yang terdengar setelah helaan napas yang dramatis itu justru tawa lepas Zean. Otomatis, dahiku langsung mengernyit. Tak kuasa, aku menatap Zean heran separuh bingung. Bukankah tadi dia sedang marah? Kenapa sekarang Zean malah tertawa? Memangnya ada yang lucu? Sayangnya, alih-alih menjawab keheranan yang terpancar di wajahku, si tampan di layar gawaiku itu malah menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ekspresinya menunjukkan seolah ia sedang berusaha keras menahan tawa saat netra birunya menatapku. Yang lebih parah, tawa Zean tidak juga berhenti setelah lima detik penuh, meskipun tawanya sudah agak reda. Wah! Ini benar-benar rekor! Pasalnya, Zean yang aku kenal selama ini
"Apakah seharusnya aku tidak mengingat lagu itu?" Sengaja, kuungkapkan salah satu prasangkaku. Selama beberapa detik, tidak ada jawaban dari tempat Zean. Namun, saat aku akan memeriksa layar gawaiku, memastikan bahwa telepon masih tersambung, tiba-tiba terdengar suara tawa. Ya. Zean memang tertawa, tetapi entah kenapa aku merasa kalau tawa Zean terdengar sedih. "Bukan begitu, Anna. Aku justru senang Anna mengingatnya, karena aku sendiri hampir melupakannya." Kali ini Zean terdengar tulus. Sama sekali tidak berusaha menutupi nada sedih seperti beberapa detik yang lalu. "Terima kasih karena masih mengingat dan menyanyikan lagu itu untukku, Anna. I think I'll have a really nice dream tonight." Kedua ujung bibirku tak kuasa terangkat. Dalam benak, aku membayangkan Zean, dengan wajah letihnya, sedang tersenyum saat mengatakannya. "Istirahatlah, Zean. Thank you for the best present ever. Good night. Sleep tight." "My pleasure, Princess. Good night." ***** "Ma," panggilku lirih
"HOAAEEEMM!" Tiba-tiba Zean menguap. "Can we talk about it next time, Anna? Please?" mohonnya dengan nada lelah. Apakah Zean sedang berusaha menghindar? "Karena ini akan jadi pembahasan yang panjang, Anna. Dan menurutku, akan lebih baik jika aku menjelaskannya secara langsung padamu. Bagaimana?" "Lagipula, aku juga tidak ingin menyita waktu istirahatmu lebih lama dari ini," imbuh Zean lagi setelah jeda sedetik. Usai menimbang keputusan selama beberapa saat, aku mengangguk pelan. Ketika aku melihat jam dinding, ternyata sudah jam dua subuh. Pantas saja tadi Zean bicara begitu. "Baiklah. Ini sudah terlalu larut, dan kamu juga perlu beristirahat." Diam-diam, aku menghela napas panjang. Menyesali kebodohan dan tingkahku yang tidak tahu diri. Bisa-bisanya aku sempat berpikir untuk menginterogasi Zean saat ini juga demi memuaskan rasa penasaranku. "Should I sing you a lullaby?" tanya Zean tiba-tiba. Setelah berkedip dua kali dan mencerna kata-katanya, aku spontan tertawa. "Kan
Aku menyipitkan mata menatap Papa. “Papa tidak percaya pada kemampuanku? Atau Papa tidak suka aku magang di sana?” Sejujurnya, aku sedikit terluka dengan cara Papa mengucapkannya. Aku tak kuasa merasa bahwa Papa meremehkanku. Atau memang sejak awal, Papa tidak memiliki ekspektasi apa pun padaku? Karena itu, ia berpikir kalau kepercayaan diri tentang hasil studiku adalah hal yang menggelikan? Papa menatapku sekilas, lalu menggeleng. “Maksudku bukan begitu.” Ia berdehem sekilas, lalu melanjutkan bicara. "Aku yakin kau akan diterima magang di sana. Hanya, aku tidak yakin kau akan betah magang di sana." Alisku berkedut. Dahiku mengernyit. "Memangnya kenapa?" "Sayang? Astaga! Ternyata kau ada di sini!" Seketika, pembicaraan kami terputus. Fokus mata kami beralih pada sosok yang baru saja memasuki dapur. Dengan langkah lebar dan wajah penuh kelegaan, perempuan cantik yang mengenakan camisole dress dengan motif yang sama dengan piyama Papa itu menghampiri kami. Ia menarik kursi di samp
