Nada terdiam sesaat.
“Kita bisa bicarakan hal ini pelan-pelan,” ucap Nada.
“Aku juga seorang anak, kamu juga pernah merasakan hal yang sama. Apakah kamu akan senang, jika melihat orang tuamu menikah lagi dengan orang lain. Padahal, bisa saja mereka rujuk.”
“Kita bahkan belum mencobanya, kenapa kamu begitu pesimis. Kamu ini sebenarnya mau menikahiku atau tidak. Kamu tahu Al, yang paling tidak aku sukai adalah laki-laki yang enggak bisa megang ucapannya. Aku pikir kamu bukan lagi anak remaja yang masih labil dalam pemikiran. Kita sudah sama-sama dewasa, kenapa harus menerka-nerka hal-hal yang sama sekali belum ki
“Enggak begitu, Sayang. Mana mungkin kamu enggak penting buat Bunda.”“BuktinyaYusuf sudah tahu lebih dulu, sedangkan aku enggak.”“Itu, karena Bunda belum berani mengatakan semua ini sama kamu. Bunda takut kamu enggak setuju.”“Kalau aku enggak setuju, memangnya Bunda mau menolak lamarannya?”Nada terdiam sesaat sampai bibirnya perlahan mengulas senyum lalu, mengangguk pelan.Nav seketika memeluk Bundanya dengan erat, seolah menumpahkan keresahannnya selama ini. Anak itu sampai tersedu-sedu.“Makasih, Bun.”“Jadi, kita pulang sekarang?” tanya Nada sambil menarik kedua pundak putranya, agar ia bisa menatap lebih jelas.Arnav hanya mengangguk, lantas keduanya berjalan meninggalkan gazebo besar itu, dengan bergandengan tangan. Tak ada raut sedih di wajah keduanya dan itu membuat seseorang yang berdiri tak jauh dari mereka dibuat terdiam tanpa kata.
Nada kembali ke ruangan dengan berbagai tanya di benaknya. Tentang apa sebenarnya yang dipikirkan Zayn.“Sudah pergi dia?” tanya Ilyah, membuyarkan lamunan Nada saat itu.“Sudah.”“Baguslah.”Pria itu bahkan mengacungkan ibu jarinya pada keponakannya.“Bagus, kamu harus tegas!” kata Ilyas sambil tersenyum.Namun, Arnav hanya merespons sekadarnya. Anak itu tampak kehilangan semangatnya hanya dalam sekejap mata.“Bun boleh enggak kalau hari ini aku main lagi?” ucap Arnav dengan raut wajah yang menahan kesal.“Ya bolehlah, kenapa enggak?”“Abis ini aku ma uke rumah Firza.”“Oke, hati-hati ya. Ada buat jajan?”“Masih ada kok.”“Sip.”Lantas, anak itu mulai bersiap-siap untuk pergi. Setelah ia membersihkan piring dan gelas kotor bekas makan keluarganya. Padahal Nada sudah me
Pov Nada.“Kenapa Nad, kok diem aja? Ada masalah?” tanya Ali dengan wajah khawatirnya.Saat itu aku masih berusaha mengembalikan kesadaran. Bukan apa-apa ini hanya terkesan terlalu mendadak. Sampai tiba-tiba Arnav menghampiriku. Ia hanya diam. Namun, perlahan matanya memerah.Sejenak kami hanya daling menatap untuk beberapa saat. Seakan dunia berhenti berputar. Kesedihan jelas memancar dari kedua manik mata Nav.Seakan bicara tangan kirinya meremas ponsel dengan begitu keras.“Nav, ada apa? Kok tiba-tiba lari? Ada ular, ya?” tahya Yusuf yang masih terengah-engah
“Mana mungkin ada rasa yang seperti itu, Al?”“Ada Nad, karena kamu memang istimewa.”Aku masih tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Dia laki-laki mapan dan rupawan. Entah kenapa bertahun-tahun dia menyia-nyiakan waktunya hanya untuk wanita buruk rupa juga tua sepertiku.“Oke kalau begitu semangat untuk usaha barumu. Katakan saja jika kamu butuh investor.”“Aku bisa mengatasinya sendiri, Al.”“Iya, aku percaya. Kamu memang ahlinya. Aku hanya menawarkan saja, tapi toko ini harus tetap di supply ya. Awas saja kalau tidak!”“Siap, Boss!”“Jadi, sekarang kita masih partner kerja?” tanya Ali.Aku hanya mengangguk, tetapi pria itu malah tersenyum lega. Seolah itu adalah sebuah kabar yang membahagiakan.Ya Allah kenapa Engkau mengirimkan dia padaku. Di saat banyak wanita di luar sana yang mungkin lebih bisa memberikan kebahagiaan baginya.
