Ismi membisikkan sesuatu ke telingaku. Mataku terbelalak, tetapi tak bisa menahan diri untuk tidak tergelak.
"Kamu ada-ada aja Is, pakai ngerjain mereka segala. Aku mah takut dosa!" ucapku, masih saja tergelak."Orang seperti mereka sekali-sekali memang perlu di kasih pelajaran, supaya lebih menghargai orang lain!" timpal Ismi, dia pun sama sepertiku tergelak juga."Cuaca hari ini panas banget ya. Kita beli minuman di warung Mbak Eti, yuk" ajak Ismi padaku."Boleh, kebetulan Dita juga udah tidur nih" sahutku, seraya bangkit dari pembaringanku.Kami melangkah bersama menuju warung Mbak Eti yang berada di lingkungan kontrakan Trio Barokah. Warung sederhana yang hanya berupa meja dengan ukuran sedang dan segala perabotan di atasnya. Warung Mbak Eti selain menjual minuman jus buah asli dan minuman kemasan, dia juga menjual aneka makanan yang diolah secara dadakan.Selain harganya murah, rasa makanannya juga lumayan enak. Tidak heran kalau warungnya selalu ramai oleh pembeli dari berbagai kalangan. Terutama dari kalangan anak-anak. Aku bersyukur, diantara pembeli yang mengantri, tidak ada geng Trio Barokah diantara mereka.Selain memesan minuman jus, Ismi juga memesan pisang aroma yang menjadi makanan favorit kami."Waah, kayaknya ada yang lagi minta traktiran, nih" ucap seseorang tiba-tiba mengagetkan semua orang yang berada di warung Mbak Eti.Aku mengenal suara itu, siapa lagi kalau bukan Mbak Wiwit, salah satu anggota Trio Barokah. Dia menghampiri kami dan menatap tajam ke arahku."Eh Mbak Wiwit. Siapa yang minta ditraktir? Mbak Wiwit minta ditraktir? boleh. Silahkan pesan saja, biar saya yang bayar!" sarkas Ismi pada Mbak Wiwit yang memasang wajah masam."Saya enggak minta ditraktir sama Mbak Ismi. Saya punya banyak uang, jadi bisa beli sendiri. Kalau perlu saya borong sekalian semua dagangannya Mbak Eti ini!" ucap Mbak Wiwit sombong."Maksud Wiwit, yang minta di traktir itu Mbak Dinar bukan Wiwit. Hati-hati lho Mbak Ismi, Mbak Dinar itu deketin Mbak Wiwit pasti ada maunya!" sindir Mbak Tina yang tiba-tiba saja datang dan sama seperti teman satu gengnya, kompak mengejekku.Aku terkejut mendengar ucapan Mbak Tina yang lagi-lagi bersuudzon. Ada rasa ingin membalas ucapan mereka, tetapi Mbak Ismi sudah lebih dulu pasang badan untukku."Dengar ya Mbak Wiwit dan Mbak Tina, hak saya mau dekat sama siapa pun. Asal Mbak-mbak tahu, Mbak Dinar ini Istri dan Ibu sholihah untuk suami dan anaknya. Makanya Saya mau bersahabat dekat dengan Mbak Dinar!" ucapan Ismi memukul telak ucapan mereka yang selalu berprasangka buruk pada orang lain."Wow, Mbak Ismi rupanya sudah kena peletnya Mbak Dinar. Makanya membela Mbak Dinar sampai segitunya!" timpal Mbak Beti, anggota geng Trio Barokah yang terakhir. Lengkap sudah, semua anggota geng berkumpul untuk menghinaku."Jangan sembarangan bicara Mbak Beti, itu sama saja menuduh saya bermain dukun. Naudzubillah, agama saya melarang berbuat syirik karena merupakan dosa besar dan tidak akan terampuni!" ucapku membela diri."Maling mana ada yang mau ngaku, kalau ada pasti penjara sudah penuh. Ha..ha..ha" mereka bertiga kompak menertawakanku.Aku hanya bisa mengelus dada dan berucap istigfar, menghadapi semua hinaan mereka. Mereka berhasil membuatku malu di muka umum. Beberapa orang yang sedang berbelanja ikut menatapku dengan pandangan merendahkan."Jadi berapa semuanya Mbak Eti? malas lama-lama disini, takut nantinya ikutan jadi bahan bakar neraka jahanam seperti mereka!" tunjuk Mbak Ismi kepada mereka bertiga.Setelah membayar semua belanjaan, Ismi mengambil makanan dan minuman pesanan kami dari Mbak Eti. Aku tidak menyangka Mbak Ismi berani berkata seperti itu kepada mereka bertiga. Tatapan nyalang dari mereka menandakan tidak terima dengan ucapan Ismi.Namun Ismi bersikap cuek dan menarik tanganku untuk segera pergi dari warung Mbak Eti. Dia tidak mengiraukan teriakan dari mereka yang memanggil namanya.Setelah berada di dalam rumah, Ismi meletakkan belanjaannya di lantai tempat kami sebelumnya. Wajahnya terlihat menahan emosi."Kamu enggak sakit hati, di hina separah itu sama mereka, Din?" tanya Ismi menatap wajahku dengan serius."Biarkan saja, aku sudah biasa dihina oleh mereka. Anggap saja sebagai penggugur dosa-dosaku!" jawabku bijak."Aku saja yang mendengarnya sakit hati, apalagi kamu. Fix ini mah kita harus beri pelajaran pada mereka. Kamu jadi orang jangan lemah. Apalagi jika ada yang merendahkanmu, dimuka umum pula. Kamu gak lihat tatapan orang-orang tadi kepadamu? sungut Ismi.Setan dalam hatiku ikut berbicara. Benar apa yang dikatakan Ismi, perbuatan mereka sudah keterlaluan dan tidak bisa didiamkan. Aku tidak memikirkan lagi dosa, karena rasa sakit hati oleh perbuatan mereka. Akhirnya Aku menyetujui untuk memberikan pelajaran kepada mereka."Mereka itu cuma besar omongannya saja. Kamu tahu, selama ini mereka terlihat banyak uang? mereka mendapatkan uang dari pinjaman bangke!" ucap Ismi memberiku informasi yang tidak aku ketahui sebelumnya."Bangke itu apa?" tanyaku benar-benar tidak tahu."Bangke itu singakatan dari Bank keliling. Jadi mereka banyak uang juga dari hasil berhutang!" jelas Ismi padaku."Ooh, begitu. Bank keliling yang mengendarai motor besar itu ya? pantas saja hampir tiap hari mangkal di rumah Trio Barokah secara bergantian." ucapku lagi."Iya, yang laki-laki berkulit hitam dan bertampang seram itu lho!" jelas Ismi lagi."Berarti selama ini mereka pamer dari hasil ngutang ya. Enghak nyangka!" timpalku menggelengkan kepala."Kamu tinggal disini sudah berapa lama? Masa gitu aja enggak tahu, kalah sama aku yang baru tinggal disini. Makanya Din, jadi orang itu jangan terlalu polos. Biar enggak direndahin orang terus, kamu harus berani melawan!" ucap Ismi memprovokasikuAku mendengarkan ucapan Ismi dengan serius. Selama ini memang aku selalu diam jika diejek dan direndahkan oleh geng Trio Barokah, karena bukan tipe orang yang suka keributan. Ditambah lagi Mas Dito sering menasihatiku agar selalu mengalah pada orang yang tidak suka dengan kita. Jika Kita bersabar, itu akan menjadi penggugur dosa kita.Tetapi karena Ismi, cara pandangku kini berubah. Kedepannya tidak akan diam lagi jika ada yang merendahkanku."Din, mulai hari ini kamu yang kirim pesan misterius untuk Mbak Beti ya. Sedangkan Wita dan Tina biar menjadi urusanku. Untuk Wita dan Tina, memang sudah lebih dulu aku kirim pesan dan mengajaknya berkenalan. Mereka menanggapinya!" beber Ismi panjang lebar, menjelaskan rencana memberikan pelajaran kepada Trio Barokah."Oke siap Is, aku minta nomornya Mbak Beti, ya!" pintaku pada Ismi.Terlihat dia memainkan ponsel yang ada di tangannya."Sudah aku kirim ya. Nanti untuk permulaan, kirim pesan perkenalan saja. Jangan lupa sebelumnya ganti fhoto profil pesanmu dengan fhoto artis Korea Song Jong Ki!""Kenapa harus Song Jong Ki? Bukannya banyak pria tampan berasal dari negara lain, dari India misalnya," tanyaku penasaran."Dia pria tampan favoritku hehehe" jawab Ismi terkekeh.Akhirnya kami sepakat untuk memberi pelajaran kepada mereka dengan berpura-pura menjadi seorang pria yang mengajaknya berkenalan lewat pesan berlogo hijau. Untuk rencana selanjutnya, aku menunggu arahan dari Ismi yang mempunyai ide sebelumnya."Aku sudah membayangkan, wajah mereka yang kegeeran karena ada pria tampan yang mengajaknya berkenalan. Mereka pasti lupa deh sama suami mereka yang kucel and dekumel, hahaha." Kami tertawa bersama."Is, Kita jahat enggak sih, ngerjain mereka?" tanyaku setelah puas tertawa."Jahat sih, tetapi kan mereka yang duluan. Asal kamu tahu Din, sebenarnya orang jahat itu terlahir dari orang baik yang tersakiti!"*****Namaku Pradito Lukito. Aku adalah anak tunggal di keluargaku. Walaupun anak tunggal, aku sudah terbiasa hidup mandiri dan sederhana, meski kedua orang tuaku adalah pemilik usaha dibidang kuliner yang cukup sukses di Klotaku. Mereka memiliki puluhan anak cabang yang tersebar di beberapa kota. Aset yang mereka miliki meliputi aset tidak bergerak, mulai dari puluhan kontrakan dan kos-kosan yang tersebar di beberapa daerah. Belum lagi aset bergerak, berupa beberapa kendaraan yang terparkir cantik di rumahku.Menjadi anak tunggal yang merupakan impian banyak orang, tetapi tidak menurutku. Aku merasa kesepian di rumah yang ukurannya begitu luas. Kedua orang tuaku sibuk mengurus bisnisnya, sedangkan aku bersama para asisten rumah tangga yang bekerja di rumah.Aku tipe orang yang tidak suka bergaul, oleh sebab itu tidak memiliki banyak teman di tempat kuliah. Kedua orang tua bercita-cita agar aku meneruskan bisnis mereka jika sudah lulus kuliah. Oleh karenanya jurusan yang aku ambil adalah bis
Pada suatu pagi, sesaat setelah keberangkatan Mas Dito bekerja terdengar ada yang mengucapkan salam."Assalamualaikum."Aku yang sedang berjibaku dengan tugas negara, tergopoh-gopoh menghampiri asal suara."Waalaikum salam," jawabku seraya membuka pintu rumah."Din, lagi repot enggak?" tanya Dinar seraya tersenyum manis ke arahku."Lumayan sih. Biasa, lagi ngerjain tugas negara. Ada apa?" tanyaku penasaran.Ismi selalu datang saat Mas Dito sudah berangkat bekerja. Dia seperti sengaja menghindari bertemu langsung dengan Mas Dito.l"Ayo masuk, pamali ngobrol di depan pintu nanti susah jodoh lho!" ledekku pada Ismi."Enak aja, aku sudah dapat jodoh, kali!" timpal Ismi kesal. Dia mengerucutkan bibirnya, membuatku terkekeh melihatnya.Aku membentangkan karpet usang andalan di atas lantai semen rumahku. Mengajak Ismi untuk ikut duduk lesehan bersamaku."Ada apa pagi-pagi datang kesini? pasti ada maunya ya?" tanyaku menebak tujuan Ismi datang kerumah."Kok kamu tahu aja sih, kalau aku ada ma
Dani dan Dita akhirnya tertidur, karena sudah terlalu lama menunggu ayahnya yang belum juga pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku benar-benar mengkhawatirkan Mas Dito. Andai Mas Dito mempunyai ponsel, pasti ku sudah menghubunginya sejak tadi. Dulu sewaktu Mas Dito masih bekerja di percetakan, dia memiliki sebuah ponsel. Tetapi terpaksa harus dijual karena terdesak kebutuhan ekonomi. Sempat ada niatan untuk mendatangi pangkalan ojek tempat Mas Dito biasa menunggu penumpangnya. Akan tetapi tidak tega jika harus meninggalkan kedua anakku yang sedang tertidur. Tidak hentinya aku berdoa dalam hati, semoga tidak terjadi apa-apa dengan Mas Dito.Tidak berapa lama, terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah rumah. Aku segera berlari menuju jendela rumah untuk memastikan siapa yang datang. Aku sangat berharap kalau Mas Dito yang datang.Hatiku begitu lega, begitu mengetahui yang datang adalah Mas Dito. Wajahnya murung dan terlihat begitu letih.Aku membukakan pintu yang
"Dinar? Ini nomor hape siapa? Pasti pinjam punya orang, kan?" tanya kak Disti, dia selalu meremehkanku."Iya Kak, aku pinjam sama teman. Kalau mau simpan saja nomornya Kak, siapa tahu suatu hari nanti membutuhkannya," ucapku berusaha tidak terpengaruh dengan ucapannya."Untuk apa menyimpan nomor orang yang enggak penting!" ucapan Kak Disti semakin pedas.Aku mengambil nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Berusaha tidak terpancing emosi, karena tujuan utamaku adalah meminta bantuannya."Kak, Aku mau minta tolong boleh?" tanyaku ragu-ragu."Tuh kan, sudah aku duga. Kamu menghubungiku karena ada maunya!" rupanya Kak Disti sudah menduga tujuanku menghubunginya."Kak, Aku mau pinjam uang untuk menebus motor Mas Dito yang turun mesin di bengkel. Kalau tidak di tebus, darimana Mas Dito mendapatkan uang untuk kebutuhan kami?!" ucapku dengan nada memelas.Untuk pertama kalinya mengingkari prinsip yang selama ini aku pegang teguh. Bahwa jangan pernah mengharapkan belas kasihan ora
"Mas, itu motornya .... ?" ucapanku terputus."Iya, motornya sudah Mas tebus. Alhamdulillah, tadi Mas ketemu teman lama sewaktu bekerja. Kamu ingat sama si Dilan kan?" tanya Mas Dito."Dilan? iya, ingat Mas. Dilan yang dapat julukan si cupu itu ya?" tebakku."Iya benar. Tadi engak sengaja ketemu di masjid waktu mau sholat dzuhur. Kita saling bertukar cerita dan qodarullah, ternyata dulu dia pernah mempunyai hutang sama Mas. Dia mau membayar tetapi kehilangan kontak Mas. Kebetulan kita bertemu, lalu dia membayar hutangnya. Padahal Mas sama sekali tidak ingat kalau dia punya hutang!" beber Mas Dito panjang lebar.Aku hanya bengong mendengarkan cerita Mas Dito. Seharusnya aku bersyukur karena Mas Dito sudah menebus motor dengan uangnya sendiri. Tetapi masalahnya, aku sudah terlanjur meminjam uang ke pinjol dan siapa nanti yang akan membayarnya?"Din ... kok bengong sih? ini Mas juga beli sate ayam plus lontongnya buat makan malam kita" ucap Mas Dito seraya tersenyum manis ke arahku. "Ee
Hari jatuh tempo pinjolku sudah terlewat dua hari. Itu sebabnya beberapa hari ini aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Aku selalu memikirkan bagaimana caranya membayar hutang pinjol. Aku sudah mencoba mengajukan pinjol ke beberapa aplikasi lain, tetapi selalu mengalami penolakan. Mungkin karena disebabkan pinjol yang digunakan oleh Ismi telat dalam pembayaran, sehingga penilaian kreditku kurang baik.Aku hanya bisa pasrah, ketika beberapa notifikasi penagihan pembayaran yang jatuh tempo masuk ke ponsel. Bahkan ada yang menagih melalui pesan pribadiku dengan menggunakan bahasa yang sangat kasar. Aku panik dan ketakutan. Bagaimana caranya agar bisa keluar dari masalah ini? Hari ini aku berkunjung ke rumah Ismi dengan membawa Dita dalam gendongan. Biasanya Ismi yang selalu berkunjung ke rumahku. Baru saja tiba di depan pintu kontrakannya yang tertutup, geng Trio Barokah datang menghampiriku."Hai parasit, apa kabar?" Mbak Wiwit menyapaku dengan panggilan baru untukku.Aku tidak menghira
Aku mengangkat telepon dari Kak Disti dengan ragu."Hallo Kak, ada apa?" sapaku berbasa-basi."Dinar, kamu ngutang pinjaman online?" pertanyaan kak Disti berhasil membuatku terkejut. Darimana dia tahu?"Pinjaman online apa sih, Kak?" jawabku berbohong."Jangan pura-pura enggak tahu kamu. Kalau enggak pinjam, enggak mungkin Kakak ikutan kena teror sama debt colector pinjol kamu!" teriak kak Disti, membuat telingaku berdengung.Rupanya Kak Disti juga menerima pemberitahuan mengenai pinjolku, sama seperti Ismi. Oleh sebab itu mereka tahu kalau aku memiliki pinjol yang sudah jatuh tempo dan belum dibayar."Iya Kak, aku punya pinjol yang belum dibayar. Maaf kalau karena ulahku, kakak merasa terganggu!" ucapku memelas."Buat apa kamu berurusan sama yang begituan? Memang uangnya di pakai buat apa?" tanya kak Disti masih dengan suara meninggi."Uangnya buat menebus motor Mas Dito, Kak. Tempo hari kan aku sudah meminta bantuan kakak, tetapi tidak diberi. Akhirnya terpaksa aku mengajukan pinjol
Din, Kamu bermimpi?" terdengar suara lembut Mas Dito yang kini telah duduk di ujung tempat tidur."Iya, Mas sku bermimpi," jawabku."Emang mimpi apa, kok sampai teriak segala?" tanya Mas Dito heran."Mimpi buruk Mas," sahutku seraya mengerjapkan mata yang masih terasa lengket."Makanya, kalau mau tidur itu baca do'a dulu!" ucap Mas Dito mengingatkanku."Sudah Mas, setiap mau tidur aku selalu berdoa terlebih dahulu!" timpalku membela diri."Kamu sudah sholat ashar?" tanya Mas Dito seraya menatap wajahku dengan sorot mata yang meneduhkan."Belum. Aku kan baru bangun tidur, Mas!" jawabku dingin.Mas Dito terdiam. Sepertinya dia ingin menegur, tetapi urung dilakukan karena melihat sikapku yang dingin.Aku segera melangkah menuju dapur, untuk menyiapkan makan dan minuman kesukaannya, yaitu teh tawar hangat. Hanya menyiapkan dan tidak membawanya ke ruang tengah seperti biasa. Sementara Dita masih tidur dengan nyenyaknya.Aku masih memikirkan mimpi barusan. Apa maksud dari mimpiku itu?Setel
"M-bak-Di-nar" lirihnya, nyaris tak terdengar.Aku mendekatkan wajah pada Bu Ustadzah yang menatap dengan sayu."Ibu Ustazah yang sabar dan kuat ya," ucapku seraya tersenyum kepadanya, berusaha memberikan motivasi agar beliau kuat melewati musibah yang di alaminya."Ma-af-kan-sa-ya." Bu Ustazah kembali berucap seraya menggerakkan jemarinya, seolah ingin menjabat tanganku.Aku meraih jemarinya dan mengusapnya dengan lembut."Tidak ada yang perlu dimaafkan Bu Ustazah, karena tidak ada yang salah. Sekarang yang terpenting Bu Ustazah sehat seperti sedia kala!" timpalku.Bu Ustazah menatapku lekat dan tiba-tiba keluar cairan bening dari kedua sudut matanya. Sementara itu, bibirnya seolah menyunggingkan senyum kearahku lalu kemudian kedua mata beliau terpejam. Aku mendekatkan wajah dan memanggil namanya, tetapi tidak ada respon sama sekali. Aku kembali memanggil di telinga kirinya, tetapi sama saja tidak ada sahutan dari bibirnya."Suster, Ibu Ustazah kenapa? Beliau diam saja, tidak menjaw
"Maaf, mengabari apa, Pak?" tanyaku penasaran.Jantungku berdetak tidak karuan. Aku khawatir ada kabar buruk yang menimpa ibu mertua yang hingga kini belum pulang ke rumah."Kami dari Rumah Sakit Husada ingin mengabari bahwa Ibu Khodijah binti Al Fajri telah mengalami kecelakaan bersama rombongan lainnya!" lanjutnya lagi.'Khodijah Al Fajri, bukankah itu nama lengkap ibu Ustazah? Tetapi kenapa pihak rumah sakit malah mengabariku? Bukankah ada Mas Syaiful yang jelas-jelas keluarganya?' bermacam pertanyaan muncul dalam benakku."Maaf Bu, kenapa tidak menghubungi pihak keluarganya langsung? Saya bukan keluarganya!" sanggahku.Aku bukannya tidak mau mengakui Bu Ustazah dan menganggapnya sebagai saudara atas kebaikannya selama ini. Akan tetapi aku merasa ada pihak keluarganya yang lebih berhak mendapatkan kabar kurang baik ini."Sudah, tetapi nomornya tidak aktif. Maaf Bu, sebaiknya Anda segera datang ke rumah sakit karena kondisi pasien saat ini sedang kritis. Dokter sedang melakukan pena
Kami menegok ke arah Dani secara bersamaan."Dani, sini Nak. Ini ada Nenekmu dari keluarga Ayah Dito!" ucapku melambaikan tangan padanya.Dani menghampiriku, menatap ragu ke arah ibu mertua dan meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takzim."I-ni cucuku?" tanya ibu mertua dengan sedikit gugup serta tatapan penuh haru."Iya, Bu. Ini Dani, cucu pertama Ibu!" jawabku."Ya Allah, kamu sudah sebesar ini sekarang. Maafkan Nenek yang tidak pernah mengunjungimu cucuku," ucap ibu mertua seraya mengelus wajah Dani, kemudian perlahan beliau mulai terisak."Nenek kenapa menangis?" tanya Dani heran."Wajahmu mirip sekali dengan Ayahmu. Andaikan saja Dito masih ada, dia pasti bahagia melihat kita bisa berkumpul seperti ini!" ucapnya lagi.Aku menghampiri ibu mertua dan mengusap lembut punggung tangannya."Mas Dito pasti bahagia melihat kebersamaan kita, Bu. Sebaiknya hari ini Ibu menginap saja di rumah kami. Dani juga sepertinya masih kangen sama Neneknya" ujarku seraya tersenyum pada i
"Mbak Dinar, aku boleh minta tanda tangan di novelmu nggak?" tanya Mbak Sherli di suatu siang kala sepulang sekolah menjemput Kevin. Semenjak kepindahan ke rumah lamaku, hubungan kami semakin dekat. Kini bahasa yang kami gunakan juga menjadi aku dan kamu. "Mbak Sherli ada-ada aja nih, pakai minta tanda tangan segala. Aku bukan artis lho," sanggahku seraya tersenyum."Lho, Mbak Dinar ini suka merendah. Jadi penulis terkenal itu sama saja kayak artis karena udah diundang ke stasiun televisi, bahkan karyanya sudah diangkat menjadi sebuah karya film." Mbak Sherli mengerlingkan matanya menggoda. Aku tersenyum melihatnya."Sini aku kasih tanda tangan, apa mau sekalian minta photo bareng?" ledekku."Lho, Mbak Dinar ini seperti dukun saja. Memang itu yang mau saya minta selain tanda tangan," Mbak Sherli terbahak. Kami akhirnya tertawa bersama-sama.Begitulah, setelah aku diundang menjadi nara sumber di salah satu stasiun televisi dan karyaku diangkat menjadi sebuah film ada saja yang ingi
"Bu Ustadzah, apa kabar?" tanyaku sedikit kikuk, seraya mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangannya.Akan tetapi sekilas tampak Bu Ustadzah menyembunyikan tangannya, seolah itu pertanda jika beliau tidak berkenan ada yang mencium tangannya. Akhirnya terpaksa mengurungkan niatku "Kabar saya baik," jawabnya singkat."Maaf Bu Ustazah, ini ada sedikit oleh-oleh semoga berkenan," ucapku tak kenal lelah berusaha mengambil hati Bu Ustazah seraya menyodorkan rantang yang dibawa."Maaf, saya sedang shaum. Kebetulan juga hari ini mau pergi untuk mengisi acara tausiyah di desa yang jaraknya cukup jauh dan kemungkinan pulangnya agak malam. Sebaiknya dibawa saja masakannya, khawatir tidak sempat dimakan malah jadi mubadzir," tolak Bu Ustadzah dengan suara pelan, tetapi terasa menusuk hatiku.Betapa tidak? Aku sudah berusaha memperbaiki hubungan dengan beliau yang kurang baik karena penolakan kepada Mas Syaiful. Akan tetapi sikap beliau masih saja dingin bahkan terang-terangan menolak pem
Aku terkejut membaca pesan di aplikasi hijau tersebut, terlebih saat tahu siapa pengirimnya. Mas Syaiful. Aku tidak tahu, apa maksudnya mengirim pesan menyakitkan itu. Niat hati ingin mengabaikan pesan itu, tetapi pasti dia akan terus mengirimkan pesan dengan penilaian buruknya sendiri kepadaku. Jari tangan mulai mengetikkan balasan pesan untuk laki-laki yang pernah meminangku."Maaf, apa maksud Mas Syaiful berkata demikian? Siapa yang tidak tahu berterima kasih, siapa yang sombong? Jangan pernah menilai seseorang dari satu sudut pandang saja. Jika Mas kecewa dengan penolakan tempo hari, tetapi bukan berarti seenaknya Mas bisa menghina saya!" satu pesan balasan kukirimkan melalui aplikasi hijau di ponsel. Tidak membutuhkan waktu lama, tanda pada pesan yang dikirimkan sudah berubah warna. Terlihat Mas Syaiful sedang mengetikkan balasannya. "Siapa bilang saya kecewa dengan penolakan seorang janda sepertimu? Aku hanya tidak terima kamu meninggalkan Bibik sendirian setelah apa yang sud
"Maafkan saya Bu Ustadzah," ucapku lirih. Beliau terlihat memijit kening menggunakan jari jemarinya."Tidak perlu minta maaf. Syaiful hanya perlu waktu untuk menerima penolakan yang membuatnya kecewa," sahut Bu Ustadzah seraya beranjak dari tempat duduknya dan berlalu masuk ke kamarnya tanpa berpamitan terlebih dahulu.Aku masih terdiam di sofa ruang tengah. Sedikit merasa bersalah dengan keputusan yang diambil. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak ingin menjadi orang munafik yang berpura-pura menerima Mas Syaiful, tetapi dalam hati menolak. Terlebih karena permintaan Dani yang tidak ingin memiliki ayah baru. Lebih baik jujur dan merasa kecewa di awal, daripada menyesal kemudian.Tidak terasa, satu minggu sudah telah berlalu dari malam penolakanku kepada Mas Syaiful. Sejak malam itu, sikap Bu Ustadzah berubah kepadaku dan Dani. Beliau terlihat acuh tak acuh, bahkan kami jarang bertegur sapa walaupun saling berhadapan. Sepertinya perubahan sikap Bu Ustadzah ada hubungannya denga
"Innalillahi wainna ilaihi rojiun," Bu Ustadzah mengucap kalimat tarji.Beliau menghela nafas dan menghembuskannya perlahan lalu menatapku dengan penuh rasa iba."Mbak Dinar yang sabar, ya. Semua makhluk akan kembali kepada-Nya jika memang sudah datang waktunya. Insya Allah Kakak Mbak Dinar akan di tempatkan di tempat terbaiknya." Ucap Bu Ustadzah mencoba menghiburku."Amiin. Terimakasih Bu Ustadzah," jawabku."Pemakaman dilaksanakan di mana? di rumah sakit kah?" tanya Bu Ustadzah kemudian."Iya Bu, pemakaman di laksanakan di rumah sakit tempat Kakak Saya di rawat, karena almarhum sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi," jawabku lirih."Pemakaman sebaiknya dilaksanakan secepatnya jangan ditunda-tunda. Tidak masalah di makamkan dimana saja, asal sudah ada persetujuan dari pihak keluarga, Mbak," sambung Bu Ustadzah lagi.Aku kemudian berpamitan kepada Bu Ustadzah untuk beristirahat. Sementara Dani sejak tadi sudah masuk ke kamarnya. Setelah membersihkan diri, aku membaringkan tubuh d
Petugas tersebut mengakhiri pembicaraan di telepon. Aku mengatur napas dan ritme jantung yang tidak beraturan setelah mendapatkan kabar yang kurang baik dari rumah sakit jiwa yang merawat kak Disti."Dani, ayo kita berangkat sekarang ke rumah sakit. Tadi Ibu mendapatkan kabar jika kondisi Tante Disti memburuk" ajakku kepada Dani dengan sedikit panik."I-iya Bu. Ayo kita berangkat sekarang!" jawab Dani.Setelah berpamitan kepada Bu Ustadzah, aku segera melajukan motor menuju rumah sakit jiwa tempat ak Disti di rawat. Di sepanjang perjalanan, aku berdoa semoga kak Disti baik-baik saja. Meskipun dia pernah berbuat tidak baik kepadaku, tetapi melihat kondisinya saat ini jadi merasa tidak tega.Kak Disti telah kehilangan semua yang di milikinya, jangan sampai dia juga kehilangan saudara satu-satunya. Aku berharap kak Disti kembali sehat seperti sedia kala dan bisa hidup rukun berdampingan denganku. Arus lalu lintas hari ini cukup padat, karena sekarang adalah wekend. Banyak kendaraan luar