Setelah berkutat dengan semua pekerjaan di rumah Bu Dewi, menjelang pukul 3 sore akhirnya semua sudah beres dan rapi, aku berniat untuk pulang, tapi aku ingat harus membeli bumbu untuk memasak daging si t*a ba*gka di rumah.
Bagaimana caranya ya agar aku punya uang? sedangkan uang gajiku minggu ini sudah habis, untuk membayar kasbonku minggu lalu."Bu Dewi, pekrjaan saya sudah selesai, Bu, " ucapku."Hemmm ...." Bu Dewi, hanya berdehem menjawab ucapanku, sungguh sangat menyebalkan sekali."Em ... anu, Bu. Bolehkah jika saya kasbon lagi, Bu? suami saya ada proyek di desa tetangga dan dia tidak meninggalkan uang sama sekali untuk kebutuhan saya sehari-hari, Bu. Jadi kalau diperbolehkan saya mau kasbon dulu dan bayarnya minggu depan, Bu, " pintaku kepada Bu Dewi sungkan."Apa aku tidak salah dengar, Janah? bukankah gajimu minggu ini sudah habis untuk membayar hutangmu minggu kemarin? maaf Janah, aku tidak bisa lagi memberikan kasbon untuk minggu ini kebiasaan nanti kamu, Janah. " bukannya memberikan pinjaman, Bu Dewi malah menceramahi ku. Ah sial sekali, aku."Lagi pula, jika suamimu tidak meninggalkan uang untuk kebutuhanmu, itu bukan urusanku, itu adalah nasibmu menjadi istrinya, Janah," timpal Bu Dewi lagi.Kesal sekali aku mendengarnya, setidaknya kalau dia tidak ingin memberikan pinjaman tidak usahlah sampai mengejekku segala.'Bagaimana, ini? mana di rumah tidak ada bumbu sama sekali, uang pun sekarang aku tidak punya. Bagaimana aku bisa membeli bumbu untuk memasak daging si t*a ba*gka itu, sekarang? apa, aku minta saja sama ibu mertuaku, ya? ya sudah, aku coba saja nanti minta pada beliau,' batinku."Baiklah, Bu, kalau begitu saya permisi pulang dulu." Aku pun Pamit, lalu beranjak meninggalkan rumah Bu Dewi, tak kudengar lagi beliau menggerutu apa tentangku dan aku pun tidak perduli sama sekali beliau mau ngomong apa lagi, rasanya sudah lelah semua, badanku.Aku langsung ke rumah ibu mertuaku setelah selesai bekerja, berniat meminta bumbu untuk masakanku hari ini, kalau dari ibu pun aku tidak mendapatkan apa-apa, terpaksa aku harus berhutang lagi di warung Bu Ida, nanti."Assalamualaikum, Bu." Aku mengucap salam, sebelum masuk kerumahnya."Masuk saja, Janah! Mau apa kau kemari?" tanya ibu mertuaku, bukannya menjawab salamku terlebih dahulu."Itu, Bu, bolehkah Janah minta sedikit saja bumbu dapur untuk masak hari ini, Bu? Bang Herman tidak meninggalkan uang sepeser pun di rumah, jadi Janah tidak bisa membeli bumbu untuk masak hari ini, Bu" pintaku sungkan."Kamu kira aku tuh warung apa, Janah? kenapa Kamu tidak berhutang saja di warungnya si Ida, sana! Maunya yang gratisan saja, kamu tuh," gerutu ibu mertuaku sambil ngeluyur pergi kedalam.'Dasar, mertua medit. Kalau kamu tahu untuk memasak apa, bumbu yang kuminta ini, pasti Kamu akan nangis darah,' batinku.Aku melengos, pergi meninggalkan rumah ibu mertua. Tanpa pamit, aku langsung saja beranjak dari rumah bak neraka itu, kesal sekali aku, 2 hari ini rasanya. Lelah badanku, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan lelah batin yang kurasakan."Eh Janah, tunggu!" Panggil, ibu mertuaku, ketika aku sudah sampai di ambang pintu."Ada apa, Bu? apa Ibu mau memberikan Janah bumbu, yang Janah minta, tadi? " tanyaku."Kamu itu tidak sopan sekali, Janah. Pergi main ngeluyur saja, tidak pamit