Usaha berbaikan Rabu rupanya dirusak oleh dirinya sendiri. Perasaan diabaikan itu membuatnya marah pada Katha dan enggan berbicara pada perempuan itu. Selama sisa makan malam, Katha sibuk berbincang soal Bhanu Ayase, padahal keduanya duduk di meja yang berbeda. Bahkan Katha sempat menawarkan mereka untuk pindah ke meja yang bisa diisi empat orang.
Maka sebab itu, Rabu sudah tak bisa lagi menahan rasa cemburunya. Dia mengabaikan Katha, hingga perempuan itu turut memusuhinya.
“Apaan, sih, ngambek nggak jelas,” gerutu Katha pagi harinya dia menemukan Rabu tidur di karpet depan televisi.
Rabu yang mendengar itu hanya diam dan membuang muka. Dia ingin Katha sadar bahwa sesi makan malam mereka terganggu karena dia secara tidak langsung mempersilakan Sakha bergabung dengan mereka walau beda meja. Namun, harapan memang hanya harapan. Dan Katha adalah Katha.
Sedangkan Katha juga sama jengkelnya. Malas bertemu muka dengan Rabu di hari Minggu seperti ini, akhirn
Setelah curhat ke Shae, bukannya membaik, Katha malah makin pening. Dia yakin sekali kalau Rabu memang tidak punya perasaan apa pun padanya selain rasa sayang sebagai sahabat. Dan mungkin sekarang bertambah rasa tanggung jawab karena mereka suami-istri—meski di atas kontrak. Namun, atas pernyataan Shae juga, dia jadi mulai menduga-duga dari perilaku Rabu selama ini yang sedikit berubah. Bahkan termasuk makam malam di restoran mahal itu. Sungguh bukan ciri seorang Rabu. Meski berduit, lelaki itu hobi makan di warung tenda pinggir jalan, rumah makan keluarga—seperti Angkasa—dan warung biasa. Tapi, lagi-lagi kepalanya menyangkal. “Katanya dia mau minta maaf. Iya, itu masuk akal.” Tanpa sadar dia bergumam sendiri, hingga orang yang sedang mengemudi mengerutkan dahi. “Lo kenapa, Tha?” Itu Rendra. Lelak itu tadi benar-benar kembali ke apartemen dengan membawa tteokbokki tiga porsi, kimbab dan odeng. Setelahnya dia mengikuti para gadis yang sibuk menonton film korea
“Lo mau kerja?” tanya Katha dari arah dapur saat melihat Rabu sudah memakai pakaian kantor. Yang ditanya menganggukkan kepala, mengulas senyum lebar, lalu menarik kursi meja makan. “Gue udah sehat, kok.” Katha memutar matanya malas. Dia kembali mengaduk bubur dalam panci yang sudah hampir matang. Kediaman terjadi di antara mereka. Namun, Katha bisa merasakan tatapan Rabu sedang berada pada punggungnya. “Nggak usah kerja dulu kenapa, sih?” tanya Katha, berusaha menahan marah pada orang yang sedang sakit. Dan meski Rabu mengaku sudah sehat, dia baru memastikan kondisi lelaki itu subuh tadi. Hasilnya, masih demam, meski tak separah semalam. Lagi pula, pagi ini hujan masih mengguyur kota. Kalau cuaca tiba-tiba panas di siang hari dan hujan di sore hari, maka kondisi Rabu sudah bisa dia pastikan tidak akan pulih secepat itu. “Gue ada kerjaan, Tha. Hari ini peluncuran produk baru,” jawab Rabu. Katha bisa mendengar suara alas gelas beradu den
“Kan, dari tim produksi mau ketemu lo,” ujar Katha sambil masuk ke dalam ruangan. Kandara yang sedari tadi fokus menatap komputer menoleh dengan kening berkerut. “Tumben masuk?” tanyanya. Sebab, biasanya Katha hanya perlu menelepon ke ruangannya. “Mau sekalian izin makan siang nggak jadi sama lo,” ujar Katha. Kemarin memang Kandara sempat kesal tidak diajak makan dikantin saat Katha mengatakan menu makan siangnya sangat lezat. Jadinya Kandara meminta Katha mengajaknya untuk kali ini. Padahal selama ini jarang sekali Kandara mau makan di kantin. Karena sekali Kandara ke kantin, maka para karyawan terlihat tidak nyaman dengan kehadirannya. Selain itu, dia juga tidak ingin berinteraksi dengan banyak orang. Akan tetapi godaan adiknya kemarin membuat dia akhirnya kalah. “Kok gitu? Lo nyuruh gue makan di kantin sendiri?” Katha tertawa mendengar pertanyaan kakaknya. “Ya, lo makan aja kayak biasanya. Sama teman-temen lo, atau pesen aja. Kan gue nggak
Katha tidak berhasil membawa Rabu kembali ke rumah. Lelaki itu bersikeras berada di kantor karena ada meeting jelang petang nanti. Padahal kondisinya belum membaik. Namun, karena kesal memaksa, Katha akhirnya hanya mengompres Rabu setelah membantu lelaki itu minum obat. “Lo minta jemput Sakha aja,” bisik Rabu. Mata lelaki itu sudah terpejam. Katha mendengkus. Sedari tadi ocehan Rabu perkara namanya yang mirip dengan nama Sakha terus saja terulang. Sebab itu pula Katha mengatakan bahwa Rabu belum sehat total. Dia pikir Rabu mulai mengigau karena panas tubuhnya yang naik. “Ngoceh sekali lagi, gue seret ke UGD lo, ya!” bentak Katha. Dia kemudian berdiri, lalu membuka pintu ruangan Rabu sambil membawa tas. Shofi yang sedang membaca barkas untuk rapat nanti langsung berdiri ketika menyadari kehadiran Katha. “Kenapa, Mbak?” tanyanya. “Aku titip Rabu, ya. Tolong cek kompresannya dan gantiin airnya,” ujar Katha. “Mbak Katha mau balik ke kantor
Hari ini terasa begitu melalahkan untuk seorang Katha yang suka melakukan hal apa pun seenaknya sendiri. Dia merasa melakukan banyak hal yang baisanya tidak dia lakukan. Apalagi dia sudah mengamuk beberapa kali dalam sehari karena dua lelaki dalam hidupnya. Sekarang, dia berdiri di pinggir jalan raya setelah belanja sedikit bahan memasak, karena stok di rumah hampir habis. Dia dan Rabu belum belanja lagi untuk kebutuhan rumah. “Itu anak udah makan apa belum jadinya,” gumam Katha seorang diri. Dia memang tidak menghubungi Langit lagi, sebab dia juga hendak ke sana sekarang dan sedang menunggu taksi online. Lalu, dua menit kemudian sebuah mobil berhenti di sebelah Katha. Itu taksi online yang dia pesan. Di perjalanan, dia beberapa kali hampir tertidur. Dan jam pun memang sudah nyaris menyentuh angka sembilan. Untuk pertemuan di restoran Jepang tadi tak berlangsung lama. Para klien punya janji temu lain, sehingga mereka hanya bisa meluangkan waktu sebent
