"Apa syaratnya?" tanyaku ragu.
"Aku mau minta bantuanmu. Tolong pinjamkan data identitasmu buat ajukan pinjaman online, ya?" ucap Ismi dengan wajah memelas.Aku sedikit terkejut mendengar permintaan Ismi. Dia sendiri yang menawarkan akan memberikan skin care secara cuma-cuma, tetapi kenapa harus bersyarat? Lalu syaratnya pun cukup berat menurutku."Kalau ada syaratnya, aku gak mau. Enggak dikasih skin care cuma-cuma juga gak apa-apa!" tolakku tegas."Sebenarnya ini bukan masalah skin care gratis, tetapi aku memang benar-benar butuh bantuanmu, Din!" ucap Ismi dengan wajah sedih.Kenapa Ismi meminta bantuan padaku untuk mengajukan pinjaman online? setahuku dia orang yang berkecukupan materi, karena suaminya bekerja di pertambangan yang gajinya pasti besar."Enggak salah kamu Ismi, mau minta tolong sama aku? buat apa kamu ajukan pinjaman online? suamimu kan kerja di pertambangan?" tanyaku tanpa berbasa-basi."Itu dia masalahnya, suamiku memberi kabar kalau agak telat mengirim transferan uang bulan ini karena sedang ada kendala di ATM nya" jawab Ismi memberikan alasan."Ooh, begitu. Tetapi aku tidak punya rekening Bank. Dulu pernah punya waktu masih bekerja, tetapi kayaknya tidak aktif karena sudah lama tidak terisi" ucapku polos."Itu masalah kecil, Din. Nanti aku antar buat rekening Bank atas nama kamu. Nanti untuk saldo awalnya dari aku, kamu cukup siapkan saja persyaratannya, ya!" timpal Ismi bersemangat."Terus, kalau hapenya bagaimana? Aku kan enggak punya, lalu bagaimana caranya mau mengajukan?" tanyaku. Berbagai alasan aku lakukan, sebagai bentuk penolakan secara halus atas permintaan Ismi.Sejujurnya, aku paling takut dengan yang namanya hutang. Walaupun ekonomi keluarga serba kekurangan, sebisa mungkin aku menghindarinya. Aku pernah mendengar sebuah pepatah yang mengatakan, bahwa sesungguhnya hutang itu membuat terhina di siang hari dan membuat gelisah di malam hari. Selain itu, Mas Dito juga sangat tidak menyukai yang namanya hutang. Dia pasti marah besar kalau sampai tahu aku berhutang."Itu juga soal kecil, aku punya hape yang sudah tidak terpakai tetapi kondisinya masih mulus dan layak pakai. Nanti kamu boleh memakainya, karena aku sudah punya yang baru!" ujar Ismi, mematahkan alasanku.Aku merasa tidak enak kalau menolak permintaan Ismi. Tidak enak karena selama ini dia sudah begitu peduli dan baik kepada keluargaku. Sepertinya tidak ada salahnya kalau aku membantunya untuk kali ini saja."Ya sudah, aku mau membantu, tetapi jangan lupa bayar cicilannya tepat waktu. Aku enggak mau di kejar sama Debt Colectornya!" tegasku, memperingatkan Ismi."Masa kamu enggak percaya sama sahabat sendiri sih, Din? Enggak mungkinlah aku ngerugiin Kamu!" ucap Ismi berusaha meyakinkanku."Bukan masalah enggak percaya, Is. Aku hanya tidak terbiasa berhutang, jadi agak takut. Apalagi kalau sampai Mas Dito tahu, pasti dia akan marah besar!" ucapku dengan wajah ragu.Aku masih berharap Ismi membatalkan permintaannya ketika membawa nama Mas Dito. Siapa tahu dia segan jika bersinggungan dengan Mas Dito."Ya kamu jangan bilang lah sama Mas Dito. Ini urusan dua orang sahabat yang saling membantu dalam suka dan duka!" ucap Ismi tetap pada pendiriannya meminta pertolongan padaku.Aku menyerah dan akhirnya bersedia membantu Ismi. Setelah menyiapkan semua persyaratan yang di butuhkan, Ismi mengantar untuk membuat rekening atas namaku ke Bank terdekat. Ismi memboncengku menggunakan motornya.Proses pembuatan rekening Bank berjalan lancar, kebetulan Dita juga tidak rewel berada dalam gendonganku. Aku dan Ismi segera kembali kerumah setelah proses di Bank selesai.Sebelum sampai ke rumah, Ismi menghentikkan motornya di depan sebuah counter ponsel. Ismi membeli sebuah kartu perdana. Dia memintaku memilih sendiri nomor ponsel yang akan digunakan nantinya. Setelah urusannya selesai, Ismi melajukan motornya menuju rumahku.Sepanjang perjalanan pulang, hatiku rasanya tidak karuan. Sebenarnya dengan sangat terpaksa memberikan bantuan kepada Ismi, karena merasa berhutang budi atas kebaikannya selama ini kepada keluargaku, sehingga ada rasa sungkan untuk menolaknya. Aku berusaha mempercayai ucapan Ismi, bahwa dia akan membayar cicilan tepat waktu.Motor Mbak Ismi berhenti di halaman depan rumah. Terlihat Dani sedang duduk menunggu di teras depan rumah. Rupanya dia tidak bisa masuk ke dalam rumah karena pintunya terkunci.Aku bersyukur Mas Dito belum pulang dari mengojek. Biasanya siang hari setelah mendapatkan sedikit rezeqi, dia akan pulang sebentar untuk memberikannya kepadaku lalu pergi mengojek lagi."Ibu habis darimana sih? tanya Dani dengan wajah sedikit kesal."Ibu habis antar Tante Ismi karena ada keperluan sebentar. Tadi sebelum berangkat Ibu cari kamu tetapi enggak ada, jadinya rumah Ibu kunci!" jelasku pada Dani."Dani haus, mau minum!" sungut Dani.Rupanya dia masih kesal kepadaku karena tidak bisa masuk ke dalam rumah.Saat pintu rumah terbuka, Dani sudah berlari melesat masuk ke dalam rumah. Sementara Dita, dia tertidur di dalam gendonganku. Dengan tergopoh aku melangkah menuju kamar untuk menidurkan Dita. Bahuku terasa pegal karena sejak tadi menggendongnya.Baru saja aku beranjak dari tempat tidur, terdengar orang yang mengucapkan salam."Assalamualikum," tidak salah lagi, itu suara Ismi."Waalaikum salam," jawabku seraya melangkah menghampiri."Din, ini ada makanan buat makan siang" ucap Ismi memberikan piring yang berisikan nasi beserta lauknya.Aku sedikit ragu menerima pemberian Ismi, tetapi melihat wajahnya aku jadi tidak tega untuk menolaknya. Aku tidak ingin semakin terbebani dengan hutang budi pada Ismi.Dengan terpaksa, aku menerima pemberian Ismi dan mempersilakannya masuk."Duduk dulu Is, Aku taruh piring ini di dapur dulu. Sekalian aku ambilkan minum, kamu pasti haus," pamitku pada Ismi.Aku menuju dapur untuk meletakkan nasi dan lauk pemberian Ismi. Karena aku tidak mempunyai makanan apapun untuk di suguhkan pada Ismi, akhirnya hanya membawa teko berisi air putih dan sebuah gelas."Maaf Is, hanya ada air putih," ucapku berbasa-basi pada Ismi."Iya gak apa-apa, Din." jawab Ismi.Dia langsung menuang air kedalam gelas dan meneguknya sampai tandas. Sepertinya Ismi kehausan."Mana kartu perdana yang barusan di beli, Din?" tanya Ismi.Aku berpamitan ke kamar untuk mengambil kartu perdana yang tersimpan dalam tas kecil yang dibawa saat ke bank tadi. Beberapa detik kemudian, aku sudah kembali dengan membawa tas kecil."Sini aku daftarkan dulu kartu perdananya. Tolong bawa ktp kamu."Aku mengeluarkan kartu identitas dalam tas dan memberikannya pada Ismi. Sejurus kemudian, wajah Ismi terlihat serius memproses kartu perdana ke dalam ponsel. Setelah berhasil, Ismi menyerahkan ponselnya kepadaku.Aku menatap ponsel pemberian Ismi di tangan. Kondisinya masih bagus, hanya ada sedikit goresan pada layar ponselnya."Buku rekeningnya, Din!" pinta Ismi.Aku seperti orang yang terkena hipnotis, menuruti saja perintah Ismi.Terlihat Ismi sibuk dengan ponsel, sebelum akhirnya dia mengambil gambar aku yang sedang memegang ktp. Lagi-lagi aku hanya menurut pada Ismi."Kita tinggal tunggu hasilnya, apakah di acc atau tidak. Kalau belum, berarti bukan rezeqi kita" ucap Ismi dengan wajah harap-harap cemas.Hampir setengah jam lamanya kami menunggu dan akhirnya...."Wow, pengajuan kita di acc, Din! pekik Ismi, berhasil mengejutkanku.Secepat itu? kok bisa?*****"Alhamdulillah...pengajuannya diacc, kamu memang pembawa keberuntungan, Din!" puji Ismi padaku.Sementara aku masih tidak percaya, pengajuan pinjaman online yang diproses setengah jam yang lalu sudah bisa menghasilkan uang. "Ting" terdengar notif pesan dari ponselku.Aku segera membukanya, ternyata notif pemberitahuan dari sms banking. Ada transferan masuk sebesar satu juta rupiah.Setelah membaca notif yang baru diterima, barulah aku percaya. Ternyata semudah itu mendapatkan pinjaman. Namun entah kenapa bukannya senang, tetapi malah sebaliknya. Mungkin karena pengajuan pinjol menggunakan namaku, bukan nama Ismi."Ismi, kenapa enggak mengajukan pinjaman pakai nama kamu sendiri aja, sih? Malah pakai nama orang lain. Aku takut sekali, karena baru pertama kali berurusan dengan hutang!" cetusku pada Ismi serius."Aku sudah mengajukan pinjaman online sendiri, tetapi uang yang dibutuhkan masih kurang. Tidak mungkin Aku mengajukan dua kali pinjaman pada aplikasi yang sama, makanya minta ban
Ismi membisikkan sesuatu ke telingaku. Mataku terbelalak, tetapi tak bisa menahan diri untuk tidak tergelak."Kamu ada-ada aja Is, pakai ngerjain mereka segala. Aku mah takut dosa!" ucapku, masih saja tergelak."Orang seperti mereka sekali-sekali memang perlu di kasih pelajaran, supaya lebih menghargai orang lain!" timpal Ismi, dia pun sama sepertiku tergelak juga."Cuaca hari ini panas banget ya. Kita beli minuman di warung Mbak Eti, yuk" ajak Ismi padaku."Boleh, kebetulan Dita juga udah tidur nih" sahutku, seraya bangkit dari pembaringanku.Kami melangkah bersama menuju warung Mbak Eti yang berada di lingkungan kontrakan Trio Barokah. Warung sederhana yang hanya berupa meja dengan ukuran sedang dan segala perabotan di atasnya. Warung Mbak Eti selain menjual minuman jus buah asli dan minuman kemasan, dia juga menjual aneka makanan yang diolah secara dadakan. Selain harganya murah, rasa makanannya juga lumayan enak. Tidak heran kalau warungnya selalu ramai oleh pembeli dari berbagai
Namaku Pradito Lukito. Aku adalah anak tunggal di keluargaku. Walaupun anak tunggal, aku sudah terbiasa hidup mandiri dan sederhana, meski kedua orang tuaku adalah pemilik usaha dibidang kuliner yang cukup sukses di Klotaku. Mereka memiliki puluhan anak cabang yang tersebar di beberapa kota. Aset yang mereka miliki meliputi aset tidak bergerak, mulai dari puluhan kontrakan dan kos-kosan yang tersebar di beberapa daerah. Belum lagi aset bergerak, berupa beberapa kendaraan yang terparkir cantik di rumahku.Menjadi anak tunggal yang merupakan impian banyak orang, tetapi tidak menurutku. Aku merasa kesepian di rumah yang ukurannya begitu luas. Kedua orang tuaku sibuk mengurus bisnisnya, sedangkan aku bersama para asisten rumah tangga yang bekerja di rumah.Aku tipe orang yang tidak suka bergaul, oleh sebab itu tidak memiliki banyak teman di tempat kuliah. Kedua orang tua bercita-cita agar aku meneruskan bisnis mereka jika sudah lulus kuliah. Oleh karenanya jurusan yang aku ambil adalah bis
Pada suatu pagi, sesaat setelah keberangkatan Mas Dito bekerja terdengar ada yang mengucapkan salam."Assalamualaikum."Aku yang sedang berjibaku dengan tugas negara, tergopoh-gopoh menghampiri asal suara."Waalaikum salam," jawabku seraya membuka pintu rumah."Din, lagi repot enggak?" tanya Dinar seraya tersenyum manis ke arahku."Lumayan sih. Biasa, lagi ngerjain tugas negara. Ada apa?" tanyaku penasaran.Ismi selalu datang saat Mas Dito sudah berangkat bekerja. Dia seperti sengaja menghindari bertemu langsung dengan Mas Dito.l"Ayo masuk, pamali ngobrol di depan pintu nanti susah jodoh lho!" ledekku pada Ismi."Enak aja, aku sudah dapat jodoh, kali!" timpal Ismi kesal. Dia mengerucutkan bibirnya, membuatku terkekeh melihatnya.Aku membentangkan karpet usang andalan di atas lantai semen rumahku. Mengajak Ismi untuk ikut duduk lesehan bersamaku."Ada apa pagi-pagi datang kesini? pasti ada maunya ya?" tanyaku menebak tujuan Ismi datang kerumah."Kok kamu tahu aja sih, kalau aku ada ma
Dani dan Dita akhirnya tertidur, karena sudah terlalu lama menunggu ayahnya yang belum juga pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku benar-benar mengkhawatirkan Mas Dito. Andai Mas Dito mempunyai ponsel, pasti ku sudah menghubunginya sejak tadi. Dulu sewaktu Mas Dito masih bekerja di percetakan, dia memiliki sebuah ponsel. Tetapi terpaksa harus dijual karena terdesak kebutuhan ekonomi. Sempat ada niatan untuk mendatangi pangkalan ojek tempat Mas Dito biasa menunggu penumpangnya. Akan tetapi tidak tega jika harus meninggalkan kedua anakku yang sedang tertidur. Tidak hentinya aku berdoa dalam hati, semoga tidak terjadi apa-apa dengan Mas Dito.Tidak berapa lama, terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah rumah. Aku segera berlari menuju jendela rumah untuk memastikan siapa yang datang. Aku sangat berharap kalau Mas Dito yang datang.Hatiku begitu lega, begitu mengetahui yang datang adalah Mas Dito. Wajahnya murung dan terlihat begitu letih.Aku membukakan pintu yang
"Dinar? Ini nomor hape siapa? Pasti pinjam punya orang, kan?" tanya kak Disti, dia selalu meremehkanku."Iya Kak, aku pinjam sama teman. Kalau mau simpan saja nomornya Kak, siapa tahu suatu hari nanti membutuhkannya," ucapku berusaha tidak terpengaruh dengan ucapannya."Untuk apa menyimpan nomor orang yang enggak penting!" ucapan Kak Disti semakin pedas.Aku mengambil nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Berusaha tidak terpancing emosi, karena tujuan utamaku adalah meminta bantuannya."Kak, Aku mau minta tolong boleh?" tanyaku ragu-ragu."Tuh kan, sudah aku duga. Kamu menghubungiku karena ada maunya!" rupanya Kak Disti sudah menduga tujuanku menghubunginya."Kak, Aku mau pinjam uang untuk menebus motor Mas Dito yang turun mesin di bengkel. Kalau tidak di tebus, darimana Mas Dito mendapatkan uang untuk kebutuhan kami?!" ucapku dengan nada memelas.Untuk pertama kalinya mengingkari prinsip yang selama ini aku pegang teguh. Bahwa jangan pernah mengharapkan belas kasihan ora
"Mas, itu motornya .... ?" ucapanku terputus."Iya, motornya sudah Mas tebus. Alhamdulillah, tadi Mas ketemu teman lama sewaktu bekerja. Kamu ingat sama si Dilan kan?" tanya Mas Dito."Dilan? iya, ingat Mas. Dilan yang dapat julukan si cupu itu ya?" tebakku."Iya benar. Tadi engak sengaja ketemu di masjid waktu mau sholat dzuhur. Kita saling bertukar cerita dan qodarullah, ternyata dulu dia pernah mempunyai hutang sama Mas. Dia mau membayar tetapi kehilangan kontak Mas. Kebetulan kita bertemu, lalu dia membayar hutangnya. Padahal Mas sama sekali tidak ingat kalau dia punya hutang!" beber Mas Dito panjang lebar.Aku hanya bengong mendengarkan cerita Mas Dito. Seharusnya aku bersyukur karena Mas Dito sudah menebus motor dengan uangnya sendiri. Tetapi masalahnya, aku sudah terlanjur meminjam uang ke pinjol dan siapa nanti yang akan membayarnya?"Din ... kok bengong sih? ini Mas juga beli sate ayam plus lontongnya buat makan malam kita" ucap Mas Dito seraya tersenyum manis ke arahku. "Ee
Hari jatuh tempo pinjolku sudah terlewat dua hari. Itu sebabnya beberapa hari ini aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Aku selalu memikirkan bagaimana caranya membayar hutang pinjol. Aku sudah mencoba mengajukan pinjol ke beberapa aplikasi lain, tetapi selalu mengalami penolakan. Mungkin karena disebabkan pinjol yang digunakan oleh Ismi telat dalam pembayaran, sehingga penilaian kreditku kurang baik.Aku hanya bisa pasrah, ketika beberapa notifikasi penagihan pembayaran yang jatuh tempo masuk ke ponsel. Bahkan ada yang menagih melalui pesan pribadiku dengan menggunakan bahasa yang sangat kasar. Aku panik dan ketakutan. Bagaimana caranya agar bisa keluar dari masalah ini? Hari ini aku berkunjung ke rumah Ismi dengan membawa Dita dalam gendongan. Biasanya Ismi yang selalu berkunjung ke rumahku. Baru saja tiba di depan pintu kontrakannya yang tertutup, geng Trio Barokah datang menghampiriku."Hai parasit, apa kabar?" Mbak Wiwit menyapaku dengan panggilan baru untukku.Aku tidak menghira
"M-bak-Di-nar" lirihnya, nyaris tak terdengar.Aku mendekatkan wajah pada Bu Ustadzah yang menatap dengan sayu."Ibu Ustazah yang sabar dan kuat ya," ucapku seraya tersenyum kepadanya, berusaha memberikan motivasi agar beliau kuat melewati musibah yang di alaminya."Ma-af-kan-sa-ya." Bu Ustazah kembali berucap seraya menggerakkan jemarinya, seolah ingin menjabat tanganku.Aku meraih jemarinya dan mengusapnya dengan lembut."Tidak ada yang perlu dimaafkan Bu Ustazah, karena tidak ada yang salah. Sekarang yang terpenting Bu Ustazah sehat seperti sedia kala!" timpalku.Bu Ustazah menatapku lekat dan tiba-tiba keluar cairan bening dari kedua sudut matanya. Sementara itu, bibirnya seolah menyunggingkan senyum kearahku lalu kemudian kedua mata beliau terpejam. Aku mendekatkan wajah dan memanggil namanya, tetapi tidak ada respon sama sekali. Aku kembali memanggil di telinga kirinya, tetapi sama saja tidak ada sahutan dari bibirnya."Suster, Ibu Ustazah kenapa? Beliau diam saja, tidak menjaw
"Maaf, mengabari apa, Pak?" tanyaku penasaran.Jantungku berdetak tidak karuan. Aku khawatir ada kabar buruk yang menimpa ibu mertua yang hingga kini belum pulang ke rumah."Kami dari Rumah Sakit Husada ingin mengabari bahwa Ibu Khodijah binti Al Fajri telah mengalami kecelakaan bersama rombongan lainnya!" lanjutnya lagi.'Khodijah Al Fajri, bukankah itu nama lengkap ibu Ustazah? Tetapi kenapa pihak rumah sakit malah mengabariku? Bukankah ada Mas Syaiful yang jelas-jelas keluarganya?' bermacam pertanyaan muncul dalam benakku."Maaf Bu, kenapa tidak menghubungi pihak keluarganya langsung? Saya bukan keluarganya!" sanggahku.Aku bukannya tidak mau mengakui Bu Ustazah dan menganggapnya sebagai saudara atas kebaikannya selama ini. Akan tetapi aku merasa ada pihak keluarganya yang lebih berhak mendapatkan kabar kurang baik ini."Sudah, tetapi nomornya tidak aktif. Maaf Bu, sebaiknya Anda segera datang ke rumah sakit karena kondisi pasien saat ini sedang kritis. Dokter sedang melakukan pena
