"Nih, uang belanja hari ini. Jangan boros-boros, harus pintar mengatur keuangan kau, Janah! " ucap suamiku, sambil melempar satu lembar uang berwarna hijau.
Apa tidak salah dengar, aku? suamiku memintaku harus pandai mengatur uang, yang jumlahnya saja tidak seberapa. Mana beras habis, nasi tidak ada, apanya yang boros? dasar lelaki, seenaknya saja jika bicara."Bu Ida, beli berasnya satu kilo, telur 2 butir, sama minyak goreng kemasan gelasnya satu, ya!"Aku mengambil uang 20ribu, yang tadi Bang Herman lemparkan, padaku. Lalu dengan segera aku belanjakan, karena takut jika uangnya kembali diminta oleh Suamiku yang gila judi itu."Gak ngutangkan, Janah?"Bukannya mengambilkan pesananku, Bu Ida malah bertanya padaku untuk memastikan kalau aku tidak berhutang kali ini."Tenang saja, Bu Ida! saya bayar kontan. Nih uangnya, pas 20 ribu kan, semua belanjaannya?" sahutku, sambil menyodorkan uang lusuh yang tadi diberikan, Bang Herman."Nah, gitu dong. Kalau belanja tuh sekalian bawa duitnya, jangan bisanya ngutang mulu, bisa bangkrut aku nanti, kalau kau hutangi terus, Janah!" gerutu Bu Ida, tambah membuatku kesal saja."Iya, Bu Ida. Kalau ada uang mah mana mungkinlah saya ngutang. Kecuali kalau lagi bokek, ya apa mau dikata, biar ngutang juga yang pentingkan dibayar," sungutku.Lalu segera aku pergi dari warung itu, dari pada bikin hati tambah gondok, yang akhirnya membuatku bertengkar seperti biasa dengannya.Ku masak beras yang tadi ku beli, lalu kugoreng dua buah telur itu menjadi telur mata sapi, satu untukku dan satu untuk Bang Herman, suamiku.Kusimpan lauk itu di atas meja, lalu kututup pakai kain serbet lusuh, agar tidak dihinggapi lalat saat kutinggal pergi nanti.Karena hari sudah siang, aku bergegas berangkat untuk bekerja tanpa sempat sarapan sama sekali.Aku, bekerja di desa tetangga sebagai tukang cuci gosok. Lumayan hasilnya bisa untuk menyambung hidup, walau hanya cukup untuk sekedar membeli lauk makan sehari-hari.Menjelang Sore, aku pulang. Membayangkan makan dengan lauk telur mata sapi yang tadi kugoreng, ah rasanya enak sekali, sudah terbayang di pikiranku nikmatnya makanan itu."Bang, mana telurnya, kok habis? " tanyaku, sesaat setelah sampai di rumah dan melihat tutup serbet sudah tersingkir dari tempatnya."Sudah habis, ku makanlah. Kau pikir, aku kenyang hanya dengan satu telur mata sapi itu! Lagian, kenapa kamu hanya beli telur, Janah, tak adakah daging atau ikan, yang bisa kau masak! Bosan kali rasanya aku, kau kasih makan-makanan tak bermutu setiap hari, manalah ada tenaga untukku bekerja kalau begitu!"Tanpa berpikir, dengan seenaknya, Bang Herman berkata seperti itu padaku. Seolah uang belanja yang diberikannya, sangat banyak saja."Bagaimana aku mau membeli daging atau ikan, Bang? sedangkan uang yang kau berikan padaku tadi pagi saja hanya 20 ribu, itu pun kubelikan beras, minyak goreng, sama telur yang Kamu makan saja sudah pas-pasan.Masih untung aku tidak kembali berhutang di warung, Bu Ida. Sekarang, dengan seenaknya kamu bilang seperti itu, padaku? aku juga lelah, Bang! Aku juga kerja keras, bukan hanya tidur-tiduran atau main hp saja di rumah!Aku, kerja dari pagi tanpa sempat mengisi perutku sama sekali, aku cape kerja, pulang ke rumah dalam keadaan lapar, Bang! Lalu apa ini? Kau bahkan tidak ingat sama sekali, padaku. Keterlaluan Kamu, Bang!" cecarku kepada, Bang Herman. Aku keluarkan semua unek-unek yang sudah menggunung dalam dada."Cerewet sekali kau, Janah! Makan sajalah itu nasi kan ada, bisa kau bikin nasi goreng putih saja, kenyang Lah perut kau!"Enteng sekali, Bang Herman bicara. Kalau aku balikan padanya, pasti ngamuklah Dia macam singa lapar, tak habis pikir aku, kenapa aku dulu mau menikah dengannya?Akhirnya, dengan terpaksa karena rasa lapar yang begitu menyiksa, aku menggoreng nasi putih yang ada dengan hanya memakai bumbu seadanya, mau marah pun percuma rasanya, lelah hati ini sudah terlalu sering dibuatnya."Janah, aku ada proyek 2 hari di desa sebelah, jadi tak usah kau tunggu aku pulang, ya," ucap Bang Herman, setelah selesai makan lalu menghabiskan sebatang rokoknya."Proyek apa, Bang? lalu, bagaimana dengan uang untuk kebutuhanku?" sahutku, sambil menengadahkan tanganku padanya."Kau kan kerja, Janah. Pakailah uangmu dulu untuk membeli kebutuhan sehari-hari, jangan kau pelit dan perhitungan! Toh sama saja bukan." Dengan entengnya, Bang Herman berbicara seperti itu padaku."Tapi, Bang, gajiku minggu ini sudah habis, untuk membayar kasbon kepada majikanku, ""Ya sudah, Kamu tinggal kasbon saja lagi nanti, ya! Aku berangkat dulu, jangan lupa nanti, seperti biasa Kamu ke rumah Ibuku, Janah. Bantu Dia, di rumahnya!" Bukannya memberikan uang belanja, Bang Herman malah menyuruhku untuk membantu Ibunya di rumah, dasar menyebalkan."Assalamualaikum, "ku ucap salam begitu sampai di rumah mertua. Walaupun sebetulnya malas jika harus ke rumah mertua, tapi apa boleh buat karena itu adalah perintah suamiku yang harus ku turuti."Waalaikumsalam. Eh kamu, Janah ayok masuk!" Ayah mertua memintaku untuk masuk, setelah tadi Ia menjawab salam dan membukakan pintu."Ibu mana, Pak?" tanyaku, sambil celingukan kedalam rumah, mencari Ibu mertua."Tuh di kamar lagi sakit, Dia," jawab ayah mertua. Kulihat Dia terus memandangku sampai tidak berkedip. Risih rasanya diperhatikan seperti itu, apalagi oleh Ayah mertua sendiri.'Apa tidak ada pekerjaan lain, selain menatapku dengan tatapan yang sungguh menjijikkan seperti itu?' batinku, sesaat setelah beradu pandang dengan ayah mertuaku.Aku, bergegas masuk ke kamar Ibu mertua untuk melihat keadaannya, dari pada terus-terusan diperhatikan oleh t*a bangka yang tidak ingat umur itu. "Bu, sakit apa?" tanyaku lembut padanya. "Apa Perduli mu, Janah! Tidak usah banyak bertanya, kamu bereskan saja rumahku dan masakan aku masakan yang enak! Aku lapar, belum makan siang!"Bukannya menjawab pertanyaanku baik-baik, Ibu mertua malah memerintahku dengan ketus. 'Ah kalau saja bukan Ibu mertua, sudah kujual kamu ke tukang loak!' Batinku jahat. Aku melaksanakan apa yang diperintahkan Ibu mertuaku. Membereskan rumah, mencuci semua piring kotor, mencuci baju dan pekerjaan rumah lainnya.Sangatlah lelah kurasakan saat ini, badan gemetar menahan lapar, karena tadi hanya memakan nasi goreng alakadarnya yang kubuat sendiri, tanpa lauk atau sayur di dalamnya. "Ibu, mau makan sekarang? itu sudah, Janah siapkan makanannya di meja makan, Bu," ku tawari Ibu mertua makan, berharap beliau pun mau menawariku makan, barang satu piring saja. "Y