“Nanti gue jemput jam empat,” ujar Rabu untuk kesekian kalinya. Katha memutar mata sambil melepaskan seatbelt. Dia menarik tali tas di pangkuan dan bersiap turun. Namun, tangan Rabu mencekal pergelangan tangan kanannya. “Apa lagi, Bu? Setelah hampir seminggu lo buat kesel gue sepanjang waktu karena sakit, sekarang apa lagi?” Tidak. Katha tidak bermaksud mengatakan hal yang buruk. Akan tetapi sepertinya ucapannya kali ini menyakiti Rabu. Lelaki itu terdiam. Sementara itu, Rabu memanglah cukup terkejut dengan ucapan Katha tadi. Rasanya perempuan itu bukan sekadar asal bicara seperti biasa, melainkan benar-benar menyatakan apa yang dia rasakan. Jadi, selama ini mungkin dia keterlaluan meminta perhatian Katha selama sakit. “Maaf. Gue cuma mau mastiin aja,” jawab Rabu. Dia menghela napas, lalu melepaskan cekalan tangannya pada Katha. Katha tercengang melihat respon Rabu. Bukannya lelaki yang duduk di balik kemudia mobil ini Guntur Prabu Kusuma? Sabat yang
“Kenapa muka lo gitu?” tanya Rabu saat Katha sudah masuk ke mobilnya. Dia belum juga menjalankan mobil karena wajah Katha yang terlihat berbeda. Sahabatnya itu tampak sedang memikirkan sesuatu dan tidak bisa fokus. Dan sesuai dugaan Rabu, Katha memang sedang tidak fokus. Kejadian di restoran Jepang tadi masih mengganggunya. Bertemu dengan dua orang Atmaja di tempat yang sama terasa seperti sebuah skenario. Ya, meski dia tahu itu tempat umum. Apalagi Sakha datang bersama beberapa orang. Jadi, tidak seharusnya dia menaruh curiga yang sama seperti saat dia memikirkan kedatangan Rakha yang ganjil. “Heh!” Rabu mengguncang bahu Katha. Dia lantas merampas tas di pangkuan perempuan itu, lalu meletakkannya di bangku belakang. Saat itulah Katha akhirnya sadar. Dia mengerjap. “Tas gue?” tanyanya sambil menatap Rabu. Normalnya, pandangan Katha di situasi seperti ini adalah kemarahan. Namun, kali ini tidak. “Lo kenapa? Ada masalah sama kerjaan? Atau masih
Langit sudah gelap saat dua orang berseragam itu keluar dari perpustakaan kota. Keduanya lantas mendesah saat merasakan perut masing-masing mulai melancarkan aksi protes. “Gara-gara lo gue harus kelaparan,” protes Katha. Rabu menoyor kepala Katha pelan. “Setidaknya otak ini harus dipakai sesekali biar nggak aus.” Katha menepis tangan Rabu dari kepalanya, lalu berjalan lebih dulu keluar dari gerbang perpustakaan kota. Jalanan sangat ramai, dan lampu penerang jalanan terang benderang. Itu normal saja, sebab sekarang adalah sabtu malam. Dan juga, ini masih jam tujuh. “Makan apa, nih? Gue mau burger.” “Kalau udah tau jawabannya, ngapain nanya,” sahut Rabu. “Formalitas,” jawab Katha cuek. “Yuk!” Dia kembali berjalan, mencari angkot yang bisa membawa mereka ke restoran fast food terdekat. Mengenai angkot, Katha sudah terbiasa sejak eyang memintanya berangkat sekolah bersama Rabu. Ya, walau dia sempat merengek minta diantarkan supir eyangnya.
