Pov Nada.
“Kenapa Nad, kok diem aja? Ada masalah?” tanya Ali dengan wajah khawatirnya.
Saat itu aku masih berusaha mengembalikan kesadaran. Bukan apa-apa ini hanya terkesan terlalu mendadak. Sampai tiba-tiba Arnav menghampiriku. Ia hanya diam. Namun, perlahan matanya memerah.
Sejenak kami hanya daling menatap untuk beberapa saat. Seakan dunia berhenti berputar. Kesedihan jelas memancar dari kedua manik mata Nav.
Seakan bicara tangan kirinya meremas ponsel dengan begitu keras.
“Nav, ada apa? Kok tiba-tiba lari? Ada ular, ya?” tahya Yusuf yang masih terengah-engah
“Mana mungkin ada rasa yang seperti itu, Al?”“Ada Nad, karena kamu memang istimewa.”Aku masih tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Dia laki-laki mapan dan rupawan. Entah kenapa bertahun-tahun dia menyia-nyiakan waktunya hanya untuk wanita buruk rupa juga tua sepertiku.“Oke kalau begitu semangat untuk usaha barumu. Katakan saja jika kamu butuh investor.”“Aku bisa mengatasinya sendiri, Al.”“Iya, aku percaya. Kamu memang ahlinya. Aku hanya menawarkan saja, tapi toko ini harus tetap di supply ya. Awas saja kalau tidak!”“Siap, Boss!”“Jadi, sekarang kita masih partner kerja?” tanya Ali.Aku hanya mengangguk, tetapi pria itu malah tersenyum lega. Seolah itu adalah sebuah kabar yang membahagiakan.Ya Allah kenapa Engkau mengirimkan dia padaku. Di saat banyak wanita di luar sana yang mungkin lebih bisa memberikan kebahagiaan baginya.
Sejak hari itu aku tidak pernah lagi bertemu dengan Zayn. Kami benar-benar putus komunikasi. Aku tidak tahu, dia pergi ke luar negeri atau tidak. Selama itu juga ia tak pernah lagi menghubungiku juga Arnav.Hanya saja, dia masih rutin mengisi saldo di kartu debit yang dia peruntukkan untuk biaya Nav. Selebihnya, aku tak tahu kenapa Zayn bisa melakukan ini. Padahal, jauh-jauh hari kami sudah sepakat untuk tetap menjadi orang tua yang baik untuk Nav.Namun, keadaan, wanita dan waktu membuatnya ingkar. Aku sudah tahu ini pasti akan terjadi, tetapi bodohnya masih saja percaya kalau Zayn akan menepati janjinya. Aku keliru. Kupikir akulah yang mengenalnya lebih dalam dari siapa pun. Kenyataannya tidak, begitu banyak hal yang kamu coba sembunyikan.Di saat bisnisku semakin be
Tiba di pesantren aku gegas menyelesaikan administrasi dan hal lain yang menyangkut data diri dan lainnya. Namun, saat itu aku melihat Ali dan Yusuf yang juga tengah mengantre di ruang tunggu. Yusuf sempat melambaikan tangan.Sementara itu, Ali hanya menyapa sekadarnya. Aku masih merasa ia marah padaku. Lantas, kembali sibuk dengan ponselnya.Setelah menyelesaikan pendaftaran. Aku kembali ke ruang tunggu untuk mengecek kembali barang bawaan Arnav. Mungkin saja masih ada yang tertinggal atau kurang.Saat itu tiba di mana giliran Yusuf dipanggil, anak itu dengan ramahnya menyapaku. Berbeda dengan Arnav yang selalu datar saja setiap kali
Aku tak mungkin salah mengenali keduanya. Itu Zayn dan Gavin.Aku masih mengikuti iring-iringan itu sampai ke pemakanan. Hingga tiba di mana Zayn mulai mengazani almarhumah, suasana haru kian menyeruak. Hingga prosesi pemakaman selesai, suasana duka turut menyelimuti.Satu persatu orang-orang mulai meninggalkan tempat peristirahatan terakhir almarhumah Bu Utami.Saat itu aku memilih untuk tinggal. Rasanya ada sedikit sesal, karena sejak terakhir kali kami bertemu, kondisinya masih baik-baik saja. Zayn bahkan, tidak pernah menceritakan keadaan Ibu sama sekali.“Dia sudah enggak ada, Nad.”“Maafkan aku Zayn, aku bahkan enggak pernah nengok ibu. Kenapa kamu enggak pernah kasih tahu tentang sakit ibu ke aku?”Saat itu Gavin masih ada di sana. Pria yang biasanya tak tahu diri dan selalu bersikap semena-mena itu hanya terisak sambil menatap pilu nisan ibu, ia bahkan tak menghiraukan keberadaanku.“Apa itu penti
