Beranda / Romansa / Red in Us / 89. Perbincangan Makan Malam

Share

89. Perbincangan Makan Malam

Penulis: Dy Robyn
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Yang bener lo?” tanya Katha memastikan.

Langit mengangguk. “Kayaknya udah tiga kali dalam dua minggu ini. Tapi untungnya lo jarang ke sini, kan. Jadi nggak papasan sama dia.”

“Lo lagi nyinyirin gue?”

Langit terkekeh, lalu menggeleng. “Beneran ini.”

“Emm, sebenernya gue juga sering ketemu dia. Seperti sebuah kebetulan yang janggal?”

Katha menggunakan nada tanya tidak yakin pada ucapannya sendiri. Meski Sakha sudah menceritakan padanya perihal Rakha, tapi rasa-rasanya dia belum bisa percaya. Sebab, tatapan Rakha tidak mencerminkan seseorang yang sedang jatuh cinta. Ah, sebetulnya tau apa dia tentang perasaan orang lain?

“Apa dia emang ngikutin lo? Kehadirannya di sini lagi juga aneh. Sama seperti sebelumnya,” ujar Langit sambil menopang dagunya dengan jari telunjuk dan ibu jari.

Katha sebetulnya ingin menyampaikan apa yang dia dengan dari Sakha, tapi masih ragu. Dia akhirnya hanya hanya mengangkat bahu. “Pokoknya lo nggak usah c

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Red in Us   90. Sudah Isi, Belum?

    “Kamu di mana, Tha?” tanya Dewi dari seberang telepon. “Di jalan. Habis makan malam sama Rabu,” jawabnya sambil melirik Rabu yang tengah fokus menyetir. “Sini ke rumah,” ajak sang mama. “Lagi ada acara arisan. Banyak makanan di rumah. Nanti kamu bisa bawa pulang.” “Kok nggak bilang-bilang?” tanya Katha heran. Arisan yang dimaksud sang mama adalah arisan keluarga dari pihak mamanya. Biasanya mereka akan mengadakan arisan pagi sampai sore hari. Namun, sepertinya kali ini tidak. Dan Katha juga tidak mendengar kabar arisan ini dari siapa pun. “Memang mendadak. Harusnya hari Minggu kayak biasanya. Tapi karena lokasinya di rumah Tante Arum, dan orangnya lagi ada urusan di rumah mertua, jadilah dipindahkan ke hari ini di rumah kita,” jelas Dewi. Katha mengangguk-anggukkan kepala. Dia kembali melirik Rabu. “Bu, mau nggak ke arisan keluarga?” tanyanya. “Gue ikut lo aja,” jawab Rabu. “Nggak capek?” tanya Katha. Rabu mengg

  • Red in Us   91. Suami-Istri Beneran?

    “Gue tadi mau buatin the jahe, sebenarnya,” ujar Rabu setelah Katha keluar kamar mandi. Dia sendiri sudah mandi di kamar mandi lain. Katha menggosok rambutnya yang basah, lalu menggeleng. “Panas, ntar,” jawabnya. “Cokelat panas?” tawar Rabu lagi. Dia sudah berdiri dan berjalan menuju pintu kamar. “Itu mah minuman lo.” “Terus lo mau minum apa?” tanya Rabu. “Atau mau langsung tidur? Masih jam setengah sembilan ini. Bukan lo banget.” “Gue belum jawab, lo udah nyerocos aja,” sahut Katha sambil duduk di depan meja rias. Dia menyalakan haid dryer hingga menimbulkan suara bising. Rabu terkekeh pelan. “Sorry. Kebawa emosi lo tadi. Kirain marah abnormal, ternyata emang lagi PMS.” Katha memutar duduknya hingga dia berhadapan dengan Rabu. Matanya melotot, tapi tangannya masih sibuk mengeringkan rambut. “Oke, oke. Lo mau minum apa? Kayaknya lo emang butuh yang hangat-hangat. Di luar baru hujan.” Rabu lagi-lagi mengangkat kedua tang

