Beranda / Romansa / Redefine / 1. Metta Ivasyana

Share

1. Metta Ivasyana

Penulis: Agnes Wiranda
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-11 12:32:19

     Metta Ivasyana tersenyum─tipis-tipis agar tidak yang menyadari itu saat ia menemukan sebuah surat di laci meja pagi ini. Dua bulan terakhir, ia selalu menerima surat yang isinya kurang lebih sama saja setiap pagi. Puitis dan menggelitik.

Aku salah menatap matamu dalam,

Aku salah menemukan sorot hangat itu,

Aku salah menyukai iris matamu yang indah..

Aku salah jatuh terlalu dalam ketika menatapmu.

Kalau boleh aku akui, Aku menyukai kedua matamu itu ,

Yang selalu memancarkan ketenangan, kehangatan, dan kebahagiaan.

Sekali lagi, aku suka mata mu

Seperti aku menyukai kamu.

Ralat, aku mencintai kamu.

Palangka Raya, November 2018.

"Dasar aneh," katanya sambil melipat dua bagian kertas bermotif hati merah, lalu menjejalnya di saku.

Tidak diragukan lagi, pengirimnya pasti Joanka Alfiano. Satu-satunya cowok di SMA Nusantara yang cukup tangguh untuk seorang Metta Ivasyana dari kasta teratas. Cewek paling cantik serba sempurna. Bagaimana tidak, sifat Metta yang dingin dan jarang berbicara, serta kata-kata sadis yang kerap kali meluncur dari mulut manisnya itu membuat banyak orang sungkan menyapa. Matanya hitam dan sayu, tapi tajam secara bersamaan. Singkatnya, she's a monster with a beautiful face.

Namun, walaupun banyak yang tidak menyukainya, masih ada segelintir orang yang betah berlama-lama berada di sekitar area berbisa Metta. Lalu, mereka akan dengan bangga menawarkan diri menjadi pelindungnya. Contohnya, seperti Joanka yang selalu meletakkan surat cinta di laci Metta setiap pagi. Cowok jangkung berotot, yang sudah menjatuhkan hatinya untuk Metta sejak hari pertama sekolah.

Metta meletakkan ranselnya di atas meja, mengeluarkan buku-buku mata pelajaran pertama. Melirik jam di atas papan tulis, yang diapit gambar Presiden dan Wakilnya. Masih tersisa lima menit sebelum jam pertama dimulai. Dalam hatinya, Metta menghitung diam-diam sambil mengawasi jarum jam.

10 ...

15 ...

35 ...

"Metta!"

Mendengar namanya dipanggil, Metta menyeringai puas saat seorang cowok menggapai mejanya dengan susah payah. Wajah cowok itu memerah. Bulir keringat sebesar biji jagung ada di pelipisnya. Rambutnya terlihat licin akibat pomade yang luntur karena keringat berlebihan.

"Sudah dibaca, ya?" tanya cowok itu di tengah sengal napasnya.

"Hm."

"Hah?" Cowok itu terperangah mendengar sahutan Metta. Metta sadar, mungkin, sahutannya begitu ambigu untuk diterjemahkan oleh cowok yang sedang kepayahan mengatur napasnya sendiri.

"Udah," ralatnya.

Cowok itu mendesah lega, seiring luruhnya lutut menyentuh lantai. Sekarang, posisi mereka berhadap-hadapan walaupun terhalang meja. Jari-jari panjang cowok itu menyisir rambut hitam kecokelatannya yang basah ke belakang. Senyumnya merekah, ada perasaan senang yang membuncah setiap kali ia mendengar suara Metta.

"Jadi, kamu udah nggak marah lagi kan sama aku?" suaranya melembut karena sudah bisa mengontrol napas.

Setiap hari, sebelum jam pertama dimulai, team basket SMA Nusantara harus berlatih di lapangan belakang sekolah yang jaraknya cukup jauh dengan kelas Metta, XI IPA 5. Hal itu pula yang membuatnya harus berlari dengan kecepatan cahaya setiap kali bel pelajaran pertama hampir berbunyi.

"Masih."

"Kok begitu?" Joanka merenggut. "Aku kan nggak datang telat hari ini." 

Alih-alih menyahut, Metta malah mengeluarkan surat cinta yang ditulis Joanka tadi pagi dari saku seragamnya lalu berujar, "Joanka, bisa nggak sih, lo stop nulis-nulis yang beginian? Geli, tahu nggak." Metta mendelik sebal ke arah Joanka yang mulai berdiri.

"Harus begitu, ya?" tanyanya cengengesan.

"Iya."

"Oke, kalau itu menggelikan buat kamu, aku nggak akan nulis-nulis begituan lagi. Tapi, ada syaratnya, ya." Joanka tersenyum semakin hangat. Tak ada sedikitpun rasa tersinggung yang terdeteksi oleh semua orang yang sedang memperhatikan drama percintaan Raja dan Ratu Nusantara itu.

"Nanti kita makan bareng di kantin. Aku yang traktir."

"Hm." Metta terlalu malas berlama-lama mengobrol dengan Joanka. Lebih tepatnya, Joanka dianggapnya menghalangi pandangan.

"Istirahat aku ke sini. Aku balik kelas, ya. Belajar yang rajin." Joanka menepuk kepala Metta dengan sayang sebelum berlalu meninggalkan kelas XI IPA 5.

Metta memegang puncak kepalanya, terasa sedikit lengket akibat keringat di tangan Joanka. "Gue benci ini," desahnya pasrah saat guru matematika berkumis tipis memasuki ruangan.

Bab terkait

  • Redefine   2. Joanka Alfiano Batara

    Suasana kantin masih sepi mengingat bel istirahat belum berbunyi, tetapi, Joanka Alfiano sudah merapikan rambutnya dengan gaya side-swept pompadour.Sebagai ketua komplotan perang yang paling digandrungi cewek-cewek di SMA Nusantara, ia memakai pomade untuk menambahkan kesan sleekdan maskulinsebelum menjemput Metta ke kelasnya."Luar biasa," kata seorang cowok berkulit putih pucat yang duduk di depan Joanka−Mikhael. Matanya yang kecil meneliti. "Lo selaluberusaha terlihat rapitiap kali pengin ketemu Metta, ya." Dia sengaja menekankan kataberusaha terlihat rapi.Soalnya, Joanka yang dikenal sebagai ketua komplotan paling berbahaya itu memang selalu berpenampilan amburadul layaknya preman setiap hari, tapi selalu merapikan diri kalau sudah berurusan dengan Metta Ivasyana−sa

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-11
  • Redefine   3. Mikhael Pradipta Hernan

    Sial! Mikha bangun tepat lima belas menit sebelum gerbang sekolah ditutup. Ini adalah sebuah kegilaan yang sudah ia perkirakan sejak sebelum berangkat tidur tadi malam. Semua ini akibat ia mengikuti kegiatan rutin adiknya−Mila−setiap malam, menonton drama korea hingga larut malam tanpa memperhatikan jam. Salahkan saja Mila, dan drama koreanya yang membuat kelewat penasaran.Mikha menuruni anak tangga dengan seragam yang dipasang acak-acakan, dan rambut berantakan tak karuan akibat tidak sempat mandi. "Kenapa nggak ada yang bangunin, sih?" keluhnya saat melihat kedua orangtua dan adiknya sudah hampir selesai sarapan."Ngebo, sih," sambar Mila. "Udah dibangunin dari tadi juga.""Bodo ah." Mikha menyambar gelas susu milik Mila dan menandas habis isinya. "Mi

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-11
  • Redefine   4. Princessia Agatha

    "Kebanyakan nggak enak sama orang, malah bikin orang lain jadi seenaknya sama kita." *** Joanka menyeka bulir-bulir keringat dengan lengan kaos olahraganya yang basah. Di depannya, Prissy tampak terengah-engah sambil berjongkok memeluk sebuah bola basket. Cuaca siang ini sedang mendung, makanya sepulang sekolah Prissy meminta Joanka untuk mengajarinya bermain basket. Alasannya, karena tidak terlalu terik.Joanka terpaksa menerima ajakan Prissy kali ini, karena terlajur

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-11
  • Redefine   Prolog

    "Tak ada yang mengira, di sudut jalan itu, sesimpul senyummu mengubah duniaku dalam sekejap dan mungkin selamanya." *** Semburat jingga khas senja menelusup melalui celah-celah gorden yang terbuka. Rolland menatap refleksi yang terpantul di kaca jendela, dengan latar lengangnya kota Bandar Seri Begawan. Rambut hitam yang acak-acakan−senada dengan lingkaran hitam samar di bawah matanya, menandakan selama beberapa hari ini ia sulit tidur. Ia sendirian. Begitu sekarat, dan tak berguna.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-11

Bab terbaru

  • Redefine   4. Princessia Agatha

    "Kebanyakan nggak enak sama orang, malah bikin orang lain jadi seenaknya sama kita." *** Joanka menyeka bulir-bulir keringat dengan lengan kaos olahraganya yang basah. Di depannya, Prissy tampak terengah-engah sambil berjongkok memeluk sebuah bola basket. Cuaca siang ini sedang mendung, makanya sepulang sekolah Prissy meminta Joanka untuk mengajarinya bermain basket. Alasannya, karena tidak terlalu terik.Joanka terpaksa menerima ajakan Prissy kali ini, karena terlajur

  • Redefine   3. Mikhael Pradipta Hernan

    Sial! Mikha bangun tepat lima belas menit sebelum gerbang sekolah ditutup. Ini adalah sebuah kegilaan yang sudah ia perkirakan sejak sebelum berangkat tidur tadi malam. Semua ini akibat ia mengikuti kegiatan rutin adiknya−Mila−setiap malam, menonton drama korea hingga larut malam tanpa memperhatikan jam. Salahkan saja Mila, dan drama koreanya yang membuat kelewat penasaran.Mikha menuruni anak tangga dengan seragam yang dipasang acak-acakan, dan rambut berantakan tak karuan akibat tidak sempat mandi. "Kenapa nggak ada yang bangunin, sih?" keluhnya saat melihat kedua orangtua dan adiknya sudah hampir selesai sarapan."Ngebo, sih," sambar Mila. "Udah dibangunin dari tadi juga.""Bodo ah." Mikha menyambar gelas susu milik Mila dan menandas habis isinya. "Mi

  • Redefine   2. Joanka Alfiano Batara

    Suasana kantin masih sepi mengingat bel istirahat belum berbunyi, tetapi, Joanka Alfiano sudah merapikan rambutnya dengan gaya side-swept pompadour.Sebagai ketua komplotan perang yang paling digandrungi cewek-cewek di SMA Nusantara, ia memakai pomade untuk menambahkan kesan sleekdan maskulinsebelum menjemput Metta ke kelasnya."Luar biasa," kata seorang cowok berkulit putih pucat yang duduk di depan Joanka−Mikhael. Matanya yang kecil meneliti. "Lo selaluberusaha terlihat rapitiap kali pengin ketemu Metta, ya." Dia sengaja menekankan kataberusaha terlihat rapi.Soalnya, Joanka yang dikenal sebagai ketua komplotan paling berbahaya itu memang selalu berpenampilan amburadul layaknya preman setiap hari, tapi selalu merapikan diri kalau sudah berurusan dengan Metta Ivasyana−sa

  • Redefine   1. Metta Ivasyana

    Metta Ivasyana tersenyum─tipis-tipis agar tidak yang menyadari itu saat ia menemukan sebuah surat di laci meja pagi ini. Dua bulan terakhir, ia selalu menerima surat yang isinya kurang lebih sama saja setiap pagi. Puitis dan menggelitik.Aku salah menatap matamu dalam,Aku salah menemukan sorot hangat itu,Aku salah menyukai iris matamu yang indah..Aku salah jatuh terlalu dalam ketika menatapmu.Kalau boleh aku akui, Aku menyukai kedua matamu itu ,Yang selalu memancarkan

  • Redefine   Prolog

    "Tak ada yang mengira, di sudut jalan itu, sesimpul senyummu mengubah duniaku dalam sekejap dan mungkin selamanya." *** Semburat jingga khas senja menelusup melalui celah-celah gorden yang terbuka. Rolland menatap refleksi yang terpantul di kaca jendela, dengan latar lengangnya kota Bandar Seri Begawan. Rambut hitam yang acak-acakan−senada dengan lingkaran hitam samar di bawah matanya, menandakan selama beberapa hari ini ia sulit tidur. Ia sendirian. Begitu sekarat, dan tak berguna.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status