Rakha: ‘Katha, aku mau minta maaf karena selama ini membuatmu tidak nyaman. Aku sudah berusaha mengingatkanmu, tapi Sakha berulang kali memergoki aksiku. Makanya aku terpaksa melakukan hal-hal mencolok agar kamu sendiri yang datang menemuiku. Tapi ternyata itu malah membuat salah paham di antara kita.Jujur aku tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kita. Tapi aku cukup panik saat tahu kamu ternyata bertemu Sakha dan malah berencana menikah dengan bajingan itu. Setelah kucari tahu, ternyata dia memang menargetkanmu sejak lama. Tenyata kencan kita itu ada campur tangan dia dan mamaku.Sekali lagi maafkan aku yang salah memberikan sinyal, lambat, dan terlalu takut pada ancaman Sakha, sehingga membuat kamu dan suami berada dalam bahaya. Semoga bantuan kecil yang kuberikan kemarin, membuat kamu tidak terlalu marah padaku.’Katha mematikan layar gawainya, lalu menghela napas. Dia menoleh ke arah Rabu yang tersenyum di sebelahnya.Saat ini merek
Hal pertama yang Rabu lakukan setelah sadar adalah mencari dokter yang menangani Katha, dan mengabaikan rasa sakit pada jahitan di perutnya. Dia kembali meminta dokter itu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Katha. Sementara Kandara yang menemaninya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tak punya kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan pada Rabu yang sudah terlanjur panik dan sibuk sendiri. Iparnya itu bahkan lebih mendahulukan pencarian dokter ketimbang masuk ke ruang rawat Katha. “Pak, saya bicara dulu boleh?” tanya Pram, dokter yang mengani Katha. Dia mengulas senyum ramah, mencoba membuat Rabu tenang. Kandara menepuk pundak Rabu. “Tenang. Dengerin dulu kata dokter,” ujarnya. Lalu dia menoleh pada Pram. “Dokter, maaf. Saya tidak bisa ngomong apa-apa tadi karena dia sudah kesetanan begini.” Pram tersenyum maklum. Dia sudah menangani berbagai macam pasien. Mulai yang sangat tidak ekspresif, sampai yang mudah panik macam Rabu. “Tidak m
Peluru itu melesat cepat dan berhasil menggores lengan Katha, meski perempuan itu sudah ditarik oleh Rabu ke lain sisi. Daras seketika mengucur, dan kepala Katha kian memberat. Meski begitu, yang dia khawatirkan hanyalah Rabu. “Bu, luka kamu!” teriak Katha. Sayangnya Rabu sudah tak mempedulikan lukanya lagi. Dia harus bertindak, sebab kini Sakha tertawa dan kembali mengacungkan pistolnya di udara moncong pistol itu mengarah pada Katha yagn tengah memunggungi lelaki itu untu memeriksa luka di perutnya. “Hentikan, Sakha!” teriak Rabu menggelegar. Dia menoleh ke sebelah, dan menapati Rendra dan Langit sudah kepayahan.Tiga orang memang sudah tergeletak tak sadarkan diri, tapi yang lainnya tetap menyerang meski dengan beberapa luka di badan mereka. Begitu juga dengan Rendra dan Langit. Wajah keduanya sudah dipenuhi lebam. “Kenapa harus berhenti? Bukankah ini menyenangkan?” tanya Sakha sembari masih tertawa. “Kalau aku tidak bisa memiliki Katha, bukankah ak
Rabu berusaha keras menghentikan Katha. Namun, peremuan itu benar-benar menulikan telinga. Dia pasrah ditatap Sakha dengan seringaian menakutkan yang tak kunjung luntur. “Tampaknya kamu bersungguh-sungguh,” ujar Sakha. “Iya,” jawab Katha cepat. “Tapi lo janji jangan sampai menyakiti Rabu.” Sakha mengalihkan mata ke arah Rabu yang sedang berlutut dengan kedua tangan dicekal oleh anak buahnya. Jarak mereka kini sekitar tiga meter. Dia kemudian mengangkat sebelah alisnya, dan Rabu seketika mengerang. “Berhenti, Sakha! Jangan sentuh istri gue!” teriak Rabu. “Ah, ini yang buat aku menjalankan rencanaku lebih cepat dari seharusnya. Harusnya aku buat Katha jatuh cinta dan ketergantungan dulu denganku. Sayangnya, hubungan kalian malah semakin dekat. Ck, ck, ck.” Sakha menjentikkan jarinya. “Tapi tidak masalah. Sekarang Katha malah memohon padaku.” Dia mengembalikan pandangan pada Katha. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu melihatku sebagai seoran
Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai
Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan
Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba
“Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum
Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya