"KYAAAAAAA!!!"
"EH AYAM! AYAM! AYAM!!!" latahku karena kaget.
Detik berikutnya, aku baru menyadari kalau film yang kutunggu tampaknya sudah tayang. Entah sejak kapan, tv tiga puluh dua inch itu sudah menyala. Layarnya yang lebar dan jernih itu tengah menyiarkan gadis yang sedang berlari ketakutan menghindari entah-apa di tengah hutan.
Ketika otakku masih mempelajari situasi saat ini, tiba-tiba aku mendengar suara tawa tertahan. Terlebih, bunyinya berasal dari sampingku.
Aku segera melirik ke arah Zean. Benar saja! Pria itu memang sedang mengalihkan pandangannya dariku. Wajahnya menghadap ke arah yang berlawanan
Aku menatap Zean dengan dahi berkerut. Masih tidak percaya dengan informasi yang diteruskan oleh telingaku.“Gimana, Zean?” tanyaku. Dalam hati, aku berharap Zean akan mengulang ucapannya dengan maksud yang lebih jelas.“Prepare your bed, Anna. Siapkan tempat tidurmu,” ulang Zean tenang seolah ingin meyakinkan kalau aku tidak salah dengar. Bahkan, ia sampai mengatakannya dalam dua bahasa.“Buat apa?” tanyaku yang tidak bisa lagi menyembunyikan nada curiga pada ucapanku. Terlebih saat aku melihat bagaimana bibirnya melengkungkan senyum. Benar-benar mencurigakan!Tiba-tiba Zean tertawa pelan. “Tentu saja, untuk tidur, Sayang.”
"Terus gimana?" "Serius dia jadi nginep?" Reina dan Chariz hampir bertanya bersamaan. Setelah mendengarkan pesan suara yang aku tinggalkan kemarin, Chariz dan Reina mencoba untuk memahami situasiku. Jadi, mereka membiarkanku sendiri semalaman, dan baru muncul pagi ini. Dengan kedok membuatkan sarapan, mereka tiba-tiba membunyikan bel apartemenku jam lima pagi. Literally, a morning call! Katanya, mereka takut kalau aku makan sembarangan dan jatuh sakit. Oleh karena itu, mereka berkunjung sepagi ini untuk memastikan aku sarapan dengan makanan yang layak. Well, aku berterima kasih dengan niat baik mereka meski jam tidurku yang menjadi bayarannya. Bagaimana tidak? Aku baru bisa menenangkan benakku dan mendapatkan tidur nyenyak sekitar jam setengah tiga subuh. Kemudian, jam lima aku terpaksa bangun karena Reina yang terus membunyikan bel dengan sangat konsisten hingga aku bangun dan membukakan pintu. Demi Tuhan! Padahal mereka sudah tahu pass code apartemenku! Ketika aku membuka
CharizSemangat, EkaReinaCemungud, kakaaLima belas pesan lainnya adalah spam stiker dari Reina dan Chariz. Pesan stikernya kurang lebih sama. Ada yang memeluk, memberi semangat, ada juga yang membentuk gambar waru merah.Setelah membaca semua pesan mereka di grup obrolan kami bertiga, aku menarik napas panjang. Berusaha menenangkan jantungku masih berdebar kencang karena gugup.Beruntung, parkiran mobil di kampusku sedang agak sepi. Kaca jendela mobil Zean yang aku kendarai saat ini juga tidak bisa ditembus dari luar. Jadi, aku bi
Berkat kehadiran Lucas dan Rere, pagiku di kampus menjadi jauh dari kata suram. Situasinya benar-benar berbeda dengan simulasi yang sempat dibuat oleh imajinasi liarku.Dua insan itu dengan setia menemaniku sejak dari parkiran mobil sampai ke depan kelas. Kabar baiknya, mood-ku nyaris pulih seperti sediakala. Pasalnya, sepanjang perjalanan, selalu ada bahan pembicaraan dan pertengkaran receh dari Rere dan Lucas yang membuatku tertawa.Sayangnya, ketika aku masuk ke dalam kelas, suasana di dalam sana tidak secerah mood-ku yang mulai senada dengan cuaca hari ini.Semula, dari luar ruangan, a
Sudah hampir genap sepuluh menit berlalu, tetapi ketiga senior berparas ayu di hadapanku itu masih mengoceh panjang. Tidak ketinggalan dengan nada menyindir dan menegur yang sesekali disisipkan. Materinya masih sama, yaitu petuah untuk adik tingkat agar tidak berlebihan dalam menanggapi kebaikan lawan jenis. Well, secara umum, yang mereka katakan tidak sepenuhnya salah, sih. Selain nada dan beberapa penekanan kata yang seolah menudingku sebagai gadis jahat yang mereka maksud, aku cukup setuju dengan pendapat mereka. Yah, anggap saja kalau ini adalah bentuk perhatian mereka padaku, selaku adik tingkat yang "mereka sayangi", meskipun penyampaiannya agak menyebalkan. "Sekarang lo paham?" tanya gadis berambut ombre yang berdiri di tengah.
“SERIUS, KAK?!”Aku spontan menjauhkan telingaku dari Lucas. Nih anak ternyata kagetnya bisa lebay juga, ya?“Kalau kaget, nggak usah lebay!” tegur Rere, yang ternyata sepemikiran denganku, sambil memukul lengan Lucas yang duduk di sampingnya.Sudah pasti, pemuda itu tidak terima disalahkan. Apalagi oleh Rere. Pasalnya, menurut pendapat pribadi Lucas, gadis itu jauh lebih sering bertingkah berlebihan dibandingkan dirinya.“Kalau nggak lebay, berarti ya nggak kaget, Re!”Bukannya tidak bisa menjawab, aku cukup yakin kalau Rere, yang lebih memilih untuk diam dan meminum susu strawber
Seperti biasa, lantai dua Coffeetop, kedai kopi yang berada di seberang rumah sakit yang tidak jauh dari kampusku, menyuguhkan pemandangan kota yang tenang. Jalan raya di bawah sana tidak terlalu padat kendaraan. Cafe juga sedang tidak terlalu ramai karena belum jam makan siang. Sialnya, orang yang duduk di hadapanku adalah orang yang sama sekali tidak aku duga akan mengajakku makan bersama siang bolong begini. Well, ia memang jarang menelepon sejak aku tinggal di apartemen. Kami juga jarang bertemu kalau bukan karena acara keluarga atau kebetulan belaka. Jadi, jangan tanya seheran apa saat melihat nama kontaknya muncul di layar gawaiku sebagai penelepon beberapa menit yang lalu. Namun, di satu sisi, aku cukup berterima kasih karena
"BRUUUUUUUH! UHUK! UHUK!! UHUK!!!"Berkat refleks tubuh yang cepat, Kak Naki bisa segera menghindari semburan lemon tea-ku yang kedua.Tidak! Demi apapun, aku benar-benar tidak sengaja menyemburkan minumanku ke arah kak Naki! Ini ‘kan salah kak Naki sendiri karena bicara saat orang lain sedang minum! Jadi, ia juga harus terima risikonya kalau ia kena semprot minuman.Dikira aku tidak menderita? Hidung dan tenggorokanku juga terasa panas dan aneh setelah tersedak. Jadi, anggap saja kami sudah impas."Kak Naki sengaja ngomong gitu waktu aku minum ya? Biar aku tersedak?" tuduhku setelah tidak lagi terbatuk.Pria itu han
Netra biru itu melebar sekilas. Ia menatapku tidak percaya. Lebih tepatnya, ia terlihat seperti tidak menyangka kalau aku akan mengaku secepat ini. Tepat ketika Zean mengalihkan pandangan sambil menghela napas panjang, aku sudah mulai menyiapkan hati untuk omelan yang lebih panjang. "HAHAHAHA!" Bukannya omelan, yang terdengar setelah helaan napas yang dramatis itu justru tawa lepas Zean. Otomatis, dahiku langsung mengernyit. Tak kuasa, aku menatap Zean heran separuh bingung. Bukankah tadi dia sedang marah? Kenapa sekarang Zean malah tertawa? Memangnya ada yang lucu? Sayangnya, alih-alih menjawab keheranan yang terpancar di wajahku, si tampan di layar gawaiku itu malah menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ekspresinya menunjukkan seolah ia sedang berusaha keras menahan tawa saat netra birunya menatapku. Yang lebih parah, tawa Zean tidak juga berhenti setelah lima detik penuh, meskipun tawanya sudah agak reda. Wah! Ini benar-benar rekor! Pasalnya, Zean yang aku kenal selama ini