sama sekali," ketus ibu mertua, membuatku tambah muak saja.Apa kabarnya dia yang tadi saja tidak menjawab salamku sama sekali, dasar aneh."Apa kamu tidak melihat suamiku seharian ini, Janah? sejak pergi ke rumahmu tempo hari, sampai sekarang dia belum pulang, " kemudian beliau menanyakan kembali keberadaan suaminya, yang sekarang sudah menjadi daging rebus dalam dandang di rumahku."Tidak, Bu. Janah belum melihat bapak lagi, sejak beliau pergi dari rumah, Janah kemarin malam, Bu, ""Kalau kamu bertemu dengan suamiku, suruh dia secepatnya pulang, Janah! Akan ku cincang barang pusakanya, jika dia berani mengkhianati ku, dengan wanita lain."'Tenang saja, Bu! Keinginanmu sudah ku wakili, aku sudah mencincang suamimu yang be*at itu," batinku."Baik, Bu," sahutku, lalu aku bergegas pergi dari rumah ibu mertuaku yang pelit itu.'Carilah suamimu itu sampai ke ujung dunia, Bu! Dan pastinya kau tidak akan pernah menemukannya, karena dia saat ini berada dalam dandang di rumahku,' gumamku lirih.Karena ibu mertua tidak memberikanku bumbu dapur sedikit pun, akhirnya terpaksa mau tidak mau aku harus berhutang kembali di warung, Bu Ida.Dengan percaya diri, aku berjalan ke arah warungnya yang kebetulan sedang begitu ramai pembeli."Assalamualaikum, Bu Ida, ""Iya, Janah, mau beli, apa mau ngutang?" sahutnya judes, tanpa menjawab salamku sama sekali."Itu, Bu Ida, aku mau berhutang bumbu dapur, besok suamiku pulang dari desa sebelah, pasti akan kubayar langsung hutangnya, begitu suamiku sampai rumah nanti," pintaku sungkan.Bu Ida, tidak menanggapi apa yang kuminta, dia malah asik sendiri dengan ponsel yang dipegangnya dari tadi."Bu Ida, bagaimana, bolehkan aku berhutang dulu? besok pasti kubayar, Bu. ""Kalau boleh, berikan aku bawang merah, bawang putih, masing-masing satu kilo, gula merah, kluek, kemiri sama santan, juga jangan lupa minyaknya satu kg, Bu Ida!"Kesal karena tidak dihiraukan, akhirnya aku sedikit mengeraskan suaraku dan membuat, Bu Ida menatapku tajam, mungkin karena dia tidak suka dengan nada suaraku yang meninggi."Heh, Janah sudah miskin, tukang ngutang, kasar banget lagi! Kamu itu mau berhutang apa mau merampok?"Bu Ida, menggerutu karena kesal, sambil mengambilkan barang-barang yang tadi ku sebutkan."Nih, semua jadi 125 ribu. Jangan sampai lupa besok dibayar ya, Janah! Bikin bangkrut punya langganan kayak gini, nih," cerocos Bu Ida, lalu kembali mengambil ponselnya."Iya, Bu Ida. Besok pasti saya bayar, kalau sudah ada uangnya, terima kasih."Aku bergegas pergi dari warung, setelah mendapatkan apa yang aku butuhkan, walaupun dapat berhutang. Rasanya kesal sekali, kalau tidak butuh, aku lempar semua bumbu dapur ini, ke wajahnya yang jutek itu."Janah, tumben kamu belanja banyak, mau ada pesta ya?" tanya seorang tetangga, yang berada tidak jauh dari warung, Bu Ida."Tidak, Bu. Hanya mau mengolah bahan yang ada di rumah saja, kebetulan kemarin dapat rusa dari hutan," jawabku berbohong. "Benarkah, Janah? jadi kau berhutang bumbu sebanyak itu, untuk memasak daging rusa? kalau begitu jika sudah matang nanti, bagilah aku masakan kau, ya," timpal Bu Ida, yang langsung keluar dari warungnya begitu mendengarku akan memasak daging rusa. Dasar manusia aneh, giliran tadi aku berhutang dia ngomel-ngomel, tapi begitu tahu mau memasak daging cepat kali