Agak lama, aku menatapnya dalam diam. Karena Zean tampak acuh tak acuh, aku pun menghela napas panjang.
"Aku tidak tahu kalau ternyata kamu orang yang seperhitungan ini, Zean. I guess, it means that I don't know you as well as I thought. "
Zean hanya tertawa. "Sebagai pebisnis, kami pantang rugi, Baby. Kalau bisa untung, kenapa memilih untuk rugi?"
"Oh?!" Aku menatapnya terkejut. Sejujurnya, aku sedikit terluka dengan perkataannya barusan.
"Jadi, selama ini kau hanya menganggap hubungan kita sebagai transaksi bisnis?" tanyaku lirih.
"You did it first, didn't you?"
"KYAAAAAAA!!!""EH AYAM! AYAM! AYAM!!!" latahku karena kaget.Detik berikutnya, aku baru menyadari kalau film yang kutunggu tampaknya sudah tayang. Entah sejak kapan, tv tiga puluh dua inch itu sudah menyala. Layarnya yang lebar dan jernih itu tengah menyiarkan gadis yang sedang berlari ketakutan menghindari entah-apa di tengah hutan.Ketika otakku masih mempelajari situasi saat ini, tiba-tiba aku mendengar suara tawa tertahan. Terlebih, bunyinya berasal dari sampingku.Aku segera melirik ke arah Zean. Benar saja! Pria itu memang sedang mengalihkan pandangannya dariku. Wajahnya menghadap ke arah yang berlawanan
Aku menatap Zean dengan dahi berkerut. Masih tidak percaya dengan informasi yang diteruskan oleh telingaku.“Gimana, Zean?” tanyaku. Dalam hati, aku berharap Zean akan mengulang ucapannya dengan maksud yang lebih jelas.“Prepare your bed, Anna. Siapkan tempat tidurmu,” ulang Zean tenang seolah ingin meyakinkan kalau aku tidak salah dengar. Bahkan, ia sampai mengatakannya dalam dua bahasa.“Buat apa?” tanyaku yang tidak bisa lagi menyembunyikan nada curiga pada ucapanku. Terlebih saat aku melihat bagaimana bibirnya melengkungkan senyum. Benar-benar mencurigakan!Tiba-tiba Zean tertawa pelan. “Tentu saja, untuk tidur, Sayang.”
"Terus gimana?" "Serius dia jadi nginep?" Reina dan Chariz hampir bertanya bersamaan. Setelah mendengarkan pesan suara yang aku tinggalkan kemarin, Chariz dan Reina mencoba untuk memahami situasiku. Jadi, mereka membiarkanku sendiri semalaman, dan baru muncul pagi ini. Dengan kedok membuatkan sarapan, mereka tiba-tiba membunyikan bel apartemenku jam lima pagi. Literally, a morning call! Katanya, mereka takut kalau aku makan sembarangan dan jatuh sakit. Oleh karena itu, mereka berkunjung sepagi ini untuk memastikan aku sarapan dengan makanan yang layak. Well, aku berterima kasih dengan niat baik mereka meski jam tidurku yang menjadi bayarannya. Bagaimana tidak? Aku baru bisa menenangkan benakku dan mendapatkan tidur nyenyak sekitar jam setengah tiga subuh. Kemudian, jam lima aku terpaksa bangun karena Reina yang terus membunyikan bel dengan sangat konsisten hingga aku bangun dan membukakan pintu. Demi Tuhan! Padahal mereka sudah tahu pass code apartemenku! Ketika aku membuka
CharizSemangat, EkaReinaCemungud, kakaaLima belas pesan lainnya adalah spam stiker dari Reina dan Chariz. Pesan stikernya kurang lebih sama. Ada yang memeluk, memberi semangat, ada juga yang membentuk gambar waru merah.Setelah membaca semua pesan mereka di grup obrolan kami bertiga, aku menarik napas panjang. Berusaha menenangkan jantungku masih berdebar kencang karena gugup.Beruntung, parkiran mobil di kampusku sedang agak sepi. Kaca jendela mobil Zean yang aku kendarai saat ini juga tidak bisa ditembus dari luar. Jadi, aku bi
Berkat kehadiran Lucas dan Rere, pagiku di kampus menjadi jauh dari kata suram. Situasinya benar-benar berbeda dengan simulasi yang sempat dibuat oleh imajinasi liarku.Dua insan itu dengan setia menemaniku sejak dari parkiran mobil sampai ke depan kelas. Kabar baiknya, mood-ku nyaris pulih seperti sediakala. Pasalnya, sepanjang perjalanan, selalu ada bahan pembicaraan dan pertengkaran receh dari Rere dan Lucas yang membuatku tertawa.Sayangnya, ketika aku masuk ke dalam kelas, suasana di dalam sana tidak secerah mood-ku yang mulai senada dengan cuaca hari ini.Semula, dari luar ruangan, a
Sudah hampir genap sepuluh menit berlalu, tetapi ketiga senior berparas ayu di hadapanku itu masih mengoceh panjang. Tidak ketinggalan dengan nada menyindir dan menegur yang sesekali disisipkan. Materinya masih sama, yaitu petuah untuk adik tingkat agar tidak berlebihan dalam menanggapi kebaikan lawan jenis. Well, secara umum, yang mereka katakan tidak sepenuhnya salah, sih. Selain nada dan beberapa penekanan kata yang seolah menudingku sebagai gadis jahat yang mereka maksud, aku cukup setuju dengan pendapat mereka. Yah, anggap saja kalau ini adalah bentuk perhatian mereka padaku, selaku adik tingkat yang "mereka sayangi", meskipun penyampaiannya agak menyebalkan. "Sekarang lo paham?" tanya gadis berambut ombre yang berdiri di tengah.
“SERIUS, KAK?!”Aku spontan menjauhkan telingaku dari Lucas. Nih anak ternyata kagetnya bisa lebay juga, ya?“Kalau kaget, nggak usah lebay!” tegur Rere, yang ternyata sepemikiran denganku, sambil memukul lengan Lucas yang duduk di sampingnya.Sudah pasti, pemuda itu tidak terima disalahkan. Apalagi oleh Rere. Pasalnya, menurut pendapat pribadi Lucas, gadis itu jauh lebih sering bertingkah berlebihan dibandingkan dirinya.“Kalau nggak lebay, berarti ya nggak kaget, Re!”Bukannya tidak bisa menjawab, aku cukup yakin kalau Rere, yang lebih memilih untuk diam dan meminum susu strawber
Seperti biasa, lantai dua Coffeetop, kedai kopi yang berada di seberang rumah sakit yang tidak jauh dari kampusku, menyuguhkan pemandangan kota yang tenang. Jalan raya di bawah sana tidak terlalu padat kendaraan. Cafe juga sedang tidak terlalu ramai karena belum jam makan siang. Sialnya, orang yang duduk di hadapanku adalah orang yang sama sekali tidak aku duga akan mengajakku makan bersama siang bolong begini. Well, ia memang jarang menelepon sejak aku tinggal di apartemen. Kami juga jarang bertemu kalau bukan karena acara keluarga atau kebetulan belaka. Jadi, jangan tanya seheran apa saat melihat nama kontaknya muncul di layar gawaiku sebagai penelepon beberapa menit yang lalu. Namun, di satu sisi, aku cukup berterima kasih karena