  • Red in Us   92. Pertanyaan Kaia

    Katha sedang sangat pusing saat dia menerima telepon dari sang mama. Dia hampir mengabaikan telepon itu karena masih teringat perihal Tante Ambar tempo hari. Akan tetapi, kalau tidak diangkat, dia khawatir itu sesuatu yang penting. “Kenapa, Ma?” tanya Katha setelah menggeser tombol hijau. “Ah, ini, Papa sama Mama ada undangan acara pernikahan yang harus dihadiri. Kamu nanti tolong jemput Kaia di TK, ya. Tau sendiri kakakmu lagi sakit,” ujar Dewi. Helaan napas langsung keluar dari mulut Katha. Dia menatap berbagai berkas yang berserakan di atas meja. Sakitnya Kandara hari ini membuat pekerjaannya jadi banyak. Sejak pagi dia sudah menggantikan kakaknya itu meeting, membahas naskah novel yang hendak diangkat jadi serial, lalu memeriksa berbagai proposal yang masuk. Namun, dia tentunya tidak bisa membiarkan keponakannya menunggu lama di TK. “Jam berapa?” tanyanya kemudian. “Gayamu kayak lagi sibuk banget, Tha, sampai hela napas gitu,” ledek Dewi.

  • Red in Us   93. Ketahuan Papa

    Rabu dan Kaia menjemput Katha sepulang kerja. Ketiganya berangkat ke supermarket, karena Kaia meminta beberapa jajanan. Keripik pisang cokelat yang diberikan Rabu rupanya masih kurang memuaskannya. Dan Katha tidak ingin berdebat dengan keponakannya, sehingga memilih untuk memberikan izin. “Lo mau apa, Tha?” tanya Rabu saat mereka melewati rak berisi berbagai mi instan. “Gue mau mi cup yang pedes itu, loh, Bu,” jawab Katha sambil terus menyusuri deretan mi dengan menggandeng Kaia. “Mulai, deh,” ujar Rabu. “Lo udah beli bubuk cabe loh, ini.” Dia menunjuk dua botol bubuk cabe di dalam troli. “Ya, biar sensaninya lebih dapat, gitu, Bu. Lagian namanya aja yang super pedas. Padahal mah, nggak ada apa-apanya,” sahut Katha. Rabu menghela napas. Dia akhirnya membiarkan Katha memasukkan lima mi cup super pedas itu ke dalam troli saat perempuan itu menemukannya di rak bagian atas. “Kai sekarang mau beli apa?” tanya Rabu pada Kaia yang diam. “Suda

  • Red in Us   94. Sudah Isi, Belum? II

    Katha menghela napas lega karena orang tuanya tidak mendengar obrolan mereka tadi. Dia mencoba mengalihkan obrolan saat papanya bertanya apa yang mereka bincangkan, hingga tawa Kandara terdengar sampai luar rumah. “Papa, kok, udah pulang?” tanya Katha sambil melirik Rabu di sebelahnya. Berbanding dengan dirinya yang tadi was-was, Rabu malah tampak santai. “Oh, itu Mamamu tadi nggak betah karena ada musuhnya semasa kuliah,” sahut Agung. “Mama punya musuh?” tanya Katha. “Nggak ada. Papamu ngarang itu,” tukas Dewi. “Itu cuma temen yang buat Mama kurang nyaman.” “Apa bedanya sama musuh?” goda Agung. “Papa nggak usah mancing-mancing, ya!” Serempak semua orang yang di ruang keluarga itu tertawa, tentunya kecuali Dewi. “Oh, ya, Tha. Kamu sama Rabu nginep aja di sini,” ujar Dewi. Tanpa berpikir, Katha langsung menggelengkan kepala. “Rabu besok kerja, Ma. Dia harus berangkat pagi-pagi banget.” Itu hanya dusta. Ra

  • Red in Us   95. Waktu Berburu Cowok

    Katha menghela napas begitu masuk ke rumah. Dia tidak langsung mandi, melainkan berbaring di sofa depan televisi.“Kayaknya kita nggak boleh telepon keluarga kalau lagi ada di dalam mobil, deh,” ujarnya.Rabu mengernyit. “Kenapa?”“Ya, gitu. Kejadian yang bikin gue sebel selalu terjadi kalau kita lagi telepon orang tua dalam mobil.”Jawaban Katha membuat Rabu terkekeh. Kali ini emosi Katha tidak sampai meledak-ledak, meski mulutnya terus saja melontarkan kalimat-kalimat keluhan.“Itu kebetulan aja, Tha. Kemarin kebetulan pas ada acara arisan di rumah lo. Terus tadi kebetulan ibu ke kamar mandi, dan hp-nya dipegang Bude Marni.”Lagi-lagi Katha menghela napas panjang. Dia menutup matanya dengan lengan, menghalau silau dari cahaya lampu.“Mandi, sana!” perintah Rabu. Dia melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam.“Ntaran,” sahut Katha.

  • Red in Us   96. Insiden Kamar Mandi

    Rabu masih terkejut dengan ucapan Katha tadi. Ini memang bukan kali pertama dia mendengar ucapan semacam itu keluar dari mulut Katha. Namun, entah kenapa kali ini rasanya berbeda. Muncul kepanikan dalam dirinya. Dia mulai takut Katha bisa menemukan laki-laki yang disukainya saat melakukan perburuan itu.Sampai jarum jam menunjukkan angka tiga, Rabu belum juga bisa tidur. Dia terduduk di atas tempat tidur sambil memperhatikan Katha yang tidur. Diamatinya wajah sang sahabat yang terlelap dengan tenang, padahal sedang berada di dalam ruangan bersama seorang laki-laki dewasa yang normal.“Bisa-bisanya lo bikin gue gini, Tha,” gumam Rabu.Perlahan dia mengarahkan tangannya untuk menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Katha. Namun, perbuatan itu membuatnya menginginkan hal yang lebih. Dia jadi ingin menyentuh wajah Katha.“Gue aja belum pernah menyentuh wajah ini kalau tidak dalam situasi tertentu,” gumamnya lagi. Dia me

  • Red in Us   97. Pengganggu is Coming

    Katha tertawa-tawa setelah keluar dari kamar mandi. Dia yang tadinya terkejut, berubah jadi terpingkal-pingkal kala sadar Rabu terpeleset di kamar mandi. Sungguh bodoh baginya.“Ketawa aja terus!” gerutu Rabu yang sudah keluar dari kamar mandi. Dia berjalan dengan sedikit menahan sakit di bagian pantantnya menuju lemari.Katha yang sedang duduk di meja rias menoleh, lalu kembali tertawa. Meski sekarang Rabu hanya mengenakan handuk di pinggang, dia tidak bisa memikirkan apa pun selain posisi menyedihkan Rabu di kamar mandi tadi. Ya, walau sebenarnya ada hal lain yang membuatnya canggung kalau mengingat apa yang sempat dilihatnya di kamar mandi.“Lagian lo bego banget. Bisa-bisanya sampai kepeleset gitu,” sahut Katha.“Gue lupa kalau tutup botol sabun kebuka. Ya, man ague tau kalau dia tumpah juga ke lantai,” keluh Rabu sambil mengeluarkan kemeja dari lemari. Saat hendak berganti pakaian, dia melirik Katha yang ternyata t

Bab terbaru

  • Red in Us   176. Red in Us

    Rakha: ‘Katha, aku mau minta maaf karena selama ini membuatmu tidak nyaman. Aku sudah berusaha mengingatkanmu, tapi Sakha berulang kali memergoki aksiku. Makanya aku terpaksa melakukan hal-hal mencolok agar kamu sendiri yang datang menemuiku. Tapi ternyata itu malah membuat salah paham di antara kita.Jujur aku tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kita. Tapi aku cukup panik saat tahu kamu ternyata bertemu Sakha dan malah berencana menikah dengan bajingan itu. Setelah kucari tahu, ternyata dia memang menargetkanmu sejak lama. Tenyata kencan kita itu ada campur tangan dia dan mamaku.Sekali lagi maafkan aku yang salah memberikan sinyal, lambat, dan terlalu takut pada ancaman Sakha, sehingga membuat kamu dan suami berada dalam bahaya. Semoga bantuan kecil yang kuberikan kemarin, membuat kamu tidak terlalu marah padaku.’Katha mematikan layar gawainya, lalu menghela napas. Dia menoleh ke arah Rabu yang tersenyum di sebelahnya.Saat ini merek

  • Red in Us   175. Kabar Kecil

    Hal pertama yang Rabu lakukan setelah sadar adalah mencari dokter yang menangani Katha, dan mengabaikan rasa sakit pada jahitan di perutnya. Dia kembali meminta dokter itu untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Katha. Sementara Kandara yang menemaninya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia tak punya kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan pada Rabu yang sudah terlanjur panik dan sibuk sendiri. Iparnya itu bahkan lebih mendahulukan pencarian dokter ketimbang masuk ke ruang rawat Katha. “Pak, saya bicara dulu boleh?” tanya Pram, dokter yang mengani Katha. Dia mengulas senyum ramah, mencoba membuat Rabu tenang. Kandara menepuk pundak Rabu. “Tenang. Dengerin dulu kata dokter,” ujarnya. Lalu dia menoleh pada Pram. “Dokter, maaf. Saya tidak bisa ngomong apa-apa tadi karena dia sudah kesetanan begini.” Pram tersenyum maklum. Dia sudah menangani berbagai macam pasien. Mulai yang sangat tidak ekspresif, sampai yang mudah panik macam Rabu. “Tidak m

  • Red in Us   174. Penyelamatan

    Peluru itu melesat cepat dan berhasil menggores lengan Katha, meski perempuan itu sudah ditarik oleh Rabu ke lain sisi. Daras seketika mengucur, dan kepala Katha kian memberat. Meski begitu, yang dia khawatirkan hanyalah Rabu. “Bu, luka kamu!” teriak Katha. Sayangnya Rabu sudah tak mempedulikan lukanya lagi. Dia harus bertindak, sebab kini Sakha tertawa dan kembali mengacungkan pistolnya di udara moncong pistol itu mengarah pada Katha yagn tengah memunggungi lelaki itu untu memeriksa luka di perutnya. “Hentikan, Sakha!” teriak Rabu menggelegar. Dia menoleh ke sebelah, dan menapati Rendra dan Langit sudah kepayahan.Tiga orang memang sudah tergeletak tak sadarkan diri, tapi yang lainnya tetap menyerang meski dengan beberapa luka di badan mereka. Begitu juga dengan Rendra dan Langit. Wajah keduanya sudah dipenuhi lebam. “Kenapa harus berhenti? Bukankah ini menyenangkan?” tanya Sakha sembari masih tertawa. “Kalau aku tidak bisa memiliki Katha, bukankah ak

  • Red in Us   173. Tertembak

    Rabu berusaha keras menghentikan Katha. Namun, peremuan itu benar-benar menulikan telinga. Dia pasrah ditatap Sakha dengan seringaian menakutkan yang tak kunjung luntur. “Tampaknya kamu bersungguh-sungguh,” ujar Sakha. “Iya,” jawab Katha cepat. “Tapi lo janji jangan sampai menyakiti Rabu.” Sakha mengalihkan mata ke arah Rabu yang sedang berlutut dengan kedua tangan dicekal oleh anak buahnya. Jarak mereka kini sekitar tiga meter. Dia kemudian mengangkat sebelah alisnya, dan Rabu seketika mengerang. “Berhenti, Sakha! Jangan sentuh istri gue!” teriak Rabu. “Ah, ini yang buat aku menjalankan rencanaku lebih cepat dari seharusnya. Harusnya aku buat Katha jatuh cinta dan ketergantungan dulu denganku. Sayangnya, hubungan kalian malah semakin dekat. Ck, ck, ck.” Sakha menjentikkan jarinya. “Tapi tidak masalah. Sekarang Katha malah memohon padaku.” Dia mengembalikan pandangan pada Katha. “Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kamu melihatku sebagai seoran

  • Red in Us   172. Seseorang yang Tak Terduga

    Rabu manyaksikan bagaimana istirnya dilecehkan oleh seseorang di depan sana. Emosnya seketika memuncak. Dia langsung berlari menghampiri sosok berambut gondrong yang sudah menyadari kedatangannya. Lantas, terjadi pergulatan di antara mereka. Katha sendiri sampai kehilangan kata-kata. Dia tak tahu harus mengucapkan apa, karena terlalu khawatir Rabu tak bisa melawan orang yang bertubuh lebih besar darinya itu. Dan benar saja, si gondrong berhasil mendesak tubuh Rabu ke tumpukan ban. Ban-ban berbagai ukuran itu jatuh bergelimpangan menimpa tubuh Rabu. “Rabu!” teriak Katha histeris. Kekuatan yang dia bangun sebelumnya hancur lebur karena melihat Rabu mengerang di bawah ban-ban itu. Belum selesai di situ, si gondrong menarik kaki Rabu, hingga lelaki itu terbebas dari tindihan ban. Namun, bukan untuk menyelamatkan, melainkan untuk memukuli Rabu seperti samsak. “Rabu!” Katha kembali berteriak. Kali ini dia tak bisa menahan tangis. Pandangannya mulai

  • Red in Us   171. Siapa?

    Rabu akhirnya tiba di alamat yang dikirimkan oleh penelepon semarin. Mobilnya kini berada di depan sebuah gerbang besi tua yang tampaknya terbengkalai. Tidak ada penerangan apa pun di luarnya, selain bulan di langit. Rumput-rumput di sekeliling pun sudah setinggi paha. Aroma besi berkarat tercium sangat kuat. Dia kemudian mengamati sekitar, mencoba menemukan seseorang yang mungkin mengawasi, tapi tak didapatinya apa-apa. Pada akhirnya dia turun, lalu berjalan menuju gerbang besi itu. Lantas, saat tangannya menyentuh kunci gerbang yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam. Dia refleks mudur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seseorang berpakaian serba hitam dan memakai masker yang menutupi nyaris seluruh wajah muncul begitu gerbang dibuka. “Masuk!” perintah orang itu, dan Rabu langsung mengikutinya. Begitu masuk, mata Rabu otomatis menjelajah. Dia ternyata sedang berada di tempat rongsokan mobil yang sudah tak terpakai. Makan

  • Red in Us   170. Pencarian yang Melelahkan

    Rabu tiba di rumah dengan wajah panik. Dia melihat Shae dan Mbok Sri menangis di depan rumah sambil menggumamkan maaf. Rasanya ingin sekali dia marah, tapi tidak mungkin juga melampiaskannya pada dua orang di depannya. Mereka sama terkejutnya dengan dia saat ini. Dan timing yang digunakan orang itu benar-benar tepat, yaitu saat jam makan siang di mana penjagaan lengah. “Pak Beno mana?” tanya Rabu. “Di-dia ngejar mobil yang nyulik Katha. Tadi Pak Beno keluar lagi untuk manggil Katha karena dia nggak kunjung masuk,” cerita Shae sambil sesenggukan. “Rendra juga udah langsung jalan ngikutin Pak Beno,” lanjutnya. “Jadi Pak Beno lihat mobilnya?” tanya Rabu lagi. Shae mengangguk. “Sekilas.” “Lo udah jelasin semuanya ke polisi, kan?” tanya Rabu lagi. “Iya.” “Mas, Mbok minta maaf, Mas. Harusnya Mbok yang manggil Pak Beno,” ujar Mbok Sri sambil menangis keras. Rabu menyugar rambut, berusaha mengulas senyum agar perempuan paruh ba

  • Red in Us   169. Diculik

    “Mbak, makan siang bentak lagi siap,” lapor Mbok Sri. Katha langsung bangkit dari sebelah kolam koi, lalu tersenyum. “Terima kasih, Mbok. Nanti kalau sudah selesai semua, Pak Beno juga diajak makan bareng, ya.” Mbok Sri adalah asisten rumah tangga yang baru diperkejakan oleh Rabu. Sementara Pak Beno adalah satpam baru mereka. Namun, keduanya hanya bekerja sampai jam pulang kantor Rabu. “Siap, Mbak.” Mbok Sri mengacungkan jempol, lalu kembali ke dapur. Katha tertawa pelan. Dia suka asisten yang Rabu pekerjakan. Perempuan yang usianya tak jauh dari mamanya itu benar-benar orang yang menyenangkan. Katha jadi tak merasa kesepian di rumah. Begitu juga Pak Beno. Satpam berusia empat puluh itu sangat suka bercanda, tapi juga sigap dalam bekerja. Dia kemudian beranjak menuju kamar untuk memangil Shae yang tertidur. Sahabatnya itu tadi tiba-tiba saja datang dengan wajah kusut, dan bilang sedang mengambil libur kerja untuk menemani dirinya. Namun, belum

  • Red in Us   168. Tanda-Tanda yang Diabaikan

    Katha melarikan kakinya hingga pos satpam depan gang. Napasnya tersengal-sengal, sementara keringatnya menderas. Dia terbata-bata bicara pada satpam yang berjaga, karena belum bisa menyetabilkan napasnya. Lalu, mobil Rabu terlihat memasuki gang, tapi berhenti ketika melihat Katha yang juga tengah melihat Rabu. Rabu seketika menghentikan mobil dan turun. Raut wajahnya jadi panik melihat kondisi Katha yang tampak beratakan. Apalagi perempuan itu kini tengah menggenggam sebuah pisau. “Kenapa di sini? Apa yang terjadi?” Rabu memegang kedua bahu Katha, sementara matanya memindai seluruh tubuh istrinya, memastikan tidak ada luka apa pun. “Pintu dapur yang ke halaman belakang terbuka, Bu. Aku yakin betul sudah memastikan seluruh pintu dan jendela terkunci. Lagi pula, tidak ada satu pun dari kita yang ke halaman belakang pagi ini,” jelas Katha panjang. Rabu merasakan tubuh Katha bergetar. Dia akhirnya memeluk perempuan itu sejenak, sebelum mengajaknya

DMCA.com Protection Status