"Apakah seharusnya aku tidak mengingat lagu itu?" Sengaja, kuungkapkan salah satu prasangkaku. Selama beberapa detik, tidak ada jawaban dari tempat Zean. Namun, saat aku akan memeriksa layar gawaiku, memastikan bahwa telepon masih tersambung, tiba-tiba terdengar suara tawa. Ya. Zean memang tertawa, tetapi entah kenapa aku merasa kalau tawa Zean terdengar sedih. "Bukan begitu, Anna. Aku justru senang Anna mengingatnya, karena aku sendiri hampir melupakannya." Kali ini Zean terdengar tulus. Sama sekali tidak berusaha menutupi nada sedih seperti beberapa detik yang lalu. "Terima kasih karena masih mengingat dan menyanyikan lagu itu untukku, Anna. I think I'll have a really nice dream tonight." Kedua ujung bibirku tak kuasa terangkat. Dalam benak, aku membayangkan Zean, dengan wajah letihnya, sedang tersenyum saat mengatakannya. "Istirahatlah, Zean. Thank you for the best present ever. Good night. Sleep tight." "My pleasure, Princess. Good night." ***** "Ma," panggilku lirih
"HOAAEEEMM!" Tiba-tiba Zean menguap. "Can we talk about it next time, Anna? Please?" mohonnya dengan nada lelah. Apakah Zean sedang berusaha menghindar? "Karena ini akan jadi pembahasan yang panjang, Anna. Dan menurutku, akan lebih baik jika aku menjelaskannya secara langsung padamu. Bagaimana?" "Lagipula, aku juga tidak ingin menyita waktu istirahatmu lebih lama dari ini," imbuh Zean lagi setelah jeda sedetik. Usai menimbang keputusan selama beberapa saat, aku mengangguk pelan. Ketika aku melihat jam dinding, ternyata sudah jam dua subuh. Pantas saja tadi Zean bicara begitu. "Baiklah. Ini sudah terlalu larut, dan kamu juga perlu beristirahat." Diam-diam, aku menghela napas panjang. Menyesali kebodohan dan tingkahku yang tidak tahu diri. Bisa-bisanya aku sempat berpikir untuk menginterogasi Zean saat ini juga demi memuaskan rasa penasaranku. "Should I sing you a lullaby?" tanya Zean tiba-tiba. Setelah berkedip dua kali dan mencerna kata-katanya, aku spontan tertawa. "Kan
Aku menyipitkan mata menatap Papa. “Papa tidak percaya pada kemampuanku? Atau Papa tidak suka aku magang di sana?” Sejujurnya, aku sedikit terluka dengan cara Papa mengucapkannya. Aku tak kuasa merasa bahwa Papa meremehkanku. Atau memang sejak awal, Papa tidak memiliki ekspektasi apa pun padaku? Karena itu, ia berpikir kalau kepercayaan diri tentang hasil studiku adalah hal yang menggelikan? Papa menatapku sekilas, lalu menggeleng. “Maksudku bukan begitu.” Ia berdehem sekilas, lalu melanjutkan bicara. "Aku yakin kau akan diterima magang di sana. Hanya, aku tidak yakin kau akan betah magang di sana." Alisku berkedut. Dahiku mengernyit. "Memangnya kenapa?" "Sayang? Astaga! Ternyata kau ada di sini!" Seketika, pembicaraan kami terputus. Fokus mata kami beralih pada sosok yang baru saja memasuki dapur. Dengan langkah lebar dan wajah penuh kelegaan, perempuan cantik yang mengenakan camisole dress dengan motif yang sama dengan piyama Papa itu menghampiri kami. Ia menarik kursi di samp
Papa mengangguk santai."Ada 'Tikus' di perusahaan yang membawa kabur dana perusahaan dengan jumlah yang cukup besar. Sialnya, ternyata dia cukup cerdik dan licin karena butuh waktu yang agak lama untuk menangkapnya," cerita Papa sambil mengambil lagi sepotong puding mangga ke dalam mangkuknya."Kebetulan, peristiwa itu juga terjadi pada saat kondisi keuangan perusahaan sedang tidak bagus. Jadi, efeknya cukup berat, dan tuntutan dari para pemegang saham membuat situasi menjadi lebih buruk lagi."Papa diam sejenak sambil menatapku beberapa saat, seolah sedang memeriksa reaksiku. Jadi, aku balas menatapnya dengan tatapan menyimak."Lalu, apa yang terjadi?" tanyaku.Papa menarik salah satu ujung bibirnya dan membentuk seringai s
Langit di luar sana masih gelap. Angka yang berfungsi sebagai penunjuk waktu di layar gawaiku juga menegaskan bahwa sekarang masih tengah malam. And here I am, tiduran di atas tempat tidur dengan benak dan mata yang masih terjaga seratus persen. Jadi, daripada aku membuang waktu tidak jelas karena tidak bisa tidur, lebih baik aku membuat susu hangat. Well, rencananya sih begitu. Tetapi ketika aku membuka pintu lemari es, hatiku langsung dicobai. Bagaimana tidak? Padahal tadi pagi aku cek lemari es ini hanya berisi sayur dan buah-buahan. Sama sekali tidak ada camilan. Namun, di depanku sekarang ada dua kotak besar dengan logo toko dessert kesukaanku yang ditata bersisian di sab tengah. "TUNGGU DULU! Jangan-jangan ini puding dan fruit cake yang Mama bilang tadi?" Daripada bimbang terlalu lama, aku nekat mengeluarkan salah satu kotak dan memeriksanya. Kalau memang isinya bukan dessert yang kuinginkan, aku tinggal mengembalikan ke tempat semula, 'kan? Dengan hati-hati, aku letakka
Dari segala situasi yang pernah kualami, saat ini adalah momen terlangka dalam hidupku. Bagaimana tidak? Orang yang selama ini berkoar-koar akan selalu memihakku, malah berada di seberang, tempat "lawanku" berpijak. Sementara sosok yang selama ini kupikir sama sekali tidak menyukai eksistensiku, malah mengeluarkan statement seolah ia berada di pihakku. Well, secara keseluruhan, yang diucapkan Papa Ian memang terdengar normal. Netral. Tidak berpihak. Namun, pada saat yang sama, aku merasa sedang dibela. "Kau sudah makan malam?" Pertanyaan Papa Ian kemudian membuatku kembali terkejut.
Suasana di sekitarku perlahan menjadi senyap. Sambil menatapnya menyimak, aku berusaha fokus mendengarkan suara Zean.“Lho? Kak Eka sudah pulang?”ASTAGA!Seketika aku terlonjak kaget. Kemudian, aku segera menoleh ke arah asal suara.Rencananya, aku hendak memarahi adik bungsuku karena memanggilku tiba-tiba dan membuat Zean mengurungkan penjelasannya. Namun, ketika aku melihat Chris yang sedang berjalan ke arahku sambil memberiku tatapan bingung, aku langsung membatalkan niatku.Memarahinya di lokasi yang masih bisa didengar oleh Papa Ian tidak akan memberikan kesan yang baik pada reuni kami. Jadi, aku hanya menghela napas panjang, berusaha menenangkan jantungku yang masih berdegup kenca
Awalnya, aku memang ingin menyerah untuk menebak hadiah dari Zean. Sayangnya, rasa penasaranku jauh lebih besar. Jadi, meskipun aku terus berusaha mengalihkan pikiran, imajinasiku selalu kembali memikirkan segala kemungkinan yang bisa menjadi hadiah pria itu.“Kamu nggak kasih hadiah yang berbahaya ‘kan, Zean?” tanyaku curiga seraya melirik Zean tajam ketika kami berdiri di depan pintu rumahku.Pria yang berdiri di sampingku itu langsung menahan tawa setelah mendengar pertanyaanku.“Kalau Anna memang sepenasaran itu, bagaimana kalau kuberitahu saja apa hadiahnya?” tawarnya sambil menatapku menggoda.Segera, aku menggeleng tegas. “Nggak! Nggak usah! Jangan spoiler