Mas Dito menghentikkan suapan terakhirnya. Sepertinya dia baru menyadari kalau nasi goreng yang terhidang hanya untuk 3 orang saja. Mas Dito pasti tahu kalau Aku sedang berbohong. Terlihat raut penyesalan diwajahnya.
"Ayo lekas habisin sarapannya Dani. Habis itu, bantu Ibu untuk menjaga Dita ya. Ibu mau mencuci pakaian dan beres-beres rumah!" berucap pada Dani, mengalihkan pembicaraan yang membahas Aku tidak ikut sarapan bersama mereka."Baik, Bu!" sahut Dani patuh.Dani segera menghabiskan sarapannya dan membantu membawakan piring kotor ke dapur. Aku bersyukur memiliki anak laki-laki yang pengertian seperti Dani. Di usianya yang mendekati enam tahun, dia jarang mengeluh dengan kondisi kami yang serba kekurangan. Dia selalu makan dengan lahap setiap masakanku. Dia juga anak yang rajin membantuku.Aku menuju kamar mandi untuk merendam pakaian terlebih dahulu sebelum mencucinya menggunakan tangan. Saat berada di pintu kamar mandi, Mas Dito meraih pergelangan tangan dan menatap wajahku."Dinar, maafkan Aku yang belum bisa membahagiakanmu. Kamu jangan pernah lelah untuk selalu mendoakanku ya!"Mas Dito berkata dengan suara bergetar, matanya juga terlihat berembun. Aku tahu dia merasa bersalah karena sebagai seorang kepala keluarga, dia belum bisa memberikan kehidupan yang layak keluarganya."Tidak apa-apa Mas, jangan merasa bersalah seperti itu. Aku iklas menerima keadaan kita. Lagi pula, Aku sudah terbiasa puasa sunah!" ucapku berusaha menenangkan hati suamiku.Mas Dito mengecup keningku dan melepaskan genggaman tangannya. Aku pun bergegas ke kamar mandi untuk melaksanakan tugas merendam pakaian. Setelahnya, Aku melangkah ke ruangan depan menghampiri Mas Dito yang akan berangkat mengojek."Doakan Ayah, supaya hari ini mendapat rezeqi yang banyak dan berkah!" pinta Mas Dito pada kami.“Iya, Ayah,” jawab Dani. Sementara Aku hanya menganggukkan kepala. Lalu kemudian satu persatu kami menyalami punggung tangan Mas Dito. Bersama mengantar kepergian pahlawan di keluarga Kami itu sampai ke halaman depan rumah.Memperhatikannya menyalakan mesin motor, kemudian pergi menjemput rezeqi yang masih berada di tangan pemilik-Nya."Dani, Ibu mau mencuci pakaian dan beres-beres dulu. Kalau Dita rewel pengen mimi, baru panggil Ibu ya!" pesanku pada Dani."Baik Bu. Dita, ayo main mobil-mobilan lagi sama kakak!" ajak Dani kepada adiknya yang sedari tadi memperhatikan kami berdua.Aku bergegas menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, sebelum Dita rewel karena mengantuk. Biasanya di jam-jam repot mengerjakan pekerjaan rumah, Dita rewel karena ingin menyusu. Semoga hari ini Dita tidak rewel sebelum pekerjaan rumahku selesai."Bu, itu ada orang yang pindahan ke kontrakan Babeh Sabeni!" ucap Dani kepadaku yang baru selesai melaksanakan tugas negara."Orang baru siapa, Nak?" tanyaku heran."Dani juga enggak tahu Bu.Tadi ada mobil truck yang membawa perabotan seperti orang yang baru pindahan berhenti di depan kontrakan Babeh Sabeni! jawab Dani polos.Aku berjalan kearah jendela rumah dan mencoba mengintipnya. Ternyata yang dikatakan Dani benar. Ada orang yang akan menempati rumah milik Babeh Sabeni. Dulunya rumah itu di tempati oleh Bang Joni, orang kepercayaan Babeh Sabeni yang di tugaskan untuk mengawasi para penghuni yang mengontrak di kontrakan miliknya.Namun Bang Joni mengkhianati kepercayaan Babeh Sabeni. Bang Joni berbuat mesum dengan salah satu penghuni kontrakan yang berstatus janda. Babeh Sabeni murka dan langsung memecat Bang Joni saat itu juga. Akhirnya rumah yang pernah diisi oleh Bang Joni itu berubah fungsi menjadi rumah kontrakan.Dari balik jendela, nampak seorang wanita cantik yang usianya tidak terpaut jauh denganku keluar dari mobil truck yang membawa barang perabotan. Wajahnya terlihat glowing terkena pantulan sinar matahari. Pasti dia merawat wajahnya setiap hari dengan skin care yang harganya mahal. Berbeda denganku yang mencuci wajah hanya dengan sabun mandi.Aku terkejut saat mendengar tangisan Dita. Bergegas menghampiri Dita yang mulai rewel. Aku melupakan wanita cantik penghuni baru kontrakan Babeh Sabeni. Bagiku yang tinggal berdekatan dengan lingkungan kontrakan sudah tidak aneh melihat orang pindahan. Aku merasa beruntung walaupun kondisinya sederhana tetapi status rumah milik sendiri, bukan rumah kontrakan. Rumah ini dibeli dari hasil pencairan uang tabungan ketenaga kerjaan Mas Dito selama dia bekerja."Embu, bobo" celoteh Dita. Mulutnya terbuka karena menguap. Dita sepertinya mulai mengantuk. Aku menggendongnya menuju kamar, sementara Dani masih asyik bermain dengan mobilannya. Hanya beberapa menit saja, Dita sudah tertidur. Aku beranjak dari tempat tidur dan melangkah menuju kebun belakang rumah untuk mencari sayur sebagai lauk tambahan."Dani, bantu Ibu memetik sayuran, yuk. Ibu lihat daun singkongnya sudah mulai tumbuh banyak!" ajakku pada Dani."Ayo, Bu. Daun singkongnya mau dimasak apa?" tanya Dani antusias."Masak tumis daun singkong" jawabku singkat. "Dani suka sayur daun singkong, Bu. Semua masakan Ibu pasti enak!" ucap Dani dengan mata berbinar.Dani mengikuti langkahku dari belakang. Sesampainya di kebun belakang, Aku mulai memetik tunas daun singkong yang berwarna hijau muda. Dani memperhatikanku lebih dulu, baru setelahnya dia mulai ikut memetik tunas daun singkong yang tumbuh dari batang singkong yang seukuran tubuhnya. Untuk batang singkong yang tinggi, Dani melewatinya karena dia tidak dapat menggapainya."Alhamdulillah, itu ada tomat dan cabai juga yang sudah matang. Dani tolong petik tomas dan cabainya, ya. Daun singkongnya biar Ibu saja yang petik" titahku pada Dani.Dani mengangguk senang. Karena tanaman tomat dan cabai berada di bawah, tidak tinggi seperti pohon singkong. Aku mengucap syukur dalam hati, karena ada rezeqi untuk tambahan lauk makan hari ini. Walaupun kebun ini hanyalah tanah lebihan dari rumahku yang berukuran sempit, tetapi keberadaannya sangat bermanfaat untuk sehari-hari."Sudah selesai, Dan?" tanyaku pada Dani yang masih asyik memetik tomat dan cabai."Belum, Bu. Ini masih banyak!" sahut Dani sambil nyengir kuda."Tidak usah di petik semuanya, kita ambil secukupnya saja. Bisa buat nanti lagi!" ucapku mengingatkan Dani."Siap Bu. Habisnya Dani seneng panen tomat dan cabainya, warnanya merah sama dengan warna kesukaan Dani hehe" Dani cengengesan ke arahku.Aku tersenyum menanggapi ucapan Dani. Dengan setengah berlari, Dani masuk ke dalam rumah dan menaruh hasil panen hari ini pada sebuah baskom plastik yang di ambil dari rak dapur."Bu, Dani mau main keluar, boleh kan?" tanya Dani penuh harap. Mungkin dia takut di larang bermain keluar rumah seperti kemarin."Iya boleh, asal jangan jauh-jauh ya!" jawabku mengabulkan permintaan Dani. Dia bersorak kegirangan dan secepat kilat berlari keluar dari rumah.Sementara itu Aku mencuci daun singkong hasil panen hari ini, lalu kemudian merebusnya untuk di olah menjadi sayur untuk lauk tambahan hari ini."Tok..tok..tok,” terdengar suara yang mengetuk pintu rumahku. Aku menajamkan pendengaran, khawatir salah