lunaknya. "Baiklah, Bu Ida nanti pasti saya kirim barang satu mangkuk. Kalau begitu saya permisi dulu ibu-ibu,"Aku segera pergi dari sana, setelah berpamitan. Malas kali rasanya meladeni mulut rewel mereka. Sampai di rumah aku menaruh bungkusan plastik berisi semua bumbu dapur itu, lapar sekali perutku, bahkan untuk makan saja aku senin-kamis karena tak ada uang untuk membeli lauk. Punya suami, macam bang Herman, hanya bisa membuatku darah tinggi saja. Makannya banyak, menuntut harus ini harus itu, tapi m
"Tenang saja, Bu! Masih banyak kok di rumah, Ibu bisa ambil sebanyak yang Ibu mau, nanti," jawabku, sambil tersenyum ramah memandang ibu mertua. "Wah, benarkah itu, Janah?" tanyanya, sambil menunjukan tatapan mata berbinar bahagia. "Iya, Bu. Bahkan sup tulangnya juga banyak, ambillah kalau Ibu suka, Janah bosan karena terlalu banyak. Ini ke warung Bu Ida saja karena Janah mau menukar rawon ini dengan lauk dan sayuran mentah, iyakan Bu Ida?"Bu Ida, hanya menyunggingkan senyuman sinis mendengar pertanyaanku, entahlah kenapa dengan orang-orang itu? apakah perlu aku cinc*ng kalian seperti si ba*dot t*a itu, baru kalian mau memandangku ramah? "Bagaimana, Bu Ida boleh atau tidak?" tanyaku memastikan. "Baiklah, Janah. Boleh saja kamu tukar dengan lauk mentah, tapi ditambah satu mangkuk sup, ya," pintanya,Akhirnya, aku pulang dengan membawa hasil tiga butir telur dan sayur bayam serta kangkung. Lumayan untuk lauk hari ini, dari pada harus memakan daging ba*dot tua itu, hiiii ... tidak s
"Siapa perempuan yang pulang bersamamu itu, Bang?" tanyaku penasaran. "Jangan banyak bertanya dulu, Janah! Suamimu ini cape baru pulang, setidaknya kau sambutlah aku dengan senyuman, suguhi minuman dan makanan enak! Bukannya malah nyerocos seperti nenek-nenek!"Bukannya menjawab pertanyaanku, Bang Herman malah membentakku di depan wanita yang diboncengnya barusan. "Ini lagi, kenapa kalian bertengkar seperti ini di depan rumahku?" tanya Bang Herman, saat melihat Bu Ida dan ibu mertuaku sedang beradu mulut. "Herman, nasihati Ibumu itu. Jangan serakah jadi orang! Sudah tua bukannya tobat, ini kok malah makin menjadi." ketus Bu Ida, menunjuk wajah ibu mertuaku."Apa perduli mu, Ida? toh yang mau kuambil masakan menantuku sendiri, kenapa jadi kamu yang sewot?" balas ibu mertuaku, tak mau kalah. "Hey, Bu Rosma! Ibu juga kan tahu, tadi saya sudah ada sepakat sama, si Janah. Kenapa masih mau di keruk semua juga sih sayurnya? si Janah saja sudah setuju kok, malah situ yang marah-marah!""A
"Kau ... tega sekali berbuat seperti ini padaku, Bang!""Pergi sana, jangan ganggu! Aku dan temanku mau makan atau mau kau ku hajar lagi, Janah?" bentak, Bang Herman sambil menunjuk wajahku dengan telunjuknya. Aku melengos, pergi meninggalkan mereka dengan hati yang sangat sakit teriris pedih, tega sekali Bang Herman menghajarku di depan orang lain. Sebelas dua belas dengan Ibu mertuaku, wanita tua itu hanya diam saja melihat anaknya memperlakukanku dengan kasar, dasar keluaraga durjana. Aku duduk terpaku di depan perapian, tak sengaja kulihat bungkusan plastik yang tadi kubawa dari warung bu Ida. Aku baru ingat, kalau aku mau memasak lauk untukku makan malam ini. Aku pun mengambil bungkusan plastik itu, lalu mengeksekusi telur serta sayur kangkung untukku makan, biarkan saja mereka tertawa bahagia karena bisa merasakan makanan mewah, padahal itu adalah daging bapaknya sendiri. "Herman, orang mana si Desi ini, kalian ketemu di manalah bisa-bisanya, dia ikut kau pulang?" tanya ibu
