Zayn menatap Nada yang tengah menunduk. Segurat rasa bersalah tersirat di wajahnya, yang kini sudah jauh lebih segar dengan lipstick berwarna kecokelatan yang menghiasi bibir ranumnya membuatnya tampak cantik alami.
Zayn seharusnya sadar, jika pemandangan indah itu bukan lagi miliknya. Suatu hari bahkan, hanya boleh dinikmati laki-laki lain yang kelak menjadi suaminya.
“Terima kasih sudah menjadi istri dan ibu yang baik dan maaf karena aku enggak bisa menjalani peranku dengan baik, selama kita menjadi sepasang suami istri.”
Saat itu Nada mendadak mendongakkan kepala, sehingga tanpa sengaja pandangan keduanya bertemu.
“Aku yakin kamu akan menemukan yang jauh lebih baik dariku, aku akan berdoa untuk itu.”
“Jangan, kamu seharusnya tahu siapa yang paling aku inginkan menjadi pasangan dalam hidupku. Aku sudah pernah mencoba menjalani kehidupan rumah tangga yang membosankan dengan wanita lain, rasanya tak seindah se
“Yas balikkin! Itu punya Ali, enggak sopan kayak gitu!” tegas Nada.Bukan hanya tak suka, wanita itu juga bertindak tegas. Ia rampas cincin itu dari tangan adiknya dan langsung mengembalikan kepada sang pemilik sesungguhnya.“Maafkan adikku ya, ini punya kamu ‘kan? Ambillah!” ucap Nada sembari mengulurkan tangannya.Namun, bukannya langsung di terima Ali justru terdiam selama beberapa saat. Fokusnya malah teralihkan pada wajah Nada yang menatapnya dengan lembut.“Yaelah, yang satu maluan. Satunya lagi enggak peka. Bagaimana bisa bersatu kalau begini terus?” sindir Ilyas.“Sudah Yas, kasihan Abangmu itu sampai merah mukanya,” ucap Abah.Saat itu wajah Ali memang memerah, padahal di tempat ini cuaca sangat dingin.“Cie malu ya, Bang?” sindir Ali yang masih saja tak puas menggoda calon kakak iparnya itu.Sampai ia mendengar Ali mulai mendecak kesal, baru
Nada terdiam sesaat.“Kita bisa bicarakan hal ini pelan-pelan,” ucap Nada.“Aku juga seorang anak, kamu juga pernah merasakan hal yang sama. Apakah kamu akan senang, jika melihat orang tuamu menikah lagi dengan orang lain. Padahal, bisa saja mereka rujuk.”“Kita bahkan belum mencobanya, kenapa kamu begitu pesimis. Kamu ini sebenarnya mau menikahiku atau tidak. Kamu tahu Al, yang paling tidak aku sukai adalah laki-laki yang enggak bisa megang ucapannya. Aku pikir kamu bukan lagi anak remaja yang masih labil dalam pemikiran. Kita sudah sama-sama dewasa, kenapa harus menerka-nerka hal-hal yang sama sekali belum ki
“Enggak begitu, Sayang. Mana mungkin kamu enggak penting buat Bunda.”“BuktinyaYusuf sudah tahu lebih dulu, sedangkan aku enggak.”“Itu, karena Bunda belum berani mengatakan semua ini sama kamu. Bunda takut kamu enggak setuju.”“Kalau aku enggak setuju, memangnya Bunda mau menolak lamarannya?”Nada terdiam sesaat sampai bibirnya perlahan mengulas senyum lalu, mengangguk pelan.Nav seketika memeluk Bundanya dengan erat, seolah menumpahkan keresahannnya selama ini. Anak itu sampai tersedu-sedu.“Makasih, Bun.”“Jadi, kita pulang sekarang?” tanya Nada sambil menarik kedua pundak putranya, agar ia bisa menatap lebih jelas.Arnav hanya mengangguk, lantas keduanya berjalan meninggalkan gazebo besar itu, dengan bergandengan tangan. Tak ada raut sedih di wajah keduanya dan itu membuat seseorang yang berdiri tak jauh dari mereka dibuat terdiam tanpa kata.