pendengaran."Assalamualaikum," kali ini terdengar ada yang mengucapkan salam."Waalaikumsalam," jawabku seraya melangkah menuju pintu rumah dan kemudian membukanya.Tampak wanita cantik yang tadi kulihat melalui jendela rumahku telah berdiri di depan pintu seraya tersenyum manis ke arah. Dia membawa dua buah kotak makanan berukuran besar."Maaf mengganggu waktunya, Mbak. Ini saya ada sedikit makanan untuk Mbak dan keluarga. Anggap saja sebagai perkenalan karena saya warga baru di sini. Nama Saya Ismi, Mbak" sapa wanita cantik itu seraya menyerahkan kotak makanan yang di bawanya....***"Wah, malah merepotkan Mbak Ismi. Perkenalkan nama saya Dinar, Ibunya Dani dan Dita" ucapku seraya mengulurkan tangan. Mbak Ismi menyambutnya. "Tidak repot kok, Mbak Dinar. Semua tetangga terdekat di lingkungan sini memang mendapatkan hantaran makanan yang sama. Nanti kalau butuh apapun, jangan sungkan datang kerumah saya ya, Mbak Dinar." timpal Mbak Ismi ramah."Semoga Mbak Ismi betah tinggal di kontrakan Babeh Sabeni, ya" ujarku tersenyum simpul."Amiin. Ya sudah, saya pamit dulu ya Mbak Dinar. Salam untuk keluarga semuanya!" Mbak Ismi berpamitan dan meninggalkan rumahku.Lagi-lagi Aku harus bersyukur dengan rezeqi tak terduga yang Tuhan berikan hari ini melalui wanita cantik bernama Ismi itu.Aku membawa dua kotak makanan besar itu ke dapur dan segera membukanya. Mataku berbinar ketika melihat isi dalam kotak makanan itu. Ada nasi, rendang daging, sambal goreng kentang plus ati ampela, bihun, kerupuk udang, buah serta minuman air mineral dalam gelas. Aku membuka kotak makanan yang
Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan. Suamiku sudah berikhtiar dengan cara yang halal mencari rezeqi untuk keluarganya. Berapapun hasilnya, mungkin itulah rezeqi yang Allah titipkan kepada kami."Alhamdulillah...tidak apa-apa, Mas. Masih bisa untuk beli beras satu liter. Semoga besok Allah memberikan rezeqi lebih untuk kita" ucapku membesarkan hati Mas Dito."Maafkan Mas ya, Dinar" lagi-lagi Mas Dito meminta maaf seraya menggenggam tanganku erat."Tidak usah minta maaf, Mas Dito enggak salah kok. Sekarang Mas bersih-bersih, setelah itu baru makan," ujarku seraya mengelus pundak Mas Dito dengan lembut."Memang Kamu sudah masak? dapat uang darimana?" tanya Mas Dito heran."Aku belum masak, Mas. Tadi ada rezeqi nasi kotak dari tetangga baru kita, namanya Mbak Ismi" sahutku."Alhamdulillah. Itu artinya kamu sudah makan, Din?" tanya Mas Dito dengan mata berbinar."Iya, sudah Mas. Ayo buruan bersih-bersih, tubuh Mas Dito bau kecut tuh" ucapku meledek Mas Dito dan tergelak."Biarpun ba
"Apa syaratnya?" tanyaku ragu."Aku mau minta bantuanmu. Tolong pinjamkan data identitasmu buat ajukan pinjaman online, ya?" ucap Ismi dengan wajah memelas.Aku sedikit terkejut mendengar permintaan Ismi. Dia sendiri yang menawarkan akan memberikan skin care secara cuma-cuma, tetapi kenapa harus bersyarat? Lalu syaratnya pun cukup berat menurutku. "Kalau ada syaratnya, aku gak mau. Enggak dikasih skin care cuma-cuma juga gak apa-apa!" tolakku tegas."Sebenarnya ini bukan masalah skin care gratis, tetapi aku memang benar-benar butuh bantuanmu, Din!" ucap Ismi dengan wajah sedih.Kenapa Ismi meminta bantuan padaku untuk mengajukan pinjaman online? setahuku dia orang yang berkecukupan materi, karena suaminya bekerja di pertambangan yang gajinya pasti besar."Enggak salah kamu Ismi, mau minta tolong sama aku? buat apa kamu ajukan pinjaman online? suamimu kan kerja di pertambangan?" tanyaku tanpa berbasa-basi."Itu dia masalahnya, suamiku memberi kabar kalau agak telat mengirim transferan