Papa mengangguk santai."Ada 'Tikus' di perusahaan yang membawa kabur dana perusahaan dengan jumlah yang cukup besar. Sialnya, ternyata dia cukup cerdik dan licin karena butuh waktu yang agak lama untuk menangkapnya," cerita Papa sambil mengambil lagi sepotong puding mangga ke dalam mangkuknya."Kebetulan, peristiwa itu juga terjadi pada saat kondisi keuangan perusahaan sedang tidak bagus. Jadi, efeknya cukup berat, dan tuntutan dari para pemegang saham membuat situasi menjadi lebih buruk lagi."Papa diam sejenak sambil menatapku beberapa saat, seolah sedang memeriksa reaksiku. Jadi, aku balas menatapnya dengan tatapan menyimak."Lalu, apa yang terjadi?" tanyaku.Papa menarik salah satu ujung bibirnya dan membentuk seringai s
Langit di luar sana masih gelap. Angka yang berfungsi sebagai penunjuk waktu di layar gawaiku juga menegaskan bahwa sekarang masih tengah malam. And here I am, tiduran di atas tempat tidur dengan benak dan mata yang masih terjaga seratus persen. Jadi, daripada aku membuang waktu tidak jelas karena tidak bisa tidur, lebih baik aku membuat susu hangat. Well, rencananya sih begitu. Tetapi ketika aku membuka pintu lemari es, hatiku langsung dicobai. Bagaimana tidak? Padahal tadi pagi aku cek lemari es ini hanya berisi sayur dan buah-buahan. Sama sekali tidak ada camilan. Namun, di depanku sekarang ada dua kotak besar dengan logo toko dessert kesukaanku yang ditata bersisian di sab tengah. "TUNGGU DULU! Jangan-jangan ini puding dan fruit cake yang Mama bilang tadi?" Daripada bimbang terlalu lama, aku nekat mengeluarkan salah satu kotak dan memeriksanya. Kalau memang isinya bukan dessert yang kuinginkan, aku tinggal mengembalikan ke tempat semula, 'kan? Dengan hati-hati, aku letakka
Dari segala situasi yang pernah kualami, saat ini adalah momen terlangka dalam hidupku. Bagaimana tidak? Orang yang selama ini berkoar-koar akan selalu memihakku, malah berada di seberang, tempat "lawanku" berpijak. Sementara sosok yang selama ini kupikir sama sekali tidak menyukai eksistensiku, malah mengeluarkan statement seolah ia berada di pihakku. Well, secara keseluruhan, yang diucapkan Papa Ian memang terdengar normal. Netral. Tidak berpihak. Namun, pada saat yang sama, aku merasa sedang dibela. "Kau sudah makan malam?" Pertanyaan Papa Ian kemudian membuatku kembali terkejut.
Suasana di sekitarku perlahan menjadi senyap. Sambil menatapnya menyimak, aku berusaha fokus mendengarkan suara Zean.“Lho? Kak Eka sudah pulang?”ASTAGA!Seketika aku terlonjak kaget. Kemudian, aku segera menoleh ke arah asal suara.Rencananya, aku hendak memarahi adik bungsuku karena memanggilku tiba-tiba dan membuat Zean mengurungkan penjelasannya. Namun, ketika aku melihat Chris yang sedang berjalan ke arahku sambil memberiku tatapan bingung, aku langsung membatalkan niatku.Memarahinya di lokasi yang masih bisa didengar oleh Papa Ian tidak akan memberikan kesan yang baik pada reuni kami. Jadi, aku hanya menghela napas panjang, berusaha menenangkan jantungku yang masih berdegup kenca
Awalnya, aku memang ingin menyerah untuk menebak hadiah dari Zean. Sayangnya, rasa penasaranku jauh lebih besar. Jadi, meskipun aku terus berusaha mengalihkan pikiran, imajinasiku selalu kembali memikirkan segala kemungkinan yang bisa menjadi hadiah pria itu.“Kamu nggak kasih hadiah yang berbahaya ‘kan, Zean?” tanyaku curiga seraya melirik Zean tajam ketika kami berdiri di depan pintu rumahku.Pria yang berdiri di sampingku itu langsung menahan tawa setelah mendengar pertanyaanku.“Kalau Anna memang sepenasaran itu, bagaimana kalau kuberitahu saja apa hadiahnya?” tawarnya sambil menatapku menggoda.Segera, aku menggeleng tegas. “Nggak! Nggak usah! Jangan spoiler