Dia mendekat masih dengan seringaiannya yang menjijikan itu, tangannya bergerak lincah membuka resleting celananya, dasar tak punya akhlak. Mimpi apa aku semalam, sampai aku mengalami nasib buruk seperti sekarang ini.
Begitu dia mendekat ke arahku, aku langsung menj*mbak rambutnya, sampai dia terjatuh menimpa tubuhku, kami bergumul saling jambak, dan berusaha untuk mengunci pergerakan masing-masing.Kami berguling, sambil tetap saling jambak dan saling sikut, tidak sengaja tanganku menyentuh sebuah balok kayu yang tergeletak di dekatku, tanpa menyia-nyiakan kesempatan aku langsung saja mengambil balok kayu tersebut, lalu kupu*ulkan ke arah kep*la bapak yang masih menin*ih tubu*ku."Argh ...!"Dia menjerit kesakitan, sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya.Ku lampiaskan segala kekesalanku selama ini pada tub*hnya, ku lampiaskan rasa sakit hatiku yang selama ini selalu disakiti oleh anak lelakinya, selalu mendapatkan cacian juga makian dari istrinya, yang tak lain adalah ibu mertuaku sendiri.Walaupun semua sudah kulakukan sebaik mungkin sebagai seorang istri bagi anaknya, juga sebagai seorang menantu untuk mereka, tapi semua pengorbananku seolah tak ada artinya dimata mereka.Semua yang kulakukan sia-sia, tak ada eport dari mereka untuk mendukungku, atau malah berterima kasih untuk apa yang telah kulakukan, dalam membantu perekonomian keluarga.Dimata mereka aku hanyalah seorang wanita lemah yang mudah ditindas, dimata mereka aku tak ubahnya hanya sebagai babu gratisan dan sapi perah, yang bisa di suruh-suruh sesuka hati mereka saat mereka membutuhkan.Ditambah lagi sekarang bapak mertua hendak melakukan hal yang sangat bi*dab padaku, dengan berusaha merudap*ksa tubu*ku saat anaknya tak berada di rumah, habislah sudah kesabaranku yang setipis kulit ari ini, yang selama ini terus kupertahankan agar tak habis tergerus keadaan.Namun mungkin saat ini imanku telah dilemahkan oleh sye*an yang merasuki tubuh bapak, sampai akhirnya aku mampu melakukan perbuatan yang sangat diharamkan oleh agama, yaitu menghil**kan ny*wa manusia dengan sangat kej*m, tak kusangka aku bisa melakukan hal sekeji itu pada orang yang selama ini aku hormati , karena bergelar ayah mertua bagiku.Sebelum aku mulai mengeksekusinya, ku cek semua pintu dan jendela, kututup tirai yang memungkinkan orang dapat mengintip dari luar, jika ada yang tiba-tiba saja datang bertamu ke rumahku.Lantai ruang belakang rumah sekarang tak ubahnya seperti tempat penjagalan sapi. Dar*h menggenang di sana, menimbulkan aroma amis yang menyengat.'Hufh ... dasar manusia bej*t, sudah m*ti saja masih menyusahkanku dasar lak*at,' gumamku, sambil terus membersihkan genangan darah yang tercecer di lantai rumah.Penampilanku? jangan ditanya seperti apa sekarang. Baju yang basah berwarna merah darah, berbau amis yang menyengat, rambut acak-acakan hasil dari jambakan bapak tadi. Belum lagi badan yang terasa remuk tak bertulang.Akhirnya setelah berkutat selama tiga jam meng*ksekusi tub*h bandot tua ini, selesai juga aku mengerjakan semuanya, rasa benciku, rasa sakit hatiku, ku lampiaskan pada tub*hnya.Rasanya ingin sekali secepatnya aku merebahkan tubuhku di atas pembaringan, untung saja Bang Herman tidak akan pulang selama dua hari, jadi aku bisa aman mengolah dag*ng yang alot ini.Beres dengan mengepel lantai rumah, meneliti setiap sudut kalau-kalau ada tetesan darah atau jejak daging yang tertinggal, aku dengan cepat mengganti baju dengan daster baru.kusimpan baju yang terkena darah tadi sekalian kedalam plastik berisi pot*ngan tubuh yang tidak terpakai.Setelah dirasa bersih dan rapi di rumah, aku membawa ember penuh daging dan tulang itu ke kamar mandi di belakang rumah.Dengan tertatih aku membawa ember berisi daging tersebut lalu menyeretnya perlahan, karena terasa begitu berat. Kucuci daging-daging beserta tulang itu lalu kutiriskan kembali.Setelah beres mencuci daging serta tulang-tulang itu, aku membuka baju yang tadi baru kupakai, lalu mandi mengguyur seluruh badanku dengan air yang sangat banyak.Kugosok tubuhku dengan sabun berkali-kali untuk menghilangkan bau amis yang menyengat. Setelah selesai aku mengganti baju lagi dengan yang baru, takutnya tercium bau amis dari baju yang kupakai tadi.'Akhirnya beres juga, tinggal memasak dan mengurus sisa pot*ngan tub*hnya, agar tidak ada jejak yang tertinggal sekarang,' batinku.Ku seret kembali ember berisi daging serta tulang belulang itu ke dapur, lalu kusimpan dekat tungku tempatku memasak dan kututup menggunakan tampah, agar tidak ada kucing yang mengambil dagingnya.Aku akan langsung merebus semua daging dan tulang itu, karena di rumahku tidak memiliki lemari pendingin alias kulkas.Ku singkirkan dulu satu karung plastik yang tidak terpakai agar rumah terlihat lebih rapi.Ku ambil satu buah dandang paling besar, untung aku punya dandang itu, pemberian dari majikanku yang tukang bakso dulu.Ku pindahkan semua daging dan tulang yang ada di ember ke dalam dandang itu, agar bisa kurebus dulu supaya tidak berbau busuk jika kubiarkan sampai besok pagi, karena sekarang belum ada bumbu apapun di rumah untuk memasaknya.Tok ... tok ... tok ...."Janah, Janah, buka pintunya, Janah!Saat sedang menyalakan kayu bakar, ada yang mengetuk pintu dan memanggilku, " Siapa itu, malam-malam yang datang ke rumahku?""Ibu? ada apa, Bu, malam-malam begini ke rumah Janah, tumben? mana hujan lagi, " tanyaku datar, menutupi rasa gugup yang saat ini kurasakan. "Apakah tadi, ada bapak mertuamu ke sini, Janah? " tanyanya to the points. Degh ...'Bagaimana ini? bisa gawat kalau, ibu mertua memeriksa kedalam rumah,' batinku. "Janah," bentak Ibu, membuyarkan lamunanku. "Iya, Bu! Tadi bapak datang ke sini sebentar, untuk memberikan lauk kepadaku. Tapi setelah itu, Janah minta bapak segera pulang, karena Janah tidak enak sama tetangga, Bu. Soalnya di rumah sedang tidak ada, Bang Herman sekarang, " kilahku, aku harus bersikap biasa saja, agar ibu mertuaku tidak menaruh curiga padaku. "Lalu, kemana dia, pergi? sampai jam segini, belum pulang juga ke rumah, mana hujan lagi, dasar bandot tua!" Gerutu Ibu, sambil ngeluyur pergi dari halaman rumahku.'Dasar, mertua tak ada akhlak. Gak suaminya, gak istrinya sama-sama tidak bisa menghargai aku sebagai menantu, tak ada salam atau apapun yang dia ucapkan, tak uba
Aku berbalik dan membuka tudung jas hujanku. Kesal sekali aku dikira pelaku pesugihan, mana ada pelaku pesugihan yang kere berumah gubuk macam aku ini. "Ini saya, Janah, Mang Udin! Bukan maling apalagi pelaku pesugihan," ketusku, yang masih geram dengan tuduhannya. "Eh, Janah, dari mana malam-malam begini, keluyuran? mana di tengah malam, hujan pula, " selidik Mang Udin, sambil menyorot wajahku dengan lampu senternya yang temaram. "Duh jangan di senter wajah saya, Mang! Silau tahu. Saya tuh baru pulang dari rumah majikan saya, yang baru saja habis melahirkan di desa sebelah, dan saya diminta untuk menemaninya sementara suaminya belum pulang kerja, makanya saya pulang larut malam begini, " bohongku, kepada Mang udin, yang terlihat mengernyitkan dahinya seakan tidak percaya dengan apa yang kukatakan barusan. "Tapi, kok kamu tidak menginap saja di sana sekalian, Janah? malah pulang menjelang pagi begini, mana bawa parang lagi, " cecar Mang Udin, masih dengan nada menyelidik. "Iya, M
Setelah berkutat dengan semua pekerjaan di rumah Bu Dewi, menjelang pukul 3 sore akhirnya semua sudah beres dan rapi, aku berniat untuk pulang, tapi aku ingat harus membeli bumbu untuk memasak daging si t*a ba*gka di rumah. Bagaimana caranya ya agar aku punya uang? sedangkan uang gajiku minggu ini sudah habis, untuk membayar kasbonku minggu lalu. "Bu Dewi, pekrjaan saya sudah selesai, Bu, " ucapku. "Hemmm ...." Bu Dewi, hanya berdehem menjawab ucapanku, sungguh sangat menyebalkan sekali. "Em ... anu, Bu. Bolehkah jika saya kasbon lagi, Bu? suami saya ada proyek di desa tetangga dan dia tidak meninggalkan uang sama sekali untuk kebutuhan saya sehari-hari, Bu. Jadi kalau diperbolehkan saya mau kasbon dulu dan bayarnya minggu depan, Bu, " pintaku kepada Bu Dewi sungkan. "Apa aku tidak salah dengar, Janah? bukankah gajimu minggu ini sudah habis untuk membayar hutangmu minggu kemarin? maaf Janah, aku tidak bisa lagi memberikan kasbon untuk minggu ini kebiasaan nanti kamu, Janah. " buk
"Tidak, Bu. Hanya mau mengolah bahan yang ada di rumah saja, kebetulan kemarin dapat rusa dari hutan," jawabku berbohong. "Benarkah, Janah? jadi kau berhutang bumbu sebanyak itu, untuk memasak daging rusa? kalau begitu jika sudah matang nanti, bagilah aku masakan kau, ya," timpal Bu Ida, yang langsung keluar dari warungnya begitu mendengarku akan memasak daging rusa. Dasar manusia aneh, giliran tadi aku berhutang dia ngomel-ngomel, tapi begitu tahu mau memasak daging cepat kali lunaknya. "Baiklah, Bu Ida nanti pasti saya kirim barang satu mangkuk. Kalau begitu saya permisi dulu ibu-ibu,"Aku segera pergi dari sana, setelah berpamitan. Malas kali rasanya meladeni mulut rewel mereka. Sampai di rumah aku menaruh bungkusan plastik berisi semua bumbu dapur itu, lapar sekali perutku, bahkan untuk makan saja aku senin-kamis karena tak ada uang untuk membeli lauk. Punya suami, macam bang Herman, hanya bisa membuatku darah tinggi saja. Makannya banyak, menuntut harus ini harus itu, tapi m
"Tenang saja, Bu! Masih banyak kok di rumah, Ibu bisa ambil sebanyak yang Ibu mau, nanti," jawabku, sambil tersenyum ramah memandang ibu mertua. "Wah, benarkah itu, Janah?" tanyanya, sambil menunjukan tatapan mata berbinar bahagia. "Iya, Bu. Bahkan sup tulangnya juga banyak, ambillah kalau Ibu suka, Janah bosan karena terlalu banyak. Ini ke warung Bu Ida saja karena Janah mau menukar rawon ini dengan lauk dan sayuran mentah, iyakan Bu Ida?"Bu Ida, hanya menyunggingkan senyuman sinis mendengar pertanyaanku, entahlah kenapa dengan orang-orang itu? apakah perlu aku cinc*ng kalian seperti si ba*dot t*a itu, baru kalian mau memandangku ramah? "Bagaimana, Bu Ida boleh atau tidak?" tanyaku memastikan. "Baiklah, Janah. Boleh saja kamu tukar dengan lauk mentah, tapi ditambah satu mangkuk sup, ya," pintanya,Akhirnya, aku pulang dengan membawa hasil tiga butir telur dan sayur bayam serta kangkung. Lumayan untuk lauk hari ini, dari pada harus memakan daging ba*dot tua itu, hiiii ... tidak s
"Siapa perempuan yang pulang bersamamu itu, Bang?" tanyaku penasaran. "Jangan banyak bertanya dulu, Janah! Suamimu ini cape baru pulang, setidaknya kau sambutlah aku dengan senyuman, suguhi minuman dan makanan enak! Bukannya malah nyerocos seperti nenek-nenek!"Bukannya menjawab pertanyaanku, Bang Herman malah membentakku di depan wanita yang diboncengnya barusan. "Ini lagi, kenapa kalian bertengkar seperti ini di depan rumahku?" tanya Bang Herman, saat melihat Bu Ida dan ibu mertuaku sedang beradu mulut. "Herman, nasihati Ibumu itu. Jangan serakah jadi orang! Sudah tua bukannya tobat, ini kok malah makin menjadi." ketus Bu Ida, menunjuk wajah ibu mertuaku."Apa perduli mu, Ida? toh yang mau kuambil masakan menantuku sendiri, kenapa jadi kamu yang sewot?" balas ibu mertuaku, tak mau kalah. "Hey, Bu Rosma! Ibu juga kan tahu, tadi saya sudah ada sepakat sama, si Janah. Kenapa masih mau di keruk semua juga sih sayurnya? si Janah saja sudah setuju kok, malah situ yang marah-marah!""A
"Kau ... tega sekali berbuat seperti ini padaku, Bang!""Pergi sana, jangan ganggu! Aku dan temanku mau makan atau mau kau ku hajar lagi, Janah?" bentak, Bang Herman sambil menunjuk wajahku dengan telunjuknya. Aku melengos, pergi meninggalkan mereka dengan hati yang sangat sakit teriris pedih, tega sekali Bang Herman menghajarku di depan orang lain. Sebelas dua belas dengan Ibu mertuaku, wanita tua itu hanya diam saja melihat anaknya memperlakukanku dengan kasar, dasar keluaraga durjana. Aku duduk terpaku di depan perapian, tak sengaja kulihat bungkusan plastik yang tadi kubawa dari warung bu Ida. Aku baru ingat, kalau aku mau memasak lauk untukku makan malam ini. Aku pun mengambil bungkusan plastik itu, lalu mengeksekusi telur serta sayur kangkung untukku makan, biarkan saja mereka tertawa bahagia karena bisa merasakan makanan mewah, padahal itu adalah daging bapaknya sendiri. "Herman, orang mana si Desi ini, kalian ketemu di manalah bisa-bisanya, dia ikut kau pulang?" tanya ibu
"Apa maksudmu, Bang?" tanyaku keheranan. "Apa, kau sudah tuli? aku bilang, mulai hari ini kau tidur di luar kamar, sana! Terserah mau di mana saja, asal jangan di kamar ini!" Jawabnya sungguh membuatku emosi. "Loh kenapa, Bang? inikan juga kamarku, kenapa aku tidak boleh tidur lagi di kamarku sendiri, lalu aku harus tidur dimana kalau tidak di kamar ini, Bang?""Aduh ... aduh ... sakit, Bang. Lepaskan! Kenapa harus selalu berakhir dengan kekerasan, Bang? belum cukupkah semua pengorbananku selama ini, sebagai istrimu?"Bukannya menjelaskan, apa maksudnya mengusirku dari dalam kamar, Bang Herman malah menjambak rambutku, lalu di tariknya aku keluar dari kamar yang aku tempati. "Aku bilang kau tidur di luar, ya sudah tidur di luar, sana! Terserah kau, mau tidur di dapur atau di ruang tengah, yang pasti kamar ini akan ku tempati bersama, Desi mulai sekarang!" Dengan seenaknya, Bang Herman mengusirku dari kamar yang sudah bertahun-tahun kutempati, hanya demi si ulat bulu tak tahu diri i
Akhirnya dengan perasaan yang tak karuan, aku pun menganggukan kepalaku sebagai jawaban atas lamaran Pak Beni waktu itu. Dengan bismillah aku akan mencoba kembali mengarungi bahtera rumah tangga dengan lelaki yang telah memilihku, dan harapanku semoga bahtera yang akan mulai kubina ini, tidak kembali karam untuk kedua kali seperti sebelumnya.Sebulan setelah penerimaan ku atas lamaran Pak Beni tersebut, Kami akhirnya melangsungkan pernikahan di sebuah gedung yang tidak jauh dari terminal. Alasannya karena banyak teman-teman juga kenalan Pak Beni, yang di harapkan datang untuk mendoakan pernikahan Kami berdua.Betapa bahagianya aku mendapatkan suami yang begitu perhatian, juga baik hati. Bukan hanya kepadaku atau kepada orang-orang yang di kenalnya, tetapi kebaikannya itu Ia berikan juga kepada setiap orang yang membutuhkan pertolongannya. Sungguh Tuhan maha adil dengan semua rencananya, dibalik semua kesedihan yang berkepanjangan aku mendapatkan kebahagiaan yang menyongsong di depan m
Aku langsung tertegun melihat ke arah yang ditunjukan Dian padaku. "Ya ampun apa ini Di, siapa mereka?" Tanyaku berbisik ke arah Dian."Mereka adalah keluarganya dan itu orang tua angkatnya Pak Beni," sahut Dian pelan.Mereka ber empat datang menghampiri Kami dengan membawa beberapa parcel buah dan juga makanan lainnya, aku semakin kebingungan dibuatnya, ada apa ini sebetulnya pikirku."Silahkan duduk, Pak, Bu! Maaf jika harus mengobrol di teras seperti ini, di dalam tempatnya sempit takut tidak muat," ucapku merasa tidak enak, takut mereka tidak nyaman harus berbincang di luar seperti ini."Tidak apa, Nak. Kami mengerti kok tidak usah sungkan," sahut Ibu angkat Pak Beni.Dian membawa beberapa gelas air dalam nampan untuk para tamu kemudian di letakkan nya di atas meja, serta sedikit camilan yang kebetulan belum kami buka sama sekali."Janah kenalkan mereka adalah Bapak dan Ibu angkat ku, seperti yang Kamu ketahui jika orang tua kandungku sudah meninggal sejak lama. Nah mereka ini ada
Setelah perbincangan itu, tak ada lagi yang bersuara diantara Kami yang terdengar hanya denting sendok yang beradu dengan mangkuk bakso yang aku makan.Setelah selesai menyantap satu mangkuk bakso serta segelas es teh manis aku beristirahat sejenak, sekedar menghilangkan rasa lelah dan menunggu hingga perut ini tidak terasa begah, untuk kembali melanjutkan perjalanan walaupun belum tahu hendak kemana kaki ini melangkah."Janah, jika memang Kamu belum ada tujuan atau pekerjaan yang akan di tuju, bagaimana jika Kamu kembali membantu saya saja berjualan? kebetulan saya sedang memerlukan satu pekerja lagi," tanya Pak Beni padaku.Tentu saja bagaikan mata air di Padang pasir yang gersang, tawaran Pak Beni barusan tak akan pernah ku pikir dia kali atau ku sia-siakan.."Benarkah Pak, saya boleh kembali bekerja membantu Bapak seperti dulu?" Tanyaku merasa tak percaya."Tentu saja benar, Janah untuk apa saya bercanda," sahutnya sambil tersenyum ke arahku."Baik Pak, saya bersedia kembali beke
Setelah aku bisa melepaskan cengkraman tangan Ibu, bergegas aku keluar dari rumahnya. "Janah pulang dulu ya Bu, selamat tinggal semoga kedepan nanti kehidupan Kita akan berubah lebih Indah, jaga diri baik-baik ya, Bu!" Setelah berpamitan bergegas aku pulang untuk kembali ke rumah ku.Setelah sampai di rumah aku berbenah mengepak sedikit barang yang hendak kubawa, aku pergi ke kebun jati di belakang rumah karena mengingat dulu pernah mengubur perhiasan Ibu yang di curi oleh Dewi simpanan Bang Herman, yang telah lebih dulu ku Bunuh dan mayatnya ku kubur di dalam kebun jati sana. Sejenak terbayang-bayang kenangan butuk di tempat itu seolah tengahenari di pelupuk mata.Setelah berhasil ku ambil emas itu aku pergi meninggalkan rumah, rumah pertama saat aku berumah tangga dengan Bang Herman, rumah dimana penuh dengan kenangan pahit dan kesengsaraan di dalamnya, kenangan yang mungkin akan tetap utuh dalam sanubari sampai akhir hayat."Mau kemana Janah, kenapa Kamu membawa tas segala," tanya
"Ibu ....!"Aku tercengang melihat kondisi Ibu mertuaku saat ini, Dia duduk di kursi roda dengan sebelah tangan yang terlihat menekuk kedalam, mulutnya terlihat miring sebelah, entah mulai kapan keadaannya berubah seperti ini, mungkin ini akibat obat yang sering ku teteskan ke dalam makanannya dulu, atau karena darah tingginya naik sehingga menyebabkan Dia terkena struk ringan. Namun entah karena apapun itu, yang pasti mungkin itu adalah karma dari semua kejahatannya yang telah dia lakukan padaku dulu."Sejak kapan kondisi Ibu memburuk, seperti ini?" tanyaku.Ku dorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah. "Apa Ibu sudah makan?" tanyaku padanya.Ia menggeleng lemah, matanya sayu seolah menyiratkan kesedihan yang teramat sangat."Baiklah ayok makan dulu, tadi sebelum ke sini Janah memasak dulu makanan kesukaan Ibu, ini ada balado telur, ada tumis daun ubi juga kerupuk udang, mau Janah suapi?"Lagi-lagi Ia hanya bisa menganggukkan kepalanya lemah."Miris sekali hidupmu saat ini, Bu suami
Setelah kejadian buruk siang tadi, kini rumah ini terasa sunyi, senyap tak ada lagi suara cacian atau makian suamiku, rasanya sangat nyaman hening bagai di duniaku sendiri.semua jejak sudah ku amankan, seprai yang penuh darah, lantai dan juga dapur sudah ku poles agar terlihat lebih rapi dan juga bersih.tubuh kedua manusia la*nat itu kini ada di bawah tungku perapian, seperti panasnya bara api neraka maka seperti itulah tubuh kalian merasakan rasa panas kayu bakar ku di dunia ini.Hooaamm ...!Rasanya pagi ini tubuhku sudah sangat bugar kurasa, walaupun kemarin aku sudah kembali menghabisi dua nyawa namun rasanya tak ada perasaan mengganjal ataupun perasaan menyesal dalam diri ini.Aku segera memasak air, lalu pergi ke warung Bu Ida untuk sekedar membeli bumbu dan telur untuk membuat nasi goreng, sepertinya enak membuat nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang, selama ini semua masakanku selalu di habiskan oleh Bang Herman, sekarang aku bisa menikmatinya sendiri tak payah
Aku masuk ke dalam rumah lalu ku tutup pintu dan ku kunci rapat dari dalam, menyebalkan sekali kelakuan si benalu itu. Berani sekali Dia menggangguku, sungguh sangat kurang ajar ingin sekali ku kuliti wajahnya, ku congkel bola matanya yang sering jelalatan itu, dan kupatahkan tangannya yang telah berani mencolek ku seenaknya, Dia pikir aku wanita gat*l macam Ibu mertuaku.Ku hempaskan tubuh ini di atas pembaringan, tak kuhiraukan si Ja*ang yang sejak tadi pagi belum kuberikan makan atau pun minum, yang ingin kulakukan saat ini hanya mengistirahatkan kembali tubuhku yang masih terasa lelah dan juga letih ini.Tanpa kusadari beberapa menit kemudian aku sudah terlelap, terbuai ke alam mimpi.Tapi tiba-tiba nafasku terasa sesak, seolah ada yang menghimpit badan serta mencekik leherku. "Apakah aku sedang bermimpi, Tuhan? jika iya tolong bangunkan aku," gumamku di sela hempasan nafasku yang semakin sesak kurasa.Saat ku paksakan membuka mata ini, kulihat ternyata si Ja*ang sudah berada di a
Setelah mengisi perut, aku istirahat sejenak menyandarkan tubuh lelahku di di kursi bambu yang ada di dapur.Jika mengingat lagi bagaimana si Ja*ang ini menghina juga mencaci ku darahku seolah naik dengan cepat ke ubun-ubun, kesal bercampur benci aku rasakan karena bukan sekali ini dia menghinaku sudah sering hampir tiap hari mentang-mentang suamiku selalu membelanya."Dasar Ja*ang sial*n tak tahu diri, wanita lac*r, pergi saja Kau ke nera*a sana Ja*ang!" Dengan kesal aku menendang tubuh si Ja*ang yang masih tergeletak tak berdaya, setelah ku benturkan tadi kepalanya ke sudut meja Dia pingsan dan belum siuman sampai sekarang.Ku ambil tali lalu mengikatnya dengan kuat, ku sumpah juga mulutnya menggunakan kain serbet yang ada di atas meja takut ketika Ia terbangun nanti tiba-tiba berteriak atau melarikan diri."Ah, sungguh menyebalkan memang si ja*ang ini, membuat badanku yang lelah tambah lelah saja," batinku.Aku tinggalkan dia tergeletak di sana, dengan posisi badan terikat dan mul
Sambutan hangat yang kuharap begitu sampai di rumah, rasa tenang agar bisa istirahat dengan nyaman menyandarkan tubuh dari rasa lelah dan letih setelah seharian berkutat dengan debu dan panas terik jalanan.Namun sayang semua itu hanya impian semata bagiku. Apalagi saat ini sapaan wanita ja*ang tak tahu malu itu malah menyulut emosiku yang sudah ku tahan beberapa hari ini.Aku tak menghiraukan ocehannya, aku masuk ke dalam rumah dengan sedikit menabrakkan bahuku pada padanya hingga ia terhuyung kebelakang."Apa Kau tidak punya mata, Janah? Kau tulikah? seenaknya saja masuk kedalam rumah, menabrakku dengan badan dekilmu itu, sungguh menjijikkan bisa-bisa aku kena penyakit nanti," ucap si ja*ang sambil bergidik ngeri, melihat badanku yang memang terlihat dekil, kontras dengannya yang hanya duduk-duduk manis saja di dalam rumah.Badanku lelah dan juga letih, tak ku hiraukan ucapannya walaupun sebetulnya sudah kesal sekali aku mendengarnya, tapi tetap ku tahan karena aku sungguh ingin sek