Setelah menghela napas panjang, aku menatap Lucas datar.
Dalam hati, aku sangat berharap kalau cara terakhirku ini akan berhasil. Yah, setidaknya, ini selalu berhasil kalau lawannya adalah si Bungsu Chris. Semoga saja bisa berhasil pada Lucas juga.
Aku menghela napas panjang lagi. Sengaja, aku juga memperlihatkan ekspresi seolah aku akan mengalah pada usul Lucas.
"Kalau begitu, tolong ambilkan pembalut di mobil, ya. Warna bungkusnya oranye terang. Terakhir aku simpan di kantong plastik bening di dek⏤"
“Bilang dong kalau mau ambil begituan!” omel Lucas tiba-tiba.
"Kakak ambil sendiri aja, deh! Nih kuncinya!" sambung pemuda itu seraya menyodorkan kunci mobil ke arahku. Wajahnya tampak enggan. <
“Tunggu dulu!” batinku tiba-tiba berteriak.“Sebesar apapun rasa penasaranmu, ini bukan hal yang sopan, Echana. Memangnya kamu mau orang lain geledahin isi gawai-mu tanpa izin?” omelnya kemudian.Aku pun terdiam sesaat. Kemudian, dengan hati agak enggan, aku pun kembali mengunci layar gawai itu dan memasukkannya ke dalam saku.Ya. Aku tidak mau orang lain menggeledah milikku tanpa izin. Jadi, aku tidak akan melakukannya terhadap orang lain. At least, I will get his permission first.*****“Luke.”“Hm?” sahut pemuda
Ini aneh. Sebelum ke ruang BEM tadi, aku cukup yakin kalau ada nama kontak "Mr. Boss" dari gadget Lucas. Akan tetapi, kenapa sekarang aku tidak bisa menemukannya? Padahal, aku sudah menggeledah kontak, riwayat panggilan, hingga kotak masuk pesan singkatnya. Jangan-jangan Lucas punya dua smartphone?! Oleh karena rasa penasaran yang tidak terbendung, aku pun mencoba mengetik namaku di pencarian kontaknya. Hanya memastikan apakah pemuda itu menyimpan nomor teleponku di gawainya. Ternyata ada! Namun, saat aku membaca nama yang tertera di sana, aku tak kuasa menahan tawa. Seperti halnya aku yang menyimpan kontak Lucas dengan nama “Lucas Abalabal”, rupanya pemuda itu pun menamai kontakku sama uniknya. “Kak Eka balabala”. Entah apa maksudnya. “Jangan-jangan Lucas sudah mengganti nama kontaknya?” batinku bermonolog. Berdasarkan pemikiran itu pula, aku pun mencoba peruntungan untuk mengetik nomor telepon Zean. Sayangnya, hasilnya nihil. Lucas tidak menyimpan kontak Zean. “Atau mung
Sungguh. Dari semua pertanyaan retoris yang bisa kuucapkan, kenapa aku harus kalimat itu yang harus keluar?! ARGH! Dasar Echana payah!Aku memang bisa menebak kalau Zean akan tertawa. Namun, yang membuatku tidak tahan adalah tatapan yang diberikan Lucas padaku saat ini. Netra hitamnya menatapku seperti sedang melihat gadis depresi yang baru saja mengatakan hal yang super memalukan. Antara menahan tawa dan mengataiku menyedihkan, yang mana pun, arti tatapan mata Lucas yang ditujukan padaku benar-benar menyebalkan!“Apa?” tanyaku tanpa suara dengan wajah galak. Kepada siapa lagi kalau bukan Lucas.Bukannya mengalihkan pandangan, pura-pura takut, atau hal lain yang bisa membuat rasa maluku berkurang, pemuda itu justru tertawa.
"TADAAA!!" seru Lucas sok heboh sambil merentangkan tangan di depanku. Wajahnya tampak bangga dengan tempat berisik yang berada di belakangnya.Ada berbagai macam mesin di sana. Dua mesin yang dipajang paling depan adalah yang paling berisik. Lagu yang dimainkan memang menarik, tetapi aku cukup terganggu dengan volumenya yang cukup memekakkan telinga."Jadi, tempat yang kamu maksud itu Arcade game center?" tanyaku tidak percaya pada pemuda yang masih pose sok heboh tidak jauh di depanku.Well, aku tidak mengelak kalau aku sedikit kecewa. Pasalnya, Lucas tadi keluar pintu tol di kota B. Dibandingkan kota S, tempat kami tinggal, kota B memang memiliki lebih banyak pilihan t
“Thank you, Zean, but I’m fine,” ujarku sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Zean.Saat ini, aku sadar kalau hatiku sedang sangat lemah. Kalau aku bergantung pada Zean sekarang, aku hanya akan melukainya kemudian. Jadi, sekuat tenaga, kubangun lagi dinding tinggi imajiner super tebal di sekeliling hatiku agar Zean tidak bisa mendekat.Sialnya, bukan menjadi longgar, Zean justru mempererat dekapannya. Aku memang tidak sampai kesusahan bernapas, tetapi pelukan itu menjadi serangan yang cukup kuat untuk menghantam dinding mental yang baru saja kubangun.“I know that you’re not,” sahutnya
Zean tiba-tiba mematung. Ia terlihat sangat terkejut.Bibirku tak kuasa menahan senyum. Well, aku sudah menduganya, sih.“Dasar kau, gadis penuh dosa!” olok si logis dalam benakku. Namun, aku abaikan.“Zean, ayo makan. Aku sudah lapar,” ujarku lirih sambil menepuk lengannya.Pria itu terkesiap sekilas. Sesaat, ia menatapku seperti orang linglung.“Lapar?” beonya lirih. Sepersekian detik kemudian, ia terkesiap lagi.“
Agak lama, aku menatapnya dalam diam. Karena Zean tampak acuh tak acuh, aku pun menghela napas panjang. "Aku tidak tahu kalau ternyata kamu orang yang seperhitungan ini, Zean. I guess, it means that I don't know you as well as I thought. " Zean hanya tertawa. "Sebagai pebisnis, kami pantang rugi, Baby. Kalau bisa untung, kenapa memilih untuk rugi?" "Oh?!" Aku menatapnya terkejut. Sejujurnya, aku sedikit terluka dengan perkataannya barusan. "Jadi, selama ini kau hanya menganggap hubungan kita sebagai transaksi bisnis?" tanyaku lirih. "You did it first, didn't you?"
"KYAAAAAAA!!!""EH AYAM! AYAM! AYAM!!!" latahku karena kaget.Detik berikutnya, aku baru menyadari kalau film yang kutunggu tampaknya sudah tayang. Entah sejak kapan, tv tiga puluh dua inch itu sudah menyala. Layarnya yang lebar dan jernih itu tengah menyiarkan gadis yang sedang berlari ketakutan menghindari entah-apa di tengah hutan.Ketika otakku masih mempelajari situasi saat ini, tiba-tiba aku mendengar suara tawa tertahan. Terlebih, bunyinya berasal dari sampingku.Aku segera melirik ke arah Zean. Benar saja! Pria itu memang sedang mengalihkan pandangannya dariku. Wajahnya menghadap ke arah yang berlawanan