“Lo mau kerja?” tanya Katha dari arah dapur saat melihat Rabu sudah memakai pakaian kantor.
Yang ditanya menganggukkan kepala, mengulas senyum lebar, lalu menarik kursi meja makan. “Gue udah sehat, kok.”
Katha memutar matanya malas. Dia kembali mengaduk bubur dalam panci yang sudah hampir matang.
Kediaman terjadi di antara mereka. Namun, Katha bisa merasakan tatapan Rabu sedang berada pada punggungnya.
“Nggak usah kerja dulu kenapa, sih?” tanya Katha, berusaha menahan marah pada orang yang sedang sakit. Dan meski Rabu mengaku sudah sehat, dia baru memastikan kondisi lelaki itu subuh tadi. Hasilnya, masih demam, meski tak separah semalam. Lagi pula, pagi ini hujan masih mengguyur kota. Kalau cuaca tiba-tiba panas di siang hari dan hujan di sore hari, maka kondisi Rabu sudah bisa dia pastikan tidak akan pulih secepat itu.
“Gue ada kerjaan, Tha. Hari ini peluncuran produk baru,” jawab Rabu.
Katha bisa mendengar suara alas gelas beradu den
“Kan, dari tim produksi mau ketemu lo,” ujar Katha sambil masuk ke dalam ruangan. Kandara yang sedari tadi fokus menatap komputer menoleh dengan kening berkerut. “Tumben masuk?” tanyanya. Sebab, biasanya Katha hanya perlu menelepon ke ruangannya. “Mau sekalian izin makan siang nggak jadi sama lo,” ujar Katha. Kemarin memang Kandara sempat kesal tidak diajak makan dikantin saat Katha mengatakan menu makan siangnya sangat lezat. Jadinya Kandara meminta Katha mengajaknya untuk kali ini. Padahal selama ini jarang sekali Kandara mau makan di kantin. Karena sekali Kandara ke kantin, maka para karyawan terlihat tidak nyaman dengan kehadirannya. Selain itu, dia juga tidak ingin berinteraksi dengan banyak orang. Akan tetapi godaan adiknya kemarin membuat dia akhirnya kalah. “Kok gitu? Lo nyuruh gue makan di kantin sendiri?” Katha tertawa mendengar pertanyaan kakaknya. “Ya, lo makan aja kayak biasanya. Sama teman-temen lo, atau pesen aja. Kan gue nggak
Katha tidak berhasil membawa Rabu kembali ke rumah. Lelaki itu bersikeras berada di kantor karena ada meeting jelang petang nanti. Padahal kondisinya belum membaik. Namun, karena kesal memaksa, Katha akhirnya hanya mengompres Rabu setelah membantu lelaki itu minum obat. “Lo minta jemput Sakha aja,” bisik Rabu. Mata lelaki itu sudah terpejam. Katha mendengkus. Sedari tadi ocehan Rabu perkara namanya yang mirip dengan nama Sakha terus saja terulang. Sebab itu pula Katha mengatakan bahwa Rabu belum sehat total. Dia pikir Rabu mulai mengigau karena panas tubuhnya yang naik. “Ngoceh sekali lagi, gue seret ke UGD lo, ya!” bentak Katha. Dia kemudian berdiri, lalu membuka pintu ruangan Rabu sambil membawa tas. Shofi yang sedang membaca barkas untuk rapat nanti langsung berdiri ketika menyadari kehadiran Katha. “Kenapa, Mbak?” tanyanya. “Aku titip Rabu, ya. Tolong cek kompresannya dan gantiin airnya,” ujar Katha. “Mbak Katha mau balik ke kantor
Hari ini terasa begitu melalahkan untuk seorang Katha yang suka melakukan hal apa pun seenaknya sendiri. Dia merasa melakukan banyak hal yang baisanya tidak dia lakukan. Apalagi dia sudah mengamuk beberapa kali dalam sehari karena dua lelaki dalam hidupnya. Sekarang, dia berdiri di pinggir jalan raya setelah belanja sedikit bahan memasak, karena stok di rumah hampir habis. Dia dan Rabu belum belanja lagi untuk kebutuhan rumah. “Itu anak udah makan apa belum jadinya,” gumam Katha seorang diri. Dia memang tidak menghubungi Langit lagi, sebab dia juga hendak ke sana sekarang dan sedang menunggu taksi online. Lalu, dua menit kemudian sebuah mobil berhenti di sebelah Katha. Itu taksi online yang dia pesan. Di perjalanan, dia beberapa kali hampir tertidur. Dan jam pun memang sudah nyaris menyentuh angka sembilan. Untuk pertemuan di restoran Jepang tadi tak berlangsung lama. Para klien punya janji temu lain, sehingga mereka hanya bisa meluangkan waktu sebent
“Nanti gue jemput jam empat,” ujar Rabu untuk kesekian kalinya. Katha memutar mata sambil melepaskan seatbelt. Dia menarik tali tas di pangkuan dan bersiap turun. Namun, tangan Rabu mencekal pergelangan tangan kanannya. “Apa lagi, Bu? Setelah hampir seminggu lo buat kesel gue sepanjang waktu karena sakit, sekarang apa lagi?” Tidak. Katha tidak bermaksud mengatakan hal yang buruk. Akan tetapi sepertinya ucapannya kali ini menyakiti Rabu. Lelaki itu terdiam. Sementara itu, Rabu memanglah cukup terkejut dengan ucapan Katha tadi. Rasanya perempuan itu bukan sekadar asal bicara seperti biasa, melainkan benar-benar menyatakan apa yang dia rasakan. Jadi, selama ini mungkin dia keterlaluan meminta perhatian Katha selama sakit. “Maaf. Gue cuma mau mastiin aja,” jawab Rabu. Dia menghela napas, lalu melepaskan cekalan tangannya pada Katha. Katha tercengang melihat respon Rabu. Bukannya lelaki yang duduk di balik kemudia mobil ini Guntur Prabu Kusuma? Sabat yang
