Rabu melirik Katha yang sikapnya sangat jauh berbeda dengan saat dia jemput sore tadi. Kini perempuan itu malah bernyanyi mengikuti alunan musik. Dia seperti sedang menikmati konser seorang diri dalam mobil, dan Rabu hanyalah sopir yang tidak dia hiraukan kerberadaannya.
Meski begitu, Rabu senang sekali. Dia merasa senang bisa membuat perasaan Katha jauh lebih baik. Dia yakin kalau tadi perempuan itu memang punya satu-dua hal yang mengganggu pikirannya, walau dia berlum cerita.
“Seneng?” tanya Rabu di antara kerasnya musik.
Katha menoleh, mengecilkan volume, lalu bertanya dengan raut wajahnya hingga Rabu menoleh ke arahnya.
“Seneng?” ulang Rabu.
Anggukan Katha seketika terjadi. Dia mengeraskan kembali musik, dan lanjut bernyanyi. Walau tahu kalau suaranya tidak bisa dikatagorikan sebagai ‘merdu’, tapi itu cukup tidak merusak telinga.
Rabu lagi-lagi tersenyum. Dia mengambil gawai yang tadi dia letakkan di drink holder dengan tangan kiri
“Iya, Pa,” sahut Katha malas. Dia manatap Rabu yang juga sedang menatapnya sambil melahap semangkuk bubur ayam yang di belinya di depan komplek. “Iya terus kamu, Tha. Jadi kapan? Papa siap biayain kalian.” Agung masih bersikeras di sana. Katha jadi menduga kalau papanya mungkin menaruh curiga pada hubungannya dengan Rabu. Insting papanya itu kuat. Dia tahu itu. Akan tetapi, yang sampai sekarang membuat dia heran, kenapa papanya membiarkan dia menikah dengan Rabu tanpa keraguan? “Aku sama Rabu lagi sibuk-sibuknya kerja, Pa.” Katha memutar-mutar sendok di atas mangkuk. “Kan bisa ambil cuti,” sahut Agung. “Lagian ini sudah lewat dari dua bulan sejak Papa minta kalian berangkat dulu.” Katha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia hanya pusing denga permintaan papanya yang terus-menerus. Kali ini memang karena perkara pekerjaan. Apalagi sebentar lagi film yang sedang dimainkan Bhanu akan rilis. Proses shootingnya pun sudah selesai, dan tinggal me
“Kha, ada yang mau aku tanyakan,” ucap Katha saat penggilannya tersambung pada Sakha. Dia menatap pantulan wajahnya sendiri dari cermin toilet, dan sadar bahwa kekhawatiran itu tebal di sana. Ada sedikit takut dan juga rasa ketidaknyamanan yang besar. “Ada apa, Tha? Kenapa suaramu seperti itu?” tanya Sakha. Katha lagi-lagi menatap dirinya di cermin, lalu menggeleng meski Sakha bertanya melalui gawai. “Nggak apa-apa. Aku cuma mau tanya sesuatu ke kamu.” Lantas, Katha bisa mendengar helaan napas dari seberang. Dia tahu kalau Sakha pasti mencurigai dari sikapnya yang dia sendiri sadar bahwa tampak aneh. Sekarang dia menyesal. Harusnya dia lebih bisa mengendalikan emosi yang berkecamuk agar orang lain tidak menaruh curiga padanya. Katha menyugar rambut dan membatin, “Sejak kapan kamu jadi orang yang berbeda begini, Tha.” “Katha, kita ketemu makan siang aja. Kamu bisa tanya langsung. Aku jadi khawatir kalau hanya menduga-duga apa yang sedan
“Ha-ha-ha, gue yakin itu Katha pasti lupa kalau udah janjian makan siang sama lo,” Kandara terbahak-bahak sampai sudut matanya berair. “Bisa-bisanya tuh anak malah makan sama cowok lain.” Rabu berusaha keras menyembunyikan ekspresi kecut di wajahnya. Dia sudah mengulas senyum, tapi tetap jadi bulan-bulanan sang kakak ipar karena katanya terlalu kentara. “Dia bilang apa ke lo?” tanya Kandara. “Janji masakin nanti malam,” jawab Rabu pelan, dan tentu lagi-lagi bersambut tawa Kandara yang seperti tidak ada puasnya. Dia kemudian membuka layar gawai yang menunjukkan. Ada pesan dari Langit yang mengatakan bahwa makanannya dan Kandara sudah diantar beberapa menit lalu. Setelah bertemu di lobi tadi, Kandara memang mengajak Rabu makan siang bersama. Dia yang hendak makan seorang diri, jadi senang menemukan Rabu yang ditinggal oleh partner makannya. Jadilah mereka sekarang duduk di sofa ruangan Kandara, menunggu pesanan makanan. “Eh, kayaknya kita deh ya
