Share

Bab 6 Kebohonganku

Penulis: Fatimah humaira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-04-20 23:44:52

Aku berbalik dan membuka tudung jas hujanku. Kesal sekali aku dikira pelaku pesugihan, mana ada pelaku pesugihan yang kere berumah gubuk macam aku ini.

"Ini saya, Janah, Mang Udin! Bukan maling apalagi pelaku pesugihan," ketusku, yang masih geram dengan tuduhannya.

"Eh, Janah, dari mana malam-malam begini, keluyuran? mana di tengah malam, hujan pula, " selidik Mang Udin, sambil menyorot wajahku dengan lampu senternya yang temaram.

"Duh jangan di senter wajah saya, Mang! Silau tahu. Saya tuh baru pulang dari rumah majikan saya, yang baru saja habis melahirkan di desa sebelah, dan saya diminta untuk menemaninya sementara suaminya belum pulang kerja, makanya saya pulang larut malam begini, " bohongku, kepada Mang udin, yang terlihat mengernyitkan dahinya seakan tidak percaya dengan apa yang kukatakan barusan.

"Tapi, kok kamu tidak menginap saja di sana sekalian, Janah? malah pulang menjelang pagi begini, mana bawa parang lagi, " cecar Mang Udin, masih dengan nada menyelidik.

"Iya, Mang. Saya terpaksa pulang jam segini karena lupa kalau di rumah tidak ada makanan sama-sekali, saya takut Bang Herman keburu pulang. Bisa ngamuk dia kalau pulang tak ada apapun yang bisa dimakan sama sekali. Dan ini, parang saya bawa buat jaga-jaga, Mang takut ada begal di jalan, sayakan perempuan, Mang," kilahku penuh kebohongan, sambil mengacungkan parang ke arah wajahnya.

Mang Udin manggut-manggut tanda mengerti.

"Ya sudah, sana pulang Janah! Bahaya malam-malam begini, wanita secantik kamu keluyuran di luar rumah," ucap Mang Udin, sambil mengedipkan matanya genit ke arahku.

'Dasar lelaki, di mana-mana sama, tidak boleh lihat yang bening dikit, lupa sama yang di rumah,' batinku.

"Baik, Mang. Kalau begitu saya pamit dulu," ucapku, dan tanpa menunggu jawabannya, aku bergegas pergi meninggalkan Mang Udin sendiri di sana.

"Eh, Janah tunggu sebentar! Apa itu di pundakmu seperti ada noda darah?"

Degh ....

Dadaku berdebar lebih kencang, begitu mendengar teguran Mang Udin barusan.

"O ... oh iya kah, Mang? mungkin ini darah dari bayi majikan saya tadi Mang, soalnya tadi saya sempat menolongnya waktu dukun bayinya belum datang," kilahku, sambil berbalik kembali memandang wajah, Mang Udin yang terlihat sedang memperhatikan tubuhku, dari atas kepala sampai ujung kaki.

"Oh, seperti itu. Kalau begitu kamu harus mandi dulu, Janah! Nanti kalau langsung tidur malah bau amis lagi, jadi gak nafsu nanti, hehehe, " kekehnya begitu menyebalkan.

Apalah maksudnya, dia berbicara seperti itu. Dia pikir aku nafsu melihat tubuh kerempengnya itu.

"Ah sudah ya, Mang, saya pulang dulu! Sudah hampir pagi juga, tidak enak jika dilihat orang mari, Mang." aku bergegas pergi dari sana secepatnya, tak kuhiraukan lagi lelaki hidung belang itu, yang masih memandangku, penasaran.

Begitu sampai di rumah, aku langsung mengunci kembali pintu dengan rapat. Lalu langsung menuju belakang untuk melihat rebusan daging si ban*ot tua, pasti apinya sudah padam karena terlalu lama kutinggal tadi. Benar saja apinya sudah padam, kemudian secepatnya aku nyalakan kembali kayu bakar untuk meneruskan merebus dagingnya, biar cepat empuk.

Sementara dagingnya masih dalam rebusan, aku bergegas ke kamar mandi untuk kembali mengguyur tubuhku dan merendam baju yang tadi kupakai, takut keburu Bang Herman datang dan mencurigai ku nanti.

Selesai dari kamar mandi, aku kembali ke tungku perapian, menunggui api agar tidak terus padam nanti, biar daging yang ku rebus cepat matang.

Kulihat Jam di dinding rumahku sudah menunjukan pukul 02:25 menit. Mataku sudah sangat berat rasanya, tubuhku juga sudah sangat lelah ingin segera berbaring mengistirahatkan tubuh dan jiwaku yang saat ini sedang tidak baik-baik saja gara-gara ulah si t"a bangka sialan itu.

Kukuruyuk ... kukuruyuk ....

Suara ayam jantan sudah terdengar saling bersahutan, sinar mentari pagi menembus lewat celah-celah bilik bambu, rumahku. Tidak sengaja aku tertidur dekat perapian, mungkin karena terlalu lelah sampai-sampai tidak terasa aku ketiduran di dapur dekat tungku.

Kulihat dagingnya sudah matang, air rebusan di dandangnya juga sudah mulai menyusut berarti sekarang tinggal membeli bahan-bahan untuk membumbuinya saja, tapi bagaimana? aku tidak punya uang sepeser pun sekarang, Bang Herman berangkat tanpa meninggalkan uang sepeser pun untuk kebutuhan sehari-hariku kemarin.

Sangat menyebalkan memang suamiku itu, otaknya tidak dipakai kadang-kadang. Dia hanya mementingkan dirinya sendiri, tanpa menghiraukan apa yang ku butuhkan sebagai istrinya.

Aku beranjak dari dapur lalu mencuci muka serta menggosok gigi saja, setelah itu aku bergegas pergi ke kampung tetangga untuk bekerja karena aku sudah sangat terlambat.

Jangankan untuk sarapan, hanya untuk sekedar minum teh hangat saja aku tidak sempat, karena jam sudah menunjukan pukul 10 siang dan majikanku pasti marah-marah karena aku tak sempat menyiapkan bekal untuk anaknya pergi sekolah hari ini.

Tok ... tok ... tok ....

"Bu Dewi, saya Janah, Bu. " aku mengetuk pintu begitu sampai di rumah majikanku.

Ceklek!

Pintu dibuka dari dalam.

"Kamu, Janah? aku pikir kamu sudah bosan bekerja di rumahku, sudah beberapa hari ini kamu kesiangan terus, mana hari ini datangnya siang banget lagi, anakku sampai tidak membawa bekal ke sekolah.

Kalau kamu masih butuh pekerjaan, yang disiplin dong, Janah, jangan seenaknya saja! Aku kan mempekerjakan kamu itu dibayar, Janah, nggak gratisan, " cerocos Bu Dewi, seperti radio rusak mengawali hariku siang ini, bikin gak mood saja.

'Beruntungnya kamu Bu Dewi, aku masih membutuhkan pekerjaan ini, Kalau tidak pasti sudah ku tinggal pergi semua pekerjaan di rumahmu ini. Gaji gak seberapa, pelit, cerewetnya mengalahkan para tokek di pasar malam lagi, nih orang,' batinku kesal.

Bab terkait

  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 7 Berburu Bumbu

    Setelah berkutat dengan semua pekerjaan di rumah Bu Dewi, menjelang pukul 3 sore akhirnya semua sudah beres dan rapi, aku berniat untuk pulang, tapi aku ingat harus membeli bumbu untuk memasak daging si t*a ba*gka di rumah. Bagaimana caranya ya agar aku punya uang? sedangkan uang gajiku minggu ini sudah habis, untuk membayar kasbonku minggu lalu. "Bu Dewi, pekrjaan saya sudah selesai, Bu, " ucapku. "Hemmm ...." Bu Dewi, hanya berdehem menjawab ucapanku, sungguh sangat menyebalkan sekali. "Em ... anu, Bu. Bolehkah jika saya kasbon lagi, Bu? suami saya ada proyek di desa tetangga dan dia tidak meninggalkan uang sama sekali untuk kebutuhan saya sehari-hari, Bu. Jadi kalau diperbolehkan saya mau kasbon dulu dan bayarnya minggu depan, Bu, " pintaku kepada Bu Dewi sungkan. "Apa aku tidak salah dengar, Janah? bukankah gajimu minggu ini sudah habis untuk membayar hutangmu minggu kemarin? maaf Janah, aku tidak bisa lagi memberikan kasbon untuk minggu ini kebiasaan nanti kamu, Janah. " buk

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-20
  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 8 Rawon Daging Dan Sup Tulang Bapa

    "Tidak, Bu. Hanya mau mengolah bahan yang ada di rumah saja, kebetulan kemarin dapat rusa dari hutan," jawabku berbohong. "Benarkah, Janah? jadi kau berhutang bumbu sebanyak itu, untuk memasak daging rusa? kalau begitu jika sudah matang nanti, bagilah aku masakan kau, ya," timpal Bu Ida, yang langsung keluar dari warungnya begitu mendengarku akan memasak daging rusa. Dasar manusia aneh, giliran tadi aku berhutang dia ngomel-ngomel, tapi begitu tahu mau memasak daging cepat kali lunaknya. "Baiklah, Bu Ida nanti pasti saya kirim barang satu mangkuk. Kalau begitu saya permisi dulu ibu-ibu,"Aku segera pergi dari sana, setelah berpamitan. Malas kali rasanya meladeni mulut rewel mereka. Sampai di rumah aku menaruh bungkusan plastik berisi semua bumbu dapur itu, lapar sekali perutku, bahkan untuk makan saja aku senin-kamis karena tak ada uang untuk membeli lauk. Punya suami, macam bang Herman, hanya bisa membuatku darah tinggi saja. Makannya banyak, menuntut harus ini harus itu, tapi m

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-13
  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 9 Ulat bulu kah?

    "Tenang saja, Bu! Masih banyak kok di rumah, Ibu bisa ambil sebanyak yang Ibu mau, nanti," jawabku, sambil tersenyum ramah memandang ibu mertua. "Wah, benarkah itu, Janah?" tanyanya, sambil menunjukan tatapan mata berbinar bahagia. "Iya, Bu. Bahkan sup tulangnya juga banyak, ambillah kalau Ibu suka, Janah bosan karena terlalu banyak. Ini ke warung Bu Ida saja karena Janah mau menukar rawon ini dengan lauk dan sayuran mentah, iyakan Bu Ida?"Bu Ida, hanya menyunggingkan senyuman sinis mendengar pertanyaanku, entahlah kenapa dengan orang-orang itu? apakah perlu aku cinc*ng kalian seperti si ba*dot t*a itu, baru kalian mau memandangku ramah? "Bagaimana, Bu Ida boleh atau tidak?" tanyaku memastikan. "Baiklah, Janah. Boleh saja kamu tukar dengan lauk mentah, tapi ditambah satu mangkuk sup, ya," pintanya,Akhirnya, aku pulang dengan membawa hasil tiga butir telur dan sayur bayam serta kangkung. Lumayan untuk lauk hari ini, dari pada harus memakan daging ba*dot tua itu, hiiii ... tidak s

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-13
  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 10 Gara-gara Si Ulat Bulu

    "Siapa perempuan yang pulang bersamamu itu, Bang?" tanyaku penasaran. "Jangan banyak bertanya dulu, Janah! Suamimu ini cape baru pulang, setidaknya kau sambutlah aku dengan senyuman, suguhi minuman dan makanan enak! Bukannya malah nyerocos seperti nenek-nenek!"Bukannya menjawab pertanyaanku, Bang Herman malah membentakku di depan wanita yang diboncengnya barusan. "Ini lagi, kenapa kalian bertengkar seperti ini di depan rumahku?" tanya Bang Herman, saat melihat Bu Ida dan ibu mertuaku sedang beradu mulut. "Herman, nasihati Ibumu itu. Jangan serakah jadi orang! Sudah tua bukannya tobat, ini kok malah makin menjadi." ketus Bu Ida, menunjuk wajah ibu mertuaku."Apa perduli mu, Ida? toh yang mau kuambil masakan menantuku sendiri, kenapa jadi kamu yang sewot?" balas ibu mertuaku, tak mau kalah. "Hey, Bu Rosma! Ibu juga kan tahu, tadi saya sudah ada sepakat sama, si Janah. Kenapa masih mau di keruk semua juga sih sayurnya? si Janah saja sudah setuju kok, malah situ yang marah-marah!""A

