Hari ini terasa begitu melalahkan untuk seorang Katha yang suka melakukan hal apa pun seenaknya sendiri. Dia merasa melakukan banyak hal yang baisanya tidak dia lakukan. Apalagi dia sudah mengamuk beberapa kali dalam sehari karena dua lelaki dalam hidupnya.
Sekarang, dia berdiri di pinggir jalan raya setelah belanja sedikit bahan memasak, karena stok di rumah hampir habis. Dia dan Rabu belum belanja lagi untuk kebutuhan rumah.
“Itu anak udah makan apa belum jadinya,” gumam Katha seorang diri. Dia memang tidak menghubungi Langit lagi, sebab dia juga hendak ke sana sekarang dan sedang menunggu taksi online.
Lalu, dua menit kemudian sebuah mobil berhenti di sebelah Katha. Itu taksi online yang dia pesan.
Di perjalanan, dia beberapa kali hampir tertidur. Dan jam pun memang sudah nyaris menyentuh angka sembilan. Untuk pertemuan di restoran Jepang tadi tak berlangsung lama. Para klien punya janji temu lain, sehingga mereka hanya bisa meluangkan waktu sebent
“Nanti gue jemput jam empat,” ujar Rabu untuk kesekian kalinya. Katha memutar mata sambil melepaskan seatbelt. Dia menarik tali tas di pangkuan dan bersiap turun. Namun, tangan Rabu mencekal pergelangan tangan kanannya. “Apa lagi, Bu? Setelah hampir seminggu lo buat kesel gue sepanjang waktu karena sakit, sekarang apa lagi?” Tidak. Katha tidak bermaksud mengatakan hal yang buruk. Akan tetapi sepertinya ucapannya kali ini menyakiti Rabu. Lelaki itu terdiam. Sementara itu, Rabu memanglah cukup terkejut dengan ucapan Katha tadi. Rasanya perempuan itu bukan sekadar asal bicara seperti biasa, melainkan benar-benar menyatakan apa yang dia rasakan. Jadi, selama ini mungkin dia keterlaluan meminta perhatian Katha selama sakit. “Maaf. Gue cuma mau mastiin aja,” jawab Rabu. Dia menghela napas, lalu melepaskan cekalan tangannya pada Katha. Katha tercengang melihat respon Rabu. Bukannya lelaki yang duduk di balik kemudia mobil ini Guntur Prabu Kusuma? Sabat yang
“Kenapa muka lo gitu?” tanya Rabu saat Katha sudah masuk ke mobilnya. Dia belum juga menjalankan mobil karena wajah Katha yang terlihat berbeda. Sahabatnya itu tampak sedang memikirkan sesuatu dan tidak bisa fokus. Dan sesuai dugaan Rabu, Katha memang sedang tidak fokus. Kejadian di restoran Jepang tadi masih mengganggunya. Bertemu dengan dua orang Atmaja di tempat yang sama terasa seperti sebuah skenario. Ya, meski dia tahu itu tempat umum. Apalagi Sakha datang bersama beberapa orang. Jadi, tidak seharusnya dia menaruh curiga yang sama seperti saat dia memikirkan kedatangan Rakha yang ganjil. “Heh!” Rabu mengguncang bahu Katha. Dia lantas merampas tas di pangkuan perempuan itu, lalu meletakkannya di bangku belakang. Saat itulah Katha akhirnya sadar. Dia mengerjap. “Tas gue?” tanyanya sambil menatap Rabu. Normalnya, pandangan Katha di situasi seperti ini adalah kemarahan. Namun, kali ini tidak. “Lo kenapa? Ada masalah sama kerjaan? Atau masih
Langit sudah gelap saat dua orang berseragam itu keluar dari perpustakaan kota. Keduanya lantas mendesah saat merasakan perut masing-masing mulai melancarkan aksi protes. “Gara-gara lo gue harus kelaparan,” protes Katha. Rabu menoyor kepala Katha pelan. “Setidaknya otak ini harus dipakai sesekali biar nggak aus.” Katha menepis tangan Rabu dari kepalanya, lalu berjalan lebih dulu keluar dari gerbang perpustakaan kota. Jalanan sangat ramai, dan lampu penerang jalanan terang benderang. Itu normal saja, sebab sekarang adalah sabtu malam. Dan juga, ini masih jam tujuh. “Makan apa, nih? Gue mau burger.” “Kalau udah tau jawabannya, ngapain nanya,” sahut Rabu. “Formalitas,” jawab Katha cuek. “Yuk!” Dia kembali berjalan, mencari angkot yang bisa membawa mereka ke restoran fast food terdekat. Mengenai angkot, Katha sudah terbiasa sejak eyang memintanya berangkat sekolah bersama Rabu. Ya, walau dia sempat merengek minta diantarkan supir eyangnya.
Rabu melirik Katha yang sikapnya sangat jauh berbeda dengan saat dia jemput sore tadi. Kini perempuan itu malah bernyanyi mengikuti alunan musik. Dia seperti sedang menikmati konser seorang diri dalam mobil, dan Rabu hanyalah sopir yang tidak dia hiraukan kerberadaannya. Meski begitu, Rabu senang sekali. Dia merasa senang bisa membuat perasaan Katha jauh lebih baik. Dia yakin kalau tadi perempuan itu memang punya satu-dua hal yang mengganggu pikirannya, walau dia berlum cerita. “Seneng?” tanya Rabu di antara kerasnya musik. Katha menoleh, mengecilkan volume, lalu bertanya dengan raut wajahnya hingga Rabu menoleh ke arahnya. “Seneng?” ulang Rabu. Anggukan Katha seketika terjadi. Dia mengeraskan kembali musik, dan lanjut bernyanyi. Walau tahu kalau suaranya tidak bisa dikatagorikan sebagai ‘merdu’, tapi itu cukup tidak merusak telinga. Rabu lagi-lagi tersenyum. Dia mengambil gawai yang tadi dia letakkan di drink holder dengan tangan kiri
“Iya, Pa,” sahut Katha malas. Dia manatap Rabu yang juga sedang menatapnya sambil melahap semangkuk bubur ayam yang di belinya di depan komplek. “Iya terus kamu, Tha. Jadi kapan? Papa siap biayain kalian.” Agung masih bersikeras di sana. Katha jadi menduga kalau papanya mungkin menaruh curiga pada hubungannya dengan Rabu. Insting papanya itu kuat. Dia tahu itu. Akan tetapi, yang sampai sekarang membuat dia heran, kenapa papanya membiarkan dia menikah dengan Rabu tanpa keraguan? “Aku sama Rabu lagi sibuk-sibuknya kerja, Pa.” Katha memutar-mutar sendok di atas mangkuk. “Kan bisa ambil cuti,” sahut Agung. “Lagian ini sudah lewat dari dua bulan sejak Papa minta kalian berangkat dulu.” Katha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia hanya pusing denga permintaan papanya yang terus-menerus. Kali ini memang karena perkara pekerjaan. Apalagi sebentar lagi film yang sedang dimainkan Bhanu akan rilis. Proses shootingnya pun sudah selesai, dan tinggal me
“Kha, ada yang mau aku tanyakan,” ucap Katha saat penggilannya tersambung pada Sakha. Dia menatap pantulan wajahnya sendiri dari cermin toilet, dan sadar bahwa kekhawatiran itu tebal di sana. Ada sedikit takut dan juga rasa ketidaknyamanan yang besar. “Ada apa, Tha? Kenapa suaramu seperti itu?” tanya Sakha. Katha lagi-lagi menatap dirinya di cermin, lalu menggeleng meski Sakha bertanya melalui gawai. “Nggak apa-apa. Aku cuma mau tanya sesuatu ke kamu.” Lantas, Katha bisa mendengar helaan napas dari seberang. Dia tahu kalau Sakha pasti mencurigai dari sikapnya yang dia sendiri sadar bahwa tampak aneh. Sekarang dia menyesal. Harusnya dia lebih bisa mengendalikan emosi yang berkecamuk agar orang lain tidak menaruh curiga padanya. Katha menyugar rambut dan membatin, “Sejak kapan kamu jadi orang yang berbeda begini, Tha.” “Katha, kita ketemu makan siang aja. Kamu bisa tanya langsung. Aku jadi khawatir kalau hanya menduga-duga apa yang sedan
“Ha-ha-ha, gue yakin itu Katha pasti lupa kalau udah janjian makan siang sama lo,” Kandara terbahak-bahak sampai sudut matanya berair. “Bisa-bisanya tuh anak malah makan sama cowok lain.” Rabu berusaha keras menyembunyikan ekspresi kecut di wajahnya. Dia sudah mengulas senyum, tapi tetap jadi bulan-bulanan sang kakak ipar karena katanya terlalu kentara. “Dia bilang apa ke lo?” tanya Kandara. “Janji masakin nanti malam,” jawab Rabu pelan, dan tentu lagi-lagi bersambut tawa Kandara yang seperti tidak ada puasnya. Dia kemudian membuka layar gawai yang menunjukkan. Ada pesan dari Langit yang mengatakan bahwa makanannya dan Kandara sudah diantar beberapa menit lalu. Setelah bertemu di lobi tadi, Kandara memang mengajak Rabu makan siang bersama. Dia yang hendak makan seorang diri, jadi senang menemukan Rabu yang ditinggal oleh partner makannya. Jadilah mereka sekarang duduk di sofa ruangan Kandara, menunggu pesanan makanan. “Eh, kayaknya kita deh ya
Keadaan di depan pintu masuk Athandara seketika jadi cangung dan aneh. Kandara yang ingin menuntaskan segalanya dengan Bening, tapi masih takut bahwa angapannya selama ini terlalu menghakimi. Lalu Rabu yang merasa kesal dengan pertemuannya dengan Katha yang sialnya turun dari mobil Sakha. Ya, meski sebelumnya dia tahu kalau perempuan itu memang keluar makan siang bersama Sakha. Namun, pembatalan janji akibat lupa tentu membuatnya tidak semudah itu melupakan kekesalannya. Terakhir, ada Katha yang merasa bersalah kala menatap sorot kecewa yang coba disembunyikan Rabu. Keheningan yang diisi suara hujan terjadi selama beberapa detik, sebelum akhirnya suara office boy yang mengantarkan kunci mobil Kandara muncul. Setelah menerima kunci, Kandara mengajak Bening ikut dengannya ke parkiran agar tidak terjebak canggung antara adik dan iparnya. “Bang,” panggil Rabu. Tiba-tiba saja dia tidak ingin terlibat percakapan basa-basi atau berdiri lebih lama di sana dengan kondisi bers