Sejak hari itu aku tidak pernah lagi bertemu dengan Zayn. Kami benar-benar putus komunikasi. Aku tidak tahu, dia pergi ke luar negeri atau tidak. Selama itu juga ia tak pernah lagi menghubungiku juga Arnav.Hanya saja, dia masih rutin mengisi saldo di kartu debit yang dia peruntukkan untuk biaya Nav. Selebihnya, aku tak tahu kenapa Zayn bisa melakukan ini. Padahal, jauh-jauh hari kami sudah sepakat untuk tetap menjadi orang tua yang baik untuk Nav.Namun, keadaan, wanita dan waktu membuatnya ingkar. Aku sudah tahu ini pasti akan terjadi, tetapi bodohnya masih saja percaya kalau Zayn akan menepati janjinya. Aku keliru. Kupikir akulah yang mengenalnya lebih dalam dari siapa pun. Kenyataannya tidak, begitu banyak hal yang kamu coba sembunyikan.Di saat bisnisku semakin be
Tiba di pesantren aku gegas menyelesaikan administrasi dan hal lain yang menyangkut data diri dan lainnya. Namun, saat itu aku melihat Ali dan Yusuf yang juga tengah mengantre di ruang tunggu. Yusuf sempat melambaikan tangan.Sementara itu, Ali hanya menyapa sekadarnya. Aku masih merasa ia marah padaku. Lantas, kembali sibuk dengan ponselnya.Setelah menyelesaikan pendaftaran. Aku kembali ke ruang tunggu untuk mengecek kembali barang bawaan Arnav. Mungkin saja masih ada yang tertinggal atau kurang.Saat itu tiba di mana giliran Yusuf dipanggil, anak itu dengan ramahnya menyapaku. Berbeda dengan Arnav yang selalu datar saja setiap kali
Aku tak mungkin salah mengenali keduanya. Itu Zayn dan Gavin.Aku masih mengikuti iring-iringan itu sampai ke pemakanan. Hingga tiba di mana Zayn mulai mengazani almarhumah, suasana haru kian menyeruak. Hingga prosesi pemakaman selesai, suasana duka turut menyelimuti.Satu persatu orang-orang mulai meninggalkan tempat peristirahatan terakhir almarhumah Bu Utami.Saat itu aku memilih untuk tinggal. Rasanya ada sedikit sesal, karena sejak terakhir kali kami bertemu, kondisinya masih baik-baik saja. Zayn bahkan, tidak pernah menceritakan keadaan Ibu sama sekali.“Dia sudah enggak ada, Nad.”“Maafkan aku Zayn, aku bahkan enggak pernah nengok ibu. Kenapa kamu enggak pernah kasih tahu tentang sakit ibu ke aku?”Saat itu Gavin masih ada di sana. Pria yang biasanya tak tahu diri dan selalu bersikap semena-mena itu hanya terisak sambil menatap pilu nisan ibu, ia bahkan tak menghiraukan keberadaanku.“Apa itu penti
“Caramu salah, Zayn. Kamu membiarkan kebencian tumbuh di hati anak kita, padahal kamu tidak melakukan kesalahan.”“Cuma itu yang bisa aku lakukan untuk terakhir kali. Aku enggak tahu lagi cara apa lagi, selain membuatnya percaya kalau aku sudah menikah.”“Oke, kalau itu memang maumu.”“Jadi ikut, Nad?”Awalnya aku sedikit ragu, melihat bagaimana kami akan menaiki sepeda motor hanya berdua. Namun, melihat dua pria yang sangat kerepotan mengurus acara pemakaman ibunya. Hatiku tak bisa menolak untuk iba.Aku mengangguk tanda setuju. Menaiki sepeda motor berdua, menit pertama kami hanya saling diam. Bahkan, sampai menit-menit selanjutnya. Zayn juga seperti tak tertarik membuka percakapan. Hingga, tiba di mesin ATM, Zayn memintaku turun. Sedangkan, dia akan menunggu di luar. Sambil membeli beberapa minuman dan snack.Aku memperhatikan bagaimana pria itu sedikit kebingungan. Sampai ia kembali dan han