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-13
  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 11 Ulat bulu yang mulai meresahkan

    "Kau ... tega sekali berbuat seperti ini padaku, Bang!""Pergi sana, jangan ganggu! Aku dan temanku mau makan atau mau kau ku hajar lagi, Janah?" bentak, Bang Herman sambil menunjuk wajahku dengan telunjuknya. Aku melengos, pergi meninggalkan mereka dengan hati yang sangat sakit teriris pedih, tega sekali Bang Herman menghajarku di depan orang lain. Sebelas dua belas dengan Ibu mertuaku, wanita tua itu hanya diam saja melihat anaknya memperlakukanku dengan kasar, dasar keluaraga durjana. Aku duduk terpaku di depan perapian, tak sengaja kulihat bungkusan plastik yang tadi kubawa dari warung bu Ida. Aku baru ingat, kalau aku mau memasak lauk untukku makan malam ini. Aku pun mengambil bungkusan plastik itu, lalu mengeksekusi telur serta sayur kangkung untukku makan, biarkan saja mereka tertawa bahagia karena bisa merasakan makanan mewah, padahal itu adalah daging bapaknya sendiri. "Herman, orang mana si Desi ini, kalian ketemu di manalah bisa-bisanya, dia ikut kau pulang?" tanya ibu

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-14
  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 12 Aduan ibu mertua

    "Apa maksudmu, Bang?" tanyaku keheranan. "Apa, kau sudah tuli? aku bilang, mulai hari ini kau tidur di luar kamar, sana! Terserah mau di mana saja, asal jangan di kamar ini!" Jawabnya sungguh membuatku emosi. "Loh kenapa, Bang? inikan juga kamarku, kenapa aku tidak boleh tidur lagi di kamarku sendiri, lalu aku harus tidur dimana kalau tidak di kamar ini, Bang?""Aduh ... aduh ... sakit, Bang. Lepaskan! Kenapa harus selalu berakhir dengan kekerasan, Bang? belum cukupkah semua pengorbananku selama ini, sebagai istrimu?"Bukannya menjelaskan, apa maksudnya mengusirku dari dalam kamar, Bang Herman malah menjambak rambutku, lalu di tariknya aku keluar dari kamar yang aku tempati. "Aku bilang kau tidur di luar, ya sudah tidur di luar, sana! Terserah kau, mau tidur di dapur atau di ruang tengah, yang pasti kamar ini akan ku tempati bersama, Desi mulai sekarang!" Dengan seenaknya, Bang Herman mengusirku dari kamar yang sudah bertahun-tahun kutempati, hanya demi si ulat bulu tak tahu diri i

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-14
  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 13 Salah memilih lawan

    Aku, bangun dan berdiri, dengan tubuh gemetar menahan sakit serta amarah dalam dada. Berjalan tertatih mencari tempat yang aman untukku tidur, malam ini. Untunglah ada gerobak, yang biasa kubawa untuk memulung barang bekas teronggok di pinggir halaman belakang. Aku masuk kedalamnya, menggelar kardus bekas untuk alasku tidur malam ini. Entah apa, yang dikatakan Ibu mertuaku kepada Bang Herman, sampai dia mengamuk padaku seperti ini.Badanku terasa remuk semua, beberapa hari ini jiwaku terus didera rasa sakit bertubi-tubi, sakit fisikku tidaklah seberapa jika dibandingkan sakit batin yang kurasakan saat ini. "Kalian, sudah sangat menyakitiku. Akan kuingat semua perbuatan kalian ini, rasa sakitku akan kalian rasakan juga suatu saat nanti. Tunggulah saatnya tiba! Kalian akan mengiba memohon agar aku mengampuni kesalahan kalian," gumamku, sesaat sebelum akhirnya mata ini terpejam, dalam derai air mata yang tak bisa lagi kubendung. Dug ... dug ... dug ...!! "Heh, Janah bangun, Janah! K

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-14
  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 14 Si Jalang yang juga maling

    Bang Herman, menyeret ku masuk ke kebun karet yang ada di belakang rumah, Kami. "Ini adalah hukuman untukmu wanita sial, karena Kau sudah berani menyakiti wanitaku."Bang Herman, mengikatku di sebuah pohon karet yang menjulang tinggi, di sana."Bang, lepaskan aku! Aku tidak bersalah, aku tidak melakukan apapun padanya, Bang." teriakku memberitahukan kebenarannya pada suamiku. Namun bagaikan bicara pada angin, hanya menguap begitu saja. Bang Herman meninggalkanku terikat di sebuah pohon jati di kebun belakang rumah. Dalam keadaan panas terik, badan yang terasa lemas karena demam ditambah lagi siksaan yang baru saja di tambahkan suamiku, menambah rasa sakit pada keadaan tubuhku yang semakin tak terkendali. Aku berusaha menggerak-gerakan tubuhku, supaya ikatan talinya sedikit melonggar dan aku bisa melepaskannya nanti. Sudah sejak tadi aku terus bergerak berusaha melepaskan tali yang mengikatku, tapi usahaku masih nihil belum membuahkan hasil apapun, tali sialan ini masih melingkar

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-14

Bab terbaru

  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 41

    Akhirnya dengan perasaan yang tak karuan, aku pun menganggukan kepalaku sebagai jawaban atas lamaran Pak Beni waktu itu. Dengan bismillah aku akan mencoba kembali mengarungi bahtera rumah tangga dengan lelaki yang telah memilihku, dan harapanku semoga bahtera yang akan mulai kubina ini, tidak kembali karam untuk kedua kali seperti sebelumnya.Sebulan setelah penerimaan ku atas lamaran Pak Beni tersebut, Kami akhirnya melangsungkan pernikahan di sebuah gedung yang tidak jauh dari terminal. Alasannya karena banyak teman-teman juga kenalan Pak Beni, yang di harapkan datang untuk mendoakan pernikahan Kami berdua.Betapa bahagianya aku mendapatkan suami yang begitu perhatian, juga baik hati. Bukan hanya kepadaku atau kepada orang-orang yang di kenalnya, tetapi kebaikannya itu Ia berikan juga kepada setiap orang yang membutuhkan pertolongannya. Sungguh Tuhan maha adil dengan semua rencananya, dibalik semua kesedihan yang berkepanjangan aku mendapatkan kebahagiaan yang menyongsong di depan m

  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 40

    Aku langsung tertegun melihat ke arah yang ditunjukan Dian padaku. "Ya ampun apa ini Di, siapa mereka?" Tanyaku berbisik ke arah Dian."Mereka adalah keluarganya dan itu orang tua angkatnya Pak Beni," sahut Dian pelan.Mereka ber empat datang menghampiri Kami dengan membawa beberapa parcel buah dan juga makanan lainnya, aku semakin kebingungan dibuatnya, ada apa ini sebetulnya pikirku."Silahkan duduk, Pak, Bu! Maaf jika harus mengobrol di teras seperti ini, di dalam tempatnya sempit takut tidak muat," ucapku merasa tidak enak, takut mereka tidak nyaman harus berbincang di luar seperti ini."Tidak apa, Nak. Kami mengerti kok tidak usah sungkan," sahut Ibu angkat Pak Beni.Dian membawa beberapa gelas air dalam nampan untuk para tamu kemudian di letakkan nya di atas meja, serta sedikit camilan yang kebetulan belum kami buka sama sekali."Janah kenalkan mereka adalah Bapak dan Ibu angkat ku, seperti yang Kamu ketahui jika orang tua kandungku sudah meninggal sejak lama. Nah mereka ini ada

  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 39

    Setelah perbincangan itu, tak ada lagi yang bersuara diantara Kami yang terdengar hanya denting sendok yang beradu dengan mangkuk bakso yang aku makan.Setelah selesai menyantap satu mangkuk bakso serta segelas es teh manis aku beristirahat sejenak, sekedar menghilangkan rasa lelah dan menunggu hingga perut ini tidak terasa begah, untuk kembali melanjutkan perjalanan walaupun belum tahu hendak kemana kaki ini melangkah."Janah, jika memang Kamu belum ada tujuan atau pekerjaan yang akan di tuju, bagaimana jika Kamu kembali membantu saya saja berjualan? kebetulan saya sedang memerlukan satu pekerja lagi," tanya Pak Beni padaku.Tentu saja bagaikan mata air di Padang pasir yang gersang, tawaran Pak Beni barusan tak akan pernah ku pikir dia kali atau ku sia-siakan.."Benarkah Pak, saya boleh kembali bekerja membantu Bapak seperti dulu?" Tanyaku merasa tak percaya."Tentu saja benar, Janah untuk apa saya bercanda," sahutnya sambil tersenyum ke arahku."Baik Pak, saya bersedia kembali beke

  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 38

    Setelah aku bisa melepaskan cengkraman tangan Ibu, bergegas aku keluar dari rumahnya. "Janah pulang dulu ya Bu, selamat tinggal semoga kedepan nanti kehidupan Kita akan berubah lebih Indah, jaga diri baik-baik ya, Bu!" Setelah berpamitan bergegas aku pulang untuk kembali ke rumah ku.Setelah sampai di rumah aku berbenah mengepak sedikit barang yang hendak kubawa, aku pergi ke kebun jati di belakang rumah karena mengingat dulu pernah mengubur perhiasan Ibu yang di curi oleh Dewi simpanan Bang Herman, yang telah lebih dulu ku Bunuh dan mayatnya ku kubur di dalam kebun jati sana. Sejenak terbayang-bayang kenangan butuk di tempat itu seolah tengahenari di pelupuk mata.Setelah berhasil ku ambil emas itu aku pergi meninggalkan rumah, rumah pertama saat aku berumah tangga dengan Bang Herman, rumah dimana penuh dengan kenangan pahit dan kesengsaraan di dalamnya, kenangan yang mungkin akan tetap utuh dalam sanubari sampai akhir hayat."Mau kemana Janah, kenapa Kamu membawa tas segala," tanya

  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 36

    "Ibu ....!"Aku tercengang melihat kondisi Ibu mertuaku saat ini, Dia duduk di kursi roda dengan sebelah tangan yang terlihat menekuk kedalam, mulutnya terlihat miring sebelah, entah mulai kapan keadaannya berubah seperti ini, mungkin ini akibat obat yang sering ku teteskan ke dalam makanannya dulu, atau karena darah tingginya naik sehingga menyebabkan Dia terkena struk ringan. Namun entah karena apapun itu, yang pasti mungkin itu adalah karma dari semua kejahatannya yang telah dia lakukan padaku dulu."Sejak kapan kondisi Ibu memburuk, seperti ini?" tanyaku.Ku dorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah. "Apa Ibu sudah makan?" tanyaku padanya.Ia menggeleng lemah, matanya sayu seolah menyiratkan kesedihan yang teramat sangat."Baiklah ayok makan dulu, tadi sebelum ke sini Janah memasak dulu makanan kesukaan Ibu, ini ada balado telur, ada tumis daun ubi juga kerupuk udang, mau Janah suapi?"Lagi-lagi Ia hanya bisa menganggukkan kepalanya lemah."Miris sekali hidupmu saat ini, Bu suami

  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 35

    Setelah kejadian buruk siang tadi, kini rumah ini terasa sunyi, senyap tak ada lagi suara cacian atau makian suamiku, rasanya sangat nyaman hening bagai di duniaku sendiri.semua jejak sudah ku amankan, seprai yang penuh darah, lantai dan juga dapur sudah ku poles agar terlihat lebih rapi dan juga bersih.tubuh kedua manusia la*nat itu kini ada di bawah tungku perapian, seperti panasnya bara api neraka maka seperti itulah tubuh kalian merasakan rasa panas kayu bakar ku di dunia ini.Hooaamm ...!Rasanya pagi ini tubuhku sudah sangat bugar kurasa, walaupun kemarin aku sudah kembali menghabisi dua nyawa namun rasanya tak ada perasaan mengganjal ataupun perasaan menyesal dalam diri ini.Aku segera memasak air, lalu pergi ke warung Bu Ida untuk sekedar membeli bumbu dan telur untuk membuat nasi goreng, sepertinya enak membuat nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang, selama ini semua masakanku selalu di habiskan oleh Bang Herman, sekarang aku bisa menikmatinya sendiri tak payah

