“Kha, ada yang mau aku tanyakan,” ucap Katha saat penggilannya tersambung pada Sakha.
Dia menatap pantulan wajahnya sendiri dari cermin toilet, dan sadar bahwa kekhawatiran itu tebal di sana. Ada sedikit takut dan juga rasa ketidaknyamanan yang besar.
“Ada apa, Tha? Kenapa suaramu seperti itu?” tanya Sakha.
Katha lagi-lagi menatap dirinya di cermin, lalu menggeleng meski Sakha bertanya melalui gawai. “Nggak apa-apa. Aku cuma mau tanya sesuatu ke kamu.”
Lantas, Katha bisa mendengar helaan napas dari seberang. Dia tahu kalau Sakha pasti mencurigai dari sikapnya yang dia sendiri sadar bahwa tampak aneh. Sekarang dia menyesal. Harusnya dia lebih bisa mengendalikan emosi yang berkecamuk agar orang lain tidak menaruh curiga padanya.
Katha menyugar rambut dan membatin, “Sejak kapan kamu jadi orang yang berbeda begini, Tha.”
“Katha, kita ketemu makan siang aja. Kamu bisa tanya langsung. Aku jadi khawatir kalau hanya menduga-duga apa yang sedan
“Ha-ha-ha, gue yakin itu Katha pasti lupa kalau udah janjian makan siang sama lo,” Kandara terbahak-bahak sampai sudut matanya berair. “Bisa-bisanya tuh anak malah makan sama cowok lain.” Rabu berusaha keras menyembunyikan ekspresi kecut di wajahnya. Dia sudah mengulas senyum, tapi tetap jadi bulan-bulanan sang kakak ipar karena katanya terlalu kentara. “Dia bilang apa ke lo?” tanya Kandara. “Janji masakin nanti malam,” jawab Rabu pelan, dan tentu lagi-lagi bersambut tawa Kandara yang seperti tidak ada puasnya. Dia kemudian membuka layar gawai yang menunjukkan. Ada pesan dari Langit yang mengatakan bahwa makanannya dan Kandara sudah diantar beberapa menit lalu. Setelah bertemu di lobi tadi, Kandara memang mengajak Rabu makan siang bersama. Dia yang hendak makan seorang diri, jadi senang menemukan Rabu yang ditinggal oleh partner makannya. Jadilah mereka sekarang duduk di sofa ruangan Kandara, menunggu pesanan makanan. “Eh, kayaknya kita deh ya
Keadaan di depan pintu masuk Athandara seketika jadi cangung dan aneh. Kandara yang ingin menuntaskan segalanya dengan Bening, tapi masih takut bahwa angapannya selama ini terlalu menghakimi. Lalu Rabu yang merasa kesal dengan pertemuannya dengan Katha yang sialnya turun dari mobil Sakha. Ya, meski sebelumnya dia tahu kalau perempuan itu memang keluar makan siang bersama Sakha. Namun, pembatalan janji akibat lupa tentu membuatnya tidak semudah itu melupakan kekesalannya. Terakhir, ada Katha yang merasa bersalah kala menatap sorot kecewa yang coba disembunyikan Rabu. Keheningan yang diisi suara hujan terjadi selama beberapa detik, sebelum akhirnya suara office boy yang mengantarkan kunci mobil Kandara muncul. Setelah menerima kunci, Kandara mengajak Bening ikut dengannya ke parkiran agar tidak terjebak canggung antara adik dan iparnya. “Bang,” panggil Rabu. Tiba-tiba saja dia tidak ingin terlibat percakapan basa-basi atau berdiri lebih lama di sana dengan kondisi bers
“Balik kerja sana!” perintah Rabu. Dia menarik lengan Katha hingga perempuan itu berdiri dari kursi.Wajah Katha seketika makin kusut. “Lo balik juga sana! Nggak usah tanya macam-macam sama Sakha,” ujarnya sembari melipat lengan di depan perut. Matanya menatap Rabu dengan sorot mengancam.Rabu mendengkus dan membuang pandangan ke arah lain. Dia tidak menyangka sebegitunya Katha mengkhawatirkan Sakha, sampai rela menyusul ke café ini. Sungguh, ada banyak ketidakrelaan di hatinya, meski Katha berulang kali bilang bahwa keduanya hanya teman.“Nggak apa-apa, Tha. Aku sama Rabu cuma ngobrol biasa, kok, sambil nunggu hujan reda.” Sakha yang sedari tadi memerhatikan perdebatan suami-istri di depannya, mulai buka suara. Dia mengulas senyum menenangkan agar ekspresi kaku Katha mengendur. Dari matanya, dia mencoba memberi kode bahwa dia tidak mengatakan apa pun soal obrolan mereka pada Rabu.Cara itu rupanya berhasil, hing
“Kenapa lo bilang gitu ke Sakha?” tanya Katha. Dia benar-benar tidak habis pikir kalau Rabu malah mengatakan omong kosong itu ke Sakha. Rabu mengangkat sebelah alisnya. Gerakan tangan yang hendak melanjutkan makan jadi terhenti. “Karena gue peduli sama lo, Tha. Kalau emang lo sama Sakha ada hubungan, gue bakal dukung, kok.” Lancar sekali Rabu mengatakan hal sebetulnya tak sesuai dengan isi hatinya itu. Namun, dia sengaja mengalihkan sorot mata pada lukisan buah-buahan di belakang Katha. “Aahhh!” jerit Katha jengkel. Kali ini dia merasa kalau Rabu benar-benar bodoh. Selama ini, tiap kali dia dekat dengan laki-laki, maka dia akan bercerita. Jika tidak, artinya dia memang tidak sedang menjalin hubungan apa pun. Lantas, perkataan macam apa yang tadi Rabu ucapkan? Respon Katha membuat Rabu merasa keliru bicara. Padahal dia berkata sesuai apa yang dia lihat dan rasakan. Selain itu, apa salahnya meminta lelaki yang sedang dekat dengan sahabatnya untuk bersikap seriu
Itu suara Rendra. Katha hapal sekali dengan suara serak itu, hingga dia tak merasa perlu mengalihkan perhatiannya dari isi mug. “Main ke sini lagi, lo, Ren?” tanyanya retoris, lalu melanjutkan kegiatan menyeruput cokelat panasnya. Rendra tertawa. Dia menghampiri Katha, meletakkan paper bag dan beberapa kantong plastik di atas meja makan, lalu ikut duduk di seberang Katha. “Kayak gue sering ke sini aja, Tha,” ujarnya. “Bukannya emang gitu?” Seketika Rendra mati kutu ditodong seperti itu. Katha tahu sebesar apa perasaannya pada Shae. Tentunya perempuan itu bisa membaca pergerakannya meski tak diberi tahu. “Eh, Tha, lo udah makan belum? Itu Rendra bawain makanan.” Shae yang muncul setelah menatap sepatu di rak, menunjuk bawaan Rendra yang sudah bertengger di meja. Katha menggeleng sebagai jawaban. Tadi dia meninggalkan makanannya tidak tersentuh di rumah. Begitu teringat, dia jadi merasa bersalah atas makanan itu. Dia menduga Rabu mencoba menghab
Rabu memang berangkat ke apartemen Rendra yang ditempat Shae. Namun, dia tiba di sana lewat tengah malam. Karena khawatir menggangu Katha yang kemungkinan sudah tidur, dia akhirnya kembali ke rumah. Maka pagi ini, barulah dia kembali ke apartemen Rendra. Dia membawa barang-barang Katha seperti pakaian kerja dan tak lupa juga tas yang biasa Katha pakai ke kantor. Dan seperti tebakan Rabu, bahwa tatapan marah Katha masih ada untuknya, hingga dia memilih diam dan menunggu di sofa. Shae yang sudah mandi dan sedang bersiap-siap, mengulum senyum melihat Rabu yang duduk gelisah. Tangannya terus memangku tas berisi barang-barang Katha, padahal sofa di sebelahnya kosong, begitu juga dengan meja di depannya. “Sha,” panggil Rabu saat Shae hendak kembali ke kamar untuk mengganti pakaiannya. “Kenapa?” tanya Shae. “Gue titip kasikan ke Katha, ya. Gue mau keluar beli sarapan buat kita dulu.” Shae buru-buru menggeleng. “Nggak usah, Bu. Rendra udah bel
Rabu mengusap wajahnya. Mobilnya masih diam dalam kondisi menyala di depan gedung kantor Katha. Beberapa karyawan yang baru datang mencuri pandang ke arah jendela mobilnya. “Kenapa lo bilang gitu, Tha?” tanya Rabu akhirnya. Suaranya jauh lebih melemah dibanding saat meminta maaf tadi. “Karena kayaknya gue terlalu membebani lo,” jawab Katha. Dia memainkan kuku-kuku jemarinya atas situasi yang lebih tidak nyaman dibanding saat mereka bertengkar tadi. Andai tidak sedang berada di depan kantor, mungkin Rabu sudah berteriak frustrasi atas tawaran Katha yang dianggapnya konyol. Perjanjian itu memang ada. Namun, dia juga masih ingat betul bahwa apa yang tertulis di sana. Sedangkan pada kenyataannya, tidak ada satu pun dari mereka yang punya pasangan. Dan Rabu juga tidak berniat mencari wanita lain selain istrinya saat ini. “Gue oke, Tha. Gue nggak terbebani.” Rabu mengetatkan genggamannya pada setir mobil. “Lo bisa bilang gitu. Tapi sebenarnya pernik
Katha yang tadinya sibuk menyusun jadwal Kandara untuk bulan depan, jadi berhenti setelah melirik jam di dinding. Sudah hampir jam makan siang, tapi kakaknya itu tidak mengganggunya sama sekali sejak pagi. Ya, meski memang pekerjaan Kandara sedang banyak. Akan tetapi, tidak biasanya Kandara terpaku pada laporan-laporan atau proposal-proposal yang masuk selama itu. “Harus aku cek, nih,” gumam Katha. Dia berdiri dari kursinya, lalu berjalan menuju ruangan Kandara. Dia membuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Ketika pintu ruangan terbuka, terlihat sosok Kandara yang benar-benar serius menekkuni berbagai berkas di atas meja. Bahkan berkas-berkas yang menumpuk itu sudah tampak seperti gunung. “Lo tumben kerja nonstop gini,” kekeh Katha sambil mendekat sampai ke depan meja Kandara. Sampai begitu saja, kakaknya itu tidak menoleh. “Ngerjain apa, sih, sampe sibuknya udah kayak presiden aja?” goda Katha sambil melirik berkas yang ada di hadapan Kandara. Itu proposal pe