"Apa maksudmu, Bang?" tanyaku keheranan. "Apa, kau sudah tuli? aku bilang, mulai hari ini kau tidur di luar kamar, sana! Terserah mau di mana saja, asal jangan di kamar ini!" Jawabnya sungguh membuatku emosi. "Loh kenapa, Bang? inikan juga kamarku, kenapa aku tidak boleh tidur lagi di kamarku sendiri, lalu aku harus tidur dimana kalau tidak di kamar ini, Bang?""Aduh ... aduh ... sakit, Bang. Lepaskan! Kenapa harus selalu berakhir dengan kekerasan, Bang? belum cukupkah semua pengorbananku selama ini, sebagai istrimu?"Bukannya menjelaskan, apa maksudnya mengusirku dari dalam kamar, Bang Herman malah menjambak rambutku, lalu di tariknya aku keluar dari kamar yang aku tempati. "Aku bilang kau tidur di luar, ya sudah tidur di luar, sana! Terserah kau, mau tidur di dapur atau di ruang tengah, yang pasti kamar ini akan ku tempati bersama, Desi mulai sekarang!" Dengan seenaknya, Bang Herman mengusirku dari kamar yang sudah bertahun-tahun kutempati, hanya demi si ulat bulu tak tahu diri i
Aku, bangun dan berdiri, dengan tubuh gemetar menahan sakit serta amarah dalam dada. Berjalan tertatih mencari tempat yang aman untukku tidur, malam ini. Untunglah ada gerobak, yang biasa kubawa untuk memulung barang bekas teronggok di pinggir halaman belakang. Aku masuk kedalamnya, menggelar kardus bekas untuk alasku tidur malam ini. Entah apa, yang dikatakan Ibu mertuaku kepada Bang Herman, sampai dia mengamuk padaku seperti ini.Badanku terasa remuk semua, beberapa hari ini jiwaku terus didera rasa sakit bertubi-tubi, sakit fisikku tidaklah seberapa jika dibandingkan sakit batin yang kurasakan saat ini. "Kalian, sudah sangat menyakitiku. Akan kuingat semua perbuatan kalian ini, rasa sakitku akan kalian rasakan juga suatu saat nanti. Tunggulah saatnya tiba! Kalian akan mengiba memohon agar aku mengampuni kesalahan kalian," gumamku, sesaat sebelum akhirnya mata ini terpejam, dalam derai air mata yang tak bisa lagi kubendung. Dug ... dug ... dug ...!! "Heh, Janah bangun, Janah! K
Bang Herman, menyeret ku masuk ke kebun karet yang ada di belakang rumah, Kami. "Ini adalah hukuman untukmu wanita sial, karena Kau sudah berani menyakiti wanitaku."Bang Herman, mengikatku di sebuah pohon karet yang menjulang tinggi, di sana."Bang, lepaskan aku! Aku tidak bersalah, aku tidak melakukan apapun padanya, Bang." teriakku memberitahukan kebenarannya pada suamiku. Namun bagaikan bicara pada angin, hanya menguap begitu saja. Bang Herman meninggalkanku terikat di sebuah pohon jati di kebun belakang rumah. Dalam keadaan panas terik, badan yang terasa lemas karena demam ditambah lagi siksaan yang baru saja di tambahkan suamiku, menambah rasa sakit pada keadaan tubuhku yang semakin tak terkendali. Aku berusaha menggerak-gerakan tubuhku, supaya ikatan talinya sedikit melonggar dan aku bisa melepaskannya nanti. Sudah sejak tadi aku terus bergerak berusaha melepaskan tali yang mengikatku, tapi usahaku masih nihil belum membuahkan hasil apapun, tali sialan ini masih melingkar
"Apa yang bisa kau lakukan, Janah? kau hanya wanita lemah tak berguna," sahutnya, masih dengan rona angkuh di wajahnya. "Kau mau tahu apa yang bisa kulakukan, hah? jalang sialan. Rasakan ini pelacur murahan."Tanpa aba-aba langsung ku jambak rambut si jalang, keadaannya yang tengah mabuk karena menenggak alkohol bersama suamiku tadi, memudahkan aku untuk terus menyerangnya dengan membabi buta. Kutarik rambutnya dengan kasar, hingga terlepas beberapa helai dan menempel di tanganku. Ku dorong dia sampai tersungkur dan jatuh terlentang di lantai.Tanpa ragu aku meloncat ke atas perutnya, lalu menampari wajahnya dengan sekuat tenaga, hingga dia menjerit kesakitan. Argh ...! "Lepaskan aku, Janah! Kau sudah gila, kau bisa membunuhku, wanita kumuh," hardiknya, masih sempat-sempatnya dia mencaciku, padahal nyawanya sudah di ujung tanduk. "Padahal nyawamu sudah diujung kuku, tapi angkuhmu tidak luntur jua, dasar perempuan lacur!" Bentakku. Aku ikat tangannya kebelakang, ku seret kakinya
Akhirnya dengan perasaan yang tak karuan, aku pun menganggukan kepalaku sebagai jawaban atas lamaran Pak Beni waktu itu. Dengan bismillah aku akan mencoba kembali mengarungi bahtera rumah tangga dengan lelaki yang telah memilihku, dan harapanku semoga bahtera yang akan mulai kubina ini, tidak kembali karam untuk kedua kali seperti sebelumnya.Sebulan setelah penerimaan ku atas lamaran Pak Beni tersebut, Kami akhirnya melangsungkan pernikahan di sebuah gedung yang tidak jauh dari terminal. Alasannya karena banyak teman-teman juga kenalan Pak Beni, yang di harapkan datang untuk mendoakan pernikahan Kami berdua.Betapa bahagianya aku mendapatkan suami yang begitu perhatian, juga baik hati. Bukan hanya kepadaku atau kepada orang-orang yang di kenalnya, tetapi kebaikannya itu Ia berikan juga kepada setiap orang yang membutuhkan pertolongannya. Sungguh Tuhan maha adil dengan semua rencananya, dibalik semua kesedihan yang berkepanjangan aku mendapatkan kebahagiaan yang menyongsong di depan m
Aku langsung tertegun melihat ke arah yang ditunjukan Dian padaku. "Ya ampun apa ini Di, siapa mereka?" Tanyaku berbisik ke arah Dian."Mereka adalah keluarganya dan itu orang tua angkatnya Pak Beni," sahut Dian pelan.Mereka ber empat datang menghampiri Kami dengan membawa beberapa parcel buah dan juga makanan lainnya, aku semakin kebingungan dibuatnya, ada apa ini sebetulnya pikirku."Silahkan duduk, Pak, Bu! Maaf jika harus mengobrol di teras seperti ini, di dalam tempatnya sempit takut tidak muat," ucapku merasa tidak enak, takut mereka tidak nyaman harus berbincang di luar seperti ini."Tidak apa, Nak. Kami mengerti kok tidak usah sungkan," sahut Ibu angkat Pak Beni.Dian membawa beberapa gelas air dalam nampan untuk para tamu kemudian di letakkan nya di atas meja, serta sedikit camilan yang kebetulan belum kami buka sama sekali."Janah kenalkan mereka adalah Bapak dan Ibu angkat ku, seperti yang Kamu ketahui jika orang tua kandungku sudah meninggal sejak lama. Nah mereka ini ada
Setelah perbincangan itu, tak ada lagi yang bersuara diantara Kami yang terdengar hanya denting sendok yang beradu dengan mangkuk bakso yang aku makan.Setelah selesai menyantap satu mangkuk bakso serta segelas es teh manis aku beristirahat sejenak, sekedar menghilangkan rasa lelah dan menunggu hingga perut ini tidak terasa begah, untuk kembali melanjutkan perjalanan walaupun belum tahu hendak kemana kaki ini melangkah."Janah, jika memang Kamu belum ada tujuan atau pekerjaan yang akan di tuju, bagaimana jika Kamu kembali membantu saya saja berjualan? kebetulan saya sedang memerlukan satu pekerja lagi," tanya Pak Beni padaku.Tentu saja bagaikan mata air di Padang pasir yang gersang, tawaran Pak Beni barusan tak akan pernah ku pikir dia kali atau ku sia-siakan.."Benarkah Pak, saya boleh kembali bekerja membantu Bapak seperti dulu?" Tanyaku merasa tak percaya."Tentu saja benar, Janah untuk apa saya bercanda," sahutnya sambil tersenyum ke arahku."Baik Pak, saya bersedia kembali beke
Setelah aku bisa melepaskan cengkraman tangan Ibu, bergegas aku keluar dari rumahnya. "Janah pulang dulu ya Bu, selamat tinggal semoga kedepan nanti kehidupan Kita akan berubah lebih Indah, jaga diri baik-baik ya, Bu!" Setelah berpamitan bergegas aku pulang untuk kembali ke rumah ku.Setelah sampai di rumah aku berbenah mengepak sedikit barang yang hendak kubawa, aku pergi ke kebun jati di belakang rumah karena mengingat dulu pernah mengubur perhiasan Ibu yang di curi oleh Dewi simpanan Bang Herman, yang telah lebih dulu ku Bunuh dan mayatnya ku kubur di dalam kebun jati sana. Sejenak terbayang-bayang kenangan butuk di tempat itu seolah tengahenari di pelupuk mata.Setelah berhasil ku ambil emas itu aku pergi meninggalkan rumah, rumah pertama saat aku berumah tangga dengan Bang Herman, rumah dimana penuh dengan kenangan pahit dan kesengsaraan di dalamnya, kenangan yang mungkin akan tetap utuh dalam sanubari sampai akhir hayat."Mau kemana Janah, kenapa Kamu membawa tas segala," tanya
"Ibu ....!"Aku tercengang melihat kondisi Ibu mertuaku saat ini, Dia duduk di kursi roda dengan sebelah tangan yang terlihat menekuk kedalam, mulutnya terlihat miring sebelah, entah mulai kapan keadaannya berubah seperti ini, mungkin ini akibat obat yang sering ku teteskan ke dalam makanannya dulu, atau karena darah tingginya naik sehingga menyebabkan Dia terkena struk ringan. Namun entah karena apapun itu, yang pasti mungkin itu adalah karma dari semua kejahatannya yang telah dia lakukan padaku dulu."Sejak kapan kondisi Ibu memburuk, seperti ini?" tanyaku.Ku dorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah. "Apa Ibu sudah makan?" tanyaku padanya.Ia menggeleng lemah, matanya sayu seolah menyiratkan kesedihan yang teramat sangat."Baiklah ayok makan dulu, tadi sebelum ke sini Janah memasak dulu makanan kesukaan Ibu, ini ada balado telur, ada tumis daun ubi juga kerupuk udang, mau Janah suapi?"Lagi-lagi Ia hanya bisa menganggukkan kepalanya lemah."Miris sekali hidupmu saat ini, Bu suami
Setelah kejadian buruk siang tadi, kini rumah ini terasa sunyi, senyap tak ada lagi suara cacian atau makian suamiku, rasanya sangat nyaman hening bagai di duniaku sendiri.semua jejak sudah ku amankan, seprai yang penuh darah, lantai dan juga dapur sudah ku poles agar terlihat lebih rapi dan juga bersih.tubuh kedua manusia la*nat itu kini ada di bawah tungku perapian, seperti panasnya bara api neraka maka seperti itulah tubuh kalian merasakan rasa panas kayu bakar ku di dunia ini.Hooaamm ...!Rasanya pagi ini tubuhku sudah sangat bugar kurasa, walaupun kemarin aku sudah kembali menghabisi dua nyawa namun rasanya tak ada perasaan mengganjal ataupun perasaan menyesal dalam diri ini.Aku segera memasak air, lalu pergi ke warung Bu Ida untuk sekedar membeli bumbu dan telur untuk membuat nasi goreng, sepertinya enak membuat nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang, selama ini semua masakanku selalu di habiskan oleh Bang Herman, sekarang aku bisa menikmatinya sendiri tak payah
Aku masuk ke dalam rumah lalu ku tutup pintu dan ku kunci rapat dari dalam, menyebalkan sekali kelakuan si benalu itu. Berani sekali Dia menggangguku, sungguh sangat kurang ajar ingin sekali ku kuliti wajahnya, ku congkel bola matanya yang sering jelalatan itu, dan kupatahkan tangannya yang telah berani mencolek ku seenaknya, Dia pikir aku wanita gat*l macam Ibu mertuaku.Ku hempaskan tubuh ini di atas pembaringan, tak kuhiraukan si Ja*ang yang sejak tadi pagi belum kuberikan makan atau pun minum, yang ingin kulakukan saat ini hanya mengistirahatkan kembali tubuhku yang masih terasa lelah dan juga letih ini.Tanpa kusadari beberapa menit kemudian aku sudah terlelap, terbuai ke alam mimpi.Tapi tiba-tiba nafasku terasa sesak, seolah ada yang menghimpit badan serta mencekik leherku. "Apakah aku sedang bermimpi, Tuhan? jika iya tolong bangunkan aku," gumamku di sela hempasan nafasku yang semakin sesak kurasa.Saat ku paksakan membuka mata ini, kulihat ternyata si Ja*ang sudah berada di a
Setelah mengisi perut, aku istirahat sejenak menyandarkan tubuh lelahku di di kursi bambu yang ada di dapur.Jika mengingat lagi bagaimana si Ja*ang ini menghina juga mencaci ku darahku seolah naik dengan cepat ke ubun-ubun, kesal bercampur benci aku rasakan karena bukan sekali ini dia menghinaku sudah sering hampir tiap hari mentang-mentang suamiku selalu membelanya."Dasar Ja*ang sial*n tak tahu diri, wanita lac*r, pergi saja Kau ke nera*a sana Ja*ang!" Dengan kesal aku menendang tubuh si Ja*ang yang masih tergeletak tak berdaya, setelah ku benturkan tadi kepalanya ke sudut meja Dia pingsan dan belum siuman sampai sekarang.Ku ambil tali lalu mengikatnya dengan kuat, ku sumpah juga mulutnya menggunakan kain serbet yang ada di atas meja takut ketika Ia terbangun nanti tiba-tiba berteriak atau melarikan diri."Ah, sungguh menyebalkan memang si ja*ang ini, membuat badanku yang lelah tambah lelah saja," batinku.Aku tinggalkan dia tergeletak di sana, dengan posisi badan terikat dan mul
Sambutan hangat yang kuharap begitu sampai di rumah, rasa tenang agar bisa istirahat dengan nyaman menyandarkan tubuh dari rasa lelah dan letih setelah seharian berkutat dengan debu dan panas terik jalanan.Namun sayang semua itu hanya impian semata bagiku. Apalagi saat ini sapaan wanita ja*ang tak tahu malu itu malah menyulut emosiku yang sudah ku tahan beberapa hari ini.Aku tak menghiraukan ocehannya, aku masuk ke dalam rumah dengan sedikit menabrakkan bahuku pada padanya hingga ia terhuyung kebelakang."Apa Kau tidak punya mata, Janah? Kau tulikah? seenaknya saja masuk kedalam rumah, menabrakku dengan badan dekilmu itu, sungguh menjijikkan bisa-bisa aku kena penyakit nanti," ucap si ja*ang sambil bergidik ngeri, melihat badanku yang memang terlihat dekil, kontras dengannya yang hanya duduk-duduk manis saja di dalam rumah.Badanku lelah dan juga letih, tak ku hiraukan ucapannya walaupun sebetulnya sudah kesal sekali aku mendengarnya, tapi tetap ku tahan karena aku sungguh ingin sek