Kami menegok ke arah Dani secara bersamaan."Dani, sini Nak. Ini ada Nenekmu dari keluarga Ayah Dito!" ucapku melambaikan tangan padanya.Dani menghampiriku, menatap ragu ke arah ibu mertua dan meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takzim."I-ni cucuku?" tanya ibu mertua dengan sedikit gugup serta tatapan penuh haru."Iya, Bu. Ini Dani, cucu pertama Ibu!" jawabku."Ya Allah, kamu sudah sebesar ini sekarang. Maafkan Nenek yang tidak pernah mengunjungimu cucuku," ucap ibu mertua seraya mengelus wajah Dani, kemudian perlahan beliau mulai terisak."Nenek kenapa menangis?" tanya Dani heran."Wajahmu mirip sekali dengan Ayahmu. Andaikan saja Dito masih ada, dia pasti bahagia melihat kita bisa berkumpul seperti ini!" ucapnya lagi.Aku menghampiri ibu mertua dan mengusap lembut punggung tangannya."Mas Dito pasti bahagia melihat kebersamaan kita, Bu. Sebaiknya hari ini Ibu menginap saja di rumah kami. Dani juga sepertinya masih kangen sama Neneknya" ujarku seraya tersenyum pada i
"Mbak Dinar, aku boleh minta tanda tangan di novelmu nggak?" tanya Mbak Sherli di suatu siang kala sepulang sekolah menjemput Kevin. Semenjak kepindahan ke rumah lamaku, hubungan kami semakin dekat. Kini bahasa yang kami gunakan juga menjadi aku dan kamu. "Mbak Sherli ada-ada aja nih, pakai minta tanda tangan segala. Aku bukan artis lho," sanggahku seraya tersenyum."Lho, Mbak Dinar ini suka merendah. Jadi penulis terkenal itu sama saja kayak artis karena udah diundang ke stasiun televisi, bahkan karyanya sudah diangkat menjadi sebuah karya film." Mbak Sherli mengerlingkan matanya menggoda. Aku tersenyum melihatnya."Sini aku kasih tanda tangan, apa mau sekalian minta photo bareng?" ledekku."Lho, Mbak Dinar ini seperti dukun saja. Memang itu yang mau saya minta selain tanda tangan," Mbak Sherli terbahak. Kami akhirnya tertawa bersama-sama.Begitulah, setelah aku diundang menjadi nara sumber di salah satu stasiun televisi dan karyaku diangkat menjadi sebuah film ada saja yang ingi
"Bu Ustadzah, apa kabar?" tanyaku sedikit kikuk, seraya mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangannya.Akan tetapi sekilas tampak Bu Ustadzah menyembunyikan tangannya, seolah itu pertanda jika beliau tidak berkenan ada yang mencium tangannya. Akhirnya terpaksa mengurungkan niatku "Kabar saya baik," jawabnya singkat."Maaf Bu Ustazah, ini ada sedikit oleh-oleh semoga berkenan," ucapku tak kenal lelah berusaha mengambil hati Bu Ustazah seraya menyodorkan rantang yang dibawa."Maaf, saya sedang shaum. Kebetulan juga hari ini mau pergi untuk mengisi acara tausiyah di desa yang jaraknya cukup jauh dan kemungkinan pulangnya agak malam. Sebaiknya dibawa saja masakannya, khawatir tidak sempat dimakan malah jadi mubadzir," tolak Bu Ustadzah dengan suara pelan, tetapi terasa menusuk hatiku.Betapa tidak? Aku sudah berusaha memperbaiki hubungan dengan beliau yang kurang baik karena penolakan kepada Mas Syaiful. Akan tetapi sikap beliau masih saja dingin bahkan terang-terangan menolak pem
Aku terkejut membaca pesan di aplikasi hijau tersebut, terlebih saat tahu siapa pengirimnya. Mas Syaiful. Aku tidak tahu, apa maksudnya mengirim pesan menyakitkan itu. Niat hati ingin mengabaikan pesan itu, tetapi pasti dia akan terus mengirimkan pesan dengan penilaian buruknya sendiri kepadaku. Jari tangan mulai mengetikkan balasan pesan untuk laki-laki yang pernah meminangku."Maaf, apa maksud Mas Syaiful berkata demikian? Siapa yang tidak tahu berterima kasih, siapa yang sombong? Jangan pernah menilai seseorang dari satu sudut pandang saja. Jika Mas kecewa dengan penolakan tempo hari, tetapi bukan berarti seenaknya Mas bisa menghina saya!" satu pesan balasan kukirimkan melalui aplikasi hijau di ponsel. Tidak membutuhkan waktu lama, tanda pada pesan yang dikirimkan sudah berubah warna. Terlihat Mas Syaiful sedang mengetikkan balasannya. "Siapa bilang saya kecewa dengan penolakan seorang janda sepertimu? Aku hanya tidak terima kamu meninggalkan Bibik sendirian setelah apa yang sud
"Maafkan saya Bu Ustadzah," ucapku lirih. Beliau terlihat memijit kening menggunakan jari jemarinya."Tidak perlu minta maaf. Syaiful hanya perlu waktu untuk menerima penolakan yang membuatnya kecewa," sahut Bu Ustadzah seraya beranjak dari tempat duduknya dan berlalu masuk ke kamarnya tanpa berpamitan terlebih dahulu.Aku masih terdiam di sofa ruang tengah. Sedikit merasa bersalah dengan keputusan yang diambil. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin menjadi orang munafik yang berpura-pura menerima Mas Syaiful, tetapi dalam hati menolak. Terlebih karena permintaan Dani yang tidak ingin memiliki ayah baru. Lebih baik jujur dan merasa kecewa di awal, daripada menyesal kemudian.Tidak terasa, satu minggu sudah telah berlalu dari malam penolakanku kepada Mas Syaiful. Sejak malam itu, sikap Bu Ustadzah berubah kepadaku dan Dani. Beliau terlihat acuh tak acuh, bahkan kami jarang bertegur sapa walaupun saling berhadapan. Sepertinya perubahan sikap Bu Ustadzah ada hubungannya denga
"Innalillahi wainna ilaihi rojiun," Bu Ustadzah mengucap kalimat tarji.Beliau menghela nafas dan menghembuskannya perlahan lalu menatapku dengan penuh rasa iba."Mbak Dinar yang sabar, ya. Semua makhluk akan kembali kepada-Nya jika memang sudah datang waktunya. Insya Allah Kakak Mbak Dinar akan di tempatkan di tempat terbaiknya." Ucap Bu Ustadzah mencoba menghiburku."Amiin. Terimakasih Bu Ustadzah," jawabku."Pemakaman dilaksanakan di mana? di rumah sakit kah?" tanya Bu Ustadzah kemudian."Iya Bu, pemakaman di laksanakan di rumah sakit tempat Kakak Saya di rawat, karena almarhum sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi," jawabku lirih."Pemakaman sebaiknya dilaksanakan secepatnya jangan ditunda-tunda. Tidak masalah di makamkan dimana saja, asal sudah ada persetujuan dari pihak keluarga, Mbak," sambung Bu Ustadzah lagi.Aku kemudian berpamitan kepada Bu Ustadzah untuk beristirahat. Sementara Dani sejak tadi sudah masuk ke kamarnya. Setelah membersihkan diri, aku membaringkan tubuh d
Petugas tersebut mengakhiri pembicaraan di telepon. Aku mengatur napas dan ritme jantung yang tidak beraturan setelah mendapatkan kabar yang kurang baik dari rumah sakit jiwa yang merawat kak Disti."Dani, ayo kita berangkat sekarang ke rumah sakit. Tadi Ibu mendapatkan kabar jika kondisi Tante Disti memburuk" ajakku kepada Dani dengan sedikit panik."I-iya Bu. Ayo kita berangkat sekarang!" jawab Dani.Setelah berpamitan kepada Bu Ustadzah, aku segera melajukan motor menuju rumah sakit jiwa tempat ak Disti di rawat. Di sepanjang perjalanan, aku berdoa semoga kak Disti baik-baik saja. Meskipun dia pernah berbuat tidak baik kepadaku, tetapi melihat kondisinya saat ini jadi merasa tidak tega.Kak Disti telah kehilangan semua yang di milikinya, jangan sampai dia juga kehilangan saudara satu-satunya. Aku berharap kak Disti kembali sehat seperti sedia kala dan bisa hidup rukun berdampingan denganku. Arus lalu lintas hari ini cukup padat, karena sekarang adalah wekend. Banyak kendaraan luar