  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 34

    Aku masuk ke dalam rumah lalu ku tutup pintu dan ku kunci rapat dari dalam, menyebalkan sekali kelakuan si benalu itu. Berani sekali Dia menggangguku, sungguh sangat kurang ajar ingin sekali ku kuliti wajahnya, ku congkel bola matanya yang sering jelalatan itu, dan kupatahkan tangannya yang telah berani mencolek ku seenaknya, Dia pikir aku wanita gat*l macam Ibu mertuaku.Ku hempaskan tubuh ini di atas pembaringan, tak kuhiraukan si Ja*ang yang sejak tadi pagi belum kuberikan makan atau pun minum, yang ingin kulakukan saat ini hanya mengistirahatkan kembali tubuhku yang masih terasa lelah dan juga letih ini.Tanpa kusadari beberapa menit kemudian aku sudah terlelap, terbuai ke alam mimpi.Tapi tiba-tiba nafasku terasa sesak, seolah ada yang menghimpit badan serta mencekik leherku. "Apakah aku sedang bermimpi, Tuhan? jika iya tolong bangunkan aku," gumamku di sela hempasan nafasku yang semakin sesak kurasa.Saat ku paksakan membuka mata ini, kulihat ternyata si Ja*ang sudah berada di a

  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 33

    Setelah mengisi perut, aku istirahat sejenak menyandarkan tubuh lelahku di di kursi bambu yang ada di dapur.Jika mengingat lagi bagaimana si Ja*ang ini menghina juga mencaci ku darahku seolah naik dengan cepat ke ubun-ubun, kesal bercampur benci aku rasakan karena bukan sekali ini dia menghinaku sudah sering hampir tiap hari mentang-mentang suamiku selalu membelanya."Dasar Ja*ang sial*n tak tahu diri, wanita lac*r, pergi saja Kau ke nera*a sana Ja*ang!" Dengan kesal aku menendang tubuh si Ja*ang yang masih tergeletak tak berdaya, setelah ku benturkan tadi kepalanya ke sudut meja Dia pingsan dan belum siuman sampai sekarang.Ku ambil tali lalu mengikatnya dengan kuat, ku sumpah juga mulutnya menggunakan kain serbet yang ada di atas meja takut ketika Ia terbangun nanti tiba-tiba berteriak atau melarikan diri."Ah, sungguh menyebalkan memang si ja*ang ini, membuat badanku yang lelah tambah lelah saja," batinku.Aku tinggalkan dia tergeletak di sana, dengan posisi badan terikat dan mul

  • Rawon Daging Ayah Mertua   Bab 32

    Sambutan hangat yang kuharap begitu sampai di rumah, rasa tenang agar bisa istirahat dengan nyaman menyandarkan tubuh dari rasa lelah dan letih setelah seharian berkutat dengan debu dan panas terik jalanan.Namun sayang semua itu hanya impian semata bagiku. Apalagi saat ini sapaan wanita ja*ang tak tahu malu itu malah menyulut emosiku yang sudah ku tahan beberapa hari ini.Aku tak menghiraukan ocehannya, aku masuk ke dalam rumah dengan sedikit menabrakkan bahuku pada padanya hingga ia terhuyung kebelakang."Apa Kau tidak punya mata, Janah? Kau tulikah? seenaknya saja masuk kedalam rumah, menabrakku dengan badan dekilmu itu, sungguh menjijikkan bisa-bisa aku kena penyakit nanti," ucap si ja*ang sambil bergidik ngeri, melihat badanku yang memang terlihat dekil, kontras dengannya yang hanya duduk-duduk manis saja di dalam rumah.Badanku lelah dan juga letih, tak ku hiraukan ucapannya walaupun sebetulnya sudah kesal sekali aku mendengarnya, tapi tetap ku tahan karena aku sungguh ingin sek

DMCA.com Protection Status