“Lo ngomong apa aja ke mamanya Rendra?” tanya Shae saat Katha masuk kembali ke kamarnya.
Sementara itu Katha mendengkus. Wajahnya merah padam, tapi dia belum mengatakan apa-apa. Langkahnya menghentak menuju Shae. Dia lantas naik ke brankar—padahal itu dilarang—dan duduk bersila di dekat kaki Shae.
“Gue kesel banget, sumpah!” seru Katha. “Untung deh tuh orang nggak jadi mertua gue.”
Shae mengernyit. “Dia ngomong apa sama lo?” Kali ini pertanyaannya terbalik dibanding sebelumnya. Melihat respon Katha, sepertinya memang Rena sudah mengatakan berbagai macam hal yang membuat perempuan itu marah.
Katha bergerak kasar di atar brankar hingga membuat suara berderit kecil.
“Jangan banyak gerak,” tegur Shae.
Akhirnya Katha menghela napas berulang kali, berusaha meredam emosinya. Dia akhirnya turun dari brankar dan mengambil air minum. Setelah menghabiskan separuh isi botol air mine
"Gue ...." Shae menggantung ucapannya. Entah kenapa dia tiba-tiba ragu.Sementara Katha dan Rendra sama-sama tegang menunggu jawaban Shae. Rendra takut perempuan itu menolak, sebab selama ini memang Shae lebih banyak mengabaikan perasaannya yang sudah dia tunjukkan terang-terangan. Sedangkan Katha malah takut sahabatnya menerima lamaran itu, karena tatapan Rendra begitu bersungguh-sungguh."Lo nggak kepikiran buat nerima, kan, Sha?" tanya Katha memecah sunyi yang diciptakan Shae. "Lo diam-diam ada perasaan ke Rendra?"Mata Rendra dan Shae seketika melebar mendengar ucapan Katha."Lo ngomong apa, sih, Tha?" tanya Katha dengan kernyitan yang muncul di dahinya.Mendengar tanggapan Shae, Rendra merasakan sedikit kekecewaan. Dia perlahan mulai pesimis, meski sebelumnya juga tidak bisa dibilang dia optimis sepenuhnya."Nggak, kan, Tha?" Katha terpaksa bersikap kejam pada Rendra. Dia merasa itu lebih baik dibanding dia membiarkan sang sahabat berul
“Ha? Pasar malam?” tanya Katha setelah mobil berhenti. Dia terkekeh, kemudian melepas seat belt. “Gila. Kapan ya, gue terakhir ke pasar malam?”Rabu mengulas senyum. Dia suka melihat raut Katha yang jauh lebih menyala kali ini. Karena kasus Shae, istrinya itu lebih banyak terlihat murung. Auranya jadi banyak negatifnya. Maka dari itu, tiba-tiba saja tadi sewaktu bekerja dia kepikiran untuk bawa Katha ke pasar malam.“Masih inget nggak pertama kali lo ajak gue ke pasar malam?” tanya Katha. Matanya berbinar di dalam keremangan mobil.“Inget,” sahut Rabu. Dia tertawa kala kenangan itu melintas lagi di kepalanya.“Kalau diingat sekarang, malu banget, Bu.” Katha tertawa nyaring. “Bisa-bisanya gue sok jijik gitu, ya.”Dulu saat pertama Rabu mengajak Katha ke pasar malam sewaktu masih tinggal di Malang, Katha memang pernah marah-marah. Hari itu kebetulan hujan deras. Jadi sewaktu mala
“Gue bisa pulang ke rumah, Tha,” ujar Shae dari kursi belakang. Katha menoleh, lalu menggelengkan kepala. “Udah, pokoknya lo tinggal sama kita,” ujar Katha. Shae memang pagi ini keluar dari rumah sakit. Berhubung ini hari Minggu, jadi Rabu dan Katha bisa menjemput Shae bersama. Dan atas keputusan Katha, dia ingin Shae tinggal bersamanya dan Rabu sampai waktu yang tidak ditentukan. “Rumah lo masih perbaikan.” Rabu angkat bicara. “Theo memang udah dalam proses hukum dan sedang ditahan. Tapi, ada di rumah itu nggak akan bikin kondisi lo membaik.” Shae menghela napas kasar, kesal karena apa yang dibilang Rabu benar adanya. Bahkan saat memejamkan mata, dia bisa ingat jelas bagaimana perlakuan Theo padanya, juga saat Rendra tertusuk pisau. “Rendra ada nemuin lo lagi?” tanya Rabu setelah keheningan beberapa menit. Katha otomatis menengok ke belakang, dan Rabu menoleh dari spion tengah mobil. Shae menggelengkan kepala. “Nggak. Dia ngga
“Eh, Sha?” Katha otomatis berdiri dari posisi duduknya. Sementara Langit menatap waspada. Khawatir kalau Shae mendengar apa yang sedang mereka bicarakan, dan jadi tersinggung. Shae melebarkan matanya. “Kalian tau apa yang barusan gue lihat?” tanyanya. Langit dan Katha seketika mengernyit. ‘Lihat’ artinya Shae tidak mendengar pembicaraan mereka. Maka diam-diam mereka menghela napas lega Sedangkan Rabu sejak tadi tenang. Dia terlalu lemas untuk ikut berbicara sebab terlalu lama menahan lapar. “Apa?” tanya Langit akhirnya, memecah suasana hening yang sebetulnya dirasa canggung olehnya dan Katha. “Habis dari toilet, gue kayak lihat Sakha,” ujar Shae. “Tapi aneh deh. Dia kayak merhatiin sekitar banget. Kayak lagi waspada,” lanjutnya. Ucapan itu seketika membuat Langit dan Shae saling berpandangan. Apa yang mereka berdua sembunyikan, ternyata akhirnya dilihat juga oleh Shae. Lalu, ekor mata Katha berusaha melihat Rabu. Lelaki itu yang semula cuek, k
“Udah hilang sebelnya?” tanya Rabu saat turun dari mobil. Katha yang sudah lebih dulu turun akhirnya mengangguk. “Capek juga diteror,” jawabnya. Rabu terkekeh. Lalu berjalan bersama Katha masuk ke rumah. Begitu pintu terbuka, ada aroma sedap yang tercium. Keduanya refleks langsung menuju dapur usai mengucap salam. “Wih, gila banget,” komentar Katha ketika melihat Shae memakai celemek di dapur. Shae menoleh dengan mata terbelalak. “Kalian udah pulang?” tanyanya sambil melirik jam dinding yang ada di dapur. Jam masih menunjukkan pukul tiga sore, tapi keduanya sudah pulang dari kantor. Sebuah keadaan yang cukup aneh. “Kalian ada masalah?” tanyanya. Seketika Katha memutar matanya malas. “Masalahnya elo, nih,” ujarnya sambil menyodorkan tas karton berukuran kecil. “Apa ini?” tanya Shae dengan kening berkerut. “Handphone,” jawab Katha. Karena Shae tak kunjung mengambil alih tas karton itu dari tangannya, akhirnya dia letakkan tas itu
“Gue mau jenguk Rendra.” Berbekal kalimat itu, kini Katha, Rabu dan Shae berada di rumah sakit. Mereka berjalan menyusuri lorong bersama. Di tangan Shae, ada paper bag yang isinya satu kotak sop ayam yang dibuatnya tadi. “Gue sama Rabu nunggu di sini, ya,” ujar Katha ketika mereka sampai di depan ruangan Rendra. “Kata dia juga Tante Rena lagi nggak ada. Jadi, gue tenang lepas lo berduaan dia doang di dalam.” Shae tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih. Setelah itu dia membuka pintu ruang rawat Rendra. Rabu lagi-lagi mengusap rambut Katha. “Good girl,” ujarnya. “Kita tunggu di lorong, yuk!” ajaknya kemudian. Sayangnya Katha menggeleng. “Gue mau nunggu di luar. Rumah sakit nggak pernah enak buat dikunjungi.” Rabu terkekeh, lalu mengangguk. Dia akhirnya membawa Katha ke bagian depan rumah sakit. Mereka duduk di bangku yang tidak jauh dari pitu UGD. Terlihat di sana tidak sesibuk yang Katha lihat sewaktu membawa Rendra ke sini. “
Sakha menyadari tatapan Rabu yang berubah menajam. Dia kemudian dengan sengaja menahan tangan Katha yang masih ada di keningnya. "Eh, masih panas, ya?" tanyanya pura-pura heran. Bahkan dia mengernyit. Katha mengangguk. "Kamu kenapa emangnya?" Dia tanpa sadar masih membiarkan tangannya berada di bawah telapak tangan Sakha. "Kecapekan kayaknya. Tadi aku pingsan di kantor, terus dibawa ke sini," jawab Sakha sambil melirik Rabu yang matanya fokus pada dirinya. Dia tertawa tertahan, lalu melepaskan tangannya dari tangan Shae. Menyadari Sakha menahan tawa, Katha kini merasa heran sekaligus jengkel. "Kamu tuh gimana, sih? Kabur, ya, padahal belum dikasih pulang sama dokter?" tanyanya curiga sambil menjauhkan tangannya dari dahi Sakha. Sakha akhirnya tertawa. Dia mengangguk, lalu berbisik, "Katanya aku harus dirawat, dan harus cek lab. Takutnya tifus." Katha tak bisa menahan diri dari memukul lengan Sakha. Hal yang selalu dia lakuk
Sudah beberapa hari sejak Shae bekerja di salah satu toko Rabu. Keadaannya jauh lebih baik dalam suasana baru itu. Bahkan sikap usil dan bar-barnya mulai muncul kembali. Dia juga sudah memantapkan hati untuk menjebloskan Theo ke penjara, agar kakaknya itu jera. Ya, meski prosesnya panjang dan rumit, Rabu meyakinkan Shae bahwa dia dan Katha akan saling membantu.Namun, lain halnya dengan Shae yang sudah membaik, justru Katha yang berulang kali gusar. Dia masih tidak bisa menerima sahabatnya keluar dari pekerjaan yang menurutnya baik dan menjanjikan. Apalagi posisi Shae sudah bisa dibilang stabil di perusahaan itu."Kayaknya dia mau protes lagi, deh, Bu," ujar Shae sambil menunjuk Katha yang tidak bisa menyembunyikan ekspresi penasarannya bila mereka bertiga berkumpul seperti hari ini.Sekarang memang sudah jam enam sore, jam di mana Katha benar sudah seharusnya di rumah, dan Rabu mengikuti. Sedangkan Shae sudah pulang sejak jam lima sore. Rabu sengaja membiarkann