Selama beberapa menit, aku masih terdiam di tempat. Mataku masih menatap nanar layar gawaiku. LCD seluas 5 inch di tanganku itu masih menampilkan caption feed sosial media yang baru selesai kubaca beberapa saat yang lalu.
Aku memang agak terkejut karena pemilihan kata dan penggunaan bahasanya sudah mirip dengan artikel tabloid yang biasanya memuat gosip artis-artis terkini. Namun, yang membuatku tercenung agak lama adalah kesan yang aku terima setelah membaca keterangan dari kiriman itu.
Bahkan, aku membacanya sampai tiga kali karena masih tidak percaya. Aku juga membacanya dengan lebih lambat dan hati-hati pada kali kedua dan ketiga. Hatiku memang sakit, tetapi aku berusaha untuk tidak membuat emosiku terlibat terlalu jauh saat aku mengambil pesan yang aku terima.&nb
Meskipun sudah sering melihatnya dalam tujuh tahun terakhir, tetapi aku masih belum bisa sepenuhnya kebal dengan tatapan penuh perhatian dari Zean. Terutama, pada saat hatiku sedang lemah seperti sekarang.Seringnya, aku lebih suka menyembuhkan lukaku seorang diri. Walau harus menempuh jalan yang rumit dan waktu yang panjang, aku tidak keberatan. Karena setelah berbagai macam trial and error, akhirnya aku tahu dimana letak kesalahanku.Hampir bisa dipastikan bahwa akar dari ini semua berawal dari aku yang menaruh harapan pada orang lain. Secara tidak langsung, aku jadi menuntut mereka untuk memenuhi ekspektasiku. Sayangnya, kenyataan juga tidak berjalan seperti yang aku harapkan. Oleh karena itu, aku berakhir kecewa. Jadi,
"Lho? Makanannya sudah habis, Kak? Lapar atau doyan, nih?" tanya Lucas yang baru saja tiba. Aku terjingkat sesaat, lalu memelototi Lucas sebagai ganti protes karena mulutku sedang sibuk mengunyah. Salahkan suara bass-nya yang agak lantang. Karenanya, lamunanku seketika buyar. Iya, gara-gara Zean keceplosan nama panjang Lucas, pikiranku jadi tidak tenang. Bukannya melebih-lebihkan, tetapi menurutku, situasinya memang cukup mencurigakan. Zean memang sudah menjelaskan, kalau ia dan Lucas sempat berpapasan beberapa kali saat hendak atau pulang dari apartemenku. Jadi, pada kesempatan terakhir, mereka sempat berkenalan. Sayangnya, ada satu hal yang sepertinya belum Zean ketahui. Yaitu, kebiasaan Lucas yang hanya akan mengenalkan diri dengan nama len
Setelah menghela napas panjang, aku menatap Lucas datar. Dalam hati, aku sangat berharap kalau cara terakhirku ini akan berhasil. Yah, setidaknya, ini selalu berhasil kalau lawannya adalah si Bungsu Chris. Semoga saja bisa berhasil pada Lucas juga. Aku menghela napas panjang lagi. Sengaja, aku juga memperlihatkan ekspresi seolah aku akan mengalah pada usul Lucas. "Kalau begitu, tolong ambilkan pembalut di mobil, ya. Warna bungkusnya oranye terang. Terakhir aku simpan di kantong plastik bening di dek⏤" “Bilang dong kalau mau ambil begituan!” omel Lucas tiba-tiba. "Kakak ambil sendiri aja, deh! Nih kuncinya!" sambung pemuda itu seraya menyodorkan kunci mobil ke arahku. Wajahnya tampak enggan.
“Tunggu dulu!” batinku tiba-tiba berteriak.“Sebesar apapun rasa penasaranmu, ini bukan hal yang sopan, Echana. Memangnya kamu mau orang lain geledahin isi gawai-mu tanpa izin?” omelnya kemudian.Aku pun terdiam sesaat. Kemudian, dengan hati agak enggan, aku pun kembali mengunci layar gawai itu dan memasukkannya ke dalam saku.Ya. Aku tidak mau orang lain menggeledah milikku tanpa izin. Jadi, aku tidak akan melakukannya terhadap orang lain. At least, I will get his permission first.*****“Luke.”“Hm?” sahut pemuda
Ini aneh. Sebelum ke ruang BEM tadi, aku cukup yakin kalau ada nama kontak "Mr. Boss" dari gadget Lucas. Akan tetapi, kenapa sekarang aku tidak bisa menemukannya? Padahal, aku sudah menggeledah kontak, riwayat panggilan, hingga kotak masuk pesan singkatnya. Jangan-jangan Lucas punya dua smartphone?! Oleh karena rasa penasaran yang tidak terbendung, aku pun mencoba mengetik namaku di pencarian kontaknya. Hanya memastikan apakah pemuda itu menyimpan nomor teleponku di gawainya. Ternyata ada! Namun, saat aku membaca nama yang tertera di sana, aku tak kuasa menahan tawa. Seperti halnya aku yang menyimpan kontak Lucas dengan nama “Lucas Abalabal”, rupanya pemuda itu pun menamai kontakku sama uniknya. “Kak Eka balabala”. Entah apa maksudnya. “Jangan-jangan Lucas sudah mengganti nama kontaknya?” batinku bermonolog. Berdasarkan pemikiran itu pula, aku pun mencoba peruntungan untuk mengetik nomor telepon Zean. Sayangnya, hasilnya nihil. Lucas tidak menyimpan kontak Zean. “Atau mung
Sungguh. Dari semua pertanyaan retoris yang bisa kuucapkan, kenapa aku harus kalimat itu yang harus keluar?! ARGH! Dasar Echana payah!Aku memang bisa menebak kalau Zean akan tertawa. Namun, yang membuatku tidak tahan adalah tatapan yang diberikan Lucas padaku saat ini. Netra hitamnya menatapku seperti sedang melihat gadis depresi yang baru saja mengatakan hal yang super memalukan. Antara menahan tawa dan mengataiku menyedihkan, yang mana pun, arti tatapan mata Lucas yang ditujukan padaku benar-benar menyebalkan!“Apa?” tanyaku tanpa suara dengan wajah galak. Kepada siapa lagi kalau bukan Lucas.Bukannya mengalihkan pandangan, pura-pura takut, atau hal lain yang bisa membuat rasa maluku berkurang, pemuda itu justru tertawa.
"TADAAA!!" seru Lucas sok heboh sambil merentangkan tangan di depanku. Wajahnya tampak bangga dengan tempat berisik yang berada di belakangnya.Ada berbagai macam mesin di sana. Dua mesin yang dipajang paling depan adalah yang paling berisik. Lagu yang dimainkan memang menarik, tetapi aku cukup terganggu dengan volumenya yang cukup memekakkan telinga."Jadi, tempat yang kamu maksud itu Arcade game center?" tanyaku tidak percaya pada pemuda yang masih pose sok heboh tidak jauh di depanku.Well, aku tidak mengelak kalau aku sedikit kecewa. Pasalnya, Lucas tadi keluar pintu tol di kota B. Dibandingkan kota S, tempat kami tinggal, kota B memang memiliki lebih banyak pilihan t
“Thank you, Zean, but I’m fine,” ujarku sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Zean.Saat ini, aku sadar kalau hatiku sedang sangat lemah. Kalau aku bergantung pada Zean sekarang, aku hanya akan melukainya kemudian. Jadi, sekuat tenaga, kubangun lagi dinding tinggi imajiner super tebal di sekeliling hatiku agar Zean tidak bisa mendekat.Sialnya, bukan menjadi longgar, Zean justru mempererat dekapannya. Aku memang tidak sampai kesusahan bernapas, tetapi pelukan itu menjadi serangan yang cukup kuat untuk menghantam dinding mental yang baru saja kubangun.“I know that you’re not,” sahutnya