Keadaan di depan pintu masuk Athandara seketika jadi cangung dan aneh. Kandara yang ingin menuntaskan segalanya dengan Bening, tapi masih takut bahwa angapannya selama ini terlalu menghakimi. Lalu Rabu yang merasa kesal dengan pertemuannya dengan Katha yang sialnya turun dari mobil Sakha. Ya, meski sebelumnya dia tahu kalau perempuan itu memang keluar makan siang bersama Sakha. Namun, pembatalan janji akibat lupa tentu membuatnya tidak semudah itu melupakan kekesalannya. Terakhir, ada Katha yang merasa bersalah kala menatap sorot kecewa yang coba disembunyikan Rabu. Keheningan yang diisi suara hujan terjadi selama beberapa detik, sebelum akhirnya suara office boy yang mengantarkan kunci mobil Kandara muncul. Setelah menerima kunci, Kandara mengajak Bening ikut dengannya ke parkiran agar tidak terjebak canggung antara adik dan iparnya. “Bang,” panggil Rabu. Tiba-tiba saja dia tidak ingin terlibat percakapan basa-basi atau berdiri lebih lama di sana dengan kondisi bers
“Balik kerja sana!” perintah Rabu. Dia menarik lengan Katha hingga perempuan itu berdiri dari kursi.Wajah Katha seketika makin kusut. “Lo balik juga sana! Nggak usah tanya macam-macam sama Sakha,” ujarnya sembari melipat lengan di depan perut. Matanya menatap Rabu dengan sorot mengancam.Rabu mendengkus dan membuang pandangan ke arah lain. Dia tidak menyangka sebegitunya Katha mengkhawatirkan Sakha, sampai rela menyusul ke café ini. Sungguh, ada banyak ketidakrelaan di hatinya, meski Katha berulang kali bilang bahwa keduanya hanya teman.“Nggak apa-apa, Tha. Aku sama Rabu cuma ngobrol biasa, kok, sambil nunggu hujan reda.” Sakha yang sedari tadi memerhatikan perdebatan suami-istri di depannya, mulai buka suara. Dia mengulas senyum menenangkan agar ekspresi kaku Katha mengendur. Dari matanya, dia mencoba memberi kode bahwa dia tidak mengatakan apa pun soal obrolan mereka pada Rabu.Cara itu rupanya berhasil, hing
“Kenapa lo bilang gitu ke Sakha?” tanya Katha. Dia benar-benar tidak habis pikir kalau Rabu malah mengatakan omong kosong itu ke Sakha. Rabu mengangkat sebelah alisnya. Gerakan tangan yang hendak melanjutkan makan jadi terhenti. “Karena gue peduli sama lo, Tha. Kalau emang lo sama Sakha ada hubungan, gue bakal dukung, kok.” Lancar sekali Rabu mengatakan hal sebetulnya tak sesuai dengan isi hatinya itu. Namun, dia sengaja mengalihkan sorot mata pada lukisan buah-buahan di belakang Katha. “Aahhh!” jerit Katha jengkel. Kali ini dia merasa kalau Rabu benar-benar bodoh. Selama ini, tiap kali dia dekat dengan laki-laki, maka dia akan bercerita. Jika tidak, artinya dia memang tidak sedang menjalin hubungan apa pun. Lantas, perkataan macam apa yang tadi Rabu ucapkan? Respon Katha membuat Rabu merasa keliru bicara. Padahal dia berkata sesuai apa yang dia lihat dan rasakan. Selain itu, apa salahnya meminta lelaki yang sedang dekat dengan sahabatnya untuk bersikap seriu
Itu suara Rendra. Katha hapal sekali dengan suara serak itu, hingga dia tak merasa perlu mengalihkan perhatiannya dari isi mug. “Main ke sini lagi, lo, Ren?” tanyanya retoris, lalu melanjutkan kegiatan menyeruput cokelat panasnya. Rendra tertawa. Dia menghampiri Katha, meletakkan paper bag dan beberapa kantong plastik di atas meja makan, lalu ikut duduk di seberang Katha. “Kayak gue sering ke sini aja, Tha,” ujarnya. “Bukannya emang gitu?” Seketika Rendra mati kutu ditodong seperti itu. Katha tahu sebesar apa perasaannya pada Shae. Tentunya perempuan itu bisa membaca pergerakannya meski tak diberi tahu. “Eh, Tha, lo udah makan belum? Itu Rendra bawain makanan.” Shae yang muncul setelah menatap sepatu di rak, menunjuk bawaan Rendra yang sudah bertengger di meja. Katha menggeleng sebagai jawaban. Tadi dia meninggalkan makanannya tidak tersentuh di rumah. Begitu teringat, dia jadi merasa bersalah atas makanan itu. Dia menduga Rabu mencoba menghab
Rabu memang berangkat ke apartemen Rendra yang ditempat Shae. Namun, dia tiba di sana lewat tengah malam. Karena khawatir menggangu Katha yang kemungkinan sudah tidur, dia akhirnya kembali ke rumah. Maka pagi ini, barulah dia kembali ke apartemen Rendra. Dia membawa barang-barang Katha seperti pakaian kerja dan tak lupa juga tas yang biasa Katha pakai ke kantor. Dan seperti tebakan Rabu, bahwa tatapan marah Katha masih ada untuknya, hingga dia memilih diam dan menunggu di sofa. Shae yang sudah mandi dan sedang bersiap-siap, mengulum senyum melihat Rabu yang duduk gelisah. Tangannya terus memangku tas berisi barang-barang Katha, padahal sofa di sebelahnya kosong, begitu juga dengan meja di depannya. “Sha,” panggil Rabu saat Shae hendak kembali ke kamar untuk mengganti pakaiannya. “Kenapa?” tanya Shae. “Gue titip kasikan ke Katha, ya. Gue mau keluar beli sarapan buat kita dulu.” Shae buru-buru menggeleng. “Nggak usah, Bu. Rendra udah bel
