Sungguh. Dari semua pertanyaan retoris yang bisa kuucapkan, kenapa aku harus kalimat itu yang harus keluar?! ARGH! Dasar Echana payah!Aku memang bisa menebak kalau Zean akan tertawa. Namun, yang membuatku tidak tahan adalah tatapan yang diberikan Lucas padaku saat ini. Netra hitamnya menatapku seperti sedang melihat gadis depresi yang baru saja mengatakan hal yang super memalukan. Antara menahan tawa dan mengataiku menyedihkan, yang mana pun, arti tatapan mata Lucas yang ditujukan padaku benar-benar menyebalkan!“Apa?” tanyaku tanpa suara dengan wajah galak. Kepada siapa lagi kalau bukan Lucas.Bukannya mengalihkan pandangan, pura-pura takut, atau hal lain yang bisa membuat rasa maluku berkurang, pemuda itu justru tertawa.
"TADAAA!!" seru Lucas sok heboh sambil merentangkan tangan di depanku. Wajahnya tampak bangga dengan tempat berisik yang berada di belakangnya.Ada berbagai macam mesin di sana. Dua mesin yang dipajang paling depan adalah yang paling berisik. Lagu yang dimainkan memang menarik, tetapi aku cukup terganggu dengan volumenya yang cukup memekakkan telinga."Jadi, tempat yang kamu maksud itu Arcade game center?" tanyaku tidak percaya pada pemuda yang masih pose sok heboh tidak jauh di depanku.Well, aku tidak mengelak kalau aku sedikit kecewa. Pasalnya, Lucas tadi keluar pintu tol di kota B. Dibandingkan kota S, tempat kami tinggal, kota B memang memiliki lebih banyak pilihan t
“Thank you, Zean, but I’m fine,” ujarku sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Zean.Saat ini, aku sadar kalau hatiku sedang sangat lemah. Kalau aku bergantung pada Zean sekarang, aku hanya akan melukainya kemudian. Jadi, sekuat tenaga, kubangun lagi dinding tinggi imajiner super tebal di sekeliling hatiku agar Zean tidak bisa mendekat.Sialnya, bukan menjadi longgar, Zean justru mempererat dekapannya. Aku memang tidak sampai kesusahan bernapas, tetapi pelukan itu menjadi serangan yang cukup kuat untuk menghantam dinding mental yang baru saja kubangun.“I know that you’re not,” sahutnya
Zean tiba-tiba mematung. Ia terlihat sangat terkejut.Bibirku tak kuasa menahan senyum. Well, aku sudah menduganya, sih.“Dasar kau, gadis penuh dosa!” olok si logis dalam benakku. Namun, aku abaikan.“Zean, ayo makan. Aku sudah lapar,” ujarku lirih sambil menepuk lengannya.Pria itu terkesiap sekilas. Sesaat, ia menatapku seperti orang linglung.“Lapar?” beonya lirih. Sepersekian detik kemudian, ia terkesiap lagi.“
Agak lama, aku menatapnya dalam diam. Karena Zean tampak acuh tak acuh, aku pun menghela napas panjang. "Aku tidak tahu kalau ternyata kamu orang yang seperhitungan ini, Zean. I guess, it means that I don't know you as well as I thought. " Zean hanya tertawa. "Sebagai pebisnis, kami pantang rugi, Baby. Kalau bisa untung, kenapa memilih untuk rugi?" "Oh?!" Aku menatapnya terkejut. Sejujurnya, aku sedikit terluka dengan perkataannya barusan. "Jadi, selama ini kau hanya menganggap hubungan kita sebagai transaksi bisnis?" tanyaku lirih. "You did it first, didn't you?"
"KYAAAAAAA!!!""EH AYAM! AYAM! AYAM!!!" latahku karena kaget.Detik berikutnya, aku baru menyadari kalau film yang kutunggu tampaknya sudah tayang. Entah sejak kapan, tv tiga puluh dua inch itu sudah menyala. Layarnya yang lebar dan jernih itu tengah menyiarkan gadis yang sedang berlari ketakutan menghindari entah-apa di tengah hutan.Ketika otakku masih mempelajari situasi saat ini, tiba-tiba aku mendengar suara tawa tertahan. Terlebih, bunyinya berasal dari sampingku.Aku segera melirik ke arah Zean. Benar saja! Pria itu memang sedang mengalihkan pandangannya dariku. Wajahnya menghadap ke arah yang berlawanan
Aku menatap Zean dengan dahi berkerut. Masih tidak percaya dengan informasi yang diteruskan oleh telingaku.“Gimana, Zean?” tanyaku. Dalam hati, aku berharap Zean akan mengulang ucapannya dengan maksud yang lebih jelas.“Prepare your bed, Anna. Siapkan tempat tidurmu,” ulang Zean tenang seolah ingin meyakinkan kalau aku tidak salah dengar. Bahkan, ia sampai mengatakannya dalam dua bahasa.“Buat apa?” tanyaku yang tidak bisa lagi menyembunyikan nada curiga pada ucapanku. Terlebih saat aku melihat bagaimana bibirnya melengkungkan senyum. Benar-benar mencurigakan!Tiba-tiba Zean tertawa pelan. “Tentu saja, untuk tidur, Sayang.”
"Terus gimana?" "Serius dia jadi nginep?" Reina dan Chariz hampir bertanya bersamaan. Setelah mendengarkan pesan suara yang aku tinggalkan kemarin, Chariz dan Reina mencoba untuk memahami situasiku. Jadi, mereka membiarkanku sendiri semalaman, dan baru muncul pagi ini. Dengan kedok membuatkan sarapan, mereka tiba-tiba membunyikan bel apartemenku jam lima pagi. Literally, a morning call! Katanya, mereka takut kalau aku makan sembarangan dan jatuh sakit. Oleh karena itu, mereka berkunjung sepagi ini untuk memastikan aku sarapan dengan makanan yang layak. Well, aku berterima kasih dengan niat baik mereka meski jam tidurku yang menjadi bayarannya. Bagaimana tidak? Aku baru bisa menenangkan benakku dan mendapatkan tidur nyenyak sekitar jam setengah tiga subuh. Kemudian, jam lima aku terpaksa bangun karena Reina yang terus membunyikan bel dengan sangat konsisten hingga aku bangun dan membukakan pintu. Demi Tuhan! Padahal mereka sudah tahu pass code apartemenku! Ketika aku membuka