“Caramu salah, Zayn. Kamu membiarkan kebencian tumbuh di hati anak kita, padahal kamu tidak melakukan kesalahan.”“Cuma itu yang bisa aku lakukan untuk terakhir kali. Aku enggak tahu lagi cara apa lagi, selain membuatnya percaya kalau aku sudah menikah.”“Oke, kalau itu memang maumu.”“Jadi ikut, Nad?”Awalnya aku sedikit ragu, melihat bagaimana kami akan menaiki sepeda motor hanya berdua. Namun, melihat dua pria yang sangat kerepotan mengurus acara pemakaman ibunya. Hatiku tak bisa menolak untuk iba.Aku mengangguk tanda setuju. Menaiki sepeda motor berdua, menit pertama kami hanya saling diam. Bahkan, sampai menit-menit selanjutnya. Zayn juga seperti tak tertarik membuka percakapan. Hingga, tiba di mesin ATM, Zayn memintaku turun. Sedangkan, dia akan menunggu di luar. Sambil membeli beberapa minuman dan snack.Aku memperhatikan bagaimana pria itu sedikit kebingungan. Sampai ia kembali dan han
“Kita bisa bicarakan ini lain kali ‘kan? Bukannya tujuan Nav ke sini mau bantuin Ayah, Nav bahkan belum ke makan nenek,” ucapku.Memecah hening yang terlanjur tercipta.“Nah iya, tapi kayaknya Nav juga capek. Mending istirahat dulu.”Saat itu Zayn langsung menarik ransel Zayn, sehingga tubuh anak itu terpaksa mengikuti langkah kaki ayahnya menuju kamar tidur.Ia mendorong tubuh Arnav ke dalam, lantas kembali menutup pintu. Saat itu Zayn masih saja terlihat canggung, tampak ketika ia tersenyum paksa padaku yang masih duduk di kursi tamu.“Astaghfirrullah, Ayah!”Dari arah dalam terdengar teriakan Arnav yang cukup nyaring. Sontak saja, kami langsung menghampirinya untuk memastikan apa yang terjadi.Begitu pintu terbuka, alangkah terkejutnya aku saat melihat keadaan kamar yang antah berantah. Pakaian yang tergeletak dilantai. Buku-buku yang ditumpuk asal, juga tumpahan kopi yang dibiarka
“Jagung bakarnya datang!” ucap Zayn dengan sekantong besar di tangannya.“Zayn, aku ngantuk.”Saat itu Zayn dan Arnav yang tengah larut dalam tawa mendadak menatapku dengan aneh.“Kok ngantuk sih Bun, kita baru aja kumpul.”“Hari ini Bunda lagi kurang sehat, apa lagi besok harus kembali ke kota jadi enggak apa-apa ya, Bunda tidur duluan?”“Yah, enggak seru banget sih Bun?”Sata tu aku bisa melihat keduanya tampak kecewa. Namun, aku juga tak bisa membohongi perasaanku. Aku membenci Zayn. Meski, kini seseorang menjelaskan jika semua murni karena rasa terima kasih.Aku yang menyaksikan sendiri bagaimana ketika Zayn menatap Ochi dengan pandangan yang sama saat menatapku. Bagaimana ia bahkan tak membiarkan pria wanita itu pulang sendirian.Aku hanya tak sanggup membayangkan hari-hari selama aku tak ada di sampingya. Mungkin saja keduanya sering kali menghabiskan waktu denga
“Enggak begitu kok, Sayang.”“Sekarang Nav, ngerti bedanya Om Ali sama Ayah.”“Sayang, kalau kamu enggak suka Bunda dekat samam Om Ali, lain kali Bunda akan jaga jarak. Oke? Cuma tadi itu kebetulan mobil pick up Bunda rusak. Om Ali cuma nawarin bantuan, ya udah makanya kami tadi di jalanan. Jangan salah paham dulu!”“Nav enggak tahu, kenapa hubungan orang dewasa seribet ini?”“Enggak ribet kok, nanti kalau Nav dewasa, juga pasti ngerti.”“Nav enggak mau nikah Bun, kalau ujungnya cerai.”“Enggak ada pasangan yang mau pernikahannya gagal di tengah jalan Nak, andai saja mengembalikan kepercayaan itu mudah. Bunda pasti sudah melakukannya buat kamu?”“Memangnya apa yang bikin Bunda sampai enggak mau balikkan sama Ayah? Bukannya aku sudah jelasin semuanya.”“Bunda takut kalau suatu hari sakit dan enggak bisa ngapa-ngapain kayak kemar