Semakin aku mundur, bapak mertua semakin mempercepat langkahnya ke arahku. Bagaimana ini, apa yang harus kulakukan? berteriak pun percuma, karena memang benar apa yang dikatakan manusia bej*t itu, tidak akan ada tetangga yang mendengar teriakanku. Jarak rumahku dengan rumah tetangga memang sedikit jauh, hanya dengan rumah ibu mertua, rumahku agak sedikit berdekatan, hanya terhalang oleh kebun jagung milik pak Haji, yang rumahnya ada di kampung sebelah. "Ayolah, Sayang, jangan takut! Nanti kamu pasti akan ketagihan jika sudah merasakannya," seringai bapak mertua, membuatku bergidik ngeri. "Cukup, Pak. Jangan mendekat lagi! Atau, Janah akan berbuat nekat," ancam ku. Tubuhku sudah mentok ke dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu, karena rumahku masih semi permanen, atasnya belum menggunakan batu bata seperti rumah para tetangga. Bapak mertua semakin mendekat ke arahku, membuatku kembali merapatkan punggung ke dinding rumah, tapi kemudian terasa ada yang mengganjal di punggun
Dia mendekat masih dengan seringaiannya yang menjijikan itu, tangannya bergerak lincah membuka resleting celananya, dasar tak punya akhlak. Mimpi apa aku semalam, sampai aku mengalami nasib buruk seperti sekarang ini. Begitu dia mendekat ke arahku, aku langsung menj*mbak rambutnya, sampai dia terjatuh menimpa tubuhku, kami bergumul saling jambak, dan berusaha untuk mengunci pergerakan masing-masing. Kami berguling, sambil tetap saling jambak dan saling sikut, tidak sengaja tanganku menyentuh sebuah balok kayu yang tergeletak di dekatku, tanpa menyia-nyiakan kesempatan aku langsung saja mengambil balok kayu tersebut, lalu kupu*ulkan ke arah kep*la bapak yang masih menin*ih tubu*ku. "Argh ...!"Dia menjerit kesakitan, sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya.Ku lampiaskan segala kekesalanku selama ini pada tub*hnya, ku lampiaskan rasa sakit hatiku yang selama ini selalu disakiti oleh anak lelakinya, selalu mendapatkan cacian juga makian dari istrinya, yang tak lain adalah ibu
"Ibu? ada apa, Bu, malam-malam begini ke rumah Janah, tumben? mana hujan lagi, " tanyaku datar, menutupi rasa gugup yang saat ini kurasakan. "Apakah tadi, ada bapak mertuamu ke sini, Janah? " tanyanya to the points. Degh ...'Bagaimana ini? bisa gawat kalau, ibu mertua memeriksa kedalam rumah,' batinku. "Janah," bentak Ibu, membuyarkan lamunanku. "Iya, Bu! Tadi bapak datang ke sini sebentar, untuk memberikan lauk kepadaku. Tapi setelah itu, Janah minta bapak segera pulang, karena Janah tidak enak sama tetangga, Bu. Soalnya di rumah sedang tidak ada, Bang Herman sekarang, " kilahku, aku harus bersikap biasa saja, agar ibu mertuaku tidak menaruh curiga padaku. "Lalu, kemana dia, pergi? sampai jam segini, belum pulang juga ke rumah, mana hujan lagi, dasar bandot tua!" Gerutu Ibu, sambil ngeluyur pergi dari halaman rumahku.'Dasar, mertua tak ada akhlak. Gak suaminya, gak istrinya sama-sama tidak bisa menghargai aku sebagai menantu, tak ada salam atau apapun yang dia ucapkan, tak uba
Aku berbalik dan membuka tudung jas hujanku. Kesal sekali aku dikira pelaku pesugihan, mana ada pelaku pesugihan yang kere berumah gubuk macam aku ini. "Ini saya, Janah, Mang Udin! Bukan maling apalagi pelaku pesugihan," ketusku, yang masih geram dengan tuduhannya. "Eh, Janah, dari mana malam-malam begini, keluyuran? mana di tengah malam, hujan pula, " selidik Mang Udin, sambil menyorot wajahku dengan lampu senternya yang temaram. "Duh jangan di senter wajah saya, Mang! Silau tahu. Saya tuh baru pulang dari rumah majikan saya, yang baru saja habis melahirkan di desa sebelah, dan saya diminta untuk menemaninya sementara suaminya belum pulang kerja, makanya saya pulang larut malam begini, " bohongku, kepada Mang udin, yang terlihat mengernyitkan dahinya seakan tidak percaya dengan apa yang kukatakan barusan. "Tapi, kok kamu tidak menginap saja di sana sekalian, Janah? malah pulang menjelang pagi begini, mana bawa parang lagi, " cecar Mang Udin, masih dengan nada menyelidik. "Iya, M
Setelah berkutat dengan semua pekerjaan di rumah Bu Dewi, menjelang pukul 3 sore akhirnya semua sudah beres dan rapi, aku berniat untuk pulang, tapi aku ingat harus membeli bumbu untuk memasak daging si t*a ba*gka di rumah. Bagaimana caranya ya agar aku punya uang? sedangkan uang gajiku minggu ini sudah habis, untuk membayar kasbonku minggu lalu. "Bu Dewi, pekrjaan saya sudah selesai, Bu, " ucapku. "Hemmm ...." Bu Dewi, hanya berdehem menjawab ucapanku, sungguh sangat menyebalkan sekali. "Em ... anu, Bu. Bolehkah jika saya kasbon lagi, Bu? suami saya ada proyek di desa tetangga dan dia tidak meninggalkan uang sama sekali untuk kebutuhan saya sehari-hari, Bu. Jadi kalau diperbolehkan saya mau kasbon dulu dan bayarnya minggu depan, Bu, " pintaku kepada Bu Dewi sungkan. "Apa aku tidak salah dengar, Janah? bukankah gajimu minggu ini sudah habis untuk membayar hutangmu minggu kemarin? maaf Janah, aku tidak bisa lagi memberikan kasbon untuk minggu ini kebiasaan nanti kamu, Janah. " buk
"Tidak, Bu. Hanya mau mengolah bahan yang ada di rumah saja, kebetulan kemarin dapat rusa dari hutan," jawabku berbohong. "Benarkah, Janah? jadi kau berhutang bumbu sebanyak itu, untuk memasak daging rusa? kalau begitu jika sudah matang nanti, bagilah aku masakan kau, ya," timpal Bu Ida, yang langsung keluar dari warungnya begitu mendengarku akan memasak daging rusa. Dasar manusia aneh, giliran tadi aku berhutang dia ngomel-ngomel, tapi begitu tahu mau memasak daging cepat kali lunaknya. "Baiklah, Bu Ida nanti pasti saya kirim barang satu mangkuk. Kalau begitu saya permisi dulu ibu-ibu,"Aku segera pergi dari sana, setelah berpamitan. Malas kali rasanya meladeni mulut rewel mereka. Sampai di rumah aku menaruh bungkusan plastik berisi semua bumbu dapur itu, lapar sekali perutku, bahkan untuk makan saja aku senin-kamis karena tak ada uang untuk membeli lauk. Punya suami, macam bang Herman, hanya bisa membuatku darah tinggi saja. Makannya banyak, menuntut harus ini harus itu, tapi m
"Tenang saja, Bu! Masih banyak kok di rumah, Ibu bisa ambil sebanyak yang Ibu mau, nanti," jawabku, sambil tersenyum ramah memandang ibu mertua. "Wah, benarkah itu, Janah?" tanyanya, sambil menunjukan tatapan mata berbinar bahagia. "Iya, Bu. Bahkan sup tulangnya juga banyak, ambillah kalau Ibu suka, Janah bosan karena terlalu banyak. Ini ke warung Bu Ida saja karena Janah mau menukar rawon ini dengan lauk dan sayuran mentah, iyakan Bu Ida?"Bu Ida, hanya menyunggingkan senyuman sinis mendengar pertanyaanku, entahlah kenapa dengan orang-orang itu? apakah perlu aku cinc*ng kalian seperti si ba*dot t*a itu, baru kalian mau memandangku ramah? "Bagaimana, Bu Ida boleh atau tidak?" tanyaku memastikan. "Baiklah, Janah. Boleh saja kamu tukar dengan lauk mentah, tapi ditambah satu mangkuk sup, ya," pintanya,Akhirnya, aku pulang dengan membawa hasil tiga butir telur dan sayur bayam serta kangkung. Lumayan untuk lauk hari ini, dari pada harus memakan daging ba*dot tua itu, hiiii ... tidak s
Akhirnya dengan perasaan yang tak karuan, aku pun menganggukan kepalaku sebagai jawaban atas lamaran Pak Beni waktu itu. Dengan bismillah aku akan mencoba kembali mengarungi bahtera rumah tangga dengan lelaki yang telah memilihku, dan harapanku semoga bahtera yang akan mulai kubina ini, tidak kembali karam untuk kedua kali seperti sebelumnya.Sebulan setelah penerimaan ku atas lamaran Pak Beni tersebut, Kami akhirnya melangsungkan pernikahan di sebuah gedung yang tidak jauh dari terminal. Alasannya karena banyak teman-teman juga kenalan Pak Beni, yang di harapkan datang untuk mendoakan pernikahan Kami berdua.Betapa bahagianya aku mendapatkan suami yang begitu perhatian, juga baik hati. Bukan hanya kepadaku atau kepada orang-orang yang di kenalnya, tetapi kebaikannya itu Ia berikan juga kepada setiap orang yang membutuhkan pertolongannya. Sungguh Tuhan maha adil dengan semua rencananya, dibalik semua kesedihan yang berkepanjangan aku mendapatkan kebahagiaan yang menyongsong di depan m
Aku langsung tertegun melihat ke arah yang ditunjukan Dian padaku. "Ya ampun apa ini Di, siapa mereka?" Tanyaku berbisik ke arah Dian."Mereka adalah keluarganya dan itu orang tua angkatnya Pak Beni," sahut Dian pelan.Mereka ber empat datang menghampiri Kami dengan membawa beberapa parcel buah dan juga makanan lainnya, aku semakin kebingungan dibuatnya, ada apa ini sebetulnya pikirku."Silahkan duduk, Pak, Bu! Maaf jika harus mengobrol di teras seperti ini, di dalam tempatnya sempit takut tidak muat," ucapku merasa tidak enak, takut mereka tidak nyaman harus berbincang di luar seperti ini."Tidak apa, Nak. Kami mengerti kok tidak usah sungkan," sahut Ibu angkat Pak Beni.Dian membawa beberapa gelas air dalam nampan untuk para tamu kemudian di letakkan nya di atas meja, serta sedikit camilan yang kebetulan belum kami buka sama sekali."Janah kenalkan mereka adalah Bapak dan Ibu angkat ku, seperti yang Kamu ketahui jika orang tua kandungku sudah meninggal sejak lama. Nah mereka ini ada
Setelah perbincangan itu, tak ada lagi yang bersuara diantara Kami yang terdengar hanya denting sendok yang beradu dengan mangkuk bakso yang aku makan.Setelah selesai menyantap satu mangkuk bakso serta segelas es teh manis aku beristirahat sejenak, sekedar menghilangkan rasa lelah dan menunggu hingga perut ini tidak terasa begah, untuk kembali melanjutkan perjalanan walaupun belum tahu hendak kemana kaki ini melangkah."Janah, jika memang Kamu belum ada tujuan atau pekerjaan yang akan di tuju, bagaimana jika Kamu kembali membantu saya saja berjualan? kebetulan saya sedang memerlukan satu pekerja lagi," tanya Pak Beni padaku.Tentu saja bagaikan mata air di Padang pasir yang gersang, tawaran Pak Beni barusan tak akan pernah ku pikir dia kali atau ku sia-siakan.."Benarkah Pak, saya boleh kembali bekerja membantu Bapak seperti dulu?" Tanyaku merasa tak percaya."Tentu saja benar, Janah untuk apa saya bercanda," sahutnya sambil tersenyum ke arahku."Baik Pak, saya bersedia kembali beke
Setelah aku bisa melepaskan cengkraman tangan Ibu, bergegas aku keluar dari rumahnya. "Janah pulang dulu ya Bu, selamat tinggal semoga kedepan nanti kehidupan Kita akan berubah lebih Indah, jaga diri baik-baik ya, Bu!" Setelah berpamitan bergegas aku pulang untuk kembali ke rumah ku.Setelah sampai di rumah aku berbenah mengepak sedikit barang yang hendak kubawa, aku pergi ke kebun jati di belakang rumah karena mengingat dulu pernah mengubur perhiasan Ibu yang di curi oleh Dewi simpanan Bang Herman, yang telah lebih dulu ku Bunuh dan mayatnya ku kubur di dalam kebun jati sana. Sejenak terbayang-bayang kenangan butuk di tempat itu seolah tengahenari di pelupuk mata.Setelah berhasil ku ambil emas itu aku pergi meninggalkan rumah, rumah pertama saat aku berumah tangga dengan Bang Herman, rumah dimana penuh dengan kenangan pahit dan kesengsaraan di dalamnya, kenangan yang mungkin akan tetap utuh dalam sanubari sampai akhir hayat."Mau kemana Janah, kenapa Kamu membawa tas segala," tanya
"Ibu ....!"Aku tercengang melihat kondisi Ibu mertuaku saat ini, Dia duduk di kursi roda dengan sebelah tangan yang terlihat menekuk kedalam, mulutnya terlihat miring sebelah, entah mulai kapan keadaannya berubah seperti ini, mungkin ini akibat obat yang sering ku teteskan ke dalam makanannya dulu, atau karena darah tingginya naik sehingga menyebabkan Dia terkena struk ringan. Namun entah karena apapun itu, yang pasti mungkin itu adalah karma dari semua kejahatannya yang telah dia lakukan padaku dulu."Sejak kapan kondisi Ibu memburuk, seperti ini?" tanyaku.Ku dorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah. "Apa Ibu sudah makan?" tanyaku padanya.Ia menggeleng lemah, matanya sayu seolah menyiratkan kesedihan yang teramat sangat."Baiklah ayok makan dulu, tadi sebelum ke sini Janah memasak dulu makanan kesukaan Ibu, ini ada balado telur, ada tumis daun ubi juga kerupuk udang, mau Janah suapi?"Lagi-lagi Ia hanya bisa menganggukkan kepalanya lemah."Miris sekali hidupmu saat ini, Bu suami
Setelah kejadian buruk siang tadi, kini rumah ini terasa sunyi, senyap tak ada lagi suara cacian atau makian suamiku, rasanya sangat nyaman hening bagai di duniaku sendiri.semua jejak sudah ku amankan, seprai yang penuh darah, lantai dan juga dapur sudah ku poles agar terlihat lebih rapi dan juga bersih.tubuh kedua manusia la*nat itu kini ada di bawah tungku perapian, seperti panasnya bara api neraka maka seperti itulah tubuh kalian merasakan rasa panas kayu bakar ku di dunia ini.Hooaamm ...!Rasanya pagi ini tubuhku sudah sangat bugar kurasa, walaupun kemarin aku sudah kembali menghabisi dua nyawa namun rasanya tak ada perasaan mengganjal ataupun perasaan menyesal dalam diri ini.Aku segera memasak air, lalu pergi ke warung Bu Ida untuk sekedar membeli bumbu dan telur untuk membuat nasi goreng, sepertinya enak membuat nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang, selama ini semua masakanku selalu di habiskan oleh Bang Herman, sekarang aku bisa menikmatinya sendiri tak payah
Aku masuk ke dalam rumah lalu ku tutup pintu dan ku kunci rapat dari dalam, menyebalkan sekali kelakuan si benalu itu. Berani sekali Dia menggangguku, sungguh sangat kurang ajar ingin sekali ku kuliti wajahnya, ku congkel bola matanya yang sering jelalatan itu, dan kupatahkan tangannya yang telah berani mencolek ku seenaknya, Dia pikir aku wanita gat*l macam Ibu mertuaku.Ku hempaskan tubuh ini di atas pembaringan, tak kuhiraukan si Ja*ang yang sejak tadi pagi belum kuberikan makan atau pun minum, yang ingin kulakukan saat ini hanya mengistirahatkan kembali tubuhku yang masih terasa lelah dan juga letih ini.Tanpa kusadari beberapa menit kemudian aku sudah terlelap, terbuai ke alam mimpi.Tapi tiba-tiba nafasku terasa sesak, seolah ada yang menghimpit badan serta mencekik leherku. "Apakah aku sedang bermimpi, Tuhan? jika iya tolong bangunkan aku," gumamku di sela hempasan nafasku yang semakin sesak kurasa.Saat ku paksakan membuka mata ini, kulihat ternyata si Ja*ang sudah berada di a
Setelah mengisi perut, aku istirahat sejenak menyandarkan tubuh lelahku di di kursi bambu yang ada di dapur.Jika mengingat lagi bagaimana si Ja*ang ini menghina juga mencaci ku darahku seolah naik dengan cepat ke ubun-ubun, kesal bercampur benci aku rasakan karena bukan sekali ini dia menghinaku sudah sering hampir tiap hari mentang-mentang suamiku selalu membelanya."Dasar Ja*ang sial*n tak tahu diri, wanita lac*r, pergi saja Kau ke nera*a sana Ja*ang!" Dengan kesal aku menendang tubuh si Ja*ang yang masih tergeletak tak berdaya, setelah ku benturkan tadi kepalanya ke sudut meja Dia pingsan dan belum siuman sampai sekarang.Ku ambil tali lalu mengikatnya dengan kuat, ku sumpah juga mulutnya menggunakan kain serbet yang ada di atas meja takut ketika Ia terbangun nanti tiba-tiba berteriak atau melarikan diri."Ah, sungguh menyebalkan memang si ja*ang ini, membuat badanku yang lelah tambah lelah saja," batinku.Aku tinggalkan dia tergeletak di sana, dengan posisi badan terikat dan mul
Sambutan hangat yang kuharap begitu sampai di rumah, rasa tenang agar bisa istirahat dengan nyaman menyandarkan tubuh dari rasa lelah dan letih setelah seharian berkutat dengan debu dan panas terik jalanan.Namun sayang semua itu hanya impian semata bagiku. Apalagi saat ini sapaan wanita ja*ang tak tahu malu itu malah menyulut emosiku yang sudah ku tahan beberapa hari ini.Aku tak menghiraukan ocehannya, aku masuk ke dalam rumah dengan sedikit menabrakkan bahuku pada padanya hingga ia terhuyung kebelakang."Apa Kau tidak punya mata, Janah? Kau tulikah? seenaknya saja masuk kedalam rumah, menabrakku dengan badan dekilmu itu, sungguh menjijikkan bisa-bisa aku kena penyakit nanti," ucap si ja*ang sambil bergidik ngeri, melihat badanku yang memang terlihat dekil, kontras dengannya yang hanya duduk-duduk manis saja di dalam rumah.Badanku lelah dan juga letih, tak ku hiraukan ucapannya walaupun sebetulnya sudah kesal sekali aku mendengarnya, tapi tetap ku tahan karena aku sungguh ingin sek