"Alhamdulillah...pengajuannya diacc, kamu memang pembawa keberuntungan, Din!" puji Ismi padaku.Sementara aku masih tidak percaya, pengajuan pinjaman online yang diproses setengah jam yang lalu sudah bisa menghasilkan uang. "Ting" terdengar notif pesan dari ponselku.Aku segera membukanya, ternyata notif pemberitahuan dari sms banking. Ada transferan masuk sebesar satu juta rupiah.Setelah membaca notif yang baru diterima, barulah aku percaya. Ternyata semudah itu mendapatkan pinjaman. Namun entah kenapa bukannya senang, tetapi malah sebaliknya. Mungkin karena pengajuan pinjol menggunakan namaku, bukan nama Ismi."Ismi, kenapa enggak mengajukan pinjaman pakai nama kamu sendiri aja, sih? Malah pakai nama orang lain. Aku takut sekali, karena baru pertama kali berurusan dengan hutang!" cetusku pada Ismi serius."Aku sudah mengajukan pinjaman online sendiri, tetapi uang yang dibutuhkan masih kurang. Tidak mungkin Aku mengajukan dua kali pinjaman pada aplikasi yang sama, makanya minta ban
Ismi membisikkan sesuatu ke telingaku. Mataku terbelalak, tetapi tak bisa menahan diri untuk tidak tergelak."Kamu ada-ada aja Is, pakai ngerjain mereka segala. Aku mah takut dosa!" ucapku, masih saja tergelak."Orang seperti mereka sekali-sekali memang perlu di kasih pelajaran, supaya lebih menghargai orang lain!" timpal Ismi, dia pun sama sepertiku tergelak juga."Cuaca hari ini panas banget ya. Kita beli minuman di warung Mbak Eti, yuk" ajak Ismi padaku."Boleh, kebetulan Dita juga udah tidur nih" sahutku, seraya bangkit dari pembaringanku.Kami melangkah bersama menuju warung Mbak Eti yang berada di lingkungan kontrakan Trio Barokah. Warung sederhana yang hanya berupa meja dengan ukuran sedang dan segala perabotan di atasnya. Warung Mbak Eti selain menjual minuman jus buah asli dan minuman kemasan, dia juga menjual aneka makanan yang diolah secara dadakan. Selain harganya murah, rasa makanannya juga lumayan enak. Tidak heran kalau warungnya selalu ramai oleh pembeli dari berbagai
Namaku Pradito Lukito. Aku adalah anak tunggal di keluargaku. Walaupun anak tunggal, aku sudah terbiasa hidup mandiri dan sederhana, meski kedua orang tuaku adalah pemilik usaha dibidang kuliner yang cukup sukses di Klotaku. Mereka memiliki puluhan anak cabang yang tersebar di beberapa kota. Aset yang mereka miliki meliputi aset tidak bergerak, mulai dari puluhan kontrakan dan kos-kosan yang tersebar di beberapa daerah. Belum lagi aset bergerak, berupa beberapa kendaraan yang terparkir cantik di rumahku.Menjadi anak tunggal yang merupakan impian banyak orang, tetapi tidak menurutku. Aku merasa kesepian di rumah yang ukurannya begitu luas. Kedua orang tuaku sibuk mengurus bisnisnya, sedangkan aku bersama para asisten rumah tangga yang bekerja di rumah.Aku tipe orang yang tidak suka bergaul, oleh sebab itu tidak memiliki banyak teman di tempat kuliah. Kedua orang tua bercita-cita agar aku meneruskan bisnis mereka jika sudah lulus kuliah. Oleh karenanya jurusan yang aku ambil adalah bis
Pada suatu pagi, sesaat setelah keberangkatan Mas Dito bekerja terdengar ada yang mengucapkan salam."Assalamualaikum."Aku yang sedang berjibaku dengan tugas negara, tergopoh-gopoh menghampiri asal suara."Waalaikum salam," jawabku seraya membuka pintu rumah."Din, lagi repot enggak?" tanya Dinar seraya tersenyum manis ke arahku."Lumayan sih. Biasa, lagi ngerjain tugas negara. Ada apa?" tanyaku penasaran.Ismi selalu datang saat Mas Dito sudah berangkat bekerja. Dia seperti sengaja menghindari bertemu langsung dengan Mas Dito.l"Ayo masuk, pamali ngobrol di depan pintu nanti susah jodoh lho!" ledekku pada Ismi."Enak aja, aku sudah dapat jodoh, kali!" timpal Ismi kesal. Dia mengerucutkan bibirnya, membuatku terkekeh melihatnya.Aku membentangkan karpet usang andalan di atas lantai semen rumahku. Mengajak Ismi untuk ikut duduk lesehan bersamaku."Ada apa pagi-pagi datang kesini? pasti ada maunya ya?" tanyaku menebak tujuan Ismi datang kerumah."Kok kamu tahu aja sih, kalau aku ada ma
Dani dan Dita akhirnya tertidur, karena sudah terlalu lama menunggu ayahnya yang belum juga pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku benar-benar mengkhawatirkan Mas Dito. Andai Mas Dito mempunyai ponsel, pasti ku sudah menghubunginya sejak tadi. Dulu sewaktu Mas Dito masih bekerja di percetakan, dia memiliki sebuah ponsel. Tetapi terpaksa harus dijual karena terdesak kebutuhan ekonomi. Sempat ada niatan untuk mendatangi pangkalan ojek tempat Mas Dito biasa menunggu penumpangnya. Akan tetapi tidak tega jika harus meninggalkan kedua anakku yang sedang tertidur. Tidak hentinya aku berdoa dalam hati, semoga tidak terjadi apa-apa dengan Mas Dito.Tidak berapa lama, terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah rumah. Aku segera berlari menuju jendela rumah untuk memastikan siapa yang datang. Aku sangat berharap kalau Mas Dito yang datang.Hatiku begitu lega, begitu mengetahui yang datang adalah Mas Dito. Wajahnya murung dan terlihat begitu letih.Aku membukakan pintu yang
"M-bak-Di-nar" lirihnya, nyaris tak terdengar.Aku mendekatkan wajah pada Bu Ustadzah yang menatap dengan sayu."Ibu Ustazah yang sabar dan kuat ya," ucapku seraya tersenyum kepadanya, berusaha memberikan motivasi agar beliau kuat melewati musibah yang di alaminya."Ma-af-kan-sa-ya." Bu Ustazah kembali berucap seraya menggerakkan jemarinya, seolah ingin menjabat tanganku.Aku meraih jemarinya dan mengusapnya dengan lembut."Tidak ada yang perlu dimaafkan Bu Ustazah, karena tidak ada yang salah. Sekarang yang terpenting Bu Ustazah sehat seperti sedia kala!" timpalku.Bu Ustazah menatapku lekat dan tiba-tiba keluar cairan bening dari kedua sudut matanya. Sementara itu, bibirnya seolah menyunggingkan senyum kearahku lalu kemudian kedua mata beliau terpejam. Aku mendekatkan wajah dan memanggil namanya, tetapi tidak ada respon sama sekali. Aku kembali memanggil di telinga kirinya, tetapi sama saja tidak ada sahutan dari bibirnya."Suster, Ibu Ustazah kenapa? Beliau diam saja, tidak menjaw
"Maaf, mengabari apa, Pak?" tanyaku penasaran.Jantungku berdetak tidak karuan. Aku khawatir ada kabar buruk yang menimpa ibu mertua yang hingga kini belum pulang ke rumah."Kami dari Rumah Sakit Husada ingin mengabari bahwa Ibu Khodijah binti Al Fajri telah mengalami kecelakaan bersama rombongan lainnya!" lanjutnya lagi.'Khodijah Al Fajri, bukankah itu nama lengkap ibu Ustazah? Tetapi kenapa pihak rumah sakit malah mengabariku? Bukankah ada Mas Syaiful yang jelas-jelas keluarganya?' bermacam pertanyaan muncul dalam benakku."Maaf Bu, kenapa tidak menghubungi pihak keluarganya langsung? Saya bukan keluarganya!" sanggahku.Aku bukannya tidak mau mengakui Bu Ustazah dan menganggapnya sebagai saudara atas kebaikannya selama ini. Akan tetapi aku merasa ada pihak keluarganya yang lebih berhak mendapatkan kabar kurang baik ini."Sudah, tetapi nomornya tidak aktif. Maaf Bu, sebaiknya Anda segera datang ke rumah sakit karena kondisi pasien saat ini sedang kritis. Dokter sedang melakukan pena
Kami menegok ke arah Dani secara bersamaan."Dani, sini Nak. Ini ada Nenekmu dari keluarga Ayah Dito!" ucapku melambaikan tangan padanya.Dani menghampiriku, menatap ragu ke arah ibu mertua dan meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takzim."I-ni cucuku?" tanya ibu mertua dengan sedikit gugup serta tatapan penuh haru."Iya, Bu. Ini Dani, cucu pertama Ibu!" jawabku."Ya Allah, kamu sudah sebesar ini sekarang. Maafkan Nenek yang tidak pernah mengunjungimu cucuku," ucap ibu mertua seraya mengelus wajah Dani, kemudian perlahan beliau mulai terisak."Nenek kenapa menangis?" tanya Dani heran."Wajahmu mirip sekali dengan Ayahmu. Andaikan saja Dito masih ada, dia pasti bahagia melihat kita bisa berkumpul seperti ini!" ucapnya lagi.Aku menghampiri ibu mertua dan mengusap lembut punggung tangannya."Mas Dito pasti bahagia melihat kebersamaan kita, Bu. Sebaiknya hari ini Ibu menginap saja di rumah kami. Dani juga sepertinya masih kangen sama Neneknya" ujarku seraya tersenyum pada i
"Mbak Dinar, aku boleh minta tanda tangan di novelmu nggak?" tanya Mbak Sherli di suatu siang kala sepulang sekolah menjemput Kevin. Semenjak kepindahan ke rumah lamaku, hubungan kami semakin dekat. Kini bahasa yang kami gunakan juga menjadi aku dan kamu. "Mbak Sherli ada-ada aja nih, pakai minta tanda tangan segala. Aku bukan artis lho," sanggahku seraya tersenyum."Lho, Mbak Dinar ini suka merendah. Jadi penulis terkenal itu sama saja kayak artis karena udah diundang ke stasiun televisi, bahkan karyanya sudah diangkat menjadi sebuah karya film." Mbak Sherli mengerlingkan matanya menggoda. Aku tersenyum melihatnya."Sini aku kasih tanda tangan, apa mau sekalian minta photo bareng?" ledekku."Lho, Mbak Dinar ini seperti dukun saja. Memang itu yang mau saya minta selain tanda tangan," Mbak Sherli terbahak. Kami akhirnya tertawa bersama-sama.Begitulah, setelah aku diundang menjadi nara sumber di salah satu stasiun televisi dan karyaku diangkat menjadi sebuah film ada saja yang ingi
"Bu Ustadzah, apa kabar?" tanyaku sedikit kikuk, seraya mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangannya.Akan tetapi sekilas tampak Bu Ustadzah menyembunyikan tangannya, seolah itu pertanda jika beliau tidak berkenan ada yang mencium tangannya. Akhirnya terpaksa mengurungkan niatku "Kabar saya baik," jawabnya singkat."Maaf Bu Ustazah, ini ada sedikit oleh-oleh semoga berkenan," ucapku tak kenal lelah berusaha mengambil hati Bu Ustazah seraya menyodorkan rantang yang dibawa."Maaf, saya sedang shaum. Kebetulan juga hari ini mau pergi untuk mengisi acara tausiyah di desa yang jaraknya cukup jauh dan kemungkinan pulangnya agak malam. Sebaiknya dibawa saja masakannya, khawatir tidak sempat dimakan malah jadi mubadzir," tolak Bu Ustadzah dengan suara pelan, tetapi terasa menusuk hatiku.Betapa tidak? Aku sudah berusaha memperbaiki hubungan dengan beliau yang kurang baik karena penolakan kepada Mas Syaiful. Akan tetapi sikap beliau masih saja dingin bahkan terang-terangan menolak pem
Aku terkejut membaca pesan di aplikasi hijau tersebut, terlebih saat tahu siapa pengirimnya. Mas Syaiful. Aku tidak tahu, apa maksudnya mengirim pesan menyakitkan itu. Niat hati ingin mengabaikan pesan itu, tetapi pasti dia akan terus mengirimkan pesan dengan penilaian buruknya sendiri kepadaku. Jari tangan mulai mengetikkan balasan pesan untuk laki-laki yang pernah meminangku."Maaf, apa maksud Mas Syaiful berkata demikian? Siapa yang tidak tahu berterima kasih, siapa yang sombong? Jangan pernah menilai seseorang dari satu sudut pandang saja. Jika Mas kecewa dengan penolakan tempo hari, tetapi bukan berarti seenaknya Mas bisa menghina saya!" satu pesan balasan kukirimkan melalui aplikasi hijau di ponsel. Tidak membutuhkan waktu lama, tanda pada pesan yang dikirimkan sudah berubah warna. Terlihat Mas Syaiful sedang mengetikkan balasannya. "Siapa bilang saya kecewa dengan penolakan seorang janda sepertimu? Aku hanya tidak terima kamu meninggalkan Bibik sendirian setelah apa yang sud
"Maafkan saya Bu Ustadzah," ucapku lirih. Beliau terlihat memijit kening menggunakan jari jemarinya."Tidak perlu minta maaf. Syaiful hanya perlu waktu untuk menerima penolakan yang membuatnya kecewa," sahut Bu Ustadzah seraya beranjak dari tempat duduknya dan berlalu masuk ke kamarnya tanpa berpamitan terlebih dahulu.Aku masih terdiam di sofa ruang tengah. Sedikit merasa bersalah dengan keputusan yang diambil. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin menjadi orang munafik yang berpura-pura menerima Mas Syaiful, tetapi dalam hati menolak. Terlebih karena permintaan Dani yang tidak ingin memiliki ayah baru. Lebih baik jujur dan merasa kecewa di awal, daripada menyesal kemudian.Tidak terasa, satu minggu sudah telah berlalu dari malam penolakanku kepada Mas Syaiful. Sejak malam itu, sikap Bu Ustadzah berubah kepadaku dan Dani. Beliau terlihat acuh tak acuh, bahkan kami jarang bertegur sapa walaupun saling berhadapan. Sepertinya perubahan sikap Bu Ustadzah ada hubungannya denga
"Innalillahi wainna ilaihi rojiun," Bu Ustadzah mengucap kalimat tarji.Beliau menghela nafas dan menghembuskannya perlahan lalu menatapku dengan penuh rasa iba."Mbak Dinar yang sabar, ya. Semua makhluk akan kembali kepada-Nya jika memang sudah datang waktunya. Insya Allah Kakak Mbak Dinar akan di tempatkan di tempat terbaiknya." Ucap Bu Ustadzah mencoba menghiburku."Amiin. Terimakasih Bu Ustadzah," jawabku."Pemakaman dilaksanakan di mana? di rumah sakit kah?" tanya Bu Ustadzah kemudian."Iya Bu, pemakaman di laksanakan di rumah sakit tempat Kakak Saya di rawat, karena almarhum sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi," jawabku lirih."Pemakaman sebaiknya dilaksanakan secepatnya jangan ditunda-tunda. Tidak masalah di makamkan dimana saja, asal sudah ada persetujuan dari pihak keluarga, Mbak," sambung Bu Ustadzah lagi.Aku kemudian berpamitan kepada Bu Ustadzah untuk beristirahat. Sementara Dani sejak tadi sudah masuk ke kamarnya. Setelah membersihkan diri, aku membaringkan tubuh d
Petugas tersebut mengakhiri pembicaraan di telepon. Aku mengatur napas dan ritme jantung yang tidak beraturan setelah mendapatkan kabar yang kurang baik dari rumah sakit jiwa yang merawat kak Disti."Dani, ayo kita berangkat sekarang ke rumah sakit. Tadi Ibu mendapatkan kabar jika kondisi Tante Disti memburuk" ajakku kepada Dani dengan sedikit panik."I-iya Bu. Ayo kita berangkat sekarang!" jawab Dani.Setelah berpamitan kepada Bu Ustadzah, aku segera melajukan motor menuju rumah sakit jiwa tempat ak Disti di rawat. Di sepanjang perjalanan, aku berdoa semoga kak Disti baik-baik saja. Meskipun dia pernah berbuat tidak baik kepadaku, tetapi melihat kondisinya saat ini jadi merasa tidak tega.Kak Disti telah kehilangan semua yang di milikinya, jangan sampai dia juga kehilangan saudara satu-satunya. Aku berharap kak Disti kembali sehat seperti sedia kala dan bisa hidup rukun berdampingan denganku. Arus lalu lintas hari ini cukup padat, karena sekarang adalah wekend. Banyak kendaraan luar