“Tumben belum pulang,” ujar Kandara saat melihat Katha asik menonton video seorang beauty vloger melalui gawainya. Dia kemudian melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul enam sore.
Katha menoleh dan mendapati Kandara di depan pintu ruangannya yang sudah terbuka. “Nunggu Rabu,” jawabnya.
“Gue kira kalian masih berantem.” Lelaki itu terkekeh sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana.
Kernyitan muncul di kening Katha. “Apaan, sih? Gue nggak lagi berantem, ya.”
Kandara mengangkat bahunya. “Ya, terserah kalau nggak mau ngaku.” Dia menutup pintu ruangannya sendiri. Tangan kanannya sudah menenteng tas kerja.
“Rese banget, sih, lo!” seru Katha sambil mematikan layar gawainya. Mood menoton sudah hilang gara-gara kata-kata kakaknya itu. Sebab, dia jadi ingat kembali pertiakaiannya dengan Rabu, chat yang ternyata benar dikirim oleh Langit siang tadi, dan yang lebih parah efeknya adalah pertanyaan Kandara pagi tadi di mobil.
Bukann
Usaha berbaikan Rabu rupanya dirusak oleh dirinya sendiri. Perasaan diabaikan itu membuatnya marah pada Katha dan enggan berbicara pada perempuan itu. Selama sisa makan malam, Katha sibuk berbincang soal Bhanu Ayase, padahal keduanya duduk di meja yang berbeda. Bahkan Katha sempat menawarkan mereka untuk pindah ke meja yang bisa diisi empat orang. Maka sebab itu, Rabu sudah tak bisa lagi menahan rasa cemburunya. Dia mengabaikan Katha, hingga perempuan itu turut memusuhinya. “Apaan, sih, ngambek nggak jelas,” gerutu Katha pagi harinya dia menemukan Rabu tidur di karpet depan televisi. Rabu yang mendengar itu hanya diam dan membuang muka. Dia ingin Katha sadar bahwa sesi makan malam mereka terganggu karena dia secara tidak langsung mempersilakan Sakha bergabung dengan mereka walau beda meja. Namun, harapan memang hanya harapan. Dan Katha adalah Katha. Sedangkan Katha juga sama jengkelnya. Malas bertemu muka dengan Rabu di hari Minggu seperti ini, akhirn
Setelah curhat ke Shae, bukannya membaik, Katha malah makin pening. Dia yakin sekali kalau Rabu memang tidak punya perasaan apa pun padanya selain rasa sayang sebagai sahabat. Dan mungkin sekarang bertambah rasa tanggung jawab karena mereka suami-istri—meski di atas kontrak. Namun, atas pernyataan Shae juga, dia jadi mulai menduga-duga dari perilaku Rabu selama ini yang sedikit berubah. Bahkan termasuk makam malam di restoran mahal itu. Sungguh bukan ciri seorang Rabu. Meski berduit, lelaki itu hobi makan di warung tenda pinggir jalan, rumah makan keluarga—seperti Angkasa—dan warung biasa. Tapi, lagi-lagi kepalanya menyangkal. “Katanya dia mau minta maaf. Iya, itu masuk akal.” Tanpa sadar dia bergumam sendiri, hingga orang yang sedang mengemudi mengerutkan dahi. “Lo kenapa, Tha?” Itu Rendra. Lelak itu tadi benar-benar kembali ke apartemen dengan membawa tteokbokki tiga porsi, kimbab dan odeng. Setelahnya dia mengikuti para gadis yang sibuk menonton film korea
“Lo mau kerja?” tanya Katha dari arah dapur saat melihat Rabu sudah memakai pakaian kantor. Yang ditanya menganggukkan kepala, mengulas senyum lebar, lalu menarik kursi meja makan. “Gue udah sehat, kok.” Katha memutar matanya malas. Dia kembali mengaduk bubur dalam panci yang sudah hampir matang. Kediaman terjadi di antara mereka. Namun, Katha bisa merasakan tatapan Rabu sedang berada pada punggungnya. “Nggak usah kerja dulu kenapa, sih?” tanya Katha, berusaha menahan marah pada orang yang sedang sakit. Dan meski Rabu mengaku sudah sehat, dia baru memastikan kondisi lelaki itu subuh tadi. Hasilnya, masih demam, meski tak separah semalam. Lagi pula, pagi ini hujan masih mengguyur kota. Kalau cuaca tiba-tiba panas di siang hari dan hujan di sore hari, maka kondisi Rabu sudah bisa dia pastikan tidak akan pulih secepat itu. “Gue ada kerjaan, Tha. Hari ini peluncuran produk baru,” jawab Rabu. Katha bisa mendengar suara alas gelas beradu den
“Kan, dari tim produksi mau ketemu lo,” ujar Katha sambil masuk ke dalam ruangan. Kandara yang sedari tadi fokus menatap komputer menoleh dengan kening berkerut. “Tumben masuk?” tanyanya. Sebab, biasanya Katha hanya perlu menelepon ke ruangannya. “Mau sekalian izin makan siang nggak jadi sama lo,” ujar Katha. Kemarin memang Kandara sempat kesal tidak diajak makan dikantin saat Katha mengatakan menu makan siangnya sangat lezat. Jadinya Kandara meminta Katha mengajaknya untuk kali ini. Padahal selama ini jarang sekali Kandara mau makan di kantin. Karena sekali Kandara ke kantin, maka para karyawan terlihat tidak nyaman dengan kehadirannya. Selain itu, dia juga tidak ingin berinteraksi dengan banyak orang. Akan tetapi godaan adiknya kemarin membuat dia akhirnya kalah. “Kok gitu? Lo nyuruh gue makan di kantin sendiri?” Katha tertawa mendengar pertanyaan kakaknya. “Ya, lo makan aja kayak biasanya. Sama teman-temen lo, atau pesen aja. Kan gue nggak
Katha tidak berhasil membawa Rabu kembali ke rumah. Lelaki itu bersikeras berada di kantor karena ada meeting jelang petang nanti. Padahal kondisinya belum membaik. Namun, karena kesal memaksa, Katha akhirnya hanya mengompres Rabu setelah membantu lelaki itu minum obat. “Lo minta jemput Sakha aja,” bisik Rabu. Mata lelaki itu sudah terpejam. Katha mendengkus. Sedari tadi ocehan Rabu perkara namanya yang mirip dengan nama Sakha terus saja terulang. Sebab itu pula Katha mengatakan bahwa Rabu belum sehat total. Dia pikir Rabu mulai mengigau karena panas tubuhnya yang naik. “Ngoceh sekali lagi, gue seret ke UGD lo, ya!” bentak Katha. Dia kemudian berdiri, lalu membuka pintu ruangan Rabu sambil membawa tas. Shofi yang sedang membaca barkas untuk rapat nanti langsung berdiri ketika menyadari kehadiran Katha. “Kenapa, Mbak?” tanyanya. “Aku titip Rabu, ya. Tolong cek kompresannya dan gantiin airnya,” ujar Katha. “Mbak Katha mau balik ke kantor
Hari ini terasa begitu melalahkan untuk seorang Katha yang suka melakukan hal apa pun seenaknya sendiri. Dia merasa melakukan banyak hal yang baisanya tidak dia lakukan. Apalagi dia sudah mengamuk beberapa kali dalam sehari karena dua lelaki dalam hidupnya. Sekarang, dia berdiri di pinggir jalan raya setelah belanja sedikit bahan memasak, karena stok di rumah hampir habis. Dia dan Rabu belum belanja lagi untuk kebutuhan rumah. “Itu anak udah makan apa belum jadinya,” gumam Katha seorang diri. Dia memang tidak menghubungi Langit lagi, sebab dia juga hendak ke sana sekarang dan sedang menunggu taksi online. Lalu, dua menit kemudian sebuah mobil berhenti di sebelah Katha. Itu taksi online yang dia pesan. Di perjalanan, dia beberapa kali hampir tertidur. Dan jam pun memang sudah nyaris menyentuh angka sembilan. Untuk pertemuan di restoran Jepang tadi tak berlangsung lama. Para klien punya janji temu lain, sehingga mereka hanya bisa meluangkan waktu sebent
“Nanti gue jemput jam empat,” ujar Rabu untuk kesekian kalinya. Katha memutar mata sambil melepaskan seatbelt. Dia menarik tali tas di pangkuan dan bersiap turun. Namun, tangan Rabu mencekal pergelangan tangan kanannya. “Apa lagi, Bu? Setelah hampir seminggu lo buat kesel gue sepanjang waktu karena sakit, sekarang apa lagi?” Tidak. Katha tidak bermaksud mengatakan hal yang buruk. Akan tetapi sepertinya ucapannya kali ini menyakiti Rabu. Lelaki itu terdiam. Sementara itu, Rabu memanglah cukup terkejut dengan ucapan Katha tadi. Rasanya perempuan itu bukan sekadar asal bicara seperti biasa, melainkan benar-benar menyatakan apa yang dia rasakan. Jadi, selama ini mungkin dia keterlaluan meminta perhatian Katha selama sakit. “Maaf. Gue cuma mau mastiin aja,” jawab Rabu. Dia menghela napas, lalu melepaskan cekalan tangannya pada Katha. Katha tercengang melihat respon Rabu. Bukannya lelaki yang duduk di balik kemudia mobil ini Guntur Prabu Kusuma? Sabat yang
“Kenapa muka lo gitu?” tanya Rabu saat Katha sudah masuk ke mobilnya. Dia belum juga menjalankan mobil karena wajah Katha yang terlihat berbeda. Sahabatnya itu tampak sedang memikirkan sesuatu dan tidak bisa fokus. Dan sesuai dugaan Rabu, Katha memang sedang tidak fokus. Kejadian di restoran Jepang tadi masih mengganggunya. Bertemu dengan dua orang Atmaja di tempat yang sama terasa seperti sebuah skenario. Ya, meski dia tahu itu tempat umum. Apalagi Sakha datang bersama beberapa orang. Jadi, tidak seharusnya dia menaruh curiga yang sama seperti saat dia memikirkan kedatangan Rakha yang ganjil. “Heh!” Rabu mengguncang bahu Katha. Dia lantas merampas tas di pangkuan perempuan itu, lalu meletakkannya di bangku belakang. Saat itulah Katha akhirnya sadar. Dia mengerjap. “Tas gue?” tanyanya sambil menatap Rabu. Normalnya, pandangan Katha di situasi seperti ini adalah kemarahan. Namun, kali ini tidak. “Lo kenapa? Ada masalah sama kerjaan? Atau masih