Itu suara Rendra. Katha hapal sekali dengan suara serak itu, hingga dia tak merasa perlu mengalihkan perhatiannya dari isi mug. “Main ke sini lagi, lo, Ren?” tanyanya retoris, lalu melanjutkan kegiatan menyeruput cokelat panasnya.
Rendra tertawa. Dia menghampiri Katha, meletakkan paper bag dan beberapa kantong plastik di atas meja makan, lalu ikut duduk di seberang Katha. “Kayak gue sering ke sini aja, Tha,” ujarnya.
“Bukannya emang gitu?”
Seketika Rendra mati kutu ditodong seperti itu. Katha tahu sebesar apa perasaannya pada Shae. Tentunya perempuan itu bisa membaca pergerakannya meski tak diberi tahu.
“Eh, Tha, lo udah makan belum? Itu Rendra bawain makanan.” Shae yang muncul setelah menatap sepatu di rak, menunjuk bawaan Rendra yang sudah bertengger di meja.
Katha menggeleng sebagai jawaban. Tadi dia meninggalkan makanannya tidak tersentuh di rumah. Begitu teringat, dia jadi merasa bersalah atas makanan itu. Dia menduga Rabu mencoba menghab
Rabu memang berangkat ke apartemen Rendra yang ditempat Shae. Namun, dia tiba di sana lewat tengah malam. Karena khawatir menggangu Katha yang kemungkinan sudah tidur, dia akhirnya kembali ke rumah. Maka pagi ini, barulah dia kembali ke apartemen Rendra. Dia membawa barang-barang Katha seperti pakaian kerja dan tak lupa juga tas yang biasa Katha pakai ke kantor. Dan seperti tebakan Rabu, bahwa tatapan marah Katha masih ada untuknya, hingga dia memilih diam dan menunggu di sofa. Shae yang sudah mandi dan sedang bersiap-siap, mengulum senyum melihat Rabu yang duduk gelisah. Tangannya terus memangku tas berisi barang-barang Katha, padahal sofa di sebelahnya kosong, begitu juga dengan meja di depannya. “Sha,” panggil Rabu saat Shae hendak kembali ke kamar untuk mengganti pakaiannya. “Kenapa?” tanya Shae. “Gue titip kasikan ke Katha, ya. Gue mau keluar beli sarapan buat kita dulu.” Shae buru-buru menggeleng. “Nggak usah, Bu. Rendra udah bel
Rabu mengusap wajahnya. Mobilnya masih diam dalam kondisi menyala di depan gedung kantor Katha. Beberapa karyawan yang baru datang mencuri pandang ke arah jendela mobilnya. “Kenapa lo bilang gitu, Tha?” tanya Rabu akhirnya. Suaranya jauh lebih melemah dibanding saat meminta maaf tadi. “Karena kayaknya gue terlalu membebani lo,” jawab Katha. Dia memainkan kuku-kuku jemarinya atas situasi yang lebih tidak nyaman dibanding saat mereka bertengkar tadi. Andai tidak sedang berada di depan kantor, mungkin Rabu sudah berteriak frustrasi atas tawaran Katha yang dianggapnya konyol. Perjanjian itu memang ada. Namun, dia juga masih ingat betul bahwa apa yang tertulis di sana. Sedangkan pada kenyataannya, tidak ada satu pun dari mereka yang punya pasangan. Dan Rabu juga tidak berniat mencari wanita lain selain istrinya saat ini. “Gue oke, Tha. Gue nggak terbebani.” Rabu mengetatkan genggamannya pada setir mobil. “Lo bisa bilang gitu. Tapi sebenarnya pernik
Katha yang tadinya sibuk menyusun jadwal Kandara untuk bulan depan, jadi berhenti setelah melirik jam di dinding. Sudah hampir jam makan siang, tapi kakaknya itu tidak mengganggunya sama sekali sejak pagi. Ya, meski memang pekerjaan Kandara sedang banyak. Akan tetapi, tidak biasanya Kandara terpaku pada laporan-laporan atau proposal-proposal yang masuk selama itu. “Harus aku cek, nih,” gumam Katha. Dia berdiri dari kursinya, lalu berjalan menuju ruangan Kandara. Dia membuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Ketika pintu ruangan terbuka, terlihat sosok Kandara yang benar-benar serius menekkuni berbagai berkas di atas meja. Bahkan berkas-berkas yang menumpuk itu sudah tampak seperti gunung. “Lo tumben kerja nonstop gini,” kekeh Katha sambil mendekat sampai ke depan meja Kandara. Sampai begitu saja, kakaknya itu tidak menoleh. “Ngerjain apa, sih, sampe sibuknya udah kayak presiden aja?” goda Katha sambil melirik berkas yang ada di hadapan Kandara. Itu proposal pe
Rabu menjalankan mobilnya meski Katha berkata hendak menghampiri Bening. Dia mengabaikan protes perempuan itu dan membawa mobilnya ke jalanan malam. Namun, baru beberapa menit mengemudi, dia menghentikan mobilya di pinggir jalan. “Sekarang lo tiba-tiba berhenti?” tanya Katha kesal. Rabu menggeleng-gelengkan kepala. “Tha, kita nggak boleh ikut campur. Bening kayaknya tadi bawa makanan buat Kandara. Sepertinya memang ada yang perlu dibicarakan atau diselesaikan di antara mereka. Masuk akal. Apa yang disampaikan Rabu memang cukup masuk akal. Maka Katha tidak lagi protes. Dia menyandarkan punggung ke kursi, lalu memikirkan sebuah keanehan yang baru dia sadari saat melihat Bening yang membawa bungkus makanan dari Angkasa. “Mikir apa lagi?” tanya Rabu. Dia menoleh ke arah Katha dalam remang-remang cahaya dalam mobil. Pencahayaan hanya datang dari lampu jalanan dan lampu depan mobil yang lalu lalalng. “Gue sekarang baru kepikiran kalau selama ini mem
“Yang bener lo?” tanya Katha memastikan. Langit mengangguk. “Kayaknya udah tiga kali dalam dua minggu ini. Tapi untungnya lo jarang ke sini, kan. Jadi nggak papasan sama dia.” “Lo lagi nyinyirin gue?” Langit terkekeh, lalu menggeleng. “Beneran ini.” “Emm, sebenernya gue juga sering ketemu dia. Seperti sebuah kebetulan yang janggal?” Katha menggunakan nada tanya tidak yakin pada ucapannya sendiri. Meski Sakha sudah menceritakan padanya perihal Rakha, tapi rasa-rasanya dia belum bisa percaya. Sebab, tatapan Rakha tidak mencerminkan seseorang yang sedang jatuh cinta. Ah, sebetulnya tau apa dia tentang perasaan orang lain? “Apa dia emang ngikutin lo? Kehadirannya di sini lagi juga aneh. Sama seperti sebelumnya,” ujar Langit sambil menopang dagunya dengan jari telunjuk dan ibu jari. Katha sebetulnya ingin menyampaikan apa yang dia dengan dari Sakha, tapi masih ragu. Dia akhirnya hanya hanya mengangkat bahu. “Pokoknya lo nggak usah c
“Kamu di mana, Tha?” tanya Dewi dari seberang telepon. “Di jalan. Habis makan malam sama Rabu,” jawabnya sambil melirik Rabu yang tengah fokus menyetir. “Sini ke rumah,” ajak sang mama. “Lagi ada acara arisan. Banyak makanan di rumah. Nanti kamu bisa bawa pulang.” “Kok nggak bilang-bilang?” tanya Katha heran. Arisan yang dimaksud sang mama adalah arisan keluarga dari pihak mamanya. Biasanya mereka akan mengadakan arisan pagi sampai sore hari. Namun, sepertinya kali ini tidak. Dan Katha juga tidak mendengar kabar arisan ini dari siapa pun. “Memang mendadak. Harusnya hari Minggu kayak biasanya. Tapi karena lokasinya di rumah Tante Arum, dan orangnya lagi ada urusan di rumah mertua, jadilah dipindahkan ke hari ini di rumah kita,” jelas Dewi. Katha mengangguk-anggukkan kepala. Dia kembali melirik Rabu. “Bu, mau nggak ke arisan keluarga?” tanyanya. “Gue ikut lo aja,” jawab Rabu. “Nggak capek?” tanya Katha. Rabu mengg
“Gue tadi mau buatin the jahe, sebenarnya,” ujar Rabu setelah Katha keluar kamar mandi. Dia sendiri sudah mandi di kamar mandi lain. Katha menggosok rambutnya yang basah, lalu menggeleng. “Panas, ntar,” jawabnya. “Cokelat panas?” tawar Rabu lagi. Dia sudah berdiri dan berjalan menuju pintu kamar. “Itu mah minuman lo.” “Terus lo mau minum apa?” tanya Rabu. “Atau mau langsung tidur? Masih jam setengah sembilan ini. Bukan lo banget.” “Gue belum jawab, lo udah nyerocos aja,” sahut Katha sambil duduk di depan meja rias. Dia menyalakan haid dryer hingga menimbulkan suara bising. Rabu terkekeh pelan. “Sorry. Kebawa emosi lo tadi. Kirain marah abnormal, ternyata emang lagi PMS.” Katha memutar duduknya hingga dia berhadapan dengan Rabu. Matanya melotot, tapi tangannya masih sibuk mengeringkan rambut. “Oke, oke. Lo mau minum apa? Kayaknya lo emang butuh yang hangat-hangat. Di luar baru hujan.” Rabu lagi-lagi mengangkat kedua tang
Katha sedang sangat pusing saat dia menerima telepon dari sang mama. Dia hampir mengabaikan telepon itu karena masih teringat perihal Tante Ambar tempo hari. Akan tetapi, kalau tidak diangkat, dia khawatir itu sesuatu yang penting. “Kenapa, Ma?” tanya Katha setelah menggeser tombol hijau. “Ah, ini, Papa sama Mama ada undangan acara pernikahan yang harus dihadiri. Kamu nanti tolong jemput Kaia di TK, ya. Tau sendiri kakakmu lagi sakit,” ujar Dewi. Helaan napas langsung keluar dari mulut Katha. Dia menatap berbagai berkas yang berserakan di atas meja. Sakitnya Kandara hari ini membuat pekerjaannya jadi banyak. Sejak pagi dia sudah menggantikan kakaknya itu meeting, membahas naskah novel yang hendak diangkat jadi serial, lalu memeriksa berbagai proposal yang masuk. Namun, dia tentunya tidak bisa membiarkan keponakannya menunggu lama di TK. “Jam berapa?” tanyanya kemudian. “Gayamu kayak lagi sibuk banget, Tha, sampai hela napas gitu,” ledek Dewi.
Rakha: ‘Katha, aku mau minta maaf karena selama ini membuatmu tidak nyaman. Aku sudah berusaha mengingatkanmu, tapi Sakha berulang kali memergoki aksiku. Makanya aku terpaksa melakukan hal-hal mencolok agar kamu sendiri yang datang menemuiku. Tapi ternyata itu malah membuat salah paham di antara kita.Jujur aku tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kita. Tapi aku cukup panik saat tahu kamu ternyata bertemu Sakha dan malah berencana menikah dengan bajingan itu. Setelah kucari tahu, ternyata dia memang menargetkanmu sejak lama. Tenyata kencan kita itu ada campur tangan dia dan mamaku.Sekali lagi maafkan aku yang salah memberikan sinyal, lambat, dan terlalu takut pada ancaman Sakha, sehingga membuat kamu dan suami berada dalam bahaya. Semoga bantuan kecil yang kuberikan kemarin, membuat kamu tidak terlalu marah padaku.’Katha mematikan layar gawainya, lalu menghela napas. Dia menoleh ke arah Rabu yang tersenyum di sebelahnya.Saat ini merek
Hal pertama yang Rabu lakukan setelah sadar adalah mencari dokter yang menangani Katha, dan mengabaikan rasa sakit pada jahitan di perutnya. Dia kembali meminta dokter itu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Katha. Sementara Kandara yang menemaninya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tak punya kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan pada Rabu yang sudah terlanjur panik dan sibuk sendiri. Iparnya itu bahkan lebih mendahulukan pencarian dokter ketimbang masuk ke ruang rawat Katha. “Pak, saya bicara dulu boleh?” tanya Pram, dokter yang mengani Katha. Dia mengulas senyum ramah, mencoba membuat Rabu tenang. Kandara menepuk pundak Rabu. “Tenang. Dengerin dulu kata dokter,” ujarnya. Lalu dia menoleh pada Pram. “Dokter, maaf. Saya tidak bisa ngomong apa-apa tadi karena dia sudah kesetanan begini.” Pram tersenyum maklum. Dia sudah menangani berbagai macam pasien. Mulai yang sangat tidak ekspresif, sampai yang mudah panik macam Rabu. “Tidak m
Peluru itu melesat cepat dan berhasil menggores lengan Katha, meski perempuan itu sudah ditarik oleh Rabu ke lain sisi. Daras seketika mengucur, dan kepala Katha kian memberat. Meski begitu, yang dia khawatirkan hanyalah Rabu. “Bu, luka kamu!” teriak Katha. Sayangnya Rabu sudah tak mempedulikan lukanya lagi. Dia harus bertindak, sebab kini Sakha tertawa dan kembali mengacungkan pistolnya di udara moncong pistol itu mengarah pada Katha yagn tengah memunggungi lelaki itu untu memeriksa luka di perutnya. “Hentikan, Sakha!” teriak Rabu menggelegar. Dia menoleh ke sebelah, dan menapati Rendra dan Langit sudah kepayahan.Tiga orang memang sudah tergeletak tak sadarkan diri, tapi yang lainnya tetap menyerang meski dengan beberapa luka di badan mereka. Begitu juga dengan Rendra dan Langit. Wajah keduanya sudah dipenuhi lebam. “Kenapa harus berhenti? Bukankah ini menyenangkan?” tanya Sakha sembari masih tertawa. “Kalau aku tidak bisa memiliki Katha, bukankah ak
Rabu berusaha keras menghentikan Katha. Namun, peremuan itu benar-benar menulikan telinga. Dia pasrah ditatap Sakha dengan seringaian menakutkan yang tak kunjung luntur. “Tampaknya kamu bersungguh-sungguh,” ujar Sakha. “Iya,” jawab Katha cepat. “Tapi lo janji jangan sampai menyakiti Rabu.” Sakha mengalihkan mata ke arah Rabu yang sedang berlutut dengan kedua tangan dicekal oleh anak buahnya. Jarak mereka kini sekitar tiga meter. Dia kemudian mengangkat sebelah alisnya, dan Rabu seketika mengerang. “Berhenti, Sakha! Jangan sentuh istri gue!” teriak Rabu. “Ah, ini yang buat aku menjalankan rencanaku lebih cepat dari seharusnya. Harusnya aku buat Katha jatuh cinta dan ketergantungan dulu denganku. Sayangnya, hubungan kalian malah semakin dekat. Ck, ck, ck.” Sakha menjentikkan jarinya. “Tapi tidak masalah. Sekarang Katha malah memohon padaku.” Dia mengembalikan pandangan pada Katha. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu melihatku sebagai seoran
Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai
Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan
Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba
“Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum
Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya