Setelah kejadian buruk siang tadi, kini rumah ini terasa sunyi, senyap tak ada lagi suara cacian atau makian suamiku, rasanya sangat nyaman hening bagai di duniaku sendiri.semua jejak sudah ku amankan, seprai yang penuh darah, lantai dan juga dapur sudah ku poles agar terlihat lebih rapi dan juga bersih.tubuh kedua manusia la*nat itu kini ada di bawah tungku perapian, seperti panasnya bara api neraka maka seperti itulah tubuh kalian merasakan rasa panas kayu bakar ku di dunia ini.Hooaamm ...!Rasanya pagi ini tubuhku sudah sangat bugar kurasa, walaupun kemarin aku sudah kembali menghabisi dua nyawa namun rasanya tak ada perasaan mengganjal ataupun perasaan menyesal dalam diri ini.Aku segera memasak air, lalu pergi ke warung Bu Ida untuk sekedar membeli bumbu dan telur untuk membuat nasi goreng, sepertinya enak membuat nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang, selama ini semua masakanku selalu di habiskan oleh Bang Herman, sekarang aku bisa menikmatinya sendiri tak payah
"Ibu ....!"Aku tercengang melihat kondisi Ibu mertuaku saat ini, Dia duduk di kursi roda dengan sebelah tangan yang terlihat menekuk kedalam, mulutnya terlihat miring sebelah, entah mulai kapan keadaannya berubah seperti ini, mungkin ini akibat obat yang sering ku teteskan ke dalam makanannya dulu, atau karena darah tingginya naik sehingga menyebabkan Dia terkena struk ringan. Namun entah karena apapun itu, yang pasti mungkin itu adalah karma dari semua kejahatannya yang telah dia lakukan padaku dulu."Sejak kapan kondisi Ibu memburuk, seperti ini?" tanyaku.Ku dorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah. "Apa Ibu sudah makan?" tanyaku padanya.Ia menggeleng lemah, matanya sayu seolah menyiratkan kesedihan yang teramat sangat."Baiklah ayok makan dulu, tadi sebelum ke sini Janah memasak dulu makanan kesukaan Ibu, ini ada balado telur, ada tumis daun ubi juga kerupuk udang, mau Janah suapi?"Lagi-lagi Ia hanya bisa menganggukkan kepalanya lemah."Miris sekali hidupmu saat ini, Bu suami
Setelah aku bisa melepaskan cengkraman tangan Ibu, bergegas aku keluar dari rumahnya. "Janah pulang dulu ya Bu, selamat tinggal semoga kedepan nanti kehidupan Kita akan berubah lebih Indah, jaga diri baik-baik ya, Bu!" Setelah berpamitan bergegas aku pulang untuk kembali ke rumah ku.Setelah sampai di rumah aku berbenah mengepak sedikit barang yang hendak kubawa, aku pergi ke kebun jati di belakang rumah karena mengingat dulu pernah mengubur perhiasan Ibu yang di curi oleh Dewi simpanan Bang Herman, yang telah lebih dulu ku Bunuh dan mayatnya ku kubur di dalam kebun jati sana. Sejenak terbayang-bayang kenangan butuk di tempat itu seolah tengahenari di pelupuk mata.Setelah berhasil ku ambil emas itu aku pergi meninggalkan rumah, rumah pertama saat aku berumah tangga dengan Bang Herman, rumah dimana penuh dengan kenangan pahit dan kesengsaraan di dalamnya, kenangan yang mungkin akan tetap utuh dalam sanubari sampai akhir hayat."Mau kemana Janah, kenapa Kamu membawa tas segala," tanya
Setelah perbincangan itu, tak ada lagi yang bersuara diantara Kami yang terdengar hanya denting sendok yang beradu dengan mangkuk bakso yang aku makan.Setelah selesai menyantap satu mangkuk bakso serta segelas es teh manis aku beristirahat sejenak, sekedar menghilangkan rasa lelah dan menunggu hingga perut ini tidak terasa begah, untuk kembali melanjutkan perjalanan walaupun belum tahu hendak kemana kaki ini melangkah."Janah, jika memang Kamu belum ada tujuan atau pekerjaan yang akan di tuju, bagaimana jika Kamu kembali membantu saya saja berjualan? kebetulan saya sedang memerlukan satu pekerja lagi," tanya Pak Beni padaku.Tentu saja bagaikan mata air di Padang pasir yang gersang, tawaran Pak Beni barusan tak akan pernah ku pikir dia kali atau ku sia-siakan.."Benarkah Pak, saya boleh kembali bekerja membantu Bapak seperti dulu?" Tanyaku merasa tak percaya."Tentu saja benar, Janah untuk apa saya bercanda," sahutnya sambil tersenyum ke arahku."Baik Pak, saya bersedia kembali beke
Aku langsung tertegun melihat ke arah yang ditunjukan Dian padaku. "Ya ampun apa ini Di, siapa mereka?" Tanyaku berbisik ke arah Dian."Mereka adalah keluarganya dan itu orang tua angkatnya Pak Beni," sahut Dian pelan.Mereka ber empat datang menghampiri Kami dengan membawa beberapa parcel buah dan juga makanan lainnya, aku semakin kebingungan dibuatnya, ada apa ini sebetulnya pikirku."Silahkan duduk, Pak, Bu! Maaf jika harus mengobrol di teras seperti ini, di dalam tempatnya sempit takut tidak muat," ucapku merasa tidak enak, takut mereka tidak nyaman harus berbincang di luar seperti ini."Tidak apa, Nak. Kami mengerti kok tidak usah sungkan," sahut Ibu angkat Pak Beni.Dian membawa beberapa gelas air dalam nampan untuk para tamu kemudian di letakkan nya di atas meja, serta sedikit camilan yang kebetulan belum kami buka sama sekali."Janah kenalkan mereka adalah Bapak dan Ibu angkat ku, seperti yang Kamu ketahui jika orang tua kandungku sudah meninggal sejak lama. Nah mereka ini ada
Akhirnya dengan perasaan yang tak karuan, aku pun menganggukan kepalaku sebagai jawaban atas lamaran Pak Beni waktu itu. Dengan bismillah aku akan mencoba kembali mengarungi bahtera rumah tangga dengan lelaki yang telah memilihku, dan harapanku semoga bahtera yang akan mulai kubina ini, tidak kembali karam untuk kedua kali seperti sebelumnya.Sebulan setelah penerimaan ku atas lamaran Pak Beni tersebut, Kami akhirnya melangsungkan pernikahan di sebuah gedung yang tidak jauh dari terminal. Alasannya karena banyak teman-teman juga kenalan Pak Beni, yang di harapkan datang untuk mendoakan pernikahan Kami berdua.Betapa bahagianya aku mendapatkan suami yang begitu perhatian, juga baik hati. Bukan hanya kepadaku atau kepada orang-orang yang di kenalnya, tetapi kebaikannya itu Ia berikan juga kepada setiap orang yang membutuhkan pertolongannya. Sungguh Tuhan maha adil dengan semua rencananya, dibalik semua kesedihan yang berkepanjangan aku mendapatkan kebahagiaan yang menyongsong di depan m
"Nih, uang belanja hari ini. Jangan boros-boros, harus pintar mengatur keuangan kau, Janah! " ucap suamiku, sambil melempar satu lembar uang berwarna hijau. Apa tidak salah dengar, aku? suamiku memintaku harus pandai mengatur uang, yang jumlahnya saja tidak seberapa. Mana beras habis, nasi tidak ada, apanya yang boros? dasar lelaki, seenaknya saja jika bicara. "Bu Ida, beli berasnya satu kilo, telur 2 butir, sama minyak goreng kemasan gelasnya satu, ya!" Aku mengambil uang 20ribu, yang tadi Bang Herman lemparkan, padaku. Lalu dengan segera aku belanjakan, karena takut jika uangnya kembali diminta oleh Suamiku yang gila judi itu. "Gak ngutangkan, Janah?" Bukannya mengambilkan pesananku, Bu Ida malah bertanya padaku untuk memastikan kalau aku tidak berhutang kali ini. "Tenang saja, Bu Ida! saya bayar kontan. Nih uangnya, pas 20 ribu kan, semua belanjaannya?" sahutku, sambil menyodorkan uang lusuh yang tadi diberikan, Bang Herman. "Nah, gitu dong. Kalau belanja tuh sekalian bawa d
Aku, bergegas masuk ke kamar Ibu mertua untuk melihat keadaannya, dari pada terus-terusan diperhatikan oleh t*a bangka yang tidak ingat umur itu. "Bu, sakit apa?" tanyaku lembut padanya. "Apa Perduli mu, Janah! Tidak usah banyak bertanya, kamu bereskan saja rumahku dan masakan aku masakan yang enak! Aku lapar, belum makan siang!"Bukannya menjawab pertanyaanku baik-baik, Ibu mertua malah memerintahku dengan ketus. 'Ah kalau saja bukan Ibu mertua, sudah kujual kamu ke tukang loak!' Batinku jahat. Aku melaksanakan apa yang diperintahkan Ibu mertuaku. Membereskan rumah, mencuci semua piring kotor, mencuci baju dan pekerjaan rumah lainnya.Sangatlah lelah kurasakan saat ini, badan gemetar menahan lapar, karena tadi hanya memakan nasi goreng alakadarnya yang kubuat sendiri, tanpa lauk atau sayur di dalamnya. "Ibu, mau makan sekarang? itu sudah, Janah siapkan makanannya di meja makan, Bu," ku tawari Ibu mertua makan, berharap beliau pun mau menawariku makan, barang satu piring saja. "Y
Akhirnya dengan perasaan yang tak karuan, aku pun menganggukan kepalaku sebagai jawaban atas lamaran Pak Beni waktu itu. Dengan bismillah aku akan mencoba kembali mengarungi bahtera rumah tangga dengan lelaki yang telah memilihku, dan harapanku semoga bahtera yang akan mulai kubina ini, tidak kembali karam untuk kedua kali seperti sebelumnya.Sebulan setelah penerimaan ku atas lamaran Pak Beni tersebut, Kami akhirnya melangsungkan pernikahan di sebuah gedung yang tidak jauh dari terminal. Alasannya karena banyak teman-teman juga kenalan Pak Beni, yang di harapkan datang untuk mendoakan pernikahan Kami berdua.Betapa bahagianya aku mendapatkan suami yang begitu perhatian, juga baik hati. Bukan hanya kepadaku atau kepada orang-orang yang di kenalnya, tetapi kebaikannya itu Ia berikan juga kepada setiap orang yang membutuhkan pertolongannya. Sungguh Tuhan maha adil dengan semua rencananya, dibalik semua kesedihan yang berkepanjangan aku mendapatkan kebahagiaan yang menyongsong di depan m
Aku langsung tertegun melihat ke arah yang ditunjukan Dian padaku. "Ya ampun apa ini Di, siapa mereka?" Tanyaku berbisik ke arah Dian."Mereka adalah keluarganya dan itu orang tua angkatnya Pak Beni," sahut Dian pelan.Mereka ber empat datang menghampiri Kami dengan membawa beberapa parcel buah dan juga makanan lainnya, aku semakin kebingungan dibuatnya, ada apa ini sebetulnya pikirku."Silahkan duduk, Pak, Bu! Maaf jika harus mengobrol di teras seperti ini, di dalam tempatnya sempit takut tidak muat," ucapku merasa tidak enak, takut mereka tidak nyaman harus berbincang di luar seperti ini."Tidak apa, Nak. Kami mengerti kok tidak usah sungkan," sahut Ibu angkat Pak Beni.Dian membawa beberapa gelas air dalam nampan untuk para tamu kemudian di letakkan nya di atas meja, serta sedikit camilan yang kebetulan belum kami buka sama sekali."Janah kenalkan mereka adalah Bapak dan Ibu angkat ku, seperti yang Kamu ketahui jika orang tua kandungku sudah meninggal sejak lama. Nah mereka ini ada
Setelah perbincangan itu, tak ada lagi yang bersuara diantara Kami yang terdengar hanya denting sendok yang beradu dengan mangkuk bakso yang aku makan.Setelah selesai menyantap satu mangkuk bakso serta segelas es teh manis aku beristirahat sejenak, sekedar menghilangkan rasa lelah dan menunggu hingga perut ini tidak terasa begah, untuk kembali melanjutkan perjalanan walaupun belum tahu hendak kemana kaki ini melangkah."Janah, jika memang Kamu belum ada tujuan atau pekerjaan yang akan di tuju, bagaimana jika Kamu kembali membantu saya saja berjualan? kebetulan saya sedang memerlukan satu pekerja lagi," tanya Pak Beni padaku.Tentu saja bagaikan mata air di Padang pasir yang gersang, tawaran Pak Beni barusan tak akan pernah ku pikir dia kali atau ku sia-siakan.."Benarkah Pak, saya boleh kembali bekerja membantu Bapak seperti dulu?" Tanyaku merasa tak percaya."Tentu saja benar, Janah untuk apa saya bercanda," sahutnya sambil tersenyum ke arahku."Baik Pak, saya bersedia kembali beke
Setelah aku bisa melepaskan cengkraman tangan Ibu, bergegas aku keluar dari rumahnya. "Janah pulang dulu ya Bu, selamat tinggal semoga kedepan nanti kehidupan Kita akan berubah lebih Indah, jaga diri baik-baik ya, Bu!" Setelah berpamitan bergegas aku pulang untuk kembali ke rumah ku.Setelah sampai di rumah aku berbenah mengepak sedikit barang yang hendak kubawa, aku pergi ke kebun jati di belakang rumah karena mengingat dulu pernah mengubur perhiasan Ibu yang di curi oleh Dewi simpanan Bang Herman, yang telah lebih dulu ku Bunuh dan mayatnya ku kubur di dalam kebun jati sana. Sejenak terbayang-bayang kenangan butuk di tempat itu seolah tengahenari di pelupuk mata.Setelah berhasil ku ambil emas itu aku pergi meninggalkan rumah, rumah pertama saat aku berumah tangga dengan Bang Herman, rumah dimana penuh dengan kenangan pahit dan kesengsaraan di dalamnya, kenangan yang mungkin akan tetap utuh dalam sanubari sampai akhir hayat."Mau kemana Janah, kenapa Kamu membawa tas segala," tanya
"Ibu ....!"Aku tercengang melihat kondisi Ibu mertuaku saat ini, Dia duduk di kursi roda dengan sebelah tangan yang terlihat menekuk kedalam, mulutnya terlihat miring sebelah, entah mulai kapan keadaannya berubah seperti ini, mungkin ini akibat obat yang sering ku teteskan ke dalam makanannya dulu, atau karena darah tingginya naik sehingga menyebabkan Dia terkena struk ringan. Namun entah karena apapun itu, yang pasti mungkin itu adalah karma dari semua kejahatannya yang telah dia lakukan padaku dulu."Sejak kapan kondisi Ibu memburuk, seperti ini?" tanyaku.Ku dorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah. "Apa Ibu sudah makan?" tanyaku padanya.Ia menggeleng lemah, matanya sayu seolah menyiratkan kesedihan yang teramat sangat."Baiklah ayok makan dulu, tadi sebelum ke sini Janah memasak dulu makanan kesukaan Ibu, ini ada balado telur, ada tumis daun ubi juga kerupuk udang, mau Janah suapi?"Lagi-lagi Ia hanya bisa menganggukkan kepalanya lemah."Miris sekali hidupmu saat ini, Bu suami
Setelah kejadian buruk siang tadi, kini rumah ini terasa sunyi, senyap tak ada lagi suara cacian atau makian suamiku, rasanya sangat nyaman hening bagai di duniaku sendiri.semua jejak sudah ku amankan, seprai yang penuh darah, lantai dan juga dapur sudah ku poles agar terlihat lebih rapi dan juga bersih.tubuh kedua manusia la*nat itu kini ada di bawah tungku perapian, seperti panasnya bara api neraka maka seperti itulah tubuh kalian merasakan rasa panas kayu bakar ku di dunia ini.Hooaamm ...!Rasanya pagi ini tubuhku sudah sangat bugar kurasa, walaupun kemarin aku sudah kembali menghabisi dua nyawa namun rasanya tak ada perasaan mengganjal ataupun perasaan menyesal dalam diri ini.Aku segera memasak air, lalu pergi ke warung Bu Ida untuk sekedar membeli bumbu dan telur untuk membuat nasi goreng, sepertinya enak membuat nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang, selama ini semua masakanku selalu di habiskan oleh Bang Herman, sekarang aku bisa menikmatinya sendiri tak payah
Aku masuk ke dalam rumah lalu ku tutup pintu dan ku kunci rapat dari dalam, menyebalkan sekali kelakuan si benalu itu. Berani sekali Dia menggangguku, sungguh sangat kurang ajar ingin sekali ku kuliti wajahnya, ku congkel bola matanya yang sering jelalatan itu, dan kupatahkan tangannya yang telah berani mencolek ku seenaknya, Dia pikir aku wanita gat*l macam Ibu mertuaku.Ku hempaskan tubuh ini di atas pembaringan, tak kuhiraukan si Ja*ang yang sejak tadi pagi belum kuberikan makan atau pun minum, yang ingin kulakukan saat ini hanya mengistirahatkan kembali tubuhku yang masih terasa lelah dan juga letih ini.Tanpa kusadari beberapa menit kemudian aku sudah terlelap, terbuai ke alam mimpi.Tapi tiba-tiba nafasku terasa sesak, seolah ada yang menghimpit badan serta mencekik leherku. "Apakah aku sedang bermimpi, Tuhan? jika iya tolong bangunkan aku," gumamku di sela hempasan nafasku yang semakin sesak kurasa.Saat ku paksakan membuka mata ini, kulihat ternyata si Ja*ang sudah berada di a
Setelah mengisi perut, aku istirahat sejenak menyandarkan tubuh lelahku di di kursi bambu yang ada di dapur.Jika mengingat lagi bagaimana si Ja*ang ini menghina juga mencaci ku darahku seolah naik dengan cepat ke ubun-ubun, kesal bercampur benci aku rasakan karena bukan sekali ini dia menghinaku sudah sering hampir tiap hari mentang-mentang suamiku selalu membelanya."Dasar Ja*ang sial*n tak tahu diri, wanita lac*r, pergi saja Kau ke nera*a sana Ja*ang!" Dengan kesal aku menendang tubuh si Ja*ang yang masih tergeletak tak berdaya, setelah ku benturkan tadi kepalanya ke sudut meja Dia pingsan dan belum siuman sampai sekarang.Ku ambil tali lalu mengikatnya dengan kuat, ku sumpah juga mulutnya menggunakan kain serbet yang ada di atas meja takut ketika Ia terbangun nanti tiba-tiba berteriak atau melarikan diri."Ah, sungguh menyebalkan memang si ja*ang ini, membuat badanku yang lelah tambah lelah saja," batinku.Aku tinggalkan dia tergeletak di sana, dengan posisi badan terikat dan mul
Sambutan hangat yang kuharap begitu sampai di rumah, rasa tenang agar bisa istirahat dengan nyaman menyandarkan tubuh dari rasa lelah dan letih setelah seharian berkutat dengan debu dan panas terik jalanan.Namun sayang semua itu hanya impian semata bagiku. Apalagi saat ini sapaan wanita ja*ang tak tahu malu itu malah menyulut emosiku yang sudah ku tahan beberapa hari ini.Aku tak menghiraukan ocehannya, aku masuk ke dalam rumah dengan sedikit menabrakkan bahuku pada padanya hingga ia terhuyung kebelakang."Apa Kau tidak punya mata, Janah? Kau tulikah? seenaknya saja masuk kedalam rumah, menabrakku dengan badan dekilmu itu, sungguh menjijikkan bisa-bisa aku kena penyakit nanti," ucap si ja*ang sambil bergidik ngeri, melihat badanku yang memang terlihat dekil, kontras dengannya yang hanya duduk-duduk manis saja di dalam rumah.Badanku lelah dan juga letih, tak ku hiraukan ucapannya walaupun sebetulnya sudah kesal sekali aku mendengarnya, tapi tetap ku tahan karena aku sungguh ingin sek