Rakha: ‘Katha, aku mau minta maaf karena selama ini membuatmu tidak nyaman. Aku sudah berusaha mengingatkanmu, tapi Sakha berulang kali memergoki aksiku. Makanya aku terpaksa melakukan hal-hal mencolok agar kamu sendiri yang datang menemuiku. Tapi ternyata itu malah membuat salah paham di antara kita.Jujur aku tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kita. Tapi aku cukup panik saat tahu kamu ternyata bertemu Sakha dan malah berencana menikah dengan bajingan itu. Setelah kucari tahu, ternyata dia memang menargetkanmu sejak lama. Tenyata kencan kita itu ada campur tangan dia dan mamaku.Sekali lagi maafkan aku yang salah memberikan sinyal, lambat, dan terlalu takut pada ancaman Sakha, sehingga membuat kamu dan suami berada dalam bahaya. Semoga bantuan kecil yang kuberikan kemarin, membuat kamu tidak terlalu marah padaku.’Katha mematikan layar gawainya, lalu menghela napas. Dia menoleh ke arah Rabu yang tersenyum di sebelahnya.Saat ini merek
Hal pertama yang Rabu lakukan setelah sadar adalah mencari dokter yang menangani Katha, dan mengabaikan rasa sakit pada jahitan di perutnya. Dia kembali meminta dokter itu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Katha. Sementara Kandara yang menemaninya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tak punya kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan pada Rabu yang sudah terlanjur panik dan sibuk sendiri. Iparnya itu bahkan lebih mendahulukan pencarian dokter ketimbang masuk ke ruang rawat Katha. “Pak, saya bicara dulu boleh?” tanya Pram, dokter yang mengani Katha. Dia mengulas senyum ramah, mencoba membuat Rabu tenang. Kandara menepuk pundak Rabu. “Tenang. Dengerin dulu kata dokter,” ujarnya. Lalu dia menoleh pada Pram. “Dokter, maaf. Saya tidak bisa ngomong apa-apa tadi karena dia sudah kesetanan begini.” Pram tersenyum maklum. Dia sudah menangani berbagai macam pasien. Mulai yang sangat tidak ekspresif, sampai yang mudah panik macam Rabu. “Tidak m
Peluru itu melesat cepat dan berhasil menggores lengan Katha, meski perempuan itu sudah ditarik oleh Rabu ke lain sisi. Daras seketika mengucur, dan kepala Katha kian memberat. Meski begitu, yang dia khawatirkan hanyalah Rabu. “Bu, luka kamu!” teriak Katha. Sayangnya Rabu sudah tak mempedulikan lukanya lagi. Dia harus bertindak, sebab kini Sakha tertawa dan kembali mengacungkan pistolnya di udara moncong pistol itu mengarah pada Katha yagn tengah memunggungi lelaki itu untu memeriksa luka di perutnya. “Hentikan, Sakha!” teriak Rabu menggelegar. Dia menoleh ke sebelah, dan menapati Rendra dan Langit sudah kepayahan.Tiga orang memang sudah tergeletak tak sadarkan diri, tapi yang lainnya tetap menyerang meski dengan beberapa luka di badan mereka. Begitu juga dengan Rendra dan Langit. Wajah keduanya sudah dipenuhi lebam. “Kenapa harus berhenti? Bukankah ini menyenangkan?” tanya Sakha sembari masih tertawa. “Kalau aku tidak bisa memiliki Katha, bukankah ak
Rabu berusaha keras menghentikan Katha. Namun, peremuan itu benar-benar menulikan telinga. Dia pasrah ditatap Sakha dengan seringaian menakutkan yang tak kunjung luntur. “Tampaknya kamu bersungguh-sungguh,” ujar Sakha. “Iya,” jawab Katha cepat. “Tapi lo janji jangan sampai menyakiti Rabu.” Sakha mengalihkan mata ke arah Rabu yang sedang berlutut dengan kedua tangan dicekal oleh anak buahnya. Jarak mereka kini sekitar tiga meter. Dia kemudian mengangkat sebelah alisnya, dan Rabu seketika mengerang. “Berhenti, Sakha! Jangan sentuh istri gue!” teriak Rabu. “Ah, ini yang buat aku menjalankan rencanaku lebih cepat dari seharusnya. Harusnya aku buat Katha jatuh cinta dan ketergantungan dulu denganku. Sayangnya, hubungan kalian malah semakin dekat. Ck, ck, ck.” Sakha menjentikkan jarinya. “Tapi tidak masalah. Sekarang Katha malah memohon padaku.” Dia mengembalikan pandangan pada Katha. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu melihatku sebagai seoran
Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai
Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan
Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba
“Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum
Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya