"Tak ada yang mengira, di sudut jalan itu, sesimpul senyummu mengubah duniaku dalam sekejap dan mungkin selamanya."
***
Semburat jingga khas senja menelusup melalui celah-celah gorden yang terbuka. Rolland menatap refleksi yang terpantul di kaca jendela, dengan latar lengangnya kota Bandar Seri Begawan. Rambut hitam yang acak-acakan−senada dengan lingkaran hitam samar di bawah matanya, menandakan selama beberapa hari ini ia sulit tidur. Ia sendirian. Begitu sekarat, dan tak berguna.
"Kamu baik-baik aja, Lan?"
Suara serak cewek kembali terdengar di speaker ponselnya, membuat Rolland berpikir kalau mungkin saja hati cewek itu juga sama hancur seperti miliknya sekarang. Atau bahkan, lebih parah dari rasa sakit yang ia alami sekarang.
"Kamu tahu," kata Rolland, berusaha menstabilkan emosinya. Ia menghirup oksigen dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Tuhan bisa aja bikin aku enggak bangun lagi besok pagi."
"Sesuai harapan kamu saat kita bertengkar?"
"Gimana kalau itu bener?" sungut Rolland, rahangnya mengeras. "Gimana kalau aku pergi sebelum aku sempat liat kamu untuk yang terakhir kalinya?"
"Kamu nggak akan pergi kemana-mana, Rolland," ujar cewek itu. "Nggak buat sekarang."
"Then stay!" kata Rolland setengah berteriak dan menggenggam erat ponselnya. Mungkin sedikit saja ia menambah kekuatan, ponsel itu akan remuk dalam genggamannya.
"Apa kamu segitu bencinya sama aku, sampai-sampai kamu ninggalin aku disaat aku butuhin kamu?"
"People do care, Rolland. Just not the specific ones you want."
Ucapan cewek itu barusan semakin membuat Rolland tertohok. Namun, ia masih tak ingin memercayai apa pun yang ada di pikirannya sekarang.
"Are you saying that you don't care about me anymore?" Rolland menunggu sepersekian detik dalam hening yang canggung hanya untuk mendengar cewek itu tertawa. Bukan jenis tawa ceria yang biasa ia dengar, melainkan suara tawa yang terdengar begitu putus asa.
"Apa aku masih jadi seseorang yang penting buat kamu?" terdengar cewek itu menghela napas panjang, "Lalu, gimana sama cewek itu?"
"She's just a friend!" bentak Rolland. Ia sudah tidak bisa membendung emosinya, suaranya gemetar menahan isak. "You're the only one who matters." Rolland kembali menanti jawaban, tapi cewek itu tidak menyahut lagi.
"Please ... stay with me." Rolland meremas rambutnya dengan kasar seiring dengan jatuhnya bulir-bulir kepedihan. "Just ... don't go."
"Sorry, Lan. Tapi mungkin, sejak awal kita memang nggak ditakdirkan untuk bersama."
Selanjutnya, yang terdengar hanya bunyi tutt yang panjang. Menandakan kalau cewek di ujung udara telah memutuskan sambungan teleponnya. Rolland mengusap air mata yang membasahi pipi dengan kasar, meski akhirnya basah lagi karena air matanya tak kunjung berhenti mengalir.
"Kisah kita belum berakhir, Metta."
Metta Ivasyana tersenyum─tipis-tipis agar tidak yang menyadari itu saat ia menemukan sebuah surat di laci meja pagi ini. Dua bulan terakhir, ia selalu menerima surat yang isinya kurang lebih sama saja setiap pagi. Puitis dan menggelitik.Aku salah menatap matamu dalam,Aku salah menemukan sorot hangat itu,Aku salah menyukai iris matamu yang indah..Aku salah jatuh terlalu dalam ketika menatapmu.Kalau boleh aku akui, Aku menyukai kedua matamu itu ,Yang selalu memancarkan
Suasana kantin masih sepi mengingat bel istirahat belum berbunyi, tetapi, Joanka Alfiano sudah merapikan rambutnya dengan gaya side-swept pompadour.Sebagai ketua komplotan perang yang paling digandrungi cewek-cewek di SMA Nusantara, ia memakai pomade untuk menambahkan kesan sleekdan maskulinsebelum menjemput Metta ke kelasnya."Luar biasa," kata seorang cowok berkulit putih pucat yang duduk di depan Joanka−Mikhael. Matanya yang kecil meneliti. "Lo selaluberusaha terlihat rapitiap kali pengin ketemu Metta, ya." Dia sengaja menekankan kataberusaha terlihat rapi.Soalnya, Joanka yang dikenal sebagai ketua komplotan paling berbahaya itu memang selalu berpenampilan amburadul layaknya preman setiap hari, tapi selalu merapikan diri kalau sudah berurusan dengan Metta Ivasyana−sa
Sial! Mikha bangun tepat lima belas menit sebelum gerbang sekolah ditutup. Ini adalah sebuah kegilaan yang sudah ia perkirakan sejak sebelum berangkat tidur tadi malam. Semua ini akibat ia mengikuti kegiatan rutin adiknya−Mila−setiap malam, menonton drama korea hingga larut malam tanpa memperhatikan jam. Salahkan saja Mila, dan drama koreanya yang membuat kelewat penasaran.Mikha menuruni anak tangga dengan seragam yang dipasang acak-acakan, dan rambut berantakan tak karuan akibat tidak sempat mandi. "Kenapa nggak ada yang bangunin, sih?" keluhnya saat melihat kedua orangtua dan adiknya sudah hampir selesai sarapan."Ngebo, sih," sambar Mila. "Udah dibangunin dari tadi juga.""Bodo ah." Mikha menyambar gelas susu milik Mila dan menandas habis isinya. "Mi
"Kebanyakan nggak enak sama orang, malah bikin orang lain jadi seenaknya sama kita." *** Joanka menyeka bulir-bulir keringat dengan lengan kaos olahraganya yang basah. Di depannya, Prissy tampak terengah-engah sambil berjongkok memeluk sebuah bola basket. Cuaca siang ini sedang mendung, makanya sepulang sekolah Prissy meminta Joanka untuk mengajarinya bermain basket. Alasannya, karena tidak terlalu terik.Joanka terpaksa menerima ajakan Prissy kali ini, karena terlajur
"Kebanyakan nggak enak sama orang, malah bikin orang lain jadi seenaknya sama kita." *** Joanka menyeka bulir-bulir keringat dengan lengan kaos olahraganya yang basah. Di depannya, Prissy tampak terengah-engah sambil berjongkok memeluk sebuah bola basket. Cuaca siang ini sedang mendung, makanya sepulang sekolah Prissy meminta Joanka untuk mengajarinya bermain basket. Alasannya, karena tidak terlalu terik.Joanka terpaksa menerima ajakan Prissy kali ini, karena terlajur
Sial! Mikha bangun tepat lima belas menit sebelum gerbang sekolah ditutup. Ini adalah sebuah kegilaan yang sudah ia perkirakan sejak sebelum berangkat tidur tadi malam. Semua ini akibat ia mengikuti kegiatan rutin adiknya−Mila−setiap malam, menonton drama korea hingga larut malam tanpa memperhatikan jam. Salahkan saja Mila, dan drama koreanya yang membuat kelewat penasaran.Mikha menuruni anak tangga dengan seragam yang dipasang acak-acakan, dan rambut berantakan tak karuan akibat tidak sempat mandi. "Kenapa nggak ada yang bangunin, sih?" keluhnya saat melihat kedua orangtua dan adiknya sudah hampir selesai sarapan."Ngebo, sih," sambar Mila. "Udah dibangunin dari tadi juga.""Bodo ah." Mikha menyambar gelas susu milik Mila dan menandas habis isinya. "Mi
Suasana kantin masih sepi mengingat bel istirahat belum berbunyi, tetapi, Joanka Alfiano sudah merapikan rambutnya dengan gaya side-swept pompadour.Sebagai ketua komplotan perang yang paling digandrungi cewek-cewek di SMA Nusantara, ia memakai pomade untuk menambahkan kesan sleekdan maskulinsebelum menjemput Metta ke kelasnya."Luar biasa," kata seorang cowok berkulit putih pucat yang duduk di depan Joanka−Mikhael. Matanya yang kecil meneliti. "Lo selaluberusaha terlihat rapitiap kali pengin ketemu Metta, ya." Dia sengaja menekankan kataberusaha terlihat rapi.Soalnya, Joanka yang dikenal sebagai ketua komplotan paling berbahaya itu memang selalu berpenampilan amburadul layaknya preman setiap hari, tapi selalu merapikan diri kalau sudah berurusan dengan Metta Ivasyana−sa
Metta Ivasyana tersenyum─tipis-tipis agar tidak yang menyadari itu saat ia menemukan sebuah surat di laci meja pagi ini. Dua bulan terakhir, ia selalu menerima surat yang isinya kurang lebih sama saja setiap pagi. Puitis dan menggelitik.Aku salah menatap matamu dalam,Aku salah menemukan sorot hangat itu,Aku salah menyukai iris matamu yang indah..Aku salah jatuh terlalu dalam ketika menatapmu.Kalau boleh aku akui, Aku menyukai kedua matamu itu ,Yang selalu memancarkan
"Tak ada yang mengira, di sudut jalan itu, sesimpul senyummu mengubah duniaku dalam sekejap dan mungkin selamanya." *** Semburat jingga khas senja menelusup melalui celah-celah gorden yang terbuka. Rolland menatap refleksi yang terpantul di kaca jendela, dengan latar lengangnya kota Bandar Seri Begawan. Rambut hitam yang acak-acakan−senada dengan lingkaran hitam samar di bawah matanya, menandakan selama beberapa hari ini ia sulit tidur. Ia sendirian. Begitu sekarat, dan tak berguna.