Nada kembali ke ruangan dengan berbagai tanya di benaknya. Tentang apa sebenarnya yang dipikirkan Zayn.“Sudah pergi dia?” tanya Ilyah, membuyarkan lamunan Nada saat itu.“Sudah.”“Baguslah.”Pria itu bahkan mengacungkan ibu jarinya pada keponakannya.“Bagus, kamu harus tegas!” kata Ilyas sambil tersenyum.Namun, Arnav hanya merespons sekadarnya. Anak itu tampak kehilangan semangatnya hanya dalam sekejap mata.“Bun boleh enggak kalau hari ini aku main lagi?” ucap Arnav dengan raut wajah yang menahan kesal.“Ya bolehlah, kenapa enggak?”“Abis ini aku ma uke rumah Firza.”“Oke, hati-hati ya. Ada buat jajan?”“Masih ada kok.”“Sip.”Lantas, anak itu mulai bersiap-siap untuk pergi. Setelah ia membersihkan piring dan gelas kotor bekas makan keluarganya. Padahal Nada sudah me
Pov Nada.“Kenapa Nad, kok diem aja? Ada masalah?” tanya Ali dengan wajah khawatirnya.Saat itu aku masih berusaha mengembalikan kesadaran. Bukan apa-apa ini hanya terkesan terlalu mendadak. Sampai tiba-tiba Arnav menghampiriku. Ia hanya diam. Namun, perlahan matanya memerah.Sejenak kami hanya daling menatap untuk beberapa saat. Seakan dunia berhenti berputar. Kesedihan jelas memancar dari kedua manik mata Nav.Seakan bicara tangan kirinya meremas ponsel dengan begitu keras.“Nav, ada apa? Kok tiba-tiba lari? Ada ular, ya?” tahya Yusuf yang masih terengah-engah
“Mana mungkin ada rasa yang seperti itu, Al?”“Ada Nad, karena kamu memang istimewa.”Aku masih tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Dia laki-laki mapan dan rupawan. Entah kenapa bertahun-tahun dia menyia-nyiakan waktunya hanya untuk wanita buruk rupa juga tua sepertiku.“Oke kalau begitu semangat untuk usaha barumu. Katakan saja jika kamu butuh investor.”“Aku bisa mengatasinya sendiri, Al.”“Iya, aku percaya. Kamu memang ahlinya. Aku hanya menawarkan saja, tapi toko ini harus tetap di supply ya. Awas saja kalau tidak!”“Siap, Boss!”“Jadi, sekarang kita masih partner kerja?” tanya Ali.Aku hanya mengangguk, tetapi pria itu malah tersenyum lega. Seolah itu adalah sebuah kabar yang membahagiakan.Ya Allah kenapa Engkau mengirimkan dia padaku. Di saat banyak wanita di luar sana yang mungkin lebih bisa memberikan kebahagiaan baginya.
Sejak hari itu aku tidak pernah lagi bertemu dengan Zayn. Kami benar-benar putus komunikasi. Aku tidak tahu, dia pergi ke luar negeri atau tidak. Selama itu juga ia tak pernah lagi menghubungiku juga Arnav.Hanya saja, dia masih rutin mengisi saldo di kartu debit yang dia peruntukkan untuk biaya Nav. Selebihnya, aku tak tahu kenapa Zayn bisa melakukan ini. Padahal, jauh-jauh hari kami sudah sepakat untuk tetap menjadi orang tua yang baik untuk Nav.Namun, keadaan, wanita dan waktu membuatnya ingkar. Aku sudah tahu ini pasti akan terjadi, tetapi bodohnya masih saja percaya kalau Zayn akan menepati janjinya. Aku keliru. Kupikir akulah yang mengenalnya lebih dalam dari siapa pun. Kenyataannya tidak, begitu banyak hal yang kamu coba sembunyikan.Di saat bisnisku semakin be
Tiba di pesantren aku gegas menyelesaikan administrasi dan hal lain yang menyangkut data diri dan lainnya. Namun, saat itu aku melihat Ali dan Yusuf yang juga tengah mengantre di ruang tunggu. Yusuf sempat melambaikan tangan.Sementara itu, Ali hanya menyapa sekadarnya. Aku masih merasa ia marah padaku. Lantas, kembali sibuk dengan ponselnya.Setelah menyelesaikan pendaftaran. Aku kembali ke ruang tunggu untuk mengecek kembali barang bawaan Arnav. Mungkin saja masih ada yang tertinggal atau kurang.Saat itu tiba di mana giliran Yusuf dipanggil, anak itu dengan ramahnya menyapaku. Berbeda dengan Arnav yang selalu datar saja setiap kali