“Kenapa muka lo gitu?” tanya Rabu saat Katha sudah masuk ke mobilnya. Dia belum juga menjalankan mobil karena wajah Katha yang terlihat berbeda. Sahabatnya itu tampak sedang memikirkan sesuatu dan tidak bisa fokus. Dan sesuai dugaan Rabu, Katha memang sedang tidak fokus. Kejadian di restoran Jepang tadi masih mengganggunya. Bertemu dengan dua orang Atmaja di tempat yang sama terasa seperti sebuah skenario. Ya, meski dia tahu itu tempat umum. Apalagi Sakha datang bersama beberapa orang. Jadi, tidak seharusnya dia menaruh curiga yang sama seperti saat dia memikirkan kedatangan Rakha yang ganjil. “Heh!” Rabu mengguncang bahu Katha. Dia lantas merampas tas di pangkuan perempuan itu, lalu meletakkannya di bangku belakang. Saat itulah Katha akhirnya sadar. Dia mengerjap. “Tas gue?” tanyanya sambil menatap Rabu. Normalnya, pandangan Katha di situasi seperti ini adalah kemarahan. Namun, kali ini tidak. “Lo kenapa? Ada masalah sama kerjaan? Atau masih
Langit sudah gelap saat dua orang berseragam itu keluar dari perpustakaan kota. Keduanya lantas mendesah saat merasakan perut masing-masing mulai melancarkan aksi protes. “Gara-gara lo gue harus kelaparan,” protes Katha. Rabu menoyor kepala Katha pelan. “Setidaknya otak ini harus dipakai sesekali biar nggak aus.” Katha menepis tangan Rabu dari kepalanya, lalu berjalan lebih dulu keluar dari gerbang perpustakaan kota. Jalanan sangat ramai, dan lampu penerang jalanan terang benderang. Itu normal saja, sebab sekarang adalah sabtu malam. Dan juga, ini masih jam tujuh. “Makan apa, nih? Gue mau burger.” “Kalau udah tau jawabannya, ngapain nanya,” sahut Rabu. “Formalitas,” jawab Katha cuek. “Yuk!” Dia kembali berjalan, mencari angkot yang bisa membawa mereka ke restoran fast food terdekat. Mengenai angkot, Katha sudah terbiasa sejak eyang memintanya berangkat sekolah bersama Rabu. Ya, walau dia sempat merengek minta diantarkan supir eyangnya.
Rabu melirik Katha yang sikapnya sangat jauh berbeda dengan saat dia jemput sore tadi. Kini perempuan itu malah bernyanyi mengikuti alunan musik. Dia seperti sedang menikmati konser seorang diri dalam mobil, dan Rabu hanyalah sopir yang tidak dia hiraukan kerberadaannya. Meski begitu, Rabu senang sekali. Dia merasa senang bisa membuat perasaan Katha jauh lebih baik. Dia yakin kalau tadi perempuan itu memang punya satu-dua hal yang mengganggu pikirannya, walau dia berlum cerita. “Seneng?” tanya Rabu di antara kerasnya musik. Katha menoleh, mengecilkan volume, lalu bertanya dengan raut wajahnya hingga Rabu menoleh ke arahnya. “Seneng?” ulang Rabu. Anggukan Katha seketika terjadi. Dia mengeraskan kembali musik, dan lanjut bernyanyi. Walau tahu kalau suaranya tidak bisa dikatagorikan sebagai ‘merdu’, tapi itu cukup tidak merusak telinga. Rabu lagi-lagi tersenyum. Dia mengambil gawai yang tadi dia letakkan di drink holder dengan tangan kiri
“Iya, Pa,” sahut Katha malas. Dia manatap Rabu yang juga sedang menatapnya sambil melahap semangkuk bubur ayam yang di belinya di depan komplek. “Iya terus kamu, Tha. Jadi kapan? Papa siap biayain kalian.” Agung masih bersikeras di sana. Katha jadi menduga kalau papanya mungkin menaruh curiga pada hubungannya dengan Rabu. Insting papanya itu kuat. Dia tahu itu. Akan tetapi, yang sampai sekarang membuat dia heran, kenapa papanya membiarkan dia menikah dengan Rabu tanpa keraguan? “Aku sama Rabu lagi sibuk-sibuknya kerja, Pa.” Katha memutar-mutar sendok di atas mangkuk. “Kan bisa ambil cuti,” sahut Agung. “Lagian ini sudah lewat dari dua bulan sejak Papa minta kalian berangkat dulu.” Katha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia hanya pusing denga permintaan papanya yang terus-menerus. Kali ini memang karena perkara pekerjaan. Apalagi sebentar lagi film yang sedang dimainkan Bhanu akan rilis. Proses shootingnya